Contoh Puisi Kontemplasi Religius – Jika Sobat pernah merenungi perputaran kehidupan kita di dunia yg fana ini pastilah pada suatu titik Sobat pernah mengalami pengalaman religius ataupun bersinggungan dgn dunia kontemplasi imajiner yg balasannya menjinjing si ‘saya’ untuk mencari esensi wacana makna & hakikat pertanyaan-pertanyaan fundamental wacana kehidupan.
ujung penantian
Sesekali tertepis tulisan-tulisan dzikirku yg tak tertuntaskan
Perih nafas panjang yg kan tetap jadi diam-diam
Tepikan derita tak tetesi gumpalan hati
Yang belum keringkan puluhan nada sembilu
Bertumpuk warnai pucat kertas yg kucurkan retasan air mata insan
Aku ingin ajak kamu-sekalian tamasya ke peraduan keindahan
Tempat kembang seroja tunduk sambangi alur sungai
Air pun beruluk salam serahkan air matanya
Sebagai nafas penyambung amanat illahi
Aku ingin rangkul kamu-sekalian kunjungi tambatan sinar mentari pagi
Tempat sinar memendar bergegas belai beningnya embun
Sementara bumi lahirkan rerumputan kemayu
Tuk hijaukan rona memudar
Sebagai kesepakatan seorang penjaga palawa pada pencipta
Tarikan kasih itu tulisi keinginan pendamba mimpi
Torehkan takdir kembali lewat coretan terberkahi
Pada kancah perkelahian para perupa mahligai kencana
Menjadi secercah bias yg berulang
Sirami layunya kembang dunia
Duhai Maha Segala…
Semua yg lingkupiku jadi kian tak bertahta
Semenjak cercah sinarMu pendar cantumkan rindu
Bangunkan jenak tidurku
Tuk bergegas berdiri sebut namaMu
Nur…..kerlipanMu hantar Ma’rifat
Nur….keagunganMu arifkan sepenggal ayat
Lirabbil Aalamin…itulah ruh kepastian nan senantiasa kan ku sambut
Duhai Raab-ku…
Kaulah pelita penerang dlm gulita malam
Kaulah kebenaran dlm dunia kebohongan
Dan kaulah pelangi dlm dunia yg terlukisi warna-warna pencuri mimpi
Dengan apakah gue gapai cahyaMu
Haruskah kubangan kan mendekapku slalu
Dalam lelah & penghambaan yg tak ada arti
Menemukanmu diantara ratusan mawar yg berserak
Selaksa menembus titik surga diantara warna-warni dunia
Semakin panjang alurmu tercium
Penat & resahku pun kemudian menghilang
Pabila datang harum wangimu sentuh kulitku
Semenjak langit masih lukiskan cakrawala pesona
Tumpahan itu moga kan tetap ada
Pabila bimbang larut mencair
Kuburkan letih gejolak jiwa
Akulah kumbang terkapar yg tengah kau hantar
Akulah air berlumpur yg tengah kau lebur
Pada putaran roda yg dekati alur senang
Engkaupun melati yg telah terpetik
Pada akad Tuhan yg tengah ku tepati
Pabila pemberhentian roda sudah tersepakati
Meditasi Kata
Kenangan melintasi hari-hari nan anyir
Saat cangkup kefanaan tertembus tetabuhan langkah
Mengerat jejak sejenak gulirkan sorot peduli
Pada serumpun kasih yg dulu terkoyak
Terangkat kembali melalui dzikir-dzikir sunyi
Pernahkah kau sadari mencintaiku adalah dosa yg tak berupa
Gembirakan perasaanku pula hal yg amatlah terkutuk
Maka sisipilah logika sehatku dgn petuah-petuah bijakmu
Bangunkan malamku dgn tangisan tahajudmu
Agar gue & dosaku
Kuingin lagi kembalikan lembutmu yg terberai dgn paksa
Dan memelukmu dlm gerimis hujan
Sebab tak kusangka kau bisa begitu tepat cuci hatiku
Tuangkan penawar lewat tatapan lembut mata bercadar
Lengkapi kesepakatan pada pemberhentian mimpi
Dengan latihan menawan
Kau acungkan kepalan
Gelembungkan ratusan urat tangan
Singsingkan baju lewati lengan
Tuk pisahkan kasih ibu pada anak Tuhan
Dengan tatap yg masih terpaku
Matamu susuri bacaan paling bermutu
Hantarkan keseluruh urat otakmu
Cangkokan dlm kata anak-anakku
Tuk repihkan komitmen yg kau paksakan atas nama tuntunan pedoman
Pabila keabadian lebih gue cintakan
Maka leburkanlah segala nista yg tlah tertumpah
Karna kekekalan adalah tingkah yg kan kunjung hakimi ku
Pabila letih lebih gue dekati
Maka hakimilah segala laku yg kan ku jalani
Karna hidup yakni persinggahan jengah yg halangi tuk tapaki jalanNya
Tapi pabila ragu-ragu perihal final nanti terus lingkupi
Jadikanlah ibadahku selaku kendaraan tuk melaju
Menembus segala ruang & waktuNya
Iqbal pernah papahku berdiri
Tuk sambangi kasih semesta yg berserak
Jelajahi lembah-lembah percakapan sepi
Tuk penuhi pundi ma’rifat dgn takbir semesta
Hingga jatuhkan penggalan malam pada dentang lonceng yg ketiga
Dinyalakannya ghirah yg bakar dingin sanubari
Disentuhnya ragaku hingga leleh menetes diatas cawan para pecinta
Tuk lepaskan anggur berpundi kesegenap makhuk yg pernah melupa
Lalu hilanglah gue disela awan yg beserak
Timbun bayanganku sendiri dgn letupan yg berkecambah
Jadikan tubuhku sendiri pada pucuk syahadat
Dalam sendawa langit menyentak gerak
Disela air-air mataNya yg sarat ma’rifat
Di penghujung labirin angkasa yg makin beku itu
Kembali kikisan kata-katanya merenggut makna
Pada istilah penghalang lirik-lirik bisu
Yang sejenak gigilkan seluruh tingkah pertobatanku
Ataupun hunuskan petuah-petuah pusaka
Letupan-letupan itu kan tetap ada
Pada paduan bulir ranum yg titiskan buah-buah pada pohonNya
Karena…
Sebagai angin kita tak selayaknya tertawan
Sebab hembus keleluasaan senantiasa tiupkan keniscayaan
Sebagai api kita pun tak sepatutnya terpadamkan
Sebab nyalanya ialah penerang jagad kehampaan
Sebagai salju pun kita tak selayaknya terlelehkan
Sebab dinginnya merupakan jalan tuk bekukan penindasan
Tapi mungkinkah selaku sang waktu kita tertembus pijak langkah
Yang selalu mereka lekatkan atas nama buah manis kebijaksanaan?