Tragedi Asap | Cerpen Gigih Suroso

Aku Siti Hajar & ketiga anakku berlangsung cepat menuju jalan raya, mereka menunggu jemputan bus dr Tuan Hadi, pemilik kebun sawit paling besar di Kabupaten Bumi Bertuah. Semua masyarakat di sana pasti kenal dgn Tuan Hadi, ia masih muda, pendatang, bukan asli Melayu, tapi kebun sawitnya sangat luas. Banyak penduduk yg dahulu memasarkan lahan kepadanya, karena menanam sawit itu harus punya modal besar.

Lima bus sudah penuh melalui di depanku, mudah-mudahan masih ada satu. Dan alhamdulillah 5 menit lalu suatu bus glamor berdiri di depanku, disana Ani janda anak dua itu sudah bergantung di pintu bus.

“Cepatlah kamu naik, sudah gue sediakan satu dingklik untukmu” ajak Ani sambil mengangkut anak anakku naik ke bus. Sedangkan Aku & Ani berdiri, kami memandang luas lahan di tempat Bui Bertuah ini, dulu semak belukar, hutan lebat yg dihuni banyak binatang. Sekarang sudah bersih, dihuni tumbuhan sawit yg masih kecil

Bus terus melaju, butuh waktu 1 jam untuk hingga ke Rumah Gedong Tuan Hadi. Sepanjang perjalanan ujung jilbabku terus berkibar, sesekali naik keatas & mesti ku tahan supaya tak lepas.

“Masih ingat kamu Ti, kita pernah disuruh Pak Guru mencari madu disini” kata Ani memecah tenang, suaranya berhasil memecah ricuhnya angin.

“Masih, disana dulu masih hutan lebat, untungnya ada Indra, ia mem­bawa parang abbat untuk menebas semak belukar.” Aku bicara di dekat telinganya.

Hidup di sini tidaklah buruk, semua keperluan masyarakat miskin seperti kami banyak dibayai orang-orang kaya seperti Tuan, disini pula banyak bule, kami memanggil Sir. Ada Sir Jhon, Sir Hendric, Sir Josep & banyak lagi. Mereka pemilik kebun karet & sawit di kawasan Bumi Bertuah. Semua perkebunan kelapa sawit & karet disini ialah bekas hutan lebat, seluruhnya sudah pernah kumasuki bareng abah & keempat kakak pria ku. Hanya ada satu hutan, hingga kini masih tetap hutan. Sangat luas sekali, disana ada banyak macan, orang hutan, beruang & hewan-binatang lain yg tak mengusik. Kata Abah & orang-orang dahulu itu hutan terlarang, tak boleh ditebang satu pohon pun.

  Nelayan Pensiun | Cerpen M. Amin Mustika Muda

“Ti, Aku dengar ada yg mau membersihkan hutan terlarang itu” Jari telunjuk Ani mengarah ke Hutan nan hijau, diatasnya banyak burung-burung melayang.

Ahh, kata siapa, mana boleh hutan itu dibersihkan, biarkanlah saja ia tetap hijau, lagian itu hutan terlarang.” Aku tak ingin percaya, mes­ki Abah & orang orang dahulu sudah tak ada, tetap saja hutan itu tak boleh ditebang.

*****

Luas sekali rumah Tuan Hadi ini, rupanya didalamnya sudah banyak penduduk yg tiba, ada beberapa macam hiburan, bermacam-macam makanan khas melayu, yg lebih penting momen bagi amplop. Lumayan isinya 200 ribu, cukup buat makan seminggu. Aku lihat disana pula berkumpul para Sir & toke-toke sawit yang lain. Banyak pula orang-orang berambut pirang, mirip mereka dr luar negeri.

Aku & Ani pribadi mengisi tas kami dgn buah-buahan & makanan. Sedangkan belum dewasa kami sibuk melahap ice cream. Hanya momen seperti ini mereka bisa makan lezat sepuasnya, sama dgn yg lain pula begitu. Kami ini cuman buruh brondolan, & tukang tebang, gaji tak seberapa.

“Coba saja dahulu Abah tak menjual lahannya ke Tuan Hadi, mungkin nasibku lebih baik lagi” ujarku pada Ani

“Haha, bangunlah dr mimpi Siti” Ani tertawa puas.

Acara pun dibuka, Tuan Hadi & keluarganya berdiri di atas panggung dgn wajah ceria. Mereka bercerita bahwa panen sawit kali ini sungguh sukses, untuk itu mereka akan menunjukkan uang 500 ribu untuk semua yg tiba. Sudah niscaya kami senang. Itu gaji kami sebulan sebagai buruh di perkebunan kelapa sawit milik mereka.

“Saya akan pamit, sebulan ini ada masalah ke mancanegara” Ucap Tuan Hadi dipenghujung sambutannya.

  Sogok | Cerpen Yuditeha

Biasa saja menurutku, orang sekaya Tuan Hadi pasti sungguh mudah jalan jalan ke mancanegara. Selesai acara, kami semua diantar pulang, semua wajah tampakcerah. Semua kami pulang ke tempat tinggal dgn kenyang, menjinjing banyak makan & uang. Aku berhasil menjinjing duit 2 juta.

Besok gue mau bolos kerja, begitu juga Ani. Kami akan pergi ke kota, ingin menyaksikan mall & belanja baju. Tidak apa diiris gaji sekali saja, uang 2 juta ini cukup menutupinya. Anak anak kusuruh tidur cepat, biar besok pagi tak kesiangan. Sambil berbaring di samping mereka, gue jadi teringat kata Ani soal hutan larangan yg mau dijadikan lahan. Semoga saja tidak, gue tak mem­bayangkan apa akhirnya nanti, mampu jadi penghuninya murka.

*****

Tiba-tiba mataku terasa sepat, gue dengar sudah azan subuh, namun kenapa gue tak mampu melihat apa-apa, seluruhnya jadi putih, dadaku sukar bernafas. Aku meraba-raba ranjang, tak gue dapatkan ketiga anakku. Kemana mereka. Aku beranikan untuk bernafas.

“Ini asap” Aku teriak & mulai kebingungan, diluar sana para tetangga pula sudah kebingungan diaduk isak tangis. Ada kobaran api dr hutan larangan. Aku belum pula mendapatkan anak-anakku. Sambil terus meraba-raba seperti orang buta. Tiba-tiba kakiku tersandung benda besar.

“Uhuk uhuk” ada suara orang batuk disana, namun kemudian hening. Aku mulai meraba-raba lagi, tak jauh dr tempat ku duduk, disana terbaring tiga orang dgn kondisi tak bernafas, tubuh mereka sudah kaku. Aku terus berharap gampang-mudahan bukan anak-anakku. Tapi itu tak mungkin, di rumah ini cuman tinggal kami berempat.

Aku semakin kebingungan mau kemana, tak mampu melihat apa apa, nafasku pula sudah sangat sesak karena asap asap ini. Terus kututup hidup & lisan sebisanya, sambil terus berlangsung mencari pintu & keluar mencari pemberian.

  Pencuri Kopi | Arianto Adipurwanto

Sudah 15 menit gue berjalan, sesekali wajahku memandang benda besar atau bahkan insan. Mereka semua sama sepertiku terjebak asap. Siapa yg berani aben hutan terlarang, masuk saja tak boleh. Sambil terus mencari jalan, gue menuju hiruk pikuk, disana sudah ada relawan dgn menjinjing masker & tandu.

Hatiku terus mengutuk, semua orang yg mengkremasi hutan terlarang itu, ia harus mencicipi pedihnya asap seperti kami, perihnya kehilangan orang tersayang mirip kami. Pandanganku gelap, tubuhku lemas & desahan nafasku hilang.

****

50 orang menjadi korban, semu­anya bawah umur kecil, termasuk ketiga anakku & anak Ani. Aku hanya mampu berbaring. Alat bantu nafas terpasang di wajahku, tubuhku masih lemas. secara perlahan-lahan gue melirikkan mataku, tenyata ada ada Ani disana sedang melihat berita.

Tuan Hadi & keluarga masuk TV, apakah mereka pula terserang asap. Setelah gue dengar dgn seksama, ternyata Tuan Hadi & keluarga mengalami kecelakaan. Hotel yg mereka tinggali saat piknik terbakar. Semua jasad dite­mukan di dalam, mereka terkurung api.

“Tuhan tak tidur, beraninya mereka memperabukan hutan terlarang, “ujar Ani, campur aduk rasanya, entah duka lantaran kehilangan anaknya atau bahagia lantaran pelaku pembakaran hutan terlarang sudah diambil Tuhan. (*)