Yang Terpenjara Waktu | Cerpen Zhizhi Siregar

“Sini, Nak,” senandungku. “Duduk di pangkuan. Ayo kita bercengkerama wacana hal-hal bagus, mirip gula-gula, sejumput awan & senyum ayahmu. Cerita-kisah yg akan membuat harimu lebih renyah. Ayo, buka matamu, berdiri dr kawasan tidur.”

Kutatap Limara yg belum membuka mata. Memang bagaimanapun pula hari masih terlalu pagi. Baiklah, kumulai saja ceritanya, kita tak ada waktu seharian. Dan apa yg lebih penting untuk diceritakan pada seorang anak, selain asal usul namanya?

Sedari pertama berjumpa , gue sudah tahu ia langit. Tapi kalau benar ia langit & gue bumi, sungguh tak kenapa sesekali bertemu di lautan, kawasan langit & bumi sesekali berpelukan. Lautanku berjulukan bumi Sulawesi.

Mereka sebut ia Dewakinnara. Tapi kita mesti beri nama samaran yg sama heroiknya. Anggap saja nama terbaik yg pernah kau dengar dlm hidup ditambah satu juta poin lagi, maka kita akan sebut ia itu. Atau sebut saja ia A. Huruf pertama, tanpa akhiran. Karena tak semua yg berawal mesti mempunyai akhir. Atau itu asumsi gilaku saja yg gres kenal namanya awalan tanpa sudi diberi akhiran.

Tapi apa istimewanya seorang Dewakinnara? Ah. Salah. Seharusnya kau tanyakan apa yg tak istimewa dr orang itu. Ia tak lebih & tak kurang ialah pemujaku, & gue tak lebih & tak kurang dr pemuja setianya.

Aku bertemu Dewakinnara kala kami berkelana dlm satu golongan yg menerima kehormatan menyaksikan upacara Rambu Solo’, tradisi pemakaman, di Toraja. Aku mencari inspirasi untuk kuliner khas Indonesia di kedai makanan berbintang-bintang di Dubai sana, ia mencari objek foto untuk dunia internasional saksikan mengenai Indonesia.

Tak sulit untuk jatuh cinta padanya, bagaimanapun pula ia pribadi yg unik dgn isi kepala penuh dgn letupan ide. Tapi gue bersimpuh sepenuhnya alasannya adalah namanya. Ya, jangan terbahak, ia pernah kisah bahwa namanya diambil dr ilahi penguasa segala nyanyian & tarian. Entah benar atau hanya kepingan dr rayuan mautnya, tapi gue berani sumpah, ia memang terlahir untuk menjadi seorang Dewakinnara.

Tepat lima puluh bulan setelah konferensi pertama, kami bergandengan di pelosok Sulawesi, kini berdua saja. Dengan lengan mengepit kamera & tas-tas yg sesak oleh lensa, ia mengembara serupa layang-layang yg lupa pulang. Aku genggam lengannya selaku pengingat. Agar ia tak saat itu juga menghilang. Kami berjalan bersisian menapaki bumi Sulawesi. Tanah lengket diam-diam bercengkerama dgn sepatu kami yg sudah menjejak pedalaman Papua & Kalimantan sejak bertahun-tahun sebelumnya.

“Mau diberi nama siapa, pemberontak kecil kita?” tanya Dewakinnara sambil merunduk-runduk mengambil gambar bumi Sulawesi yg megahnya hebat: kadang indah, kadang mengerikan mengancam jiwa. Tapi tak ada hal yg hebat yg bisa diperoleh tanpa usaha.

  Satpol PP | Cerpen Oddi Arma

Aku menghela napas sekali lagi, terlalu gengsi untuk mengakui bahwa gue hanya insan biasa. Berat ternyata jalan-jalan membawa perut sebesar ini, meski cuma ke segi hutan yg paling datar sambil menyusuri tapaknya perlahan sekalipun. Entahlah. Aku berani ikut ke sini semata-mata alasannya belum nampak gejala ia berkenan untuk keluar. Padahal dunia sudah terentang sedemikian luasnya untuk kami jelajahi bertiga. Sang pemberontak, kata Dewakinnara. Seolah ia tak mau diberi tahu kapan mesti keluar.

Dewakinnara sudah berkali-kali ditawari beasiswa ke luar negeri, berkali-kali pula ia tolak dgn santun. Aku ingin membagikan indahnya bumi Indonesia, gue tak terpesona melirik bumi lainnya, ungkapnya dgn dada terbusung besar hati. Ucapannya diamini oleh aneka macam fotografer internasional yang lain yg kerap kami jumpai berkali-kali di pedalaman Indonesia.

Aku terantuk. Ketubanku pecah juga. Dewakinnara mirip orang gila, setengah tertawa, setengah panik histeris. Tertawa semata-mata lega, akhirnya dewi yg kami tunggu-tunggu hadir juga. Panik alasannya adalah kami menjelang malam di tengah hutan yg jaraknya berkilo-kilo jauhnya dr desa terdekat.

“Berminggu-ahad sudah kita tunggu ia di dlm rumah yg tenteram, malah menentukan ingin keluar sekarang,” Dewakinnara berdecak kagum. Detik pertama ia mulai tergila-gila pada anaknya sendiri. Entah kekuatan dr mana, sehabis memasukkan kamera ke dlm tas punggung, Dewakinnara menggendongku sambil berlari menempuh kilo demi kilo hutan yg menggelap.

“Aku takut,” dlm pelukannya, mataku menjelajah pohon-pohon tinggi di langit. Pohon-pohon menjulang yg semakin seram seiring dgn malam yg tanpa ampun mengejar-ngejar kami.

“Marendeng marampa’ kadadianku,

Dio padang digente’ Toraya Lebukan Sulawesi,

Mellombok membuntu mentanetena,

Nakabu’ uma sia pa’lak na sakkai Salu Sa’dan.”

Dewakinnara nyanyikan Marendeng Marampa, lagu yg sama-sama kami pelajari di Tanah Toraja. Aku tahu ia bersenandung supaya gue tak takut. Sempat-sempatnya ia bernyanyi di sela napas yg tersengal.

“Kamu rindu Toraja kah?” tanyaku begitu kami di desa & gue selesai berperang melawan maut.

“Teramat sangat,” ia seka keringat dr dahiku sambil menggendong sang bayi.

“Nanti kita ke sana bawa Limara ya?”

Dewakinnara terbahak. “Mau kau namai Limara?”

“Limara. Nama pohon eboni yg terus mengiringi lari-lari kecilmu sepanjang hutan tadi.”

“Limara,” ulang Dewakinnara dgn mata berbinar takjub.

Seolah mengiyakan, bayi di pelukannya tertawa girang.

*****


“Ah, kamu yg kepala batu ini pasti masih pula bertanya apa yg lalu terjadi,” gue terkekeh, kembali ke masa sekarang. Baik, kulanjutkan ceritanya, meski mata Limara masih terpejam.

Sulit untuk tak jatuh cinta pada Toraja. Alamnya, budayanya, keramahan penduduknya, namun yg sering terlupakan alasannya perlu waktu untuk memahaminya: filosofi hidup mereka. Ada satu hal yg lebih menarik selain filosofi hidup mereka: filosofi akhir hayat yg mereka junjung.

  Odong-Odong | Cerpen Seno Gumira Ajidarma

Sementara seluruh dunia bertarung & mengunci pintu rapat-rapat dgn pemikiran kematian, orang Toraja justru memeluk erat kematian dgn sarat keakraban. Kematian bukanlah simpulan, hanya satu tahap dr proses panjang. Bukan pula perpisahan yg perlu ditangisi.

Kini, Toraja sudah menjadi belahan dr kami, & kami pun sudah jadi kepingan dr Toraja. Kemanapun kami mengembara, pulangnya niscaya ke tanah yg sama pula.

Tapi tahun demi tahun melahap bumi Sulawesi dgn tak ramah. Limara, eboni hitam yg terkenal diseluruh dunia, sudah membutakan mata banyak orang. Kami bertiga berlangsung dlm diam, masing-masing menjinjing sendu. Tak ada lagi cuitan burung yg bersahut-sahutan. Semakin dlm kami masuk, bekas-bekas penebangan semakin nyata terlihat. Limara meneteskan airmata untuk pepohonan yg namanya disandang pula olehnya.

Krekkk!

Dewakinnara bergegas menutup ekspresi Limara & menariknya ke balik semak-semak. Dadaku sesak oleh gemuruh hingga tak terdengar & tak terpikir apa-apa lagi. Tanganku gemetar, tetapi tetap kupeluk erat-erat Limara dlm lindunganku.

“Kamu tetap di sini,” bisik Dewakinnara. Ia mengganti lensa kameranya menjadi lensa jarak jauh. Perjalanan singkat ke hutan ini semestinya sekedar bertemu burung-burung unik untuk foto Dewakinnara & bahan kuliner untuk menu baru restoran Indonesiaku. Tapi sialnya kami bertemu dgn para pembalak yg sudah pasti liar, alasannya ini hutan lindung. Kalau masih ragu, senapan-senapan yg mereka sampirkan di dada tentu bisa memberi penegasan sendiri.

Dewakinnara mendekat hingga jarak yg ia pastikan aman. Ia ambil foto sebanyak-banyaknya sebagai bukti sebelum kemudian berlari ke arah kami.

“Kita tertangkap tangan!”

Aku tersandung-sandung mempesona Limara yg ketakutan. Dewakinnara bergegas menariknya & seketika itu pula menggendongnya sambil terus berlari begitu cepat.

“Tidak bisa. Mereka akan mengejar kita.”

Tembakan demi tembakan berdesing sedemikian dekatnya di telinga kami. Ini niscaya bercanda, ya Tuhan, ini niscaya bercanda. Siapa yg mampu membunuh insan yang lain demi kayu! Aku berpikir histeris.

Dewakinnara berbelok mendadak. Ditariknya gue ikut ke dlm sungai. Ia beri kode pada Limara untuk menarik napas. Berbarengan, kami celupkan kepala ke dlm sungai sambil menawan semak-semak menutupi kami. Seekor ular sungai lewat. Aku berdoa pada Tuhan, pada Dewa Bumi, Dewa Sungai, penguasa alam semesta siapa pun itu, beri kami peluang hidup. Jejak-jejak mereka berderap di tepian sungai. Orang-orang itu melalui kami!

Sesampainya di desa, Dewakinnara secepatnya berlindung di rumah kepala etika. Masih terengah-engah, ia bercerita tentang apa yg ia temui & keluarkan kamera dr tas anti-airnya. Ditunjukkannya foto-foto yg membuatku paham kenapa kami diserang sedemikian ganasnya: seorang petinggi negara terkemuka tengah berdiri di atas jeep.

Sementara Dewakinnara mengobrol dgn kepala budbahasa, mataku menangkap seorang anak yg tergesa lewat menenteng baki berisi makanan. Limara mengajaknya bermain. Anak itu menggeleng sambil memberi aba-aba, gue harus taruh ini dulu di kamar Ibu, sambil berjalan menuju loteng. Lamira yg sudah paham pun mengangguk. Istri sang kepala adab memang sudah usang berpulang alasannya adalah sakit & tengah menanti prosesi pemakaman.

  Orang yang Tak Bisa Berbohong | Cerpen Mardi Luhung

Percaya atau tidak, perlu waktu bertahun-tahun untuk kemudian menjebloskan petinggi itu & membersihkan mereka hingga akar-akarnya. Seperti bola salju, sekian nama yg tak terduga ikut pula terseret. Tapi kami sudah tak lagi di sana untuk merayakan keberhasilan itu. Kami terpaksa mengungsi dr bumi Sulawesi, jauh ke negeri lain, jarak terjauh dr nusantara yg dibenci Dewakinnara. Semata-mata untuk melindungi diri dr bahaya & teror yg menghantui.

*****

Sebuah ketukan di pintu mengganggu ceritaku. Disusul dgn ketukan-ketukan lain yg kian usang kian keras. Hari sudah petang. Ada apa pula orang bertamu. Kulongokkan kepala, Limara tak kunjung membuka pintu depan. Begitu pula dgn Dewakinnara. Aku mendesah lelah. Aku rapikan piring-piring makan siang mereka dulu sebelum kubuka pintu.

“Selamat siang, Madam,” sepasang polisi membuka topi mereka selaku tanda hormat. “Kami menerima laporan dr para tetangga. Boleh kami masuk?”

Tanganku gemetar. Aku menggeleng. Yang kutahu, menggeleng ialah selemah-lemahnya perlawanan. Kulihat selusin manusia telah berkumpul di lorong apartemen. Aku menelan ludah sulit payah tatkala para polisi tersebut merangsek masuk. Sesosok wanita separuh baya yg kutahu berkewarganegaraan Indonesia pula menghampiri, memelukku erat.

“Jangan terlalu keras pada diri sendiri. Polisi sudah bilang itu karena racun, bukan alasannya adalah dirimu,” gumam Maya sambil terus menenangkanku.

Para polisi mendobrak pintu demi pintu kamar, menghiraukan tangisanku yg mulai pecah. Tiba di pintu kamarku, semua orang saat itu juga menutup hidung. Tak apa jikalau mereka tak mengerti. Tak ada satupun dr mereka yg bisa mengerti kenapa gue melakukan ini.

Maya sungguh tak paham bahwa tak ada yg bisa disalahkan selain kelengahanku yg membiarkan mereka berdua memesan pizza sambil menanti gue selesai menutup restoran. Andai waktu itu gue memilih memasak di rumah saja, takkan sempat para kronco petinggi itu membalas dendam melalui racun yg mereka tabur di pizza. Takkan tertinggal sendiri gue di alam ini, sementara mereka sudah melanjutkan perjalanan ke alam sana. Dua ciptaan Tuhan yg paling kupuja.

“Kami sungguh menghormatimu selaku tetua di sini, Madam,” ujar salah satu anak muda. “Tapi Madam tak lagi tinggal di Toraja. Anda bahkan bukan orang Toraja. Ini negeri yg sama sekali berlainan. Tidak boleh menyimpan jenazah di dlm rumah.”

Zhizhi Siregar aktif menciptakan karya tulis yg dimuat di banyak sekali media massa. ia sudah berguru menulis sastra sejak kecil.