Hampir 15 tahun Resman Waskiat menjadi pegawai negeri sipil. Sebentar lagi, ia akan diangkat menjadi kepala dinas. Kabar itu sudah mencuat ke mana-mana. Tetangga-tetangganya, yg bahkan selama ini tak tahu ia bertugas di mana, sudah pada mengucapkan selamat kepadanya & memberinya sapaan gres tatkala berjumpa .
“Pagi, Pak Kadis…,” sapa mereka beberapa hari terakhir setiap melihatnya memanaskan mesin kendaraan beroda empat.
Meski agak risih alasannya ia belum sungguh-sungguh resmi dilantik, nyatanya Resman membisu-membisu senang dgn panggilan itu & membalas sapaan mereka tanpa protes.
“Pagi,” sahutnya.
Selama bertugas sebagai pegawai negeri, Resman Waskiat banyak menghabiskan umurnya sebagai guru. Disamping itu, berkat pengalamannya selaku wartawan, ia dipercaya untuk memotret kesibukan-kesibukan pemerintah kota, khususnya yg dihadiri oleh wali kota atau kepala-kepala satuan kerja perangkat kawasan (SKPD). Bersamaan dgn itu, ia pula menulis rilis pers tentang kesibukan & kebijakan pemerintah kota & menyebarkannya pada wartawan. Atas peran ganda itu, jadwal mengajarnya pun diadaptasi dgn jadwal pemerintah kota yg harus ia dokumentasikan. Untuk tugas sampingan itu, ia menerima penghasilan pelengkap di luar gajinya. Yang pasti, selama masa itu, tak sekali pun ia masuk koran. Namun, sekarang, walau masih sekadar desas-desus akan diangkat menjadi kepala dinas, namanya bolak-balik tercatut dlm koran.
Dulu, tatkala masih seorang wartawan, Resman paling gemar menyiarkan kenakalan pejabat-pejabat di kota itu. Berita-isu yg ia tulis senantiasa bikin gempar. Suatu sewaktu, ia memergoki sekretaris daerah keluar dr kamar hotel bersama seorang wanita muda. Tak goyah ia disuap dgn sepeda motor gres, kabar itu pun terbit, Pejabat yg bersangkutan pun mundur dr jabatannya.
Meski demikian, banyak pula pejabat yg tetap tak tergoyahkan dr posisinya meski sudah berkali-kali keburukannya diberitakan. Mereka adalah orang-orang yg berkala sungkem pada wali kota. Bagi banyak orang, mereka yg tak tergoyahkan itu yakni orang yg dermawan. Mereka selalu menciptakan orang-orang gembira begitu keluar dr ruangan mereka. Bukan satu-dua orang pula yg sudah menjadi sejahtera mereka buat. Beberapa rekan Resman, termasuk koresponden media nasional yg senantiasa tampil necis dgn baju seragam kebanggaannya, tak tanggung-tanggung harta bendanya. Mereka punya ponsel canggih, kamera mahal, mobil, bahkan rumah. Beberapa di antara mereka pula bisa berangkat ke Makkah. Semua itu berkat sangu dan proyek yg mereka terima dengan-cara rutin dr pejabat-pejabat itu.
Resman memang tak sempat usang menjadi wartawan. Cuma lima tahun. Pekerjaan itu dijalaninya sambil kuliah, ketika ia sedang idealis-idealisnya. Alasan utama ia berhenti karena ingin menjadi kongkret. Upahnya sebagai wartawan waktu itu memang sangat pas-pasan, walaupun jikalau dibanding sahabat-temannya masih lebih tinggi. Namun, dr segi pendapatan, Resman justru paling miskin di antara kawan-kawannya. Sementara mereka makmur dgn duit amplop, Resman hidup prihatin sebab hanya mengandalkan honor.
Sekarang, Resman hidup sejahtera. Ia punya istri & dua anak yg sehat & gemuk. Mobilnya dua. Yang satu dipakainya untuk ke kantor, yg satu lagi untuk jalan-jalan. Rumahnya pula dua; satu ditempatinya bareng keluarganya, satu lagi dibelinya diam-membisu atas nama perempuan simpanannya.
Karier Resman di birokrasi memang bisa dibilang melaju kencang. Sembilan tahun menjadi guru merangkap juru liput kesibukan pemerintah kota, ia lantas ditunjuk menjadi kepala sekolah suatu SMP negeri di kota itu. Pernah suatu waktu, sekolahnya ramai didatangi wartawan alasannya penerimaan siswanya melampaui kuota rombongan berguru yg sudah ditentukan. Koran-koran menciptakan ungkapan “siswa siluman” untuk menyebut siswa yg diterima melalui jalur ilegal itu. Resman dgn bakir memberikan dalih pada wali kota bahwa itu terpaksa dilakukannya karena masyarakat mendesak memasukkan anak-anak mereka ke sekolah itu. Meski informasi itu menyebar ke mana-mana, Resman tetap kondusif di posisinya tanpa perlu sibuk-sibuk memberi amplop pada wartawan.
Baru empat tahun merasakan enaknya bangku kepala sekolah, Resman didudukkan di tempat yg lebih lezat lagi, yakni kepala bidang pendidikan dasar. Resman diangkat alasannya dianggap pintar, cepat tanggap, dan—sebagaimana sudah menjadi rahasia umum di lingkungan kantornya—akrab dgn wali kota. Di posisi inilah ia betul-betul menguras tenaga untuk menumpuk kekayaan. Semua kepala Sekolah Dasar & Sekolah Menengah Pertama diwajibkannya menyerahkan setoran dengan-cara rutin. Ada setoran bulanan yg ia sebut sebagai uang pulsa, ada setoran semesteran yg disebut uang liburan, & ada pula setoran tahunan yg bernama uang tanda terima kasih. Di luar itu, masih ada setoran jabatan yg bisa ia kutip sesukanya. Ia tahu kepala-kepala sekolah itu tak akan merugi alasannya mereka pula mengutip dr siswa-siswa mereka.
Lima tahun menjadi kepala bidang, kini hari-hari Resman diriuhkan dgn kabar bahwa ia akan diangkat menjadi kepala dinas, menyusul mandeknya setoran kadis yg usang pada wali kota. Entah dr mana mulanya kabar itu bisa bocor. Resman sendiri belum pernah membeberkan pada siapa saja semenjak surat penunjukan itu ia terima.
Sementara hari-hari pengangkatannya makin dekat, yg Resman rasakan justru pusing yg terus kambuh beberapa hari belakangan. Sebentar pusing itu hilang, sebentar kemudian timbul lagi, seperti gelombang air maritim yg menepi ke pantai.
Merintih menahan sakit kepalanya, Resman teringat percakapan dgn kawannya dikala masih bertugas meliput. Sore itu hujan deras. Resman & kawannya berteduh di pinggir jalan, di bawah atap warung pangkas Madura yg sudah tutup. Sementara itu, isu yg sudah terkumpul belum selesai mereka tulis.
“Yang melekat pada pejabat itu dua: kebodohan dan dosa,” kata kawannya.
“Menurutmu, mana yg lebih dulu: kebodohan atau dosa?”
“Kebodohan dahulu. Karena kebodohan makanya ia berbuat dosa untuk menutupinya,” begitu berdasarkan kawannya.
“Terbalik kau! Berbuat dosa dulu, baru jadi ndeso. Karena berdosa makanya pejabat itu jadi bodoh. Semakin berdosa, akan makin kurang pandai ia,” bantah Resman.
“Kau yg terbalik! Kalau ia tak udik, tentu ia tak akan berbuat dosa. ia tak akan melakukan hal-hal yg mengarah ke dosa, menghasilkan dosa, bahkan menjamah dosa.”
“Jadi, kamu percaya kalau pejabat yg berbuat dosa itu udik? Kau percaya bahwa mereka berbuat dosa alasannya adalah kebodohannya?”
“Ya, bukankah itu interpretasi kebodohan yg bekerjsama? Bahwa kurang pandai akan menciptakan perbuatan yg salah, sedangkan pandai akan menghasilkan perbuatan yg benar?”
Resman tertawa mengejek, tak ingin kalah berdebat. “Justru,” katanya, “sebab mereka tak kurang pandai, dgn kata lain, alasannya adalah mereka pandai makanya mereka mampu berbuat dosa. Kau tahu, untuk berbuat dosa itu butuh kepintaran, bukan kebodohan. Orang kolot tak akan bisa berbuat dosa.”
Lamunan Resman buyar ketika teleponnya berdering.
“Sudah diputuskan tawaran saya?” tanya seseorang dr ujung telepon.
“Sudah, Pak. Tapi, uang saya belum cukup. Sekolah-sekolah belum pada nyetor. Alasan mereka dana BOS sudah tipis karena dipakai untuk keperluan buku-buku siswa.”
“Suruh mereka batalkan pesanan buku itu. Kau ini gimana, kok udik amat! Tak bisa kamu jadi kadis kalau begini! Cari duit 500 juta saja sebulan tak dapat-mampu!”
“Siap, Pak. Saya upayakan.”
“Cepat! Waktumu sampai besok. Banyak yg ngantre posisi itu! Mereka semua sudah siapkan uangnya. Aku pilih kamu karena gue kasihan lihat kamu. Kau bilang kau pengin jadi kadis makanya gue tawari kamu. Kalau kamu tak sanggup, terpaksa nanti kukasih sama orang.”
“Siap, Pak.”
Resman gundah. Semakin hari ia menjadi kian udik. Semakin ia memerlukan duit, semakin ia jauh dr pandai. Pada saat-ketika seperti ini ia harusnya lebih pintar, bahkan harus sangat pintar, bukan jadi ndeso mirip yg pernah dikatakan kawannya itu.
Ia memutar otak. Lantas muncul ide di kepalanya. Beberapa kepala sekolah akan berakhir masa jabatannya. Ini peluang emas, pikirnya. Mereka bisa ia kutipi Rp 20 juta per orang kalau ingin tetap bertahan sebagai kepala sekolah. Bukannya ia tak tahu bahwa yg berhak mengutip duit itu bukan ia melainkan wali kota. Tapi, sesudah ia pikirkan, itu masalah belakangan. Kepala-kepala sekolah itu akan menduga bahwa wali kota memerintahkan ia untuk mengutip.
Ada 12 kepala sekolah yg akan berakhir masa jabatannya bulan depan. Dari situ ia akan mendapat Rp 240 juta. Uang itu cukup selaku syarat yg diminta wali kota bila digabung dgn Rp 300 juta yg ia kumpulkan selama sepuluh tahun terakhir. Sebagian kecil akan ia siapkan untuk membungkam wartawan & orang-orang LSM, yg sehari-hari bertandang ke kantornya, menanduknya dgn koran yg diselipkan di kantong belakang celana.
Tak seperti umumnya, mereka menolak diberi Rp 500 ribu. Padahal, umumnya disalami Rp 50 ribu saja pun mereka sudah bahagia. Mereka ada yg meminta Rp 5 juta, ada yg meminta Rp 10 juta. Rata-rata meminta diatas Rp1 juta. Demi kabar soal upeti Rp 20 juta per kepala sekolah itu tak bocor ke publik, Resman menyanggupi usul mereka. Alhasil, uang Rp 240 juta yg sudah ia kumpulkan tinggal tersisa separuhnya.
Para penanduknya bubar. Tinggal Resman seorang di kantornya, sendiri meratapi dirinya, & mengajukan pertanyaan dlm hati. Aku ini kurang pandai atau pandai?
Keesokan harinya, Resman baru sadar, kawannya tak ada diantara wartawan yg ia suap kemarin. Pada halaman depan koran tempat kawannya bekerja yg tengah ia pegang, tertulis namanya dlm judul ‘Ingin Kaprikornus Kadis, Resman Pungut Rp 20 juta per Kepsek’. (*)