Di usia yg sudah cenderung ke barat—begitu Uwak Bandi menggelar masa tuanya—tak ada lagi angan-angan untuk kaya. Menunaikan rukun Islam kelima ialah mutiara keinginannya sebelum ruhnya diraut ajal. Uwak Bandi memahami, mirip kata pada umumnya orang, kaya itu titi utama menuju Tanah Suci. Namun, dia masih percaya, hasratnya akan terkabul dgn niat yg terus mengepul. Tentu dia sadar, niat tersebut harus ditopang kerja keras & doa. Soal biaya? Ah, bukankah rezeki seumpama teka-teki, susah-sukar mudah untuk diselidiki?
Banyak orang yg dinilai tak berharta, tetapi lulus pergi haji. Uwak Bandi ingin masuk dlm golongan tersebut. Tak kaya, tak mengapa. Tapi, pantang baginya memiskinkan cita-cita. Asal jangan keinginan yg disusupi cela, titah hatinya. Jangan pula sampai terserang penyakit riya: berlomba naik haji biar diseru kaya raya! Andai boleh memilih, dia rela dituding miskin sebelum maupun sepulang dr Mekkah.
Memang, Uwak Bandi kerap mengumpamakan impiannya mencium tebing Kabah semacam orang awam hendak menggapai bulan. Namun, ia bukan orang yg gampang memberangus harapan. Terlebih dlm doa. Maka, setiap menyaksikan tanak bulan purnama, Uwak Bandi selalu berdoa: ”Ya Allah, perkenankan gue mencium bulan.” Mmh, bulan dlm doa tersebut memiliki arti Kabah baginya. Uwak Bandi pula sering menyemai doa tatkala menyanggupi undangan menyenandungkan marhaban di banyak sekali acara tepung tawar haji. Ia diketahui andal marhaban, andal doa. Kian kukuhlah niatnya setiap diminta mendoakan kemabruran ibadah para sejawatnya.
Ya, soal keinginan kuat, Uwak Bandi tak terhadang lagi. Dorongan Haji Sazali, sahabatnya, pensiunan pegawai Bea & Cukai pun semakin memanjangkan galah tekad Uwak Bandi. Pula Haji Sazali yg hendak menunaikan ibadah haji untuk kali ketiga mengajaknya pergi bersama. Jujur, percakapan keduanya, terkait apa pun, pada hilirnya menyinggung kisah Haji Sazali sewaktu di Mekkah. Berbunga-bunga hati Uwak Bandi mendengarnya.
”Mana tahu rezekimu melimpah setelah mendaftar, Bandi,” pesan yang tersirat Haji Sazali suatu kali. ”Pokoknya daftar dahulu. Kasih tanda jadi. Tinggal dicicil. Insya Allah ada jalan untuk niat muliamu itu.” Maka, seusai menyimpulkan saran Haji Sazali: niat tak akan lunas kalau terus-susukan menanti ongkos haji cukup, Uwak Bandi pun menegakkan tiang keyakinan.
Apalagi, tegurnya ke dada sendiri. Sisa pesangon—sekitar enam juta—selepas bekerja nyaris 30 tahun di Socfindo (perusahaan penyulingan minyak sawit) memadailah untuk mengawali rencananya. Bismillah, dia pun mendaftarkan diri sekaligus menyetor duit tampang ke bank, menyusul Haji Sazali yg sudah lebih dahulu. Nah, tercatat selaku calon jemaah haji dlm daftar tunggu, Uwak Bandi tinggal menyuplai cicilan sekerap mungkin. Atau siapa tahu, tunggakan ongkos haji bisa ditunaikan sekaligus. Hingga dia tak perlu berlama-lama terjebak dlm daftar tunggu. Dengan perkiraan matang, Uwak Bandi memanjar ongkos haji sejumlah satu juta. Selebihnya, ya, diputarkan untuk usaha lain. Mmh, andai saja….
Ah, Uwak Bandi terus berjuang untuk tak terjerembab ke lumpur penyesalan. Seperti halnya Dariah, sang istri, yg sering mengungkit-ungkit kelunakan hati Uwak Bandi meminjamkan sebagian besar pesangon pada kedua anaknya. Memang, sesudah berbelanja sampan lama & memodali Dariah membuka kedai lontong, ketajaman pisau alasannya akhir terus menyayat daging tabungannya.
Bayangkan, ia mesti menanggung biaya operasi caesar putri sulungnya, Maemunah, sewaktu melahirkan anak ketiga. Ia maklum, suami Maemunah cuma pekerja kasar di pabrik pengalengan ikan. Ha, lain pula Ruslan, adik lelaki Maemunah, butuh duit demi menebus keteledorannya ketika melakukan pekerjaan . Ruslan satpam di perusahaan pembuatan besi baja & sedang mendapat giliran jaga tatkala gudang perusahaan ditelikung maling. Sialnya, duit tebusan dibalas dgn surat pemecatan.
Sejatinya, Maemunah & Ruslan tetap menilai santunan ayah mereka selaku utang yg mesti dilunasi. Namun, Uwak Bandi tak pernah sampai hati menagihnya. Apalagi pada Ruslan, yg alhasil harus membiayai anak-istri dr mocok-mocok—bekerja serabutan. Bahkan, meski tak sepenuhnya disetujui Dariah, ia ikhlas (tepatnya menjajal nrimo).
Memang, kalau dipikir-pikir, pesangon Uwak Bandi tempo hari hampir mencapai separuh ongkos haji. Ancang-ancangnya pun memang untuk ongkos haji. Tetapi, ya, bukankah rezeki kerap berlindung di sarang misteri? Tak tahu kapan hinggap, kapan terbang. Untuk soal itu, beliau terkesan jarang mengeluh. Meski perjuangannya menghidupi keluarga tak ringan, ia tetap merasa liuk nasibnya tak securam orang lain. Tinggal di kota pelabuhan bukan jaminan untuk hidup layak. Seperti warga yang lain, Uwak Bandi hanya bisa menyambut uluran maritim, pula belas kasihan deru pabrik.
Ia sendiri semenjak usia belasan tahun sudah pergi melaut. Teramat rajin ia menjadi nelayan. Riwayat garam tersimpan di tubuhnya. Setelah menikahi Dariah, ia menyambi kerja sebagai buruh bongkar muat pelabuhan. Lantas, tatkala Maemunah berusia dua tahun, Uwak Bandi merasa beruntung bisa bekerja di Socfindo meski cuma mandor gudang. Inilah pekerjaan yg berjasa membesarkan kedua anaknya. Di kota pelabuhan itu, tak banyak orangtua yg bisa mengantarkan anak-anaknya tamat sekolah setingkat Sekolah Menengan Atas. Uwak Bandi adalah pengecualian.
Kalaupun setelah pensiun beliau melaut lagi, bukanlah mirip dulu lagi: mengejar-ngejar ikan dlm hitungan malam! Uwak Bandi pergi ke laut hanya untuk mengerat kebosanan karena tak betah ongkang-ongkang—cuma makan tidur—di rumah. Ia pun tak sanggup lagi ke tengah bahari, cuma menjala ikan di sekeliling paloh—rawa bahari. Untuk itu pulalah, sampan bekas beliau beli. Ya, hasil menjaring ikan setengah hari di paloh lumayanlah untuk mengasapi mulutnya dgn rokok atau memawangi sakunya. Untuk kebutuhan sehari-hari, dipasok dr hasil kedai lontong Dariah.
Namun, untuk memuluskan rencana naik haji, Uwak Bandi tak mungkin mengharapkan kedai lontong saja, punpaloh. Maka, tatkala mengetahui A-Siong, juragan arang menyewakan tanah bekas tambak, Uwak Bandi tergiur. Sejatinya, bengkalai tambak tersebut tergolong tanah yg sudah dijual A-Siong. Katanya mau ditimbun & dibangun pabrik. Tetapi, menurut A-Siong, belum berlangsung timbang terima. Berarti masih ada potensi untuk sekali panen tambak.
Nah, semua sudah ditimbang masak-masak. Uang sewa tambak seluas 45 rante, sekitar satu hektar, cuma satu juta. Tambak seluas itu bisa mengasuh 5.000 bibit udang tiger. Dibutuhkan ongkos nyaris tiga juta untuk bibit tiger sebanyak itu. Intinya, tak ke mana duit lima juta demi meraup keuntungan setara ongkos naik haji. Bahkan bisa lebih.
Tentu Uwak Bandi paham, keuntungan menyerupai lumba-lumba yg menyenangkan & kerugian laksana hiu yg kejam. Rezeki harimau, kata orang-orang. Untung sekalian atau buntung sepenuhnya! Namun, Tuhan Maha Mengabulkan doa. Keinginan ke Mekkah memberinya kekuatan untuk belasan hari mengorek bangkai tambak yg dangkal. Lumpur hasil korekan dionggok ke atas benteng tambak,pagar tanah yg berfungsi selaku pengepung air.
Lantas, paloh dengan-cara alami akan menyuplai air asin ke tambak. Melalui pengaturan pintu air, pasang surut paloh bakal menyegarkan tambak. Beres! Tapi tentu, selama tiga bulan, Uwak Bandi akan lebih banyak tinggal di tambak, khususnya malam hari. Kalau tidak, maling tiger akan leluasa memburaikan isi tambak. Untuk mempertahankan tambak, Uwak Bandi tak perlu lagi mendirikan pondok di pundak tambak. Sudah ada. Dinding tepasnya pun masih kuat. Ia cuma perlu mengubah atap rumbianya.
Serangga maritim sesekali pamer suara! Tadi, sebelum istirahat di beranda pondok, Uwak Bandi masih sempat mengitari pematang benteng beberapa kali. Tak perlu membawa senter karena bulan sedang ranum-ranumnya. Langit malam cerah. Hujan sore tadi telah menanggalkan daun-daun awan. Maka, cahaya keemasan bebas menyapu permukaan tambak pun menuntun mata & langkah Uwak Bandi menyusuri punggung benteng.
Ia memang mesti tetap awas. Selain maling tiger, masa 15 hari bulan—purnama masak—memaksa Uwak Bandi mesti jeli mengeja air. Pasang besar sering terjadi pada 15 hari bulan. Tak jarang pasang besar menyeberangkan udang ke luar tambak. Tapi Uwak Bandi boleh lega lantaran benteng sudah ditinggikannya dua hari lalu.
Dalam kewaspadaan, Uwak Bandi masih sempat memandang purnama di jantung langit. Pantulannya jatuh persis di pusar tambak. Sambil memutari sisi tambak, beliau membayangkan dirinya sedang tawaf, mengelilingi Kabah. ”Ya Allah, izinkan gue mencium bulan,” zikirnya penuh geli. Aih, tak sampai sepekan lagi masa panen tiba. Entahlah, berbagai akomodasi memihak kepadanya. Bukankah akomodasi namanya tatkala wabah penyakit tak menyerang tiger-tigerpiaraannya? Pun maling seperti enggan mengganggu tambaknya.
Mmh, kelana angannya begitu mudah menaklukkan Masjidil Haram. Tapi, udara dingin yg berbisa mengembalikan Uwak Bandi ke tambak. Daun-daun bakau riuh disabung angin. Uap garam menyengat penciumannya. Ia membelitkan sarung ke lehernya. Rokok disulut. Sebelum ke pondok, beliau pergi memastikan pintu air sudah terkunci. Selanjutnya, ya, Uwak Bandi bergegas menyalakan perapian dr potongan-potongan kayu waru. Ampuhlah untuk mengusir nyamuk, menawar cuek.
Lantas, beliau duduk bersandar di beranda pondok. Uwak Bandi mendapatkan dadanya sekonyong-konyong padang. Lapang. Diselimuti kehangatan api, beliau kembali memandang bulan kolam menyaksikan Kabah. He, Kabah 15 hari bulan, selorohnya ke diri sendiri. Tempias angin mengatupkan kelopak matanya. Wahai, Tanah Suci, gue datang, igaunya. Namun, ketika kelelapan siap menyongsong, Uwak Bandi terperanjat oleh bunyi debum air. Ia kumpulkan kesadaran, lalu berlari ke ufuk bunyi. Air pasang memenuhi tambak, membobol benteng. Dinding tambak terluka!
Angin menyalak! Suara hewan malam siur! Uwak Bandi banting langkah ke pintu air. Ampun, pintu air jebol didongkel pasang. Ia kembali ke benteng yg terluka. Sebab, tak ada faedahnya mengurusi pintu air yg roboh. Sudah niscaya lubang yg bersemayam di luka benteng bakal mengirim isi tambak ke paloh, terus ke maritim. Uwak Bandi terperangah, terengah. Ia sibuk merajut siasat, kerepotan mencari logika. Debur air, seimbang ternak yg hambur keluar sangkar, menciutkan nyalinya.
Uwak Bandi berlari ke pondok, kemudian kembali sambil menggendong setumpuk kayu waru. Dengan tubuh yg bergetar, beliau tancapkan kayu-kayu itu di lisan benteng yg jebol. Mana tahu mumpuni menghadang pasang yg hendak pergi ke alam. Tapi, apalah daya tancapan kayu di kumparan lumpur. Uwak Bandi menceburkan diri ke tambak. Ia jongkok, menyurukkan lengkung punggungnya ke liang benteng. Pinak-pinak air mirip jemari yg mencengkeram lehernya. Tapi, dia tak peduli. Sepasang tangannya terus mendorong-dorong air biar pulang ke tambak. ”Ayo, timpas! Surut kau air!” Uwak Bandi menghardik, terbata. Air bercampur lumpur menerobos mulutnya. Menyumbat kerongkongannya!
Tapi, air tak kunjung timpas—surut tak diturut. Terkaman pasang malah kian buas, membuat lubang yg lebih besar. Tubuhnya tak bisa menjadi akar bakau penentang arus. Pasang yg bergelicak deras memberantakkan wujud purnama di permukaan air. Cahaya keemasan pecah, berkembang menjadi kilau kecemasan. ”Kabahku! Hancur Kabahku!” Uwak Bandi meronta seperti kanak-kanak. Menempeleng pipi air bertubi-tubi untuk apa? Toh, kerumunan tiger sebesar kuncup telapak tangan orang sampaumur terus melintasi tubuhnya sebelum kesudahannya dirampas paloh, ditelan alam.
Uwak Bandi kekurangan tenaga, kehilangan doa. Tubuhnya dilumpuhkan air pasang. Kepalanya terdongak ke langit. Ei, kenapa dlm gontai kuyup persepsi, ia melihat Haji Sazali terbang ke pekarangan langit, menuju bulan? Haji Sazali tersenyum sambil melambaikan tangan, semacam kibas ajakan. Uwak Bandi ingin menyahut lambaian itu. Tapi, bentang tangannya tengah berjuang menjadi benteng. Air menyandera Uwak Bandi. Bahkan, memerosokkan tubuhnya ke nganga lubang. Tenaga Uwak Bandi tinggal ampas. Tubuhnya timbul tenggelam, diisap diembuskan air pasang. Ah, adakah yg mampu mendengar gelepar tangisnya di perut air?
”Haji Sazali, tega nian kau meninggalkanku….”