Ikan untuk Bapak | Cerpen WS Djambak

Hari ini kepala bapak pusing sekali.

Betapa tidak, sepulang sekolah, anaknya yg bungsu menangis meraung-raung. Katanya, sebelum melunasi tunggakan SPP ia tak diperkenankan untuk mengikuti cobaan semester. Jumlahnya bukan sedikit. Biaya SPP anaknya per bulan sebesar Rp 75.000, & sudah menunggak sejak awak semester.

Bapak sudah menjajal menemui taukenya yg biasa. Namun, sebelum utang yg sebelumnya—berikut bunga—dilunasi, Bapak tak bisa meminjam barang sepeser pun. Hendak meminjam pada Wak Ris pun ia sudah aib, alasannya utang beras bulan lalu belum dibayarkan.

Sudah dua ahad ini Bapak tak mampu melaut, sedang animo timur, gelombang mengempas begitu besar lengan berkuasa. Kemarin malam saja, Risman, tetangganya, nyaris tenggelam. Perahunya dilempar ke udara & kemudian terbalik tatkala hendak menepi. Pun kalau Bapak tetap memaksakan diri melaut, duit untuk pembeli solar pula ia tidak punya. Jikalau pun ada, tentulah lebih didahulukannya membayar uang sekolah si bungsu.

Lama Bapak duduk termenung diatas tunggul kelapa di tepi pantai. Diamatinya maritim yg sudah serupa ibunya sendiri. Sudah menghitam & membawa minyak bareng riaknya ke pinggir pantai yg sudah menjadi tubir. Dulu, sekali melaut Bapak bisa beroleh duit jutaan rupiah. Sekarang melaut selama sepekan pun, kotak es yg digunakannya untuk menyimpan hasil tangkapan, tak terisi penuh.

*****

Malam… selepas salat Isya, Bapak pamit mau melaut—kendati cuaca kurang cantik—sembari menyalami satu demi satu anaknya. Pada si bungsu, ia berjanji bahwa esok akan membawa ikan yg banyak untuk dijual di pasar, sehingga menciptakan uang yg banyak. Si bungsu semringah mendengar komitmen Bapak. Sambil mencium punggung tangan bapaknya, ia berujar, “Hati-hati, ya, Pak,” yg dibalas Bapak dgn senyum getir. Terakhir, ia mencium kening istrinya yg sedari tadi sibuk merajut jaring dr benang nilon. Istrinya yg tak biasa dicium sontak terkejut , meski tak diperlihatkan betul. Lalu, Bapak beranjak menuju pantai yg cuma berjarak satu lemparan kerikil dr halaman rumahnya.

Bapak sengaja melaut pada malam hari agar tak membutuhkan perjuangan yg begitu besar mengayuh dayung. Seperti pada umumnya nelayan tradisional yang—belum mengenal mesin—memanfaatkan angin darat yg bertiup ke laut pada malam hari, menyapu gelombang & menghanyutkan perahu sampai jarak yg dituju. Barangkali itu jua argumentasi kenapa Lancang Kuning berlayar malam, seperti lirik lagu pada siaran radio yg sering didengar Bapak.

  Cinta Laki-laki Biasa | Cerpen Asma Nadia

Sesekali Bapak mengayuh jua—mengarahkan kemudi semoga tak melenceng terbawa arus. Ia teringat masa-masa dulu belum punya mesin diesel, bahari ditujunya dgn setangkai dayung yg diayun sepasang tangan, seolah menyibak riak gelombang.

Dari jarak tiga mil dr darat, sehabis melempar sauh, Bapak membentang jaring dgn cekatan. Tangannya sibuk mengulur gulungan jaring dgn busa stirofoam bekas sebagai pelampungnya. Jaring itu dihamparkan di bahari serupa net pada lapangan voli yg dibentang sejauh berapa ratus depa.

Disekelilingnya tak dijumpai satu pun kapal yg tengah menjaring. Hanya saja, dr jarak jauh sana terlihat lampu suar berkedap-kedip. Dulu, nelayan ramai mencoba mendapatkan di sana. Namun, semenjak beberapa oknum menangkap ikan dgn bom & racun, ikan disana sudah mulai menyusut. Bahkan, baru-baru ini terjadi konflik antara nelayan tradisional & nelayan jaring watu yg menimbulkan pembakaran kapal nelayan jaring batu oleh nelayan tradisional. Jika saja polisi & petugas dr Dinas Perikanan tak lekas tiba, mampu ditentukan akan ada korban nyawa, baik dr pihak nelayan tradisional maupun nelayan kerikil.

Selesai melepas jaring, ia juga—mengulurkan benang nilon yg dijalin dgn beberapa kail pancing yg sudah disangkutkan umpan—memancing ikan untuk diolah & dimakannya malam ini hingga esok. Masing-masing kail berjarak 50 cm, total sekitar sepuluh kail. Dengan sabar ia menanti ikan mampir & menyantap umpan yg diberikan. Jika mujur, ia bisa mampu ikan selar. Di perahunya sudah dilengkapi dgn kompor minyak tanah, periuk, serta kuali. Biasanya, sekali melaut, ia bisa menghabiskan waktu paling cepat semalam & paling lama dua ahad di bahari—tergantung jarak tempuh & persediaan materi bakar.

*****

Bapak memandang ke arah langit berwarna biru pekat dgn bintik-bintik putih yg cemerlang. Diamatinya bintang yg mengelompok & berpendar—yang kalau titik-titiknya disatukan dgn suatu garis, mewujud beberapa bentuk—dan mampu dijadikan sebagai penanda arah.

Sejak memperoleh perahu hibah dr pemerintah yg dilengkapi dgn GPS, ia seperti tak pernah lagi melihat ke arah langit—selain melihat gumpalan awan kumulonimbus penanda angin puting-beliung akan tiba.

Dahulu, tatkala usianya masih teramat muda, ayahnya mengajarkan beberapa bentuk rasi bintang yg dijadikan penanda arah. Ada rasi biduk, atau bahasa kerennya Ursa Mayor (beruang besar) yg dlm pengamatannya tak ibarat biduk sama sekali, terlebih beruang—melainkan seperti layang-layang berekor yg menukik jatuh—sebagai penanda arah utara. Sebaliknya, di selatan ada rasi bintang layang-layang atau salib selatan yg pula memiliki nama lain Crux. Arah timur agak ke tenggara sedikit, ada titik bintang yg terang serupa cacing meliuk yg diketahui sebagai rasi bintang kalajengking. Sebelah barat ada rasi Orion yg menumpuk & menyebar—yang dlm pengamatan orang Yunani dahulu tampak sebagai pemburu.

  Dalam Kardus Pukul Dua | Cerpen Diego Alpadani

Ia ingat bagaimana dulu ia sehari-hari melaut bersama ayahnya. Bermacam hal yg dijumpainya di bahari; lumba-lumba, penyu, bahkan puting beliung yg nyaris membalikkan biduk ayahnya. Awalnya, ia cuma ikut tatkala hari libur saja, tetapi, tatkala dirasakannya suatu keseruan dapat melaut bersama ayahnya, ia pun mulai malas untuk bersekolah. Jadilah ia berhenti sekolah tatkala menduduki kelas 4 SD. Dulu sekali melaut ayahnya mampu membawa pulang ikan sepenuh lambung perahu. Sekarang, tatkala ia yg melaut, dapat satu kotak fiber saja sudah syukur.

Lewat tengah malam, pasang mulai meninggi. Biasanya akan surut tatkala menjelang subuh. Bulan mati—selaku awal penanggalan kalender hijriah—pada malam ini menjadikan pasang lebih tinggi daripada hari-hari biasa. Konon, berdasarkan pengikut kaum bumi bundar, pada masa bulan mati & bulan purnama; bumi, bulan, & matahari berada pada satu garis lurus, yg menimbulkan daya tarik menarik & mempunyai efek pada kian cembungnya permukaan maritim.

Bapak mempesona benang pancingnya. Umpan yg diberikan sudah habis, namun ikan tak satu pun yg tersangkut. Mau tidak ingin, ia cuma makan nasi dgn sambal tanpa lauk (lagi). Semoga saja esok tatkala jaring diangkat, ketidakberuntungannya berakhir dgn banyaknya ikan yg sukses ditangkap.

*****

Lamat-lamat, didarat sana terdengar suara azan subuh. Bapak sudah bangun dr tadi. Tidurnya tak nyenyak, bahkan dlm mimpi pun ia masih ditagih uang SPP oleh si bungsu. Selepas salat subuh, Bapak tak lekas menggulung jaring. Ditunggunya hingga matahari sedikit meninggi, berharap bertambah banyak ikan yg tersangkut di sana.

Ketika matahari merangkak naik tiga kali panjang jaring, barulah ia beranjak ke arah haluan. Sambil harap-harap khawatir, ia menggulung perlahan jaring perlahan-lahan. Napasnya tertahan setiap kali tangannya menggulung jaring.

  Ikan | Cerpen Abraham Zakky Zulhazmi

Hingga jaring sudah kesengsem seperempat, gres beberapa ekor ikan yg tertangkap, mirip; ikan lomek, ikan biang, ikan senangin, serta beberapa ekor ikan serai.

Bapak tak henti-henti berdoa. Satu tarikan lagi, tiba-tiba tangannya berhenti. Matanya membeliak tak yakin melihat beberapa ekor ikan terubuk besar & buncit menggelepar-gelepar tersangkut di jaringnya. Sepertinya baru tersangkut. Ia mempercepat tarikan jaringnya. Terbayang sudah duit SPP si bungsu & ongkos hidup selama beberapa waktu ke depan—berikut pelunasan utang pada tauke & di kedai Wak Ris. Seekor terubuk bertelur bisa dihargai sampai sejuta rupiah, kononlah beberapa ekor yg didapatnya.

Ah, gampang-mudahan saja es batunya cukup untuk semua ikan ini, harapnya bahagia.

Mentari semakin terik, sedang ia belum pula selesai menghimpun semua ikan yg terjaring. Punggungnya sudah panas terbakar, tapi semangatnya masih berkobar. Tidak sia-sia ia tak lekas pulang selepas subuh menjelang. Semoga saja ia mampu membawa ikan sepenuh perahu.

Lagi asyik menggulung jaring & mengumpulkan ikan ke dlm kotak styrofoam, dgn kecepatan yg tak terduga, sebuah speedboat fiber mendekati perahu Bapak & merapat.

Kemudian seorang yg berseragam melemparkan tali sebagai tanda biar Bapak menautkan tali tersebut ke Perahunya. Beberapa lelaki gagah—lengkap dgn segala atribut di dada—turun ke bahtera Bapak. Setelah basa-bau seadanya, mereka mengajukan pertanyaan perihal surat-surat kapal. Bapak memberikan salinan surat yg ditandatangani oleh Syahbandar.

Ketika Bapak tengah ditanyai oleh beberapa orang, beberapa lainnya membongkar daerah penyimpanan ikan miliknya & kemudian berteriak, “Ditemukan beberapa ekor terubuk dlm kondisi bertelur!”

Seorang laki-laki berkacamata hitam—agaknya pimpinan mereka—terlihat mengeraskan rahang. Sambil memandang tajam, ia berkata, “Bapak tahu kalau sekarang adalah trend pelarangan penangkapan ikan terubuk?”

Bapak melamun mematung. Wajahnya pucat pasi. Terbayang keluarganya makan seadanya (lagi), & si bungsu merengek minta duit sekolah (dan lagi). Pikirannya kalut, pandangannya sudah gelap.

Tanpa menanti Bapak menjawab, si pimpinan tadi kembali berujar, “Bapak tahu kalau ikan terubuk dilindungi? Silakan naik ke kapal untuk kami mintai keterangan lebih lanjut.”

Bapak tak lagi mendengar mereka berkata. Saat ini, telinganya cuma mendengar teriakan pilu anak istrinya—dan pandangan matanya sibuk menjelajahi seisi bahtera mencari bendo berkarat miliknya.(*)