Yu Nalea | Cerpen Sungging Raga

KAMI memanggilnya Yu Nalea, pemilik warung nasi di tempat Selokan Mataram, di salah satu sudut Kota Yogyakarta, bersahabat Universitas Gadjah Mada.

BAGI mahasiswa yg kebetulan menerima tempat kos atau kontrakan di daerah itu, mereka pasti mengenal Yu Nalea, alasannya posisi warungnya strategis, berdiri di sudut simetris, antara pangkalan ojek & sepasang minimarket yg berbaris. Entah sejak kapan ia berjualan nasi, namun keberadaannya sudah diwariskan turun-temurun, mahasiswa angkatan bau tanah akan memberi tahu mahasiswa angkatan muda biar makan di warung itu. Mahasiswa kekal akan memberitahu mahasiswa yg tak ingin kekal agar senantiasa singgah di situ untuk sarapan atau makan siang, karena kalau tak maka dukamu akan baka.

Biasanya, nama-nama tempat makan di Yogyakarta memang selalu disertai nama pemiliknya. Gudeg Yu Narni, Gudeg Yu Jum, Gudeg Bu Ahmad, hingga Sego Pecel Bu Wiryo yg pernah disukai Presiden Jokowi. Nama-nama itu telah melegenda, & ditentukan sukses. Namun, Yu Nalea hanya penjual nasi biasa. Warungnya kecil, cuma dua meja disusun berbaris & tiga bangku panjang, tak lebih besar dr warung-warung burjo yg sempat meraih puncak eksistensinya di Yogyakarta di tahun dua ribuan.

Di warung itu pun Yu Nalea hanya sendiri. Selalu sendiri. Tetapi tangannya seakan digandakan, begitu terampil melayani pembeli yg datang & pergi seperti ingatan. Ada yg minta dibungkus, ada yg makan di tempat, ada yg hanya pesan kopi, kemudian berbicara ke sana-kemari, dr pagi hingga senja, hingga kesannya datang lapisan-lapisan malam, melemparkan para hadirin seperti nasib-nasib yg berantakan.

Ketika warung sedang ramai-ramainya, orang-orang membahas banyak hal, tukang ojek berbincang-bincang wacana semakin tergusurnya mereka oleh ojek online, para kuli berbincang ihwal taruhan-taruhan skor sepak bola. Adapun mahasiswa mirip kami, biasanya mengobrol perihal peran-peran yg tak selesai?

  Yang Lebih Hebat dari Kata Rindu | Cerpen Maya Sandita

Yu Nalea cuma sesekali merespon pembicaraan kami, alasannya ia selalu sibuk mengambil piring, menuang kuah sayur, menggoreng ikan, atau menciptakan minuman seperti teh atau kopi.

Di sela-sela menuang kopi, Yu Nalea kadang bersin, hatsyi!

Segera orang-orang berebut ingin menerima kopi tersebut. “Buat diambil berkahnya.”

“Oo, dasar gemblung.”

Lha memang kami semua ini tiba-tiba menjadi gemblung di hadapan Yu Nalea, tak ada lagi kecerdasan & strata sosial. Bahkan Paimo yg pernah menang olimpiade matematika, secara tiba-tiba ciut di hadapan Yu Nalea, kecerdasannya menjadi tak memiliki kegunaan. Kesederhanaan Yu Nalea justru tak bisa dipecahkan dgn rumus trigonometri atau persamaan diferensial elementer, Paimo seperti bocah lugu. Kami hingga khawatir ia jatuh cinta pada Yu Nalea. Maklumlah, Paimo terlalu sibuk dgn rumus-rumus, jadi jarang memandang wanita.

Yu Nalea, parasnya tidaklah terlalu manis. Ia jelas kalah kalau dibandingkan dgn Ayu Tingting atau Zaskia Gotik. Kecantikannya pas-pasan, suaranya pula tak serak-serak sehingga mengundang imajinasi er*tis seperti tokoh wanita dlm cerpen “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi”. Hanya saja, barangkali Yu Nalea punya inner beauty, keayuan dr dalam, & kami semua tenggelam di dalamnya, berenang-renang dlm kolam imajiner yg tak terpecahkan oleh rumus-rumus aritmatik atau ideologi-ideologi revolusioner.

Keberadaan warung Yu Nalea seperti menjadi serpihan penting dr masa-masa kami menjadi mahasiswa, yg menilai Kota Yogyakarta bisa memberikan setumpuk masa depan. Padahal tentu ada pula yg gagal, yg kandas, yg tak mampu bertahan, sehingga hidupnya lebih terbengkalai, ingin kembali ke kampung tetapi senantiasa urung, lantaran “Pulang Malu, Tak Pulang Rindu.

Bagi Yu Nalea, semua pembeli ibarat keluarganya. Kadang ia izinkan beberapa orang untuk berutang, khususnya tukang ojek yg takut pulang cepat karena istrinya pasti menyambut dgn sederet maklumat. Yu Nalea pula memaklumi sikap kami para mahasiswa, seperti Salem yg kalau akhir bulan, mengambil gorengan lima mengakunya tiga, tetapi senantiasa dibalik tatkala permulaan bulan baru mampu kiriman duit dr kampung, ia mengambil tiga mengakunya lima.

  Orang yang Tak Bisa Berbohong | Cerpen Mardi Luhung

Atau Itmam, lelaki perantauan yg kalau makan, lauk tempenya dimasukkan ke saku, dibawa pulang untuk makan malam. Dan masih banyak lagi. Yu Nalea senantiasa menghibur kami semua, seakan-akan, di warung itu kita bisa menumpahkan segala keluh-kesah, selain tentunya menumpahkan duit untuk berbelanja nasi & lauk-pauk.

Namun, sekian tahun berselang, sekarang semua sudah menjadi kenangan…

Tentu saja, segala hal tak akan diceritakan sebelum ia menjadi ingatan. Tahun demi tahun beranjak baka, Yu Nalea telah menghilang entah ke mana, warungnya pula sudah tak ada bekasnya.

Mahasiswa yg dulu menjadi pelanggan Yu Nalea mungkin kini sudah sukses. Ada yg lulus kemudian jadi pegawai negeri. Ada yg lulus kemudian berbakti selaku pengangguran kelas internasional. Ada yg tak sempat lulus & memilih naik kereta yg tak pernah kembali.

Adapun saya, datang ke kota ini dgn pesawat paling pagi, untuk menghadiri pelatihan nasional statistika yg diadakan oleh suatu universitas paling besar di negeri ini.

Dengan segala fasilitas penjemputan, kemudahan, tergolong sajian. Aku tergolong cukup berhasil sehabis lulus, setidaknya gue tak perlu menjadi penulis cerita pendek untuk mengais-ngais honorarium yg tak seberapa.

Di perjalanan, gue minta sopir untuk melalui warung tempat Yu Nalea berdagang dahulu. Aku yakin, setiap orang yg punya ingatan dgn Yu Nalea, pastilah meluangkan untuk menoleh ke pojok jalan itu. Namun, semuanya tampak kumal lantaran beberapa warga menumpuk sampah.

Hanya tersisa tiang listrik dgn tempelan iklan badut ulang tahun, sedot WC, sisa poster pilkada, pula tembok kusam dgn coretan-coretan jorok, seakan cuma menjadi penunjukdiorama yg sudah begitu jauh. Nyaris tak ada sisa jejak sedikit pun bahwa dulu pernah ada sosok Yu Nalea meracik segala ingatan kami di situ.

  6+ Struktur Teks Cerpen dan Contohnya

Mahasiswa hari ini niscaya tak mengenal Yu Nalea. Mahasiswa hari ini lebih suka berbelanja masakan dengan-cara online. Tetapi bagi kami, tempat kumal yg kini seakan tak pernah dianggap itu, tetaplah menjadi titik rawan ingatan. Kenangan yg selalu meminta untuk kembali, meskipun ia terkadang melukai…

“Memangnya ada apa di sini, Pak?” tanya sopir yg mengantarku. Aku pun kembali dr sebuah lamunan panjang.

“Oh, bukan apa-apa. Ya sudah, jalan lagi.”

Mobil berbelok kiri, ke arah jalan raya Kaliurang yg kian padat, kian butuh pertaruhan nyawa untuk sekadar menyeberang. Tetapi gue masih sesekali melirik ke beling spion, seolah-olah mengharapkan keajaiban akan melihat sesuatu yg tak terbayangkan.

Yu Nalea… Ia memang tak meminta kami mengingatnya, tapi kami mengingatnya.

Sesekali mengingatnya. (*)