close

10 Contoh Puisi Joko Pinurbo

Joko Pinurbo & Contoh Karya Puisinya – Siapakah penyair yg lirik-lirik puisinya sering dianggap nyleneh ini? Penyair Joko Pinurbo merupakan penyair yg lahir di Sukabumi, Jawa Barat, 11 Mei 1962. Ia menuntaskan pendidikan Bahasa & Sastra Indonesia pada IKIP Sanata Darma Yogyakarta tahun 1987 & kemudian menjadi staf pengajar di almamaternya.

Sejak tahun 1979 ia sudah mempelajari puisi & atau sajak-sajak yg dibuat oleh para sastrawan terkenal Indonesia. Selama 20 tahun ia mengamati puisi/sajak, selama itu pula ia belum menciptakan satu puisi pun. Hingga kesannya pada tahun 1999 barulah ia menghasilkan puisi & membukukan dlm suatu tema celana, yg berdasarkan pengakuannya belum pernah penyair sebelumnya memakai kata tersebut dlm puisinya.

Sejak tahun 1999 hingga sekarang sudah 10 buku kumpulan puisi diluncurkan diantaranya Celana (1999), Di Bawah Kibaran Sarung (2001), Pacarkecilku (2002), Telepon Genggam (2003), Kekasihku (2004), Pacar Senja – Seratus Puisi Pilihan (2005) & kumpulan puisi Kepada Cium (terbit tahun 2007). Suatu jumlah yg sangat produktif (satu tahun satu buku) yg belum ada tandingannya oleh penyair Indonesia lainnya. Beberapa buku kumpulan puisinya memperoleh kado Sastra Lontar 2001, Sih Award (Penghargaan Puisi Terbaik Jurnal Puisi) 2001, Penghargaan Sastra Pusat Bahasa Depdiknas 2002, Tokoh Sastra PIlihan Tempo 2001, Penghargaan Sastra Khatulistiwa 2005.

Karya Joko dimungkinkan untuk nyeleneh lantaran bentuknya yg bercerita. Secara lazim, sajaknya yakni sajak yg bercerita. Itu ciri terutama. Barangkali sebagian mampu dianggap kalangan kisah mini juga. Bentuk ini punya konsekuensi yg menguntungkan penyair. Yaitu, bahwa pembaca mengira suatu alur & suatu akhir. Dari pikiran permulaan yg tak sepenuhnya disadari inilah Joko mengemudikan kisah mininya pada alur & selesai yg tak terduga, menyangkutkannya pada simpul-simpul yg aneh pula. Simpul-simpul ini kerap kali adalah tema-tema besar tersembunyi yg muncul dengan-cara ganjil seperti simptom ketegangan saraf.

Oke Sob, untuk lebih memahami karya sastra penyair yg satu ini, mari kita simak bareng 10 teladan puisi Joko Pinurbo dibawah ini.

DI BAWAH KIBARAN SARUNG

Di bawah kibaran sarung bawah umur berangkat tidur
ke haribaan malam. Tidur mereka seperti tidur yg baka.
Tidur yg dijaga & disambangi seorang lelaki kurus
dengan punggung melengkung, mata yg dlm & cekung.
“Hidup orang miskin!” pekiknya sambil membentangkan sarung.

“Hidup sarung!” seru seorang wanita, sahabat malam,
yang rajin menyimak hujan. Lalu ia mainkan piano,
piano tua, di dada laki-laki itu. “Simfoni batukmu, nada-nada
sakitmu, musik klasikmu, mengalun merdu sepanjang malam,”
hibur wanita itu dgn mata setengah terpejam.

Di bawah kibaran sarung
rumah yakni kampung.
Kampung kecil di mana kamu
mampu ngintip yg serba gaib:
kisah senja, celoteh cinta,
sungai coklat, dada langsat,
parade susu, susu bagus
dan pantat nungging
yang kausebut nasib.

Kampung kumal di mana penyakit,
onggokan sampah, sumpah serapah,
mayat amis, anjing kawin,
maling mabuk, piring pecah,
tikus ngamuk, timbunan tinja
ialah tetangga.

“Rumahku ialah istanaku,”
kata perempuan itu sambil terus
memainkan pianonya, piano tua,
piano kesayangan.

“Rumahku adalah kerandaku,”
timpal laki-laki itu sambil terus
meletupkan batuknya, batuk darah,
batuk kemenangan.

Dan mirip keranda mencari penumpang
dari jauh terdengar bunyi andong
mengundang pulang. Kling klong kling klong.

  10 Contoh Puisi Mustofa Bisri

Di bawah kibaran sarung
kutuliskan puisimu,
di rumah kecil yg acuh taacuh terpencil.
Seperti wanita perkasa
yang betah berjaga
menemani kantuk, mengawalsakit
di remang cahaya:
menghitung iga, memainkan piano
di dada laki-laki bau tanah
yang gelagapan mengucap doa.

Ya, kutuliskan puisimu
kulepaskan ke seberang
seperti kanak-kanak berangkat tidur
ke haribaan malam.

Ayo jumpai gue di bawah kibaran sarung
di daerah yg jauh terlindung.


(1999)

pekat.

Aku ini seorang peternak: saban hari
mengembangbiakkan kata, & belum kudapatkan kata
yang bisa mengucapkan kita.

Kata yg kucari, konon, ada di dlm telurku ini.
Kuperam telurku di ranjang kata-kata yg sudah usang
tak lagi melahirkan kata. Kuerami ia saban malam
sampai tubuhku demam & mulutku sarat igauan.

Kalau gue lagi asyik mengeram, diam-membisu telurku
suka meloncat, memantul-mantul di lantai,
kemudian menggelinding pelan ke toilet,
dan tatkala hampir saja nyemplung ke lubang kloset
cepat-cepat ia kutangkap & kubawa pulang ke ranjang.

Mana telurku? Tiba-tiba banyak orang merasa
kehilangan telur & menyangka gue sudah mencurinya
dari ranjang mereka.

Ah telur kata, telur derita, karenanya kamu menetas juga.
Kau menggelembung, memecah, memuncratkan darah.
Itu bukan telurku!

(2001)

PACAR KECILKU
untuk Anggra

Pacarkecilku bangun di subuh hari tatkala azan tiba
membangunkan mimpi. Pacarkecilku berlari ke halaman,
menadah hujan dgn botol mainan, menyimpannya
di kulkas sepanjang hari, & malamnya ia lihat di botol itu
gumpalan cahaya warna-warni.

Pacarkecilku lelap tidurnya, botol pelangi dlm dekapnya.
Ketika bangun ia berkata: “Tadi kamu ke mana?
Aku mencarimu di rerimbun taman bunga.”
Aku terdiam. Sepanjang malam gue hanya berjaga
di samping tidurnya supaya mampu menyaksikan bagaimana azan
secara perlahan-lahan membuka matanya.

Pacarkecilku tak akan mengerti: pelangi dlm botol cintanya
bakal berganti menjadi kuntum-kuntum mawar-melati
yang akan ia taburkan di atas jasadku, nanti.


(2001)

berkenalan
dengan wanita yg kebetulan menghampirinya.
Mata mengincar mata, merangkum ruang.
Rasanya kita pernah bertemu. Di mana ya? Kapan ya?
Mata: kristal waktu yg tembus pandang.

Di tengah hingar mereka berjabat tangan, berdebar-debar,
bertukar nama & nomor, menyimpannya
ke telepon genggam, kemudian saling janji: Nanti kontak
saya ya. Sungguh lho. Awas bila tidak.

Pulang dr pesta, ia mulai menunjukkan gejala
sakit jiwa. Jas yg seharusnya dilepas malah dirapikan.
Celana yg sebaiknya dicopot malah dikencangkan.
Ingin ke kamar tidur, tahu-tahu sudah di kamar mandi.
Mau bilang jauh di mata, eh keliru erat di hati.

Masih terngiang denting gelas, lenting piano
dan lengking lagu di pesta itu. Semuanya tinggal
gemerincing rindu yg perlahan namun niscaya
meleburkan diri ke dlm telepon genggamnya,
menjadi tata cara sepi yg tak akan pernah habis diurainya.

Ia mondar-mandir saja di dlm rumah, bolak-balik
antara toilet & ruang tamu, menanti kabar
dari seberang, sambil tetap digenggamnya
benda mungil yg sangat dicinta: nirwana kecil
yang tak ingin ditinggalkan.

Dipencetnya terus sebuah nomor & yg muncul cuma
tulalit yg membuat sakitnya semakin berdenyit.
Sesekali tersambung juga, tetapi setiap ia bilang halo
jawabnya senantiasa Halo halo Bandung. Ia pukulkan
telepon genggamnya ke kepala, namun lalu diciumnya.

Kabar dr seberang tak kunjung datang, ia pergi saja
ke ranjang: tidur barangkali akan menjadikannya
sedikit damai. Ia terbaring terlentang, masih dengan
kaos kaki & jas yg dipakainya ke pesta, dan
telepon genggam tak pernah lepas dr cengkeram.
Telepon genggam: surga kecil yg tak mau ditinggalkan.

  Puisi Anak Kos Yang Sarat Arti Dan Usaha

Akhirnya terdengar pula bunyi panggilan. Ia berdebar
membayangkan perempuan itu mengucap salam:
Tidurlah sayang, sudah malam. Kau tak akan pernah
kutinggalkan. Ternyata cuma umpatan dr seseorang
yang tak ia kenal: Gile, tidur aja pake jas segala.
Emangnya mau mati?

Berpuluh pesan telah ia tulis & kirimkan
dan tak pernah ada jawaban. Hanya sekali ia terima pesan,
itu pun cuma iseng: Selamat, Anda mendapat kado
undian kendaraan beroda empat kodok. Segera kirimkan foto Anda
untuk dicocokkan dgn kodoknya.

Antara tertidur & terjaga, antara harap & putus asa,
telepon genggamnya tiba-tiba berbunyi nyaring.
Ia tempelkan benda ajaib itu ke telinganya & ia dengar
suara burung berkicau tak henti-hentinya. Suara burung
yang dulu sering ia dengar dr rerimbun pohon sawo
di halaman rumahnya, rumah ibu-bapaknya.

Di luar hujan sudah turun,
terdengar suara peronda meninggalkan gardu.
Ia ingin tidur saja alasannya merasa
tak ada lagi yg mesti ditunggu.
Ketika untuk terakhir kali ia menjajal menghubungi
nomor perempuan itu, ia terkesiap kagum melihat
layar telepon genggamnya memancarkan gambar
gerimis mengguyur senja.

Kalau mesti gila, gila sajalah. Ia ingin pulas dlm mimpi
yang ia tahu tak pernah niscaya. Emangnya gue pikirin?
Ia akal-akalan tak hirau, padahal sungguh butuh.
Ia betulkan jasnya, genggam erat surga kecilnya.
Lalu terpejam, terlunta-lunta: tubuh ringkih tak berdaya
yang ingin tetap tampak perkasa.

Ketika ia merasa bahwa tidur pun tak mampu lagi
menolongnya, telepon genggamnya tiba-tiba mengundang.
Ia dengar bunyi anak kecil menangis tak putus-putusnya.
Nyaring, lengking, lebih lengking dr hening.
Namun ia terpejam saja, terpejam sebisanya,
sementara telepon genggamnya meronta-ronta
dalam cengkeramannya.

Apa yg sedang ia bayangkan? Mungkin ia menyaksikan
seorang anak lelaki kecil pulang dr main layang-layang
di padang lapang & mendapatkan rumahnya sudah
kosong & lengang. Hanya terdengar suara burung
berkicau bersahutan di rerindang ranting & dahan.
Hanya ada seorang anak wanita kecil,
dengan raut rindu & binar bisu, sedang resah menanti.
Seperti saudara kembar yg ingin benar memeluknya
dalam haru, mengajaknya bermain di bawah pohon sawo:
pohon hayat yg tak terlihat waktu.

(2002/2003)

KEPADA PUISI

Kau adalah mata, gue airmatamu.

(2003)

KEKASIHKU
untuk Efaen

Pacar kecil duduk manis di jendela, 
menemani senja. Senja, katanya, seperti ibu
yang manis & kelelahan setelah seharian dikerjain kerja.

Ia bersiul ke senja seksi yg tinggal
terlihat kerdipnya: Selamat tidur, kekasihku.
Esok pagi kamu pasti akan datang dgn rambut gres.

Kupetik pipinya yg ranum,
kuminum dukanya yg belum: Kekasihku,
senja & sendu telah diawetkan dlm kristal matamu.


(2003)

PACAR SENJA

Senja mengajak pacarnya duduk-duduk di pantai.
Pantai sudah sepi & tak akan ada yg peduli.

Pacar senja sangat pendiam: ia senyum-senyum saja
menyimak gurauan senja. Bila senja minta peluk,
setengah saja, pacar senja tersipu-sipu.
“Nanti saja jikalau sudah gelap. Malu dilihat lanskap.”

Cinta seperti penyair berdarah hambar
yang cerdik menorehkan luka.
Rindu seperti sajak sederhana yg tak ada matinya.

  Puisi Menurut Strukturalnya

Tak terasa senyap pun tiba: senja tahu-tahu
melengos ke cakrawala, meninggalkan pacar senja
yang masih megap-megap oleh ciuman senja.
“Mengapa kau lewati gue sebelum sempat
kurapikan lagi waktu? Betapa lekas cium
menjadi bekas. Betapa curangnya rindu.
Awas, akan kupeluk habis kau esok hari.”

Pantai sudah gelap. Ada yg tak mampu lelap.
Pacar senja berangsur lebur, luluh, menggelegak
dalam gemuruh ombak.


(2003)

PENUMPANG TERAKHIR
untuk Joni Ariadinata

Setiap mudik, gue selalu menemui bang becak
yang mangkal di bawah pohon beringin itu & memintanya
mengantarku ke daerah-daerah yg gue suka.
Entah mengapa gue sangat suka tamasya dgn becaknya.
Mungkin alasannya genjotannya lezat, tanpa gangguan pula lajunya.

Malam itu gue minta diantar ke suatu kuburan.
Aku akan menabur kembang di atas makam nenek moyang.
Kuburan itu cukup jauh jaraknya & gue cemas bang becak
akan kecapaian, tapi orang tua itu bilang damai damai.

Sepanjang perjalanan bang becak tak henti-hentinya bercerita
wacana anak-anaknya yg pergi merantau ke Jakarta
dan mereka kini alhamdulillah sudah jadi orang.
Mereka sungguh sibuk dicari duit & hanya sesekali pulang.
Kalaupun pulang, belum tentu mereka sempat tidur di rumah
karena repot mencari ini itu, termasuk mencari utang
buat ongkos pulang ke perantauan.

Baru separuh jalan, nafas bang becak sudah ngos-ngosan,
batuknya mengamuk, pandang matanya berkunang-kunang,
aduh kasihan. “Biar gantian saya yg menggenjot, Pak.
Bapak duduk manis saja, pura-pura jadi penumpang.”

Mati-matian gue mengayuh becak bau tanah itu menuju kuburan,
sementara si kakak becak tertidur nyaman, bahkan mungkin
berkhayal, di dlm becaknya sendiri.

Sampai di kuburan gue berseru berdiri dong pak,
tetapi tuan penumpang membisu saja, malah semakin pulas tidurnya.
Aku tak tahu apakah bunga yg kubawa akan kutaburkan
di atas makam nenek moyangku atau di atas badan
bang becak yg kesepian itu.


(2002)



CELANA, 1

Ia ingin berbelanja celana gres
buat pergi ke pesta
supaya terlihat lebih ganteng
dan meyakinkan.

Ia telah menjajal seratus versi celana
di aneka macam toko pakaian
tetapi tak mendapatkan satu pun
yang tepat untuknya.

Bahkan di depan pramuniaga
yang merubung & membujuk-bujuknya
ia malah mencopot celananya sendiri
dan mencampakkannya.

“Kalian tak tahu ya
aku sedang mencari celana
yang paling pas & patut
buat nampang di kuburan.”

Lalu ia ngacir
tanpa celana
dan berkelana
mencari kubur ibunya
hanya untuk menanyakan:
“Ibu, kausimpan di mana celana lucu
yang kupakai waktu bayi dahulu?”


(1996)


Ia sudah mendapatkan celana idaman
yang lama didambakan, meskipun untuk itu
ia harus berkeliling kota
dan masuk ke setiap toko busana.

Ia memantas-mantas celananya di cermin
sambil dgn gembira ditepuk-tepuknya
pantat tepos yg sok perkasa.
“Ini asli bikinan Amerika,” katanya
kepada si tolol yg berlagak di dlm beling.

Ia pergi pula malam itu, menemui kekasih
yang menunggunya di pojok kuburan.
Ia pamerkan celananya: “Ini asli buatan Amerika.”

Tapi perempuan itu lebih kesengsem
pada yg bertengger di dlm celana.
Ia sewot juga: “Buka & buang celanamu!”

Pelan-pelan dibukanya celananya yg gres,
yang gagah & canggih modelnya,
dan mendapatkan burung
yang selama ini dikurungnya
sudah kabur entah kemana.

(1996)