Dari hasil pengamatan arkeologi yg dilakukan di Kota Kapur, Pulau Bangka, pada tahun 1994, diperoleh suatu petunjuk ihwal kemungkinan adanya sebuah pusat kekuasaan di wilayah itu semenjak masa sebelum hadirnya Kerajaan Sriwijaya. Pusat kekuasaan ini meninggalkan temuan-temuan arkeologi berupa sisa-sisa suatu bangunan candi Hindu (Waisnawa) yang dibuat dr kerikil bareng dgn arca-arca kerikil, di antaranya dua buah arca Wisnu dgn gaya mirip arca-arca Wisnu yg didapatkan di Lembah Mekhing, Semenanjung Malaka, & Cibuaya, Jawa Barat, yg berasal dr masa sekitar periode ke-5 & ke-7 masehi. Sebelumnya di situs Kota Kapur selain sudah didapatkan suatu inskripsi watu dr Kerajaan Sriwijaya yg berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), sudah didapatkan pula peninggalan-peninggalan yg lain di antaranya suatu arca Wisnu & suatu arca Durga Mahisasuramardhini. Dari peninggalan-peninggalan arkeologi tersebut nampaknya kekuasaan di Pulau Bangka pada waktu itu bercorak Hindu-Waisnawa, mirip halnya di Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat.
Temuan lain yg penting dr situs Kota Kapur ini yakni peninggalan berupa benteng pertahanan yg kokoh berupa dua buah tanggul sejajar yang dibikin dr timbunan tanah, masing- masing panjangnya sekitar 350 meter & 1200 meter dgn ketinggian sekitar 2–3 meter. Penanggalan dr tanggul benteng ini memperlihatkan masa antara tahun 530 M hingga 870 M. Benteng pertahanan tersebut yg sudah dibangun sekitar pertengahan era ke-6 tersebut agaknya sudah berperan pula dlm menghadapi perluasan Sriwijaya ke Pulau Bangka menjelang selesai kala ke-7.
Penguasaan Pulau Bangka oleh Sriwijaya ini ditandai dengan dipancangkannya inskripsi Sriwijaya di Kota Kapur yg berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), yg isinya mengidentifikasikan dikuasainya wilayah ini oleh Sriwijaya. Penguasaan Pulau Bangsa oleh Sriwijaya ini agaknya berafiliasi dgn peranan Selat Bangsa selaku pintu gerbang selatan dr jalur pelayaran niaga di Asia Tenggara pada waktu itu. Sejak dikuasainya Pulau Bangka oleh Sriwijaya pada tahun 686 maka berakhirlah kekuasaan permulaan yg ada di Pulau Bangka.
C. Terbentuknya Jaringan Nusantara Melalui Perdagangan
Memahami teks
Pusat-sentra integrasi Nusantara berlangsung melalui penguasaan laut. Pusat-pusat integrasi itu berikutnya diputuskan oleh keahlian & kepedulian terhadap laut, sehingga terjadi perkembangan gres, setidaknya dlm dua hal, yakni (i) pertumbuhan jalur jual beli yg melalui lokasi-lokasi strategis di pinggir pantai, & (ii) kesanggupan menertibkan (kontrol) politik & militer para penguasa tradisional (raja-raja) dlm menguasai jalur utama & pusat-pusat jual beli di Nusantara. Makara, prasyarat untuk dapat menguasai jalur & pusat jual beli diputuskan oleh dua hal penting yakni perhatian atau cara pandang, & kesanggupan menguasai lautan.
Jalur-jalur jual beli yg meningkat di Nusantara sangat diputuskan oleh kepentingan ekonomi pada ketika itu & perkembangan rute jual beli dlm setiap masa yg berbedabeda. Jika pada masa praaksara hegemoni budaya secara biasa dikuasai tiba dr penunjang budaya Austronesia di Asia Tenggara Daratan, maka pada masa perkembangan Hindu-Buddha di Nusantara terdapat dua kekuatan peradaban besar, yakni Cina di utara & India di kepingan barat daya. Keduanya merupakan dua kekuatan super power pada masanya & mempunyai dampak amat besar terhadap penduduk di Kepulauan Indonesia. Bagaimanapun, peralihan rute jual beli dunia ini sudah menenteng berkah tersendiri bagi masyarakat & suku bangsa di Nusantara. Mereka dengan-cara langsung terintegrasi ke dlm jaringan perdagangan dunia pada masa itu. Selat Malaka menjadi penting selaku pintu gerbang yg menghubungkan antara pedagang-pedagang Cina & pedagang-pedagang India.
Pada masa itu, Selat Malaka merupakan jalur penting dlm pelayaran & perdagangan bagi pedagang yg melintasi bandar- bandar penting di sekeliling Samudra Indonesia & Teluk Persia. Selat itu merupakan jalan laut yg menghubungkan Arab & India di sebelah barat maritim Nusantara, & dgn Cina di sebelah timur laut Nusantara. Jalur ini merupakan pintu gerbang pelayaran yg dikenali dgn nama “jalur sutra”. Penamaan ini digunakan semenjak masa ke-1 M hingga kala ke-16 M, dgn komoditas kain sutera yg dibawa dr Cina untuk diperdagangkan di wilayah lain. Ramainya rute pelayaran ini mendorong timbulnya bandar-bandar penting di sekeliling jalur, antara lain Samudra Pasai, Malaka, & Kota Cina (Sumatra Utara kini).
|
Pelayaran & Perdagangan internasional melalui Selat Malaka |
Kehidupan penduduk di sepanjang Selat Malaka menjadi lebih sejahtera oleh proses integrasi jual beli dunia yg melalui jalur laut tersebut. Mereka menjadi lebih terbuka dengan-cara sosial ekonomi untuk menjalin hubungan niaga dgn pedagang- pedagang asing yg melewati jalur itu. Di samping itu, penduduk setempat pula kian terbuka oleh efek- efek budaya luar. Kebudayaan India & Cina tatkala itu terperinci sungguh kuat terhadap penduduk di sekeliling Selat Malaka. Bahkan hingga sewaktu ini dampak budaya khususnya India masih bisa kita jumpai pada masyarakat sekitar Selat Malaka.
Selama masa Hindu-Buddha di samping kian terbukanya jalur niaga Selat Malaka dgn perdagangan dunia internasional, jaringan jual beli & budaya antarbangsa & penduduk di Kepulauan Indonesia pula meningkat pesat utamanya lantaran terhubung oleh jaringan Laut Jawa hingga Kepulauan Maluku. Mereka dengan-cara tak pribadi pula terintegrasikan dgn jaringan ekonomi dunia yg berpusat di sekeliling Selat Malaka, & sebagian di pantai barat Sumatra mirip Barus. Komoditas penting yg menjadi barang jual beli pada saat itu yakni rempah-rempah, seperti kayu manis, cengkih, & pala.
Pertumbuhan jaringan jualan internasional & antarpulau telah melahirkan kekuatan politik gres di Nusantara. Peta politik di Jawa & Sumatra kurun ke-7, mirip ditunjukkan oleh D.G.E. Hall, bersumber dr catatan pengunjung Cina yg tiba ke Sumatra. Dua negara di Sumatra disebutkan,
Mo-lo-yeu (Melayu) di pantai timur, tepatnya di Jambi kini di muara Sungai Batanghari. Agak ke selatan dr itu terdapat Che-li-fo-che, pengucapan cara Cina untuk kata bahasa sanskerta, Sriwijaya. Di Jawa terdapat tiga kerajaan utama, yakni di ujung barat Jawa, terdapat Tarumanegara, dgn rajanya yg terkemuka Purnawarman, di Jawa potongan tengah ada
Ho-ling (Kalingga), & di Jawa penggalan timur ada Singhasari & Majapahit.
|
Relief terakota yg menggambarkan paras wajah Arab atau Persia |
Selama periode Hindhu-Buddha, kekuatan besar Nusantara yg mempunyai kekuatan integrasi dengan-cara politik, sejauh ini dihubungkan dgn kebesaran Kerajaan Sriwijaya, Singhasari, & Majapahit. Kekuatan integrasi dengan-cara politik di sini maksudnya yaitu kemampuan kerajaan- kerajaan tradisional tersebut dlm menguasai wilayah-wilayah yg luas di Nusantara di bawah kontrol politik dengan-cara longgar & menempatkan wilayah kekuasaannya itu selaku kesatuan- kesatuan politik di bawah pengawasan dr kerajaan-kerajaan tersebut. Dengan demikian pengintegrasian antarpulau dengan-cara lambat laun mulai terbentuk.
|
Relief terakota yg menggambarkan paras wajah orang India |
Kerajaan utama yg disebutkan di atas meningkat dlm periode yg berlainan-beda. Kekuasaan mereka bisa mengontrol sejumlah wilayah Nusantara lewat aneka macam bentuk media. Selain dgn kekuatan jualan , politik, pula kekuatan budayanya, tergolong bahasa. Interelasi antara aspek-faktor kekuatan tersebut yg bikin mereka sukses mengintegrasikan Nusantara dlm pelukan kekuasaannya. Kerajaan-kerajaan tersebut meningkat menjadi kerajaan besar yg menjadi representasi sentra- sentra kekuasaan yg kuat & mengontrol kerajaan-kerajaan yg lebih kecil di Nusantara.
|
Relief terakota yg menggambarkan paras paras orang Cina |
Hubungan sentra & tempat cuma mampu berlangsung dlm bentuk hubungan hak & keharusan yg saling menguntungkan (mutual benefit). Keuntungan yg diperoleh dr pusat kekuasaan antara lain, berupa pengakuan simbolik seperti kesetiaan & pembayaran upeti berupa barang-barang yg digunakan untuk kepentingan kerajaan, serta barang-barang yg mampu diperdagangkan dlm jaringan perdagangan internasional. Sebaliknya kerajaan- kerajaan kecil memperoleh proteksi & rasa kondusif, sekaligus kebanggaan atas korelasi tersebut. Jika pusat kekuasaan sudah tak mempunyai kesanggupan dlm mengontrol & melindungi wilayah bawahannya, maka sering terjadi pembangkangan & sejak itu kerajaan besar terancam disintegrasi. Kerajaan-kerajaan kecil lalu melepaskan diri dr ikatan politik dgn kerajaan-kerajaan besar lama & beralih loyalitasnya dgn kerajaan lain yg mempunyai kesanggupan mengontrol & lebih bisa melindungi kepentingan mereka. Sejarah Indonesia masa Hindu- Buddha ditandai oleh proses integrasi & disintegrasi semacam itu. Namun dengan-cara keseluruhan proses integrasi yg lambat laun itu kian mantap & kuat, sehingga kian mengukuhkan Nusantara selaku negeri kepulauan yg dipersatukan oleh kekuatan politik & perdagangan.
Kompas selama dua hari berturut-turut (30-31 Maret 2013) membuat liputan ihwal jelajah masakan. Mari kita simak postingan itu bareng -sama:
“Orang India Selatan tiba bergelombang ke Sumatra semenjak ribuan tahun silam. Jejak migrasi itu antara lain terekam di antara harum bumbu kari & keagungan Kuil Shri Mariamman di Medan, Sumatra Utara. Kuil itu merupakan tapal sejarah gelombang terbesar kedatangan orang India Selatan ke Sumatra demi rempah & kapur barus, gelombang paling besar orang India pada tahun 1880-an didatangkan Kuypers & Nienhuys selaku buruh perkebunan”.
D. Akulturasi Kebudayaan Nusantara & Hindu-Buddha
Akulturasi kebudayaan yakni suatu proses percampuran antara unsur-unsur kebudayaan yg satu dgn kebudayaan yg lain, sehingga membentuk kebudayaan baru. Kebudayaan gres yg merupakan hasil percampuran itu masing-masing tak kehilangan kepribadian/ciri khasnya. Oleh lantaran itu, untuk bisa berakulturasi, masing-masing kebudayaan harus sepadan. Begitu pula untuk kebudayaan Hindu-Buddha dr India dgn kebudayaan Indonesia asli.
Contoh hasil akulturasi antara kebudayaan Hindu-Buddha dgn kebudayaan Indonesia orisinil selaku berikut.
1. Seni Bangunan
Bentuk-bentuk bangunan candi di Indonesia kebanyakan merupakan bentuk akulturasi antara unsur-unsur budaya Hindu- Buddha dgn unsur budaya Indonesia orisinil. Bangunan yg megah, patung-patung perwujudan ilahi atau Buddha, serta cuilan-penggalan candi & stupa merupakan unsur-unsur dr India. Bentuk candi-candi di Indonesia pada hakikatnya yakni punden berundak yg merupakan unsur Indonesia sahih. Candi Borobudur merupakan salah satu teladan dr bentuk akulturasi tersebut.
|
Sketsa perpaduan aturan vastusastra & kemahiran lokal |
2. Seni Rupa & Seni Ukir
Masuknya dampak India pula menenteng perkembangan dlm bidang seni rupa, seni pahat, & seni ukir. Hal ini dapat dilihat pada relief atau seni ukir yg dipahatkan pada cuilan dinding-dinding candi. Misalnya, relief yg dipahatkan pada dinding-dinding pagar langkan di Candi Borobudur yg berupa pahatan riwayat Sang Buddha. Di sekitar Sang Buddha terdapat lingkungan alam Indonesia mirip rumah panggung & burung merpati.
Pada relief kala makara pada candi dibikin sungguh indah. Hiasan relief kala makara, dasarnya yaitu motif binatang & berkembang-flora. Hal semacam ini sudah diketahui semenjak masa sebelum Hindu. Binatang-binatang itu dipandang suci, maka sering diabadikan dgn cara di lukis.
|
Relief binatang pada Candi Borobudur |
3. Seni Pertunjukan
Menurut JLA Brandes, gamelan merupakan satu diantara seni pertunjukan orisinil yg dimiliki oleh bangsa Indonesia sebelum masuknya unsur-unsur budaya India. Selama waktu berabad- era gamelan pula mengalami perkembangan dgn masuknya unsur-unsur budaya gres baik dlm bentuk maupun kualitasnya. Gambaran mengenai bentuk gamelan Jawa antik masa Majapahit mampu dilihat pada beberapa sumber, antara lain prasasti & kitab kesusastraan. Macam-macam gamelan bisa dikelompokkan dlm
chordaphones, aerophones, membranophones, tidophones, dan
xylophones.
4. Seni Sastra & Aksara
Pengaruh India menenteng perkembangan seni sastra di Indonesia. Seni sastra waktu itu ada yg berbentuk prosa & ada yg berupa tembang (puisi). Berdasarkan isinya, kesusastraan bisa dikelompokkan menjadi tiga, yakni tutur (pitutur kitab keagamaan), kitab hukum, & wiracarita (kepahlawanan). Bentuk wiracarita ternyata sangat terkenal di Indonesia, khususnya kitab Ramayana & Mahabarata. Kemudian timbul wiracarita hasil gubahan dr para pujangga Indonesia. Misalnya, Baratayuda yg digubah oleh Mpu Sedah & Mpu Panuluh. Juga hadirnya cerita- cerita Carangan.
Berkembangnya karya sastra utamanya yg bersumber dr Mahabarata & Ramayana, melahirkan seni pertunjukan wayang kulit (wayang purwa). Pertunjukan wayang kulit di Indonesia, khususnya di Jawa sudah begitu mendarah daging. Isi & kisah pertunjukan wayang banyak mengandung nilai-nilai yg bersifat edukatif (pendidikan). Cerita dlm pertunjukan wayang berasal dr India, tetapi wayangnya sahih dr Indonesia. Seni pahat & ragam luas yg ada pada wayang diubahsuaikan dgn seni di Indonesia.
Disampingbentukdanragamhiaswayang, munculpulatokoh- tokoh pewayangan yg khas Indonesia. Misalnya tokoh-tokoh punakawan mirip Semar, Gareng, & Petruk. Tokoh- tokoh ini tak didapatkan di India. Perkembangan seni sastra yg sangat cepat disokong oleh penggunaan huruf pallawa, misalnya dlm karya-karya sastra Jawa Kuno. Pada prasasti-prasasti yg didapatkan terdapat unsur India dgn unsur budaya Indonesia. Misalnya, ada prasasti dgn huruf Nagari (India) & huruf Bali Kuno (Indonesia).
|
Add captionGambar salah satu tokoh wayang |
5. Sistem Kepercayaan
Sejak masa praaksara, orang-orang di Kepulauan Indonesia sudah mengenal simbol-simbol yg bermakna filosofis. Sebagai acuan, bila ada orang meninggal, di dalam kuburnya disertakan benda-benda. Di antara benda-benda itu ada lukisan orang naik perahu, ini memberikan makna bahwa orang yg sudah meninggal tersebut rohnya akan melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan yg membahagiakan yakni alam baka. Masyarakat waktu itu sudah percaya adanya kehidupan sehabis mati, yakni selaku roh halus.Oleh karena itu, roh nenek moyang dipuja oleh orang yg masih hidup (animisme).
Setelah masuknya dampak India kepercayaan terhadap roh halus tak punah. Misalnya dapat dilihat pada fungsi candi. Fungsi candi atau kuil di India ialah selaku tempat pemujaan. Di Indonesia, di samping selaku tempat pemujaan, candi pula selaku makam raja atau untuk menyimpan bubuk mayit raja yg telah meninggal. Itulah sebabnya peripih tempat penyimpanan bubuk mayat raja diresmikan patung raja dlm bentuk mirip yang kuasa yg dipujanya. Ini terang merupakan perpaduan antara fungsi candi di India dgn tradisi pemakaman & pemujaan roh nenek moyang di Indonesia.
Bentuk bangunan lingga & yoni pula merupakan tempat pemujaan utamanya bagi orang-orang Hindu penganut Syiwaisme. Lingga yakni lambang Dewa Syiwa. Secara filosofis lingga & yoni yakni lambang kesuburan & lambang kemakmuran. Lingga lambang pria & yoni lambang perempuan.
6. Sistem Pemerintahan
Setelah hadirnya dampak India di Kepulauan Indonesia, diketahui adanya metode pemerintahan dengan-cara sederhana. Pemerintahan yg dimaksud ialah semacam pemerintah di suatu desa atau daerah tertentu. Rakyat mengangkat seorang pemimpin atau semacam kepala suku. Orang yg dipilih selaku pemimpin biasanya orang yg sudah renta (senior), arif, dapat membimbing, mempunyai keunggulan-keunggulan tertentu termasuk dlm bidang ekonomi, berwibawa, serta mempunyai semacam kekuatan gaib (keampuhan). Setelah dampak India masuk, maka pemimpin tadi diubah menjadi raja & wilayahnya disebut kerajaan. Hal ini dengan-cara terperinci terjadi di Kutai.
Salah satu bukti akulturasi dlm bidang pemerintahan, misalnya seorang raja mesti berwibawa & dipandang bila sang raja mempunyai kekuatan mistik seperti pada pemimpin masa sebelum Hindu-Buddha. Karena raja memiliki kekuatan gaib, maka oleh rakyat raja dipandang dekat dgn yang kuasa. Raja kemudian disembah, & bila sudah meninggal, rohnya dipuja-puja.
7. Arsitektur
Bentuk alkulturasi budaya lain yg bisa dilihat hingga saat ini yaitu arsitektur pada bangunan-bangunan keagamanan. Bangunan keagamaan berupa candi atau arca sungguh dimengerti pada masa Hindu-Buddha. Hal ini terlihat pada sosok bangunan sakral peninggalan Hindu mirip Candi Sewu, Candi Gedungsongo, & masih banyak lagi. Juga bangunan pertapaan – wihara merupakan bangunan berundak. Bangunan ini mampu dilihat pada beberapa Candi Plaosan, Candi Jalatunda, Candi Tikus, & masih banyak lagi. Bentuk lain berupa stupa berundak yg mampu dilihat pada bangunan Borobudur. Di samping itu pula terdapat bangunan Gua, mirip Gua Selomangkleng Kediri, & Gua Gajah. Bangunan yang lain mampu berupa gapura paduraksa seperti Candi Bajangratu, Candi Jedong, & Candi Plumbangan. Untuk mengerti lebih lanjut baca buku Agus A. Munandar, Sejarah Kebudayaan Indonesia.
Bangunan suci berundak itu sesungguhnya sudah meningkat subur dlm zaman praaksara, sebagai penggambaran dr alam semesta yg bertingkat-tingkat. Tingkat paling atas yakni tempat persemayaman roh nenek moyang. Punden berundak itu menjadi fasilitas khusus untuk persembahyangan dlm rangka pemujaan terhadap roh nenek moyang.
Pemikiran dasar & filsafat yg melandasi kepercayaan ini terus hidup di dlm alam kehidupan, meskipun tak begitu tampil di permukaan. Sebagai setempat genius yg memutuskan arah perkembangan kebudayaan Indonesia dlm mengolah imbas Hindu-Buddha maka unsur-unsur praaksara itu makin nampak pengaruhnya. Ungkapan-perumpamaan mirip candi, misalnya dipahami maknanya cuma selaku pemujaan roh nenek moyang. Alas atau kaki candi berupa persegi/bujursangkar, berketinggian mirip batur & dicapai melalui tangga yg langsung dapat menuju bilik candi. Di tengah kaki candi terdapat perigi tempat menanam peripih. Bagian kaki candi disimbolkan selaku Bhurloka dlm pedoman Hindu atau Kamaloka dlm fatwa Buddha.
Denah penggalan tubuh candi pada biasanya berdimensi lebih kecil dr alasnya, sehingga membentuk serambi. Bagian tubuh ini bisa berupa kubus atau silinder yg berisi satu atau empat bilik. Pada candi Hindu lubang perigi yg ditutup yoni terdapat di tengah bilik utama, dinding luar terdapat relung-relung yg isi arca. Pada pecahan atas setiap pintu masuk candi dihiasi kepala kala yg diketahui selaku banaspati, yakni lambang penjaga.
Bagian atap candi senantiasa terdiri dr susunan tingkatan yg mengkecil ke atas, & diakhiri dgn mahkota. Mahkota ini bisa berupa stupa, lingga, ratna, atau berupa kubus. Bagian atap candi disimbolkan sebagai tempat persemayaman tuhan. Khusus untuk candi-candi Buddha memakai stupa selaku elemennya.
Secara keseluruhan candi menggambarkan hubungan makrokosmos atau alam semesta yg dibagi menjadi tiga, yakni alam bawah tempat insan yg masih mempunyai nafsu, alam antara tempat insan telah meninggalkan keduniawian & dlm kondisi suci menemui Tuhannya, & alam atas tempat- tuhan-ilahi.
E. Kesimpulan
- Sejak semula terlihat bahwa letak geografis Nusantara (yang kemudian menjadi Indonesia) memainkan kiprah utama sejak zaman praaksara. Faktor geografis ini kelihatannya merupakan faktor permanen dlm perjalanan sejarah Indonesia sepanjang masa. Peran itu ditunjukkan di zaman Hindu-Buddha, tatkala jalur utama dlm pelayaran samudra makin pesat & mengintegrasikan wilayah antarpulau. Kondisi demikian disokong dgn keterlibatan nenek moyang kita dengan-cara aktif dlm perdagangan laut, & mengarungi lautan. Ini pada gilirannya sudah menumbuhkan kekuatan ekonomi & politik yg besar di Nusantara sehingga bisa mengintegrasikan wilayah-wilayah di Nusantara utamanya era Kerajaan Sriwijaya, Singhasari & Majapahit.
- Silang budaya Nusantara di zaman praaksara terlihat terang tatkala masuknya efek budaya Austronesia. Sebagian besar dimungkinkan berkat posisi silang letak geografis Nusantara (di antara dua benua & dua samudra). Sekali lagi pola itu diulangi lewat integrasi budaya lebih banyak didominasi mirip Hindu-Buddha. Sumbangan terbesar dr zaman Hindu-Buddha merupakan membebaskan Nusantara dr zaman praaksara & memberi jalan bagi perkembangan ilmu pengetahuan & teknologi untuk zamannya. Budaya tulis tetap merupakan serpihan penting dlm perkembangan peradaban hingga hari ini. Meskipun sekarang kita sudah mengenal media cyber (media maya), budaya tabrakan pena tak akan pernah ditinggalkan & bahkan akan makin maju apabila generasi kita kian menguasai bahasa tulis.
- Interaksi antara budaya Nusantara dgn budaya lebih banyak didominasi Hindu- Buddha waktu itu, memperlihatkan budaya Indonesia bukanlah penerima yg pasif, melainkan aktif. Makara terjadi upaya seleksi (filter) tanpa perlu merendahkan, apa lagi mengucilkan budaya asli nenek moyang yg sebelumnya. Proses inilah yg dinamakan proses ‘akulturasi budaya’. Bangsa Indonesia pula melahirkan modifikasi-modifikasi lokal genius, yakni semacam kritik & mempertanyakan budaya yg lama sambil memperbarui & memperkuatnya sehingga bisa menghasilkan peradaban tinggi (great tradition) hasil modifikasi dr interaksi budaya orisinil Kepulauan Indonesia dgn budaya Hindu-Buddha.
- Tumbuhnya negara-negara tradisional (kerajaan) yg bercorak Hindu-Buddha tak cuma mewariskan peninggalan-peninggalan sejarah dgn peradaban yg lebih tinggi dr masa nenek moyang sebelumnya, tetapi pula semacam mahakarya yg awet mirip Borobudur. Lebih dr itu kekayaan pemikiran mengenai konsep kekuasaan, bahasa, & sastra serta kosmologi alam makro & mikro. Kesemuanya terekspresikan dlm sikap sehari-hari & sebagian besar masih hidup dlm penduduk hingga kini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. dan Adrian B. Lapian (eds.). 2012. Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid I. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve melakukan pekerjaan sama dengan Kementerian Pendidikan & Kebudayaan RI
———. 2012. Indonesia dlm Arus Sejarah. Jilid II. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve bekerja sama dgn Kementerian Pendidikan & Kebudayaan RI.
Adrisijanti, Inajati & Andi Putranto (ed). 2009. Membangun Kembali Prambanan. Yogyakarta: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala.
Anonim. 1988. Seri Penerbitan Sejarah Peradaban Manusia Zaman Mataram Kuno. Jakarta: Gita Karya.
Badrika, I Wayan. 2006. Sejarah untuk SMA Kelas X. Jakarta: Erlangga.
C. G. G. J. Van Steenis, 2006. Flora Pegunungan Jawa. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Daldjoeni, N.1992. Geografi kesejarahan II Indonesia. Bandung: Alumni. Direktorat Permuseuman. 1997. Untaian Manik-Manik Nusantara. Jakarta:
Departemen Pendidikan & Kebudayaan.
Forestier, Hubert. 2007. Ribuan Gunung, Ribuan Alat Batu: Prasejarah Song Keplek, Gunung Sewu, Jawa Timur. Jakarta: KPG, EFEO, Puslit Arkenas.
Hall, D. G . E. 1988. Sejarah Asia Tenggara. Sutabaya: PT Usaha Nasional.
Kartodirdjo, Sartono.1987. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900 dr Emporium hingga Empirium. Jakarta: Gramedia
Koentjaraningrat. 1997. Manusia & Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan
Kristinah, Endang & Aris Soviyani. 2007. Mutiara-Mutiara Majapahit.
Jakarta: Departemen Kebudayaan & Pariwisata.
Lombard, Denis. 2005. Nusa Jawa : Silang Budaya, Bagian III : Wawasan Kerajaan-Kerajaan Konsentris. Jakarta: PT. Gramedia.
Munandar, Agus Aris (ed). 2007. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Religi dan Falsafah, Direktorat Geografi Sejarah. Jakarta: Departemen Budaya dan Pariwisata.
Mustopo, M. Habib, dkk. 2010. Sejarah 1, Jakarta: Yudhistira. Notosusanto, Nugroho dkk. 1985. Sejarah Nasional Indonesia 1 untuk
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Jakarta: Depdikbud.
——–. 1985. Sejarah Nasional Indonesia 2 untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Jakarta: Depdikbud.
Pane, Sanusi. 1965. Sejarah Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. Poesponegoro, Marwati Djoened (dkk). 1993. Sejarah Nasional Indonesia
Jilid I, Jakarta: Balai Pustaka.
———. 1994. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
———. 1994. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Balai Pustaka. Proyek Penelitian & Pencacatan Kebudayaan. 1978. Sejarah Daerah Bali,
Jakarta: Departemen Pendidikan & Kebudayaan.
Rangkuti, Nurhadi. 2006.”Trowulan, Situs-Kota Majapahit” dalam
Majapahit. Jakarta: Indonesian Heritage Society.
Reid, Anthony (ed.). 2002. Indonesia Heritage (Jilid III): Sejarah Modern Awal, Jakarta: Grolier Internasional.
Ricklef, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Santos, Arysio. 2010. Atlantis The Lost Continent Finally Found (Terj).
Jakarta: Ufuk Press.
Sardiman AM & Kusriyantinah. 1995. Sejarah Nasional & Sejarah Umum (sesuai dgn Kurikulum 1994), Surabaya: Kendangsari.
———–. 1995. Sejarah Nasional & Sejarah Umum 1b (sesuai dgn Kurikulum 1994). Surabaya: Kendang Sari.
————. 1995. Sejarah Nasional & Sejarah Umum 1c (sesuai dgn Kurikulum 1994). Surabaya: Kendang Sari.
Setiadi, Idham Bachtiar (ed). 2011. 100 Tahun Pemugaran Candi Borobudur. Jakarta: Direktorat Tinggalan Purbakala, Direktorat Jenderal Sejarah & Purbalaka, Kementerian Pariwisata & Ekonomi Kreatif.
Soekmono, R. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia III, Yogyakarta: Kanisius.
———–. 2011. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1. Yogyakarta: Kanisius.
———–. 2011. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta: Kanisius.
Suwarno, P.J. 1994. Hamengku Buwono IX & Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974: Sebuah Tinjauan Historis. Yogyakarta: PT Kanisius.
Tjahjono, Gunawan (dkk). 2007. Sejarah Kebudayaan Indonesia: Arsitektur. Jakarta: Direktorat Geografi Sejarah, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Utomo, Bambang Budi. 2009. Atlas Sejarah Indonesia Masa Prasejarah (Hindu-Buddha). Jakarta: Kementerian Kebudayaan & Pariwisata.
——–. 2010. Atlas Sejarah Indonesia Masa Klasik (Hindu-Buddha), Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Vlekke, Bernard H.M. 2008. Nusantara Sejarah Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.
Wallace, Alfred Russel. 2009. Kepulauan Nusantara. Jakarta: Komunitas Bambu.
Widianto, Harry. 2011. Jejak Langkah Setelah Sangiran (Edisi Khusus). Jawa Tengah: Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran.
———–. & Truman Simanjuntak. 2011. Sangiran Menjawab Dunia (Edisi Khusus). Jawa Tengah: Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran.
Wilson, J. Tuzo. 1994. “Lempeng Tektonik” dlm Tony S. Rahmadie (terj).
Ilmu Pengetahuan Populer. Jilid 2. Grolier International
Yayasan Untuk Indonesia. 2005. Ensiklopedi Jakarta. Jakarta: Dinas Kebudayaan & Permuseuman DKI Jakarta.
Sumber Internet:
Florentina Lenny Kristiani dlm http://klubnova.tabloidnova.com/ KlubNova/Artikel/Aneka-Tips/Tips-Rumah/Cara-pilih-cobek-watu diunduh tanggal 19 Mei 2013, pukul 10:09