Sudah berkali-kali Harun mendapat omelan dr Imla, istrinya, untuk berhenti jadi pembuat & penjual kerikil nisan. Istrinya tak berpengaruh menyaksikan kenyataan yg ada; rumahnya selalu sesak dgn aneka watu nisan beragam corak & ukuran yg siap dijual. Ia merasa seakan-akan tubuhnya tinggal dgn jenazah-mayit. Sedangkan di dapur, senantiasa bising oleh suara mesin pengukir keramik dr ruang sebelah tempat Harun menamai kerikil nisan itu.
Belum lagi ditambah cerita-cerita horor dr pemesan yg kadang tersampaikan dengan-cara tak sengaja tatkala mereka menyinggung perihal si mayat yg hendak diberi kerikil nisan itu.
Jika ada pemesan yg menceritakan si mayit, Imla kerap teringat mendiang ibunya yg meninggal karena tekanan batin dikala usia Imla masih 4 tahun. Penyakit tekanan batin itu menyerang ibunya setelah ayahnya pergi bersama perempuan lain yg kabarnya bernama Sumiati saat Imla masih berumur tiga bulan. Sejak dikala itu ayahnya tak pernah pulang hingga membuat ibunya didera penyakit tekanan batin nyaris 4 tahun & risikonya meninggal. Sampai kini Imla tak pernah tahu sosok ayahnya kecuali tahu pada namanya saja: Soetanto.
Selain itu, tak jarang Imla mengalami mimpi jelek yg nyaris terjadi setiap malam, membuat dirinya bangun dlm keadaan gemetar cemas dgn tubuh dibanjur peluh, serta jantung yg berdetak kencang. Ia sering berkhayal ada banyak jenazah yg datang bertamu ke rumahnya dgn pakaian sobek penuh bercak darah, parasnya pucat pasi. Kedua matanya merah menyala dijuntai helai-helai rambut panjang kusut yg sungguh amis. Kuku tangan & kakinya sungguh panjang & berdaki. Mayat-mayit itu datang sebagai demonstran yg menuntut biar batu nisannya dibuka karena mereka lebih tenteram berumah tanah tanpa nisan mirip yg diusulkan agama.
“Ayolah, Mas.Sebaiknya kita cari pekerjaan lain. Kita hentikan usaha ini meski keuntungannya sangat prospektif . Aku tak kerasan hidup berdampingan dgn batu nisan,” ucap Imla untuk kesekian kalinya pada Harun. Tapi lagi-lagi—sebagaimana biasa—Harun tak menyahut & hatinya tak tergerak untuk menghentikan perjuangan yg sudah ia geluti sejak dr orang tuanya.
“Atau paling tidak, Mas Harun membangun tempat khusus yg jauh dr rumah ini,” tambahnya dgn bunyi dlm & raut khawatir.
“Almarhum bapak berwasiat padaku biar usaha batu nisan ini tetap dilaksanakan di sini. Katanya, rumah inilah yg berjodoh dgn usaha watu nisan hingga mampu menciptakan kerikil nisan kita laris,” sambung Harun sambil melirik wajah istrinya dgn tatap yg dingin.
“Tapi, Mas! Meski laris, selalu menghadirkan mimpi jelek & senantiasa membuatku tak nyaman,” lanjut istrinya.
Harun terdiam, mengalihkan pandangannya ke tumpukan kerikil nisan yg berjajar rapat di depannya. Ia tak bisa menafikan pernyataan istrinya, lantaran membisu-membisu ia bahwasanya selalu mengalami mimpi buruk itu setiap malam, hanya saja merahasiakan pada Imla demi bisnisnya itu kondusif.
Harun sering mematikan mesin pengukir watu dengan-cara tiba-tiba & selanjutnya terkesima mematung membisu dgn tatap kosong di balik pikirannya yg berkecamuk. Ia berada dlm suasana tak karuan. Selain lantaran Imla senantiasa minta usaha watu nisannya tidak boleh, dua hari lalu ia kedatangan laki-laki renta yg memesan nisan unik dr tatahan watu alam berpoles cat emas paling kemilau dgn dua ujung batu kijing berbentuk bunga padma. Pesanan watu nisan lelaki tua itu sangat susah pembuatannya, tetapi harga yg ditawarkan laki-laki bau tanah iiu sangat menggiurkan, dua puluh juta.
“Aku ingin kau cuma menciptakan nisan glamor itu satu-satunya untukku, Nak. Setelah pesananku jadi, jangan menciptakan nisan semewah itu lagi biar nisan pesananku itu tak tertandingi. Itulah sebabnya gue ingin berbelanja nisan itu dgn harga yg sangatlah mahal asal kamu berjanji untuk tak menciptakan nisan yg sama, apalagi lebih glamor dr nisan pesananku,” pinta lelaki bau tanah itu di sela-sela suara sesak napasnya yg menciptakan dadanya kembang-kempis.
“Nisan berkait erat dgn akhir hayat. Apalah arti kemewahan bagi maut, Kek?” tanya Harun dikala itu.
“Bagiku, ajal itu ialah saat-saat paling sakral karena belahan akhir dr serangkaian dongeng hidup. Maka dr itu, maut bagiku haruslah diperlakukan dgn sangat mewah, utamanya untuk orang yg paling kucintai,” ungkap laki-laki renta itu dgn kedua mata berbinar.Wajahnya yg keriput terlihat sedikit cerah ketika ia mengenang orang yg ia cintai dgn tatap yg sedikit mendongak.
“Berarti watu nisan ini akan dipakai untuk orang tercintamu, ya, Kek?”
“Ya. Untuk istriku.”
“Wah! Sungguh kakek suami yg baik hati.”
Harun & lelaki tua itu tertawa bareng di antara banjar puluhan nisan.
“Asal ananda tahu, Nak. Nisan ini persembahan istimewaku yg kedua kalinya untuk istri. Persembahan pertama kuberikan di hari kematiannya. Kala itu, gue menyembelih 6 ekor sapi,” mata lelaki renta itu melirik Harun. Dingin & hening.
Lelaki renta itu terus membahas pengorbanannya untuk mendiang istrinya hingga memakan waklu lebih dr sejam, & ia pulang sehabis bibir tuanya yg hitam sudah banyak bercerita perihal pengorbanan yg ia kerjakan untuk isirinya. Sebelum pulang, ia kembali mengingatkan Harun untuk menciptakan watu nisan paling istimewa dr tatahan watu alam bercat paling kemilau yg dua kijingnya berupa bunga padma. Itulah yg membuai Harun kadang keras berpikir; nisan yg sangat susah tetapi sangatlah mahal.
Seperti biasa, selepas subuh Harun mengawali kerjanya mencetak atau mengukir watu nisan di ruang sebelah dapur. Dari ruang itu, kadang terdengar bunyi pengukir mesin. Kadang terdengar suara adukan pengolah semen atau kadang ada suara kerikil beradu. Suara itu bergantung pada apa yg Harun kerjakan. Suara-suara yg ada semenjak dr orang tuanya & menjadi irama khas keluarga Harun dlm mengais rezeki.
Sebelum fajar tepat rekah menyisakan garis tipis menelentang di ufuk timur, Imla secepatnya mendatangi Harun di ruangan itu. Ia tak mampu menutupi ketakutannya; tubuhnya gemetar & bola matanya selalu awas pada sekitar.
“Tolong, Mas. Jika Mas Harun mencintai saya, hentikan perjuangan ini. Beralihlah pada perjuangan lain. Semalam gue kembali bermimpi bertemu mayit yg berdiri dr kerikil nisan yg Mas Harun buat. Ia mengancamku,” suara Imla agak gemetar.
Baca pula Ada yg Menangis Sepanjang Hari…
“Izinkan gue membuat nisan yg terakhir ini, lantaran harganya sangat tidak murah, 20 juta,” ucap Harun seraya menunjuk batu nisan yg sepasang ujung kijingnya berupa bunga padma.
Imla memandang watu nisan itu mulai dr penggalan dasar, tengah, hingga kepingan atas. Ia pula menatap sekeliling pelipir yg mirip tambang melingkar dgn gradasi warna emas bercampur silver. Sepintas ada keindahan menatap batu nisan unik dr kerikil alam itu meski di hatinya kemudian menyanggah bahwa di balik keindahan batu nisan tetap ada keangkeran. Sejenak Imla merinding sebelum kedua matanya pindah memperhatikan sepasang kerikil kijing berbentuk bunga padma, lalu ia merasa abnormal dgn bentuk batu kijing itu. Dari batu kijing, tatapannya pindah pada keramik hitam yg sedang diukir Harun. Harun sedang mengukir tanggal akhir hayat almarhumah yg bersangkutan, tepat di bawah nama Sumiati.
Imla terkejut melihat nama Sumiati. Tiba-tiba jantungnya berdebar lebih kencang & tubuhnya agak gemetar. Ia teringat pada nama perempuan yg dahulu mengambil ayahnya dr ibunya hingga ibunya mesti menanggung tekanan batin yg mengantarkannya pada kematian. Spontan tangan kanan Imla menjamah bahu Harun hingga Harun berhenti mengukir & suasana beralih senyap.
“Siapa yg memesan batu nisan itu, Mas?” tanya Imla, matanya masih lekat menatap sebaris nama pada keramik hitam yg dipegang Harun.
“Aku tak tahu, yg jelas pemesannya lelaki bau tanah & menyuruhku memberi nama Kambul di notanya. Tapi gue tak percaya ia bernama Kambul.”
“Kalau tak percaya, kenapa mesti ditulis Kambul, itu kan berbahaya bila nanti tak datang atau tak membayar.”
“Dia sudah mengeluarkan uang uang muka separuh harga.”
“Sungguh lelaki tua agak gila, memesan watu nisan semahal itu.”
“Katanya akan dipersembahkan untuk mendiang istri tercintanya.”
Jantung Imla bagai terantuk paku mendengar jawaban itu. Ia kian teringat dgn nama perempuan yg dahulu merebut ayahnya.
“Kabari gue bila lelaki itu tiba lagi ke sini, Mas!”
Harun mengangguk kemudian menyalakan kembali mesin pengukir yg suaranya semakin menciptakan Imla bagai hidup di ruang penyiksaan; dlm impit batu-watu nisan, dlm cekik bunyi pengukir.
Keesokan harinya, lelaki bau tanah itu tiba kembali sesuai hari selesainya kerikil nisan pesanannya sebagaimana yg dijanjikan Harun. Secara kebetulan Imla menguping pembicaraan lelaki itu dgn Harun dr dapur, sehingga ia tak buang peluang untuk naik ke atas kursi & mengintip dr lubang ventilasi; laki-laki itu duduk di dingklik, sebatang tongkat bersandar di sampingnya. Dadanya kembang-kempis dgn napas yg berat. Tatapannya selalu terpaku pada nama istrinya di datar keramik, membuat matanya berkaca-beling seperti hendak menangis. Melihat pakaiannya yg lusuh, Imla sudah mampu menyimpulkan bahwa laki-laki renta itu niscaya amis. Imla tak ingin tau lagi siapa lelaki itu. Ia kemudian turun dr bangku sambil terlintas di pikirannya bahwa, sesudah nisan itu dibayar, Harun akan berhenti membuat nisan & rumahnya akan bersih & nyaman layaknya rumah tetangganya.
Hari-hari selanjutnya Harun dgn terpaksa menghentikan pekerjaannya sebagai perajin watu nisan. Batu-watu nisan yg tersedia di rumahnya dijual ke rekannya yg pula berdagang batu nisan dgn harga yg sungguh murah.
Rumah Harun jadi higienis hanya dlm waktu sepekan. Imla pun bahagia. Tapi mimpi buruk tetap saja menghantui tidur mereka. Baik Imla atau Harun kerap bangun dadakan dgn dada berdebar, kulit merinding, & keringat mengucur lantaran ketakutan oleh mimpi jelek yg senantiasa mereka alami.
Beragam mimpi buruk itu senantiasa tiba, bukan hanya setiap malam, tetapi setiap kali mereka tidur meski di siang hari sekalipun. Hingga suatu hari tatkala Harun & Imla membincangkan hal itu di ruang keluarga. Kebetulan TV yg sedang menyala di depannya menayangkan gosip perihal laki-laki renta yg mati di erat kuburan istrinya atas nama kesetiaan. Harun & Imla terkejut tatkala melihat kerikil nisan dlm berita itu sama persis dgn yg dipesan lelaki renta itu beberapa waktu kemudian.
“Itu kan nisan buatanku,” Harun tercengang.
“Ya betul, Mas. Sedang laki-laki bau tanah itu ialah pemesannya. Coba lihat pakaiannya, sama kan?”
Harun mengangguk seraya memperbesar volume suara TV lewat remot, kedua matanya kagum terpaku pada siaran info itu. Begitu pula dgn Imla, & puncak keterkejutan Imla terjadi ketika pewarta menyebut nama lelaki tua itu; Soetanto, sedang istrinya bernama Sumiati.
“Aku percaya laki-laki tua itu ayahku, Mas,” ucap Imla tiba-tiba. Membuat Harun kian terkejut.
“Ha? Kaprikornus ia ayahmu?”
“Iya, gue tahu dr nama ia & nama istrinya. Dialah ayahku yg semenjak dahulu meninggalkan gue & ibu atas nama cintanya pada wanita yg berjulukan Sumiati. Mungkin teka-teki mimpi buruk itu baru terungkap sekarang, Mas.”
Harun cuma menganga. Dahinya berkerut. Ia semakin larut dlm kebingungan.
“Bagaimanapun ia adalah ayahku. Tolong buatkan kerikil nisan untuk ayah, Mas. Buatkan kerikil nisan warna hitam tak usah dikasih kerikil kijing. Barangkali itu menjadi batu nisan terakhir buatanmu yg bisa menghalau mimpi jelek kita dr rumah ini,” ungkap Imla dgn suara tegas.
Sedang Harun masih termenung. Tak mengangguk, tapi pula tak menggeleng. (*)