Boneka Kucing | Cerpen Ryan Rachman

Paino duduk sedikit jongkok di kendaraan beroda empat bak terbuka yg dipasangi kain terpal penutup bersama enam kawan. Mereka baru pulang dr proyek pembangunan gedung kantor di luar daerah. Sabtu malam ini jatah kawanan kuli bangunan yg masih satu desa itu pulang. Sebelumnya, selama enam hari, mereka tinggal di bangunan semipermanen di area proyek.

Malam ini, hujan turun cukup deras. Walau sudah ditutup terpal, tetap saja air masuk ke bak mobil. Pakaian mereka basah kuyup. Paino juga, meski sudah menggunakan jaket kulit, tetap saja lembap tembus ke kulit. Pria 32 tahun itu duduk dipojokan sambil memeluk tas berisi busana kotor. Di sela-sela pakaian, ada sebuah boneka kucing seukuran bayi gres lahir. Mungkin boneka itu basah juga, walaupun sudah dibungkus plastik.

Bapane, Imah belikan golek ya, yg bagus kayak punya Prapti & Herni,” kata anak semata wayangnya, pekan lalu, sebelum ia berangkat ke proyek.

Paino berjanji membelikan boneka yg bagus saat pulang. ia tidak mau anaknya cuma melihat sahabat-temannya asyik bermain boneka. Karena itu, setelah menerima honor setuan dari mandor, ia ambil selembar uang lima puluh ribu & berbelanja boneka toko kecil di seberang jalan depan proyek kantornya. Ia melihat-lihat dahulu & akhirnya menentukan boneka kucing duduk berwarna putih belang-belang hitam. Meskipun bulunya tak terlalu lembut & jahitannya tak rapi, Paino cukup puas. Dengan duit selembar itu, masih ada kembalian, ia bisa membelikan boneka untuk anak kesayangannya.

Hujan turun deras mirip tak habis-habis. Kilat menyambar membelah langit. Beberapa kali ledakan guntur memecah keheningan, seolah menghantam rongga dada yg sarat asap rokok. Hujan seperti ini mengingatkan Paino pada cerita guru agama waktu ia duduk di bangku SD perihal Nabi Nuh. Hujan yg sangat deras mengguyur & menjadi membuktikan daratan akan menjadi lautan. Waktu itu Paino membayangkan sebesar apa kapal yg dibentuk Nabi Nuh. Sebab, seluruh hewan bisa masuk ke dalamnya. Apakah sebesar lapangan bola di belakang balai desa atau mungkin sebesar kapal induk militer yg pernah ia lihat di majalah bekas di pengepul rongsok sebelah rumah?

  Nalea | Cerpen Sungging Raga

Namun, kenangan tentang kisah itu tak sekuat bayangan anak & istrinya di rumah yg sudah menunggu. Ada rasa khawatir tiba-tiba tiba dlm hatinya. Tidak tahu mengapa.

*****

Selepas lulus di Sekolah Menengah Pertama swasta di kota kecamatan, Paino tak melanjutkan Sekolah Menengan Atas. Ia menetapkan bekerja alasannya adalah Biyung sudah tak sanggup membiayai sekolah. Bapaknya sudah lama meninggal semenjak ia masih duduk di bangku SD karena terjatuh dr pohon kelapa ketika menyadap nira. Paino pun kerja serabutan alias kerja jika ada yg memerintah. Badan yg kekar, dgn kemampuan ototnya, ia sering diminta warga sekitar rumah untuk melakukan pekerjaan . Kadang menjadi kuli pengangkut pasir, kadang ngglondong, kadang membangun rumah. Namun yg paling sering diminta menjadi kuli bangunan untuk melaksanakan proyek di kabupaten atau luar kota. Bahkan tak jarang ia pergi ke luar kota untuk menjadi kuli proyek besar mirip membangun apartemen, perkantoran, hingga jalan tol.

Lama membujang, usia 23 tahun ia menikah dgn Darni, gadis hitam manis berperawakan mungil yg rumahnya sekitar seratus meter dr rumah Paino. Keduanya dulu satu kelas di SD. Namun dikala Paino sekolah Sekolah Menengah Pertama, tak lagi bersamanya alasannya adalah Darni tak melanjutkan sekolah. Gadis itu memilih menjadi buruh bulu mata artifisial di plasma di desanya.

Dua tahun menikah, anak pertama lahir. Paino memberi nama Fatimah, dgn harapan, kelak, menjadi gadis berhati mulia, elok luar-dalam mirip putri Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Nama itu bekerjsama bukan ia yg menunjukkan, melainkan atas saran Ustaz Ngalimin. Di rumah, Paino lazimmemanggilnya Imah. Saat ini gadis kecilnya baru masuk TK di dusun tetangga.

  Wagimin Tikus | Cerpen Gunawan Budi Susanto

Paino sangat mengasihi anaknya. Selain istrinya, Imah menjadi pelepas letih setelah nyaris seminggu melakukan pekerjaan berat di proyek. Melihat tingkah polah gadis berponi & pipi gembil itu, Paino senantiasa tertawa lepas & gemas. Dan segala letih pun lepas ke awan. Pernah suatu petang, Paino dipanggil-panggil anaknya untuk menemani bermain rias-merias. Imah menaburkan bedak rata di seluruh parasnya. Lalu memoles bibir merah merona dgn lipstik & mleber hingga ke pipi. Kontan, Darni mencak-mencak menyaksikan sang anak mengacak-acak perlengkapan dandannya. Paino hanya tertawa lebar menyaksikan anak & istrinya itu.

Paino sangat berharap, anaknya bisa berkembang besar menjadi perempuan saleh. Menjadi kebanggaan ketika ia tua nanti & selalu mendoakan ia & istrinya bila sudah berada di kuburan. Karena itu, saban sore, istrinya senantiasa mengantar Imah ngaji di kediaman Ustaz Ngalimin. Paino sadar betul, ia tak bisa mengajari anaknya mengaji dgn baik karena pengetahuannya perihal agama mung-mungan.

*****

Malam makin larut. Mobil coak yg Paino naiki bareng saudara senasib-seperjuangan sudah masuk ke wilayah perbatasan kecamatan. Dari mana mereka tahu? Bisa tertangkap basah saat kendaraan beroda empat berjalan bergoyang ke sana-kemari. Supir tak berani memacu dgn kecepatan tinggi. Selain hujan sungguh deras, jalanan gelap serta penuh watu alasannya adalah aspal sudah hancur sejak lama karena sering dilewati truk pengangkut pasir yg ditambang di bukit seberang.

Mobil berlangsung lebih pelan dgn gigi rendah sebab sudah masuk desa tempat Paino tinggal. Ya, rumah Paino memang berada di salah satu lereng bukit di desa ini bareng belasan rumah warga lain. Paling tujuh kilometer lagi hingga di permukiman. Namun karena keadaan jalan & cuaca ekstrem, perjalanan pun menjadi lama.

  Surat Menteri dan Mimpi Pengarang Tua | Cerpen Kolaborasi Pengarang

Sambil menggigil, Paino terus mendekap tas berisi boneka untuk anaknya. Ada rasa yg tak lazimberkecamuk di hatinya. Bayangan anak & istrinya selalu berputar di kepala dgn rambut yg basah tersiram hujan. ia ingin secepatnya cepat hingga di rumah.

Tiba-tiba, kurang-lebih dua kilometer menjelang permukiman, para penumpang mendengar suara gemuruh keras.

“Longsor! Longsor!” teriak mereka sambil menunjuk ke segi bukit yg longsor.

Beratus-ratus kubik tanah bercampur kerikil runtuh & mengubur mobil & semua yg naik. Paino tetap bersahabat mendekap boneka untuk anak gadisnya. Hujan kian deras.

Sementara itu, di rumah, Darni memeluk akrab Imah dlm selimut hangat. Hujan deras tak menciptakan mereka terjaga. Keduanya sungguh lelap. Imah bermimpi sang ayah pulang membawa boneka kucing untuknya. (*)

Kaki Gunung Slamet, Purbalingga

Catatan:

# Golek: boneka
# Setuan: pembayaran honor buruh bangunan saban hari sabtu
Biyung: ibu

# Ngglondong: buruh tebas & angkut kayu
# Mleber: melebar
# Mung-mungan: satu-satunya, cuma itu saja
# Coak: bak terbuka