3033 | Cerpen Martin Aleida

Oleh: Martin Aleida


(Penjudi Togel & Warisannya)

Kata-kata tak berdaya untuk melukiskan betapa buruknya nasib penjudi togel yg satu ini. Dan siapakah yg bisa menuturkan dgn saksama perasaan petaruh yg senantiasa menelengkan kupiahnya ini, yg selama lebih empat puluh tahun terus-menerus menggantungkan sebagian dr nasibnya pada keberuntungan yg dijanjikan oleh angka-angka liar. Dan siapa yg mampu bertahan terhadap ketidakpuasan seteguh Huripto, yg selama hidupnya mengotak-atik angka, namun tak sekali pun tebakannya yg mengena.

Dia mulai berangan- angan jadi kaya dgn menebak toto sepak bola permulaan 1960-an. Tatkala padang rumput di pecahan barat Stasiun Gambir masih jadi lapangan sepak bola, lantaran khayalan yg melambung belum menarik hati Presiden Soekarno untuk membangun monumen di situ. Sehingga nyaris saban hari di lapangan itu ada pertandingan bola, yg dijadikan penduduk kota selaku ajang mengadu nasib di meja toto. Sejak zaman itu judi benar-benar menarik hati hidup Huripto.

Kata-kata tak kuasa melukiskan kegigihan penjudi kita ini. ia tak pernah menyesal bahwa sebagian dr keuntungan yg ia petik dr gerobak rokoknya telah terbang ke kantong bandar judi. Huripto senantiasa berpandangan konkret. ia berpendapat uangnya yg lenyap ditarik bandar merupakan derma yg akan menambahkebahagiaan sobat-temannya yg beruntung.

Jalan pikiran & ketulusan hati seperti itu khususnya muncul tatkala saban minggu ia membeli lembar-lembar Undian Harapan yg dikeluarkan oleh Departemen Sosial. ia bukannya tak tahu, sebagaimana yg dibilang aneka macam laporan koran, bahwa duit undian itu bukannya mengalir untuk membantu penduduk miskin, tapi ditilap oleh para pejabat pemerintah untuk mempertahankan kekuasaan. Sekalipun ia seorang penjudi berat, hatinya tetaplah muak mengingat tingkah laku pejabat yg korup. Hanya saja dgn mudah ia bisa berdamai dgn kekesalannya. Yang penting buatnya potensi bertaruh selalu terbuka. Menang atau kalah soal belakangan. Dan yg paling utama yaitu bahwa dgn secarik kertas taruhan, ia bisa berangan-angan. ia punya kredo sendiri: Alangkah suntuknya dunia ini kalau berangan-angan saja orang tak bisa.

Angan-angan membuat hatinya sejuk nyaman. ia merasa regangan sarafnya menjadi kendur. Teman-sahabat sebayanya sudah banyak yg meninggal disambar stroke, kena serangan jantung, gula, atau pneumonia. Dan ia percaya ketenteraman yg ditawarkan oleh angan-angan yg dipersembahkan kertas judilah yg menciptakan pembuluh darah jantungnya tetap elastis walaupun tubuhnya gemuk gempal. Sementara gula darahnya, sekalipun lebih tinggi dr ambang batas wajar , jadi terkendali. Berkat apalagi kalau bukan angan-angan yg membuai.

Keluhuran hatinya tiada terkira terhadap teman-temannya. ia berpantang berjudi dgn sahabat sendiri. Lawan-lawannya dlm perjudian haruslah pihak yg tak ia kenal, mereka yg ingin membangun kekuasaan dgn duit. Baginya tak ada lagi pekerjaan yg lebih hina ketimbang hidup di atas nasib jelek handai tolannya sendiri.

Di tepi jalan, sepelemparan kerikil dr jalan tol yg terbang di atas gerobak rokoknya, Huripto kelihatan mengipas-ngipas parasnya dgn karton bekas pembungkus rokok, menguras kreteknya dalam-dalam, & meningkahi kepulan asapnya dgn seruputan kopi yg sudah dingin. Ada ketegangan yg menenteng nikmat yg sedang menguasai perasaannya. Nyata sekali terlihat dr kakinya yg terus ia goyang-goyangkan. Sebentar-sebentar ia menghela napas.

Beberapa saat kemudian, ia menghentikan kibasan karton di tangannya itu. Menatap tajam coretan-coretan angka yg ia buat di situ berjam-jam yg kemudian. Seluruh permukaan karton itu berjejalan dgn angka tiga. Tiga! Dalam jumlah yg jauh lebih kecil, berpendar angka nol. Karton itu mirip memperlihatkan satu sketsa yg berantakan, yg melukiskan sekawanan besar burung terbang menutup langit, dgn balon-balon awan tercecer di sana-sini.

Dia menguras kreteknya lagi. Mengencangkan letak kupiahnya agar tegak lurus, bukan miring sebagaimana umumnya orang yg kalah berjudi. Pengecer rokok merangkap penjudi yg rajin itu lantas berdiri & meninggalkan gerobaknya menuju ke gang yg terhampar di belakang. Sesiang mirip itu, tentu belum ada yg berkerumun mengisi togel. Kedatangan Huripto menjadi penglaris bagi distributor togel yg menyempil, berkedok pedagang minuman, di perut gang itu.

Huripto mematikan rokoknya, menginjaknya besar lengan berkuasa-berpengaruh sampai lumat. ia ambil bolpen & dgn mantap ia memasang 3033. Seluruh kekayaan dlm bentuk duit tunai yg dimiliki penjudi bujangan yg sudah bangkotan itu, ia tumpahkan untuk nomor itu. ia tak khawatir kalau akan kalah lagi lantaran stok rokok & barang dagangan yg lain masih cukup. ia pula menutup taisen maupun kemungkinan keluarnya “angka setan” dr nomor itu. Dan ia kepung angka itu dgn memasang semua kemungkinan yg bisa muncul dr angka yg ia simpulkan dr tanda-tanda alam yg ia baca tadi pagi. Selepas subuh, entah datang dr mana, seekor angsa tiba-tiba menjadi pengunjung pertama di gerobak rokoknya. Dan yg timbul selaku pembeli paling permulaan adalah tiga anak kecil yg gres dididik orangtua mereka untuk berbelanja senilai Rp 3.000. Sementara di jalan tol yg membentang di atas, tiga truk yg bertabrakan tadi malam masih belum pula dihindari. ia ingat betul, menurut primbon hwa-hwe, angka 3, yg bersimbol angsa, pula memiliki arti akhir hayat, kekosongan. Maka tafsir perjudian menasihatinya untuk jangan mengabaikan 0.

  Pulang Kampung | Cerpen Herumawan PA

Biasanya ia luangkan waktu barang sebentar untuk memperbincangkan angka-angka taruhan dgn penjual kertas togel atau para petaruh yg lain. Tetapi, hari ini mulutnya tersumbat. ia eksklusif meninggalkan meja togel & kembali ke gerobaknya. Agen togel terperangah. Tak pernah ia menyaksikan orang memasang sebesar taruhan Huripto yg menjadi penglarisnya siang itu. ia mengikuti konsumen yg senantiasa bernasib jelek itu dgn mata setengah melotot sampai lenyap di ujung gang.

Bertambah tinggi matahari, bagai semut, satu demi satu para penjudi timbul & berkerumun di meja togel yg terletak di gang sempit itu. Semua melirik, memandang, memelototi, menafsir rupa-rupa isyarat yg terhampar di meja.

Penjual togel berupaya membuka obrolan dgn menyampaikan keheranannya bagaimana Huripto telah memasang taruhan yg begitu besar. Sejak meja togel ia gelar di situ, tak pernah ada orang yg bertaruh sebanyak itu. Tetapi, kisah pemancing percakapan itu tak bersambut. Huripto sama dgn nasib yg apes. Menjadi penyedia rezeki bandar nomor satu. Seumur hidup tebakannya ngawur. Begitu mereka tahu Huripto memasang 3033, maka tak seorang pun yg mau menaruh taruhan pada 3, dlm variasi angka yg bagaimanapun.

Menjelang pengumuman nomor sore hari, Huripto menunggu pembeli sambil rebah-rebahan mendengarkan radio dua grup musik. ia tak perlu datang ke agen cuma untuk mengenali nomor yg keluar. Cukup menyetel stasiun radio tertentu. Sebagai seorang penjudi yg bersungguh-sungguh, maka jarum penanda pemancar radionya tak pernah bergeser dr stasiun radio itu. Angan-angannya terbang ke Brebes, ke kampung halamannya. Lebaran tahun kemarin ia tak mudik. Panen bawang sukses, namun harganya anjlok habis-habisan, hingga-sampai para petani mencampakkan hasil panen ke jalan raya untuk menunjukkan rasa kesal terhadap pemerintah yg tidak memiliki perhatian terhadap petani. Tahun ini ia sudah mantap akan menjenguk kampung halamannya. Sekadar mengenang masa kecil karena seluruh sanak famili dlm garis keturunannya sudah tiada.

Melawan gerah, ia kibas-kibaskan karton bekas pembungkus rokok yg sarat coretan angka. Begitulah selalu. Angin buatannya sendiri itu meninabobokan matanya hingga terpejam. ia tak pernah menyetel jam weker untuk membangunkannya beberapa menit menjelang pengumuman togel. Saking sudah terbiasanya, bawah sadarnyalah yg akan menyentakkan matanya, persis beberapa menit sebelum semua pecandu togel bagai lebah berkerubung memasang kuping menyimak radio.

Renowo, agen togel di gang sempit itu, secara tiba-tiba melompat keluar dr ruang depan rumahnya. Dibantingkannya tinjunya ke daun meja yg bertabur kode. Cepat seperti bajing, ia meloncat ke jalan.

“Tiga-nol-tiga-tiga! Tiga-kosong-tiga-tiga…! Jebol beliau! Bandar jebooool…. Pakde Ripto menjebol bandar. Jeboool! Jeboool…!” ia melompat-lompat seperti bocah sambil berteriak-teriak di jalan sempit itu & berlari-lari kecil menuju ke mulut gang di mana gerobak Huripto bertengger. Orang-orang yg berdomisili di kiri-kanan gang pada menjulurkan kepala dr jendela & pintu rumah, ingin melihat apa yg terjadi dgn agen togel itu.

“Selamat Pakde. Edan tenan (Sungguh ajaib).”

Renowo menyodorkan kepalanya lewat pintu gerobak. “Jebol, Pak. Panjenengan luar biasa!” katanya lagi, girang bukan main. Di dlm gerobak, kepala Huripto tetap bersender ke dinding. Kupiahnya terjungkal ke depan, menutupi jidatnya. Ada sesuatu, mirip ujung pojok kertas menyembul dr bawah kupiah itu. Sudut mulutnya terlihat menahan cairan yg mau muncrat. Perlahan, radio yg terletak akrab ketiaknya terus memainkan lagu-lagu dangdut. Kakinya lurus melonjor.

  Kaki Sewarna Tanah | Cerpen Eka Dianta BR Perangin-Angin

Perasaan suka cita biro togel yg kesurupan itu jadi tertahan tatkala ia sadar bahwa orang yg ia sapa, yg mestinya gembira bukan main dikarenakan telah memenangi taruhan dlm jumlah yg belum pernah ia dengar, cuma tergolek kaku.

“Pak…, Pak Ripto…,” ia memegangi kaki tukang rokok itu. Yang diajak bicara cuma diam. ia raba & goyang-goyangkan betisnya. Huripto tak menyahut. ia tetap menyenderkan kepala ke dinding.

“Pak…,” seru Renowo pelan, putus asa. Rona wajahnya dgn cepat menjelma pucat. Lekas ia menarik anggota tubuhnya dr gerobak rokok itu. Lantas ia berlari seraya menjerit-jerit. “Ampun Gusti…. Pak Ripto mati! Bandar jebol. Tapi, Pak Ripto mati. Ooooi…, dengarlah! Bandar curang. Karena jebol, mereka mengirim dedemit untuk membunuh Pak Ripto,” ia berlari-lari dr ujung-ke-ujung gang itu. Mengumandangkan kabar besar hati & kemalangan dlm sekali tarikan napas.

Seorang demi seorang, berdua-dua, atau bertiga-tiga insan tumpah ke jalan kecil itu, dipikat gerobak rokok yg menunggu di ujung gang. Ketua rukun tetangga di lingkungan kawasan padat itu menjorokkan kepalanya ke dlm gerobak. Meraba nadi di kaki Huripto. Tak ada detak. ia maju lebih menjorok ke dalam. Menempelkan ujung jarinya ke leher penjudi yg membikin heboh itu. Pembuluh darah itu pula membisu. ia menyingkapkan baju dr tubuh tukang rokok yg diam tak bergerak itu. Melekatkan kupingnya beberapa ketika ke dada warganya yg tergeletak layu itu. Ah, jantung Huripto sudah berhenti.

“Inna lillaaah…,” orang itu berbisik. ia memungut kupiah Huripto, meletakkan kertas taruhan di dalamnya, & memberikannya pada Renowo.

“Apakah ia tahu nomor yg ia pasang mengena?”

“Saya percaya. Ya…, ya, ia tahu ia menang. Pak RT lihat sendiri tadi kertas nomornya terletak di ubun-ubunnya, di dlm kupiahnya. Biasanya kertas togel ia selipkan di lipatan kupiah,” kata Renowo.

“Syukurlah. Saya kira ia tak tahan menerima kemenangan ini. Jantungnya, gulanya….”

Ketua rukun tetangga menetapkan untuk mengeluarkan jasad Huripto dr gerobak rokok merangkap rumah huniannya itu. Renowo dgn senang hati menyediakan rumahnya sebagai rumah sedih. Segala perangkat togel dgn cepat disingkirkan & sekat di dlm rumahnya dijebol untuk memberikan ruang pada Huripto & para pelayat. Jasad penjudi yg gigih itu ditaruh dgn terhormat di tengah ruang & ditutupi dgn selendang batik, sebelum disembahyangkan.

“Renowo,” sapa ketua rukun tetangga di tengah-tengah mereka yg tiba duduk mengerubung. “Bersediakah ananda menguruskan uang almarhum?”

Agen togel itu kelihatan agak gentar. ia tak pernah melihat duit sebanyak yg “dijebol” Huripto. Mendengarnya saja belum.

“Saya siap. Tetapi, harus dibantu sobat-sahabat. Uangnya terlampau banyak. Takut. Zaman sekarang…,” jawabnya.

“Tak duduk perkara, banyak yg mau menolong. Saya pula bersedia. Tetapi, soalnya mau diapakan duit sebanyak itu?” Ke arah pelayat yg duduk berkerumun, ia berujar, “Apakah ada di antara saudara-saudara yg pernah mendengar Huripto berpetuah, bercita-cita, bernazar, berminat, atau pernah menyampaikan, ’Saya akan begini… begitu’ atau semacamnya, apabila ia meninggal?”

Lama tak terdengar suara. Kemudian, seorang berkata agak sangsi, “Kepada saya Pak Huripto pernah bilang kalau ia punya uang banyak ia ingin sumbangkan untuk pembangunan masjid di jalan menuju Brebes. Soalnya, Pak Ripto tak sudi orang-orang jadi peminta-minta pada para penumpang bus, truk, atau yg lain, terlebih dgn cara menyederhanakan jalan di pantai utara Jawa itu. Jalan sudah diperlebar kok malah dipersempit lagi atas nama masjid.”

“Ingat. Uang hasil togel memang tak dilema kalau disalurkan untuk memperlancar lalu lintas. Cuma, apakah duit judi boleh disumbangkan untuk masjid?! Saya cuma ingin mengingatkan, bukan apa- apa,” kata seorang yg dikenal sebagai pedagang keliling pakaian jadi.

Renowo memberanikan diri mengatakan & katanya, “Yang penjudi kan orangnya, bukan uangnya. Apa salahnya uang?”

Tak ada jawaban. Ketua rukun tetangga yg memimpin pertemuan pula tak bersuara.

Sementara itu, angka togel Huripto & jumlah uang yg dimenangkannya secepat listrik tersebar hingga ke pojok-pojok kota yg jauh. Sudah pasti banyak yg berangan-angan ketiban nasib serupa ia. Tetapi, banyak pula yg mau memanfaatkan keberuntungan tukang rokok itu selaku jalan praktis untuk memperoleh duit.

Seorang berbaju hijau agak luntur, sehabis mengucapkan salam, pribadi masuk ke gelanggang, melekat pundak ketua rukun tetangga. Orang itu membisikkan sesuatu ke kuping pemimpin konferensi. Ketua rukun tetangga kelihatan mesem dibuat-buat. Ada yg tak rela ia lakukan, namun mesti ia perbuat. ia merogoh kantong, menempelkan tangannya pada orang yg gres masuk itu. Orang itu mengucapkan salam, lantas melengos pergi.

  Balada Penyair | Cerpen Ade Ubaidil

“Apakah ia pernah bercita-cita, misalnya, mau berangkat ke Mekkah, atau apa?” pemimpin konferensi melanjutkan.

Hadirin saling memandang.

“Mana mungkin duit judi dibuat naik haji. Saya ngerti, keinginan Pakde Huripto naik haji, kalau memang itu niatnya, bisa kesampaian dgn diganti oleh sahabat-sahabat dekatnya. Tapi, bagaimana, ini uang hasil judi…,” dr pojok seseorang mengutarakan pikiran.

“Saya pernah dengar ia ingin berbuat baik dgn membiayai mereka yg sudah jadi janda menunaikan ibadah haji,” cetus bunyi dr erat pintu.

“Yang berhubungan dgn haji tak bisa kita putuskan. Apakah ada yg pernah mendengar keinginan, harapan, atawa kehendak Huripto yg lain?”

“Dia sayang pada bawah umur. Semua kita mengenali itu. Anak kecil saya sering ia persenin permen, bawah umur sampaumur ia belikan bola. ia pula suka menawarkan duit jajan pada bawah umur yg ia sayangi. Makara, saya kira uangnya itu sebagian bisa disumbangkan untuk sekolah, untuk bawah umur.”

“Baik, usul ini saya catat. Akan saya bawa ke kelurahan.”

Tiba-tiba terdengar beberapa orang mengucapkan salam di bendul pintu. Mereka tiba bertiga, mengenakan baju loreng-loreng. Langsung duduk & merangsek mendekati ketua rukun tetangga. Sama seperti tamu terdahulu, juru bicara geng berbaju loreng ini pula membisikkan kata-kata yg kelihatannya diterima dgn sangat menjijikkan oleh ketua rukun tetangga. Namun, ia berusaha untuk berpura-pura senyum. Sambil berkusip-kusip ia memindahkan isi genggamannya pada tamu itu. Seperti kucing yg diusir dgn masakan, tiga sekawan itu lantas pergi, lagi-lagi sambil mengucapkan salam.

Setelah orang berbaju loreng itu, timbul pula kalangan berbaju loreng yg lain dgn warna berbeda. Kemudian muncul pula satu-dua orang berpakaian seragam berwarna khaki. Yang paling tak mengenakkan nampaknya yakni tatkala beberapa orang yg berbadan tegap, berkaus ketat, yg sebentar-sebentar memegangi sesuatu yg terselip di pinggang mereka, memasuki gelanggang yg sedang berkabung.

Ketua rukun tetangga mulai gerah dgn tamu-tamu yg sama sekali tak mampu menghormati Huripto yg membisu terbaring di tengah ruang.

Tiba-tiba pemimpin lingkungan itu berdiri. Matanya melirik ke sekeliling.

“Saudara-saudara lihat tadi berapa banyak John Towel yg tiba menginterupsi perkabungan ini,” katanya. John Towel adalah julukan bagi mereka yg hidup dgn menguntit, lantas menowel, & tanpa malu meminta uang pada orang-orang yg baru menang berjudi. “Saya tahu, Renowo besok mampu mengganti duit yg sudah saya keluarkan. Tapi, kita mesti hentikan ini sampai di sini saja. Manusia macam apa mereka itu semua. Orang yg sudah mati masih mau diperas. Saya kira perkabungan eksklusif saja kita sudahi sehabis sembahyang mayit. Kita tak usah menunggu mobil jenazah yg akan menjinjing almarhum ke Brebes, ke kampungnya, untuk dimakamkan. Akan tambah banyak lagi pemeras yg mengusik. Mari kita sewa kendaraan. Kita bawa saja jasad Huripto pribadi ke pangkalan kendaraan beroda empat mayat. Dari sana ke Brebes.”

Seperti mau mengatakan pada Huripto yg sudah terbaring diam untuk selama-lamanya, ketua rukun tetangga itu berkata, “Rip, maafkanlah saya, dikarenakan telah mengeluarkan kata-kata yg tak senonoh, mengumpat orang-orang yg saya kira memang patut dicerca. Orang-orang itu tak pernah tahu berapa lama kau menanti sampai nasib sebaik hari ini datang kepadamu. Mereka membuat kami tergesa-gesa, kelimpungan dlm mengenang menghormatimu. Maafkan.”

Di jalan raya yg membentang di pantai utara Jawa, kendaraan beroda empat mayit yg membawa Huripto lancar melaju. Lihatlah, di belakangnya puluhan bahkan ratusan motor yg mengiringi. Mereka semua ingin ketularan nasib baik dr orang yg kini terbaring dgn tenang di dlm keranda yg mereka kuntiti. Di dlm kendaraan beroda empat jenazah, ketua rukun tetangga serta handai tolan almarhum, yg semenjak meninggalkan Jakarta tak putus-putusnya berunding dgn suara yg sengaja ditahan semoga tak mengusik ketenteraman Huripto, masih belum pula menemukan wangsit akan dikemanakan uang dr penjudi yg terbaring berbedung kafan di dlm keranda yg membujur di depan mereka.