DI luar sana, langit telah rata berselimut mendung. Hujan mulai merintik semenjak beberapa menit kemudian. Perempuan muda bermuka ayu khas Jawa itu masih berdiri, bergeming di tepi jendela kamarnya.
Tuhan, kenapa orang yg kucintai pergi dgn begitu cepat, bahkan sebelum gue sempat bersanding dengannya.
Entah, telah berapa kali ia merintih lirih. Meski ia mengetahui bahwa hidup & mati seseorang sudah tercatat rapi. Tak pernah tertukar & kelak akan tiba masanya. Tapi kenyataannya, berusaha memahami kata-kata yg sering ia dengar itu ternyata lebih gampang ketimbang merasakan eksklusif betapa perihnya bila takdir itu datang tiba-tiba tanpa mengambarkan. Semua terjadi begitu cepat. Secepat anak panah yg meluncur dr busur. Secepat takdir Tuhan yg tak mungkin bisa diundur.
Semua bermula di suatu pagi yg cerah, tiga hari sebelum Ratri, panggilan bersahabat wanita itu, rencananya menyelesaikan masa lajang.
“Apa nggak bisa ditunda, Mas?” tanya Ratri dikala Firman, laki-laki calon pendamping hidupnya, menyampaikan hendak terbang ke Malaysia untuk permasalahan pekerjaan yg datang dengan-cara mendadak.
“Nggak bisa, ini menyangkut nama baik penerbit. Rencananya penerbit yg Mas kelola akan menjalin kolaborasi dgn penerbit ternama di Malaysia. Kamu hening saja, meeting-nya hanya setengah hari kok, besok pagi Mas tentukan sudah kembali.”
Ratri mengangguk kecil. Ia berupaya mengerti. Sedari awal menjalin relasi dgn lelaki berwajah menawan yg menjabat sebagai CEO di suatu penerbitan buku yg sangat terkenal di kota sebelah, ia sepenuhnya memafhumi risiko pekerjaannya yg lebih banyak berada di luar rumah. Entah mengapa, waktu itu ia eksklusif teringat kalimat yg pernah diucapkan ibunya pada Mbak Ratna setahun silam.
“Pamali calon pengantin bepergian, kalau ada apa-apa di jalan gimana?” Raut ibu tampaksungguh cemas dikala Mbak Ratna bilang akan pergi ke rumah temannya di luar kota, sementara dua hari lagi ia akan bersanding di pelaminan.
Mbak Ratna merespon ucapan ibu dgn tersenyum. Senyum yg mengandung arti bahwa hidup & mati sudah dikontrol Tuhan. Bahkan, ibarat kita berada dlm suatu transportasi biasa yg mengalami kecelakaan pun, namun bila takdir hidup kita bukan meninggal bersebab kecelakaan, tentu kita akan selamat.
“Ibu hening saja, nggak usah berpikiran macam-macam, insya Allah nggak akan ada apa-apa di jalan,” Mbak Ratna berupaya mengusir kecemasan yg terpancar di raut wajah ibu. Meskipun, kecemasan di raut beliau tak jua menyurut. Lantas, Ratri segera merengkuh bahu ibu seraya berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Nyatanya, mitos yg mengatakan bahwa kandidat pengantin itu tak boleh bepergian sebelum hari pernikahan digelar itu tak terbukti. Sorenya, Mbak Ratna pulang dr rumah temannya dlm kondisi segar bugar.
Akhirnya, meski setengah tak rela, Ratri melepas kepergian Firman menuju Malaysia. Dan entah mengapa, mitos yg sama sekali tak ia percayai itu terus menari-nari di benaknya. Padahal ia sudah sekuat tenaga menepisnya.
Dengan gusar Ratri menyambar ponsel di meja kamar dikala mendengar info di sebuah televisi swasta wacana jatuhnya pesawat terbang di tengah lautan. Jantung Ratri seperti mau copot mendengar kabar itu. Bagaimana tidak? Sebab nama pesawat yg dikabarkan jatuh itu sama persis dgn nama pesawat yg ditumpangi Firman yg tengah dlm perjalanan pulang dr Malaysia.
Berkali ia mencoba menelepon nomor telepon Firman, tetapi tak pernah tersambung. Ah, ya, Ratri gres tersadar bahwa ketika penerbangan seluruh penumpang pesawat dilarang mengaktifkan telepon genggam. Dalam keadaan ketakutan yg semakin menjadi, terdengar ketukan pintu.
“Ratri…,”
Itu bunyi yg sungguh Ratri kenali. Mbak Ratna.
“Ka… ananda kenapa, kok wajah ananda pucat begitu?” tanya Mbak Ratna cemas saat Ratri membuka pintu kamar, melihat raut adik semata wayangnya terlihat sangat pucat. Bukannya menjawab, Ratri malah meng hambur & memeluk erat Mbak Ratna. Sambil menangis sesenggukan & dgn bunyi terbata ia menceritakan kabar yg barusan dilihatnya di sebuah televisi swasta.
“Kamu yg hening & sabar. Sebaiknya kita cari tahu kebenaran kabar ini ke bandara,” Mbak Ratna mengelus pundak adiknya, mencoba menghibur & menularkan semangat.
Bersama Mbak Ratna, Ratri secepatnya menuju ke bandara menumpang taksi. Setiba di sana, telah banyak orang bergerombol, apalagi di pecahan resepsionis yg tengah menanyakan kebenaran keterangan mengenai kabar jatuhnya pesawat sebagaimana diberitakan televisi. Tatkala resepsionis membenarkan info tersebut, Ratri sungguh syok & hanya hitungan detik eksklusif pingsan di pelukan Mbak Ratna.
Tak hanya Ratri, sebagian orang yg kemungkinan kerabat, anak, atau orang tua para penumpang pesawat nahas itu pula mengalami hal serupa; syok & ada yg pribadi pingsan di daerah.
Ratri masih betah bangun di tepi jendela kamar. Menatap area persawahan yg hijau di luar sana. Hujan sudah turun sejak beberapa menit kemudian. Kenangan indahnya bersama Firman kembali menyinggahi benaknya. Masih berasa hangat di ingatan, dikala Firman tiba ke tempat tinggal untuk meminangnya. Ia pula masih ingat ketika Firman berjanji akan lebih banyak meluangkan waktu untuk keluarga saat telah berumah tangga nanti.
Semalam, ia berkhayal berjumpa dgn almarhum Firman. Entah mengapa, raut Firman tampaksangat pucat & pribadi menangis sesenggukan memohon-mohon maaf kepadanya. Tentu saja Ratri merasa sangat resah karena selama ini lelaki itu tak pernah berbuat kesalahan padanya.
“Mas, nggak perlu minta maaf seperti itu, lantaran Mas nggak pernah berbuat salah.”
Di luar praduga, Firman malah menubruk & bersimpuh di depan Ratri.
“Maafkan gue Ratri, maafkan gue sudah mengecewakanmu….”
Ratri lekas berjongkok, memegang kedua pundak Firman & memintanya supaya jangan bersikap berlebihan mirip itu. Namun, Firman tak memedulikan. Ia terus menangis & memohon maaf. Saat Ratri tengah kebingungan dgn sikap gila & tak biasa lelaki itu, ia tergeragap dr mimpi panjangnya yg terasa sungguh positif. Dan, tatkala ia teringat bahwa Firman sudah tiada, parasnya langsung bersimbah air mata.
Langkah Ratri mendadak terhenti saat tinggal beberapa langkah tiba di gundukan merah kawasan Firman dimakamkan. Dahinya mengerut disesaki tanda tanya melihat seorang perempuan berkerudung hitam bersama seorang bocah perempuan yg tengah duduk bersimpuh, sempurna di depan pusara Firman yg bertaburkan kembang tujuh rupa yg masih segar. Dari jarak sekian, hidung Ratri bahkan mampu membaui kembang-kembang akhir hayat beraroma khas itu. Ratri tak bisa menyaksikan bagaimana wajah wanita & bocah itu. Sebab, posisi dirinya berada beberapa meter di belakang mereka.
Tadinya, Ratri hendak melangkah menghampiri mereka, tetapi kakinya serasa menyatu dgn bumi ketika mendengar ucapan bocah perempuan yg rambutnya dikepang dua itu.
“Ma, apa benar sekarang Papa berada di nirwana?”
Bukannya menjawab pertanyaan putrinya, wanita itu justru merengkuh & menangis sesenggukan.
Ratri memalingkan wajahnya yg telah sarat oleh air mata. Dadanya terasa luar biasa sesak. Sungguh ia tak pernah menyangka jika selama ini laki-laki itu tega membohongi dirinya. Ya, Tuhan. Makara, sebelum pesawat itu jatuh, lelaki itu telah beristri & mempunyai anak? Seraya berkurang air mata yg terus mengalir, tergesa ia meninggalkan area pemakaman.
Setiap bencana alam yg menimpa kita, pasti terkandung nasihat di dalamnya. Terkadang, apa yg dianggap baik oleh insan, belum tentu baik di segi Tuhan. Begitu pula sebaliknya, apa yg berdasarkan insan tak baik, namun di mata Tuhan justru itu ialah hal yg terbaik untuknya.
Kalimat motivasi yg pernah diucapkan oleh rohaniwan yg mendampingi Ratri saat menjemput kehadiran jenazah Firman sementara waktu lalu, kembali berdesing di telinganya. Sungguh, ia baru mampu mencerna & memahami dgn baik kalimat bijak itu hari ini. Ia pula mulai bisa menafsirkan arti mimpinya kemarin malam. (*)