Yang Mulia Cerpen Insan Budi Maulana

Dr. Subakti, S.H., M.H. sudah menjadi hakim selama 20 tahun & telah melakukan pekerjaan di berbagai pengadilan negeri di ibu kota kabupaten. Sejak dua tahun kemudian ia bertugas di pengadilan negeri di ibu kota provinsi. Ia lulusan dr fakultas aturan akademi tinggi negeri, pernah memperoleh beasiswa dr pemerintah untuk melanjutkan studi program master & doktor.

Ia berpegang teguh pada sumpah setia hakim yg tak akan menerima apa pun dr pencari keadilan, dengan-cara langsung atau tak langsung. Ia telah diwanti-wanti ayahnya sebelum ayahnya wafat—mantan hakim tinggi—semoga mempertahankan martabat & harga dirinya selaku hakim, profesional, berintegritas, & kompeten terhadap pekerjaan. Ia mempunyai seorang istri yg sedang dirawat di sebuah rumah sakit & seorang putri.

“Apa itu, Mas Paijo?” Subakti bertanya pada Paijo sesaat ia membuka kamar kerjanya.

“Yang di tangan kiri saya titipan dr Pak Wardi & yg di ajun saya titipan Pak Sumantri, untuk Pak Bakti,” kata Paijo, panitera pengadilan dgn tersenyum sambil mengangkat tangan kiri & tangan kanannya, memperlihatkan kedua bungkusan map warna merah & hijau di kantong plastik keresek hitam agak lebar & tebal.

“Mengapa dititipkan pada saya? Jika dititipkan bermakna harus saya kembalikan suatu dikala nanti.” Subakti bertanya.

Hatinya terusik mendengar respon Paijo sambil tersenyum. Ia agak tersinggung mendengar kata titipan dr Paijo & menerka kantong plastik keresek hitam ialah suap yg diberikan oleh pihak yg berperkara atau pencari keadilan yg sedang ia pegang perkaranya atau sudah diputus perkaranya.

“Maksud saya, Pak Bakti, dua kantong keresek hitam ini untuk Bapak sebagai perumpamaan terima kasih atas hukuman yg berat pada Indra, terdakwa pembunuhan, & terhadap Sumanto, terdakwa tindak kriminal korupsi.” Agak rikuh Paijo menjelaskan dua kantong keresek hitam itu.

“Oh itu, maksud Mas Paijo. Saya kira sudah sewajarnya para terdakwa dikenakan sanksi pidana maksimal. Mas Paijo kan lihat sendiri di persidangan. Terdakwa pembunuh tak menampakkan penyesalannya. Ia residivis yg belum usang dibebaskan & membunuh lansia lagi. Sumanto pula tak merasa menyesal & merasa apes saja. Berapa puluh miliar kerugian negara atas kerja samanya dgn pimpinan proyek. Kau lihat saja kualitas proyek-proyek yg dibangun Sumanto & mutu alat-alat kesehatan yg dibelinya. Semuanya buruk! Jika mereka tak dikenakan hukuman pidana maksimal, negara ini bakalan hancur.” Subakti menyikapi Paijo agak kesal.

“Iya, Pak Bakti. Pak Wardi, keluarga korban pembunuhan, & Pak Sumantri, rekanan bisnis Sumanto, bersyukur. Berharap Pak Bakti mau menerima bungkusan ini sebagai rasa terima kasih mereka.” Paijo kembali merespon Subakti dgn nada suara bergurau.

  Maling | Cerpen Putu Wijaya

Hakim Subakti merasa tak nyaman mendapatkan tunjangan mereka. Ia merasa tak berhak mendapatkannya. Ia merasa cukup puas dgn penghasilan dr negara selaku hakim. Subakti memperbaiki duduknya agak lebih tegak.

“Tapi, Pak Bakti. Ini kan hanya istilah terima kasih mereka. Pak Bakti kan tak memerintahkan, tak meminta pribadi atau tak eksklusif pada mereka. Pak Bakti pun tak kenal mereka. Ada hakim lain malah menyuruh saya menanyakan pada jaksa, apakah ada dananya atau tidak? Bahkan ada hakim dr kamar sebelah yg terang-terangan memerintahkan saya menanyakan pada pengacara yg menanggulangi kasus tanah apakah ada titipan atau tidak? Pak Bakti terlalu bersih, bukan hakim zaman now.” Paijo agak menceramahi Subakti.

“Hahaha, kau jangan memujiku Mas Paijo. Saya tidak mau memusingkan perilaku rekan kerja saya. Itu urusan mereka. Omong-omong, apakah Mas Paijo pula terima bungkusan dr mereka? Apakah dua anggota majelis saya pula mendapatkan bungkusan dr mereka?”

Ia iseng mengajukan pertanyaan pada Paijo dgn agak rikuh. “Iiiya, saaaya pula terima kok dr mereka, cuma tak seberat yg mereka berikan pada Pak Bakti.” Agak terbata-bata Paijo menjawab pertanyaan Subakti.

“Oh, ya? Berapa mereka berikan pada Mas Paijo & dua anggota majelis?”

“Maaf Pak, saya tak tahu. Bagian untuk saya pun belum saya hitung. Baru saya taruh di laci meja saya saja tadi. Ini yg untuk bapak, boleh saya bantu hitung dahulu?” Paijo agak bergurau mengatakannya.

“Oh tak usah, tak usah, Mas Paijo letakkan saja di baki surat-surat masuk & taruh berkas-berkas di atasnya.” Agak tergagap Subakti menanggapi gurauan Paijo.

“Ditaruh di baki surat-surat masuk ini, Pak? Uang ini sungguh banyak loh, Pak. Tidak cemas hilang?“ Paijo agak ragu meletakkan dua kantong keresek hitam itu di atas baki surat-surat masuk. Ia pun heran atas sikap Subakti sebab hakim-hakim lain bila menerima derma orang-orang yg berperkara akan pribadi memasukkannya ke tas mereka.

“Sampaikan terima kasih pada mereka, ya,” kata Subakti akhir Paijo menyusun kantong keresek hitam itu dgn bunyi agak tersedak.

Hakim Subakti memandangi dgn perasaan sangsi dua kantong keresek hitam itu sehabis Paijo meninggalkan kamar kerjanya. Ia berdiri dr daerah duduknya sambil menyilangkan kedua tangannya di dada. Ia mulai mencicipi gejolak batin.

  Macet | Cerpen Alif Febriyantoro

Sambil merenung, ia masukkan tangan kirinya ke saku celananya & tangan kanannya meraba kantong plastik hitam itu & mengira jumlah gepok uang di dlm kantong itu. Dari hasil rabaannya, ia menduga, kalau satu map berisi empat gepok, semuanya delapan gepok dlm satu kantong keresek warna hitam itu. Ada dua kantong keresek hitam, mempunyai arti ada 16 gepok.

Wah, banyak sekali, ya, pikirnya. Haruskah gue sedekahkan saja uang-duit itu pada panti asuhan & pembangunan masjid di kelurahan? Jika gue sedekahkan pada mereka, apakah mereka akan mengajukan pertanyaan dr mana uang itu? Mengapa gue tumben menyumbang begitu banyak? Ah, tak mungkin mereka bertanya mirip itu!

Tadi Paijo katakan, map warna hijau kantong keresek hitam dr Wardi, keluarga korban pembunuhan. Mereka sudah begitu berduka, menderita alasannya kehilangan saudaranya yg dibunuh oleh residivis itu. Tapi, info yg disampaikan Paijo bahwa korban tidak punya keturunan & hanya Wardi yg menjadi andal warisnya. Berarti dengan-cara tak eksklusif, Wardi pula ketiban rezeki akhir keluarganya tewas.

Lah, jikalau map merah, seharusnya gue sedekahkan sajakah? Untuk apa Sumantri memperlihatkan uang itu pada kami? Jangan-jangan derma itu atas perintah Herman—jaksa penuntut umum—dan Paijo pada Sumantri? Atau tuntutan itu merupakan pesanan Sumantri, pesaing bisnis Sumanto, terdakwa korupsi? Kami sebagai majelis hakim memberikan vonis hukuman penjara selama 20 tahun pada Sumanto sebab Herman menuntut terdakwa dgn permintaan eksekusi seberat itu. Kami, sebagai majelis hakim, cuma menyetujui permintaan jaksa penuntut lazim. Jika Sumanto dipidana bermakna Sumantri & mitra-kawan tak ada lagi penghalang dlm mengajukan penawaran dlm proyek-proyek pembangunan sekolah & penyediaan alat-alat kesehatan? Tapi apakah tender, proyek-proyek itu akan menjadi higienis sehabis Sumanto dipidana? Ah sudahlah, kenapa tak gue anggap kantong keresek hitam itu sebagai rezeki dr Tuhan yg tiba tiba-tiba?
Tiba-tiba ia terkenang tampang ayahnya yg sudah almarhum.

Selama beberapa hari kantong keresek hitam itu tergeletak di atas baki surat masuk. Masih utuh. Tiba-tiba ia teringat bahwa ia mesti membayar ongkos berobat istrinya nanti sore. Istrinya tentu akan bangga kalau mendengar ia memperoleh rezeki sebanyak itu. Dengan kegembiraan itu, pasti akan meminimalkan rasa sakitnya. Ia akan bisa membeli aksesori yg diharapkannya. Di sisi lain, ia pernah merasa jengkel kepada istrinya yg mengeluh kenapa dirinya tak mampu membeli pakaian glamor atau aksesori mahal sebagaimana hakim lain pada istrinya.

Subakti terpaksa ambil sebagian uang yg berada di amplop dlm map hijau untuk membayar biaya berobat istrinya. Ia rapikan lagi kantong keresek hitam itu & distepler seperti semula. Ia masih sangat tidak yakin, apakah akan memberitahukan pada istrinya ihwal dua kantong plastik keresek hitam itu. Apakah istrinya akan gembira mendengar hal itu?

  Kemarau | Cerpen Andrea Hirata

Dua hari kemudian, istrinya batal meninggalkan rumah sakit. Dokter menyarankan istrinya tetap dirawat sebab istrinya masih mencicipi sakit di penggalan lambung & kepala. Subakti menyesal kenapa ia mesti membayar biaya berobat dr map hijau itu? Ia mengumpat karena memakai uang itu, menimbulkan istrinya tetap sakit.

*****

Hakim Subakti merasa tenang setelah Subarto—kakaknya yg menjadi pengusaha—menanggung semua ongkos perawatan istrinya selama di rumah sakit. Kakaknya mewanti-wanti pesan ayahnya semoga mempertahankan martabat & muruah hakim. Kehidupan orang tuanya sederhana & tak tergiur godaan suap dr orang yg berperkara atau godaan rekan kerjanya yg kerap menerima suap.

Mendengar ucapan kakaknya, ia bulatkan tekad menyedekahkan duit dua kantong keresek hitam itu ke panti asuhan & masjid. Ia lantas mengajak Paijo menjenguk istrinya kalau istrinya sembuh dlm minggu ini.

Menjelang istirahat siang Paijo mengingatkan Subakti untuk bergegas ke rumah sakit.

“Pak Bakti, itu dua kantong keresek hitam kok masih ditaruh di baki surat-surat masuk? Sudah berapa hari kantong-kantong itu tergolek di sana. Mengapa Bapak tak bawa pulang atau disetorkan ke bank saja?”

Subakti termenung sejenak. Ia ragu untuk memegang dua kantong keresek hitam itu & menyuruh Paijo membawanya & meletakkannya di jok bangku belakang mobilnya.

“Pak, kenapa tak pasang alarm anti maling kendaraan beroda empat ini?” tanya Paijo sehabis Subakti membuka mobil dengan-cara manual.

“Alarm mobilnya rusak, ya pakai manual sajalah. Siapa sih yg mau mencuri mobil ini, bukan kendaraan beroda empat mewah kok?”

Paijo meletakkan dua kantong keresek hitam di jok belakang di tumpukan berka-sberkas & map berlogo pengadilan di atasnya & buku-buku hukum di sampingnya untuk menyamarkan bukan selaku kantong yg berisi uang.

*****

Hari Jumat pagi saat mau kemudikan mobilnya, ia perhatikan jok belakang. Dua kantong keresek hitam tanpa map warna merah & map hijau. Uangnya raib! Mengapa surat berkop pengadilan yg ada di atasnya tak bisa menakuti pencuri? Setiba di pengadilan, ia panggil Mas Paijo ke kamar kerjanya & menceritakan kejadiannya.

“Apa perlu kita laporkan saja kehilangan itu ke polsek, Pak?” (*)