Sesudah kejadian perkawinan adiknya, kehidupan pak Sailun yang semula tidak mengecewakan, kian usang makin jelek. Pinjaman duit-nya tidak bisa terbayar, bahkan kian bertambah, hingga beliau kha-watir, bila-kalau sawahnya yang tinggal satu petak dibeslah oleh orang yang memiliki piutang. Oleh sebab itulah pak Sailun kesannya menuruti usulan Mandor Akhir, temannya sejak kecil, walau dengan rasa sangat berat, terpaksa melepaskan kepergian Saida untuk mencari pekerjaan di kota.
Saida ke Betawi mengadu nasib; pak Sailun terbebas dari be-lenggu hutang setelah menerima duit 10 ringgit dari Mandor Akhir. Pak Sailun mengirimkan anaknya ke stasiun Kalideres. Di sana sudah menanti, si Karut, suruhan Mandor Akhir yang diberi peran menjemput dan menjinjing Saida ke Betawi, eksklusif me-ngantarkannya ke tempat tinggal tuan Brahami. Baru saja satu malam Saida tinggal di rumah Brahami, malam itu juga sudah terjadi kejadian yang tak terduga sarna sekali.
Saida diperkosa oleh Brahami dengan cara membuatnya mabuk apalagi dahulu. Obat pemabuknya dicampurkan dalam segela kopi. Pagi harinya sehabis ia bangun dan sadar apa yang telah ter-jadi atas dirinya, perasaan malu, murung dan menyesal bercampur baur menjadi satu mengusik pikiran Saida risikonya beliau jatuh sakit demam panas. Betapa duka dan malunya, pada hal dikala ia berangkat, menanggapi pesan emaknya, Saida telah berjanji akan benar-benar menjaga dini supaya beliau tetap suci.
Tetapi ternyata apa hendak dikata. Katinah, istri si Karut dan bekas gundik Brahami yang masih tinggal serumah, mencoba membujuk Saida dengan perkataan lemah lembut biar agar menerima kondisi dan perlakuan itu dengan penyerahan saja. Sebab dengan demikian apa yang diingin-kan niscaya akan segera terlaksana, karena dengan cepat pula akan mendapat duit banyak. Katinah juga memberi rekomendasi, bahwa tak ada gunanya melawan orang Belanda. Mereka kaya dan berkuasa, sehingga walaupun kita berada di pihak yang benar, tetapi mustahil kita akan menang kasus melawan mereka. Bersambung kebagian 2