Ketika ia merasa sudah sedemikian letih & hendak berbaring memicing mata, ia dengar air berkecipak menepuk dinding bahtera, seakan suara ketukan di pintu mengabarkan ada tamu. Urung berbaring, ia melongok, & menyaksikan makhluk itu di dlm air; badan besar & panjang, meliuk pelan, dgn punggung licin bergaris biru renta. Setelah pada malam-malam sebelumnya ia bertahan menghalau cucuk masbodoh yg mengauskan tubuh, kesannya Bollo menemukan kembali musuhnya.
Belakangan ini ia melaut memang bukan untuk menangkap ikan sebanyak yg ia bisa, tetapi mencari ikan besar yg sudah menjadi musuhnya. Itu berpangkal di subuh ia pulang & tak melihat istrinya menanti di pantai. Dari jarak sepelemparan batu, siluet badan istrinya mestinya sudah bisa ia identifikasi, menjinjing ember yg akan digunakan menampung ikan-ikan tangkapan dr perut perahu. Namun, tak di subuh itu.
Semenjak punya istri & dua bocah perempuan, kali pertama itulah Bollo melaut sampai dua malam gres pulang. Kepulangan yg tak disambut istrinya, bahkan semenjak itu ia tak pernah lagi melihat istrinya. Diiringi tangis kedua anaknya, beberapa hari ia mencari tanpa hasil.
Di puncak frustasi, dukun yg di kampungnya digelari pula ‘orang pintar’ menerawang, “Istrimu sudah ditelan ikan besar. Ikan besar itu marah, alasannya adalah selama ini ananda begitu saja mengambil ikan sangat banyak dr kawasan kekuasaannya, tanpa pernah memberinya tumbal. Dan istrimulah kemudian yg menjadi tumbalnya.” Kian percaya Bollo tatkala dukun lain ia datangi, & hasil terawangnya serupa pula: “Malam itu, istrimu nekat menyusulmu melaut, alasannya adalah ananda tak pulang-pulang, & ada ikan besar sedang menanti kemudian menelannya.”
Bollo terlambat pulang dr melaut pada subuh itu memang gara-gara bersua seekor ikan besar. Begitu melihatnya, tangkas ia melesatkan tombak & menancap di potongan ekor ikan besar itu. Sontak berkelebat lembaran uang di kepalanya. Ia yakin harga ikan seukuran itu bisa melampaui keperluan hidup keluarganya, terutama yg agak mendesak, sekalian bisa menggembirakan kedua bocah perempuannya yg sudah usang ingin memiliki sepeda.
Hitung-hitungan Bollo ternyata tak mudah ia wujudkan. Ikan besar itu malah seakan mengajak bermain petak umpet sekalian laga tenaga: bergerak meliuk ke sana-kemari, kadang lenyap dr pandangan di kedalaman air laut, kemudian mendadak muncul lagi menampakkan wujud. Merasa dipermainkan, Bollo tambah penasaran & seraya mengumpat marah, ia layani permainan‘ kejar-kejaran dgn ikan besar itu, sampai ia lupa waktu dua malam telah terlampaui.
Di puncak letih, sempat diselingi tertidur tanpa sadar, karenanya ia menentukan mengalah. Apalagi menyaksikan gulungan senar pancing yg terhubung ke tombak yg menancap di ekor ikan besar itu sudah mentok. Bila memaksakan, bukan cuma perahunya yg akan ikut terseret, malah bisa pula terjungkal. Dengan perasaan kalah, ia melempar gulungan senar itu ke laut lalu menentukan pulang.
Kejadian yg ternyata cocok dgn hasil menerawang kedua dukun di kampung, menciptakan Bollo yakin ikan besar itu telah mendendam padanya, lalu memperoleh cara membalas dgn menelan istrinya. Sesama nelayan ada yg menawarkan diri menemani mencari ikan besar yg sudah menelan istrinya, tetapi ia menampik; tekadnya sudah memijar: ia ingin menaklukkan sendiri ikan besar yg memilih menjadi musuhnya itu.
Dan malam ini, ia sudah menemukannya.
Perahu masih menyisihkan gerak, Bollo sudah menyeru ke arah kerumunan orang di pantai bahwa ia sudah mendapatkan istrinya. Sejak menyebar kabar istrinya lenyap ke tengah bahari, selalu banyak orang menanti informasi apa ia bawa dr melaut selain ikan tangkapan. Begitu bersemangat, ia pun segera melompat turun, hingga tubuhnya kuyup tercebur.
Lunas perahu belum sepenuhnya kandas di pasir, orang-orang sudah pula bergegas mengerumuni. Mereka pada umumnya wanita, berebut ingin tahu kondisi istri Bollo. Secepat longok para pengerumun itu ke dlm perahu, secepat itu pula kepincut oleh sentak terkejut . Yang mereka lihat bukan badan istri Bollo sedang berbaring, namun seekor ikan gemuk sepanjang tiga kali lebih tungkai orang dewasa. Lebar tubuh ikan itu melebihi dua atau tiga kali pula rata-rata ukuran paha, sampai mengisi separuh lebar perut perahu. Semua terlongong, sudah lama mereka tak menyaksikan ikan seukuran itu.
“Jadi,” wajah-wajah heran di depan Bollo menganga, “mana istrimu?”
“Di dlm perut ikan besar ini,” ujar Bollo. Ia mencedok air bahari dgn helm bekas lalu menyiramkan ke sekujur badan ikan itu. Ikan besar itu berkedut, gerak lisan & insangnya menjadi lebih aktif.
Untuk bisa menjinjing ikan besar itu, telah ia kerahkan semua kesanggupan. Saat remaja, bahkan tatkala masih bocah tanggung, ia sudah sering ikut bapaknya melaut. Puluhan tahun ia mendapat ilmu menaklukkan berbagai macam ikan tertentu. Kerap ia menyaksikan bapaknya menaklukkan ikan besar, bahkan kadang ikut menolong menawan, & kali ini ia sukses melakukannya seorang diri.
Seperti pada perjumpaannya tempo hari, ia hampir pula mengalah & urung menangkapnya, bahkan sempat berpikir lebih baik ikan besar itu menelannya pula supaya ia bisa mengawalistrinya di dlm perut ikan itu. Namun, pikiran itu ia tepis begitu terbayang kedua anak perempuannya dgn mata letih sedang menanti. Lagi pula, bila ia ikut tertelan, siapa lagi yg bisa membantu keluar dr perut ikan itu?
Untuk menangkap ikan besar itu, seusai ia kalah tempo hari, Bollo sudah percaya tak bisa bila cuma memakai kail, menjebak dgn pukat, terlebih bila cuma mau meraup dgn jala. Tetap mesti memakai alat khusus, & lebih sempurna dr yg ia gunakan tempo hari. Makanya ia sudah siapkan senapan rakitan yg memiliki mata panah ibarat trisula. Selepas mata panah di ujung senapan ditembakkan dgn mengeloskan regangan karet ban selaku pelontar, butuh usaha lain menarik ikan besar yg lehernya sudah terkait ujung mata panah. Ikan besar itu sempat mengajaknya lagi bermain-main; menyeret ujung senar kail ke mana-mana, menciptakan Bollo ikut terseret lagi bareng perahunya. Cuma kali ini seraya bermain tarik-ulur, di benaknya meletik anggapan: istrinyalah yg ada di dlm perut ikan itu yg sedang menggodanya.
Karena kantuk amat menambah beban kelopak matanya, di sela adu tarik-ulur Bollo sempat tertidur sejenak, & ternyata itu memberi sedikit asupan tenaga untuk menarik ikan besar yg mulai pula kekurangan tenaga. Saat tarikan senar kail mentok, ia merengkuh & memaksimalkan ikan besar itu ke atas perahu.
Sejenak Bollo heran, ikan itu terlihat mulai pasrah, tak lagi ada gejala ingin melawan. Bahkan kemudian ikan itu sendiri yg menggelesotkan badan hingga menggeletak ke atas bahtera. Kelakuan ikan besar itu menciptakan Bollo semakin percaya, istrinya yg ada di dlm perut ikan yg sudah memengaruhi naluri makhluk air itu hingga pasrah dinaikkan ke atas bahtera.
Berlayar kembali ke kampung, Bollo tak berusaha mencegah ikan besar itu melompat kembali ke bahari, toh ikan itu terlihat sudah pasrah ikut dengannya. Dalam durasi waktu tertentu, ia mencedok air laut lalu disiramkan ke kepala ikan. Ia tidak ingin ikan itu mati, alasannya adalah ia anggap itu bisa mematikan pula istrinya. Tidak lagi terpikirkan membelah perut ikan itu, ia khawatir bila serampangan membelah perutnya bendo akan perihal pula tubuh istrinya.
Kemudian dgn cara mendekap, Bollo menggotong ikan itu dr bahtera. Perasaan abnormal kian menyusup ke dlm dadanya: sebelumnya ikan itu yakni musuh, serasa ingin menggebuk hingga remuk; namun ketika membopong, ia malah merasa sedang menggendong istrinya. Saat mendekap ia merasai badan ikan itu yaitu tubuh istrinya sendiri.
“Pelan-pelan saja,” ia memelas meminta pada dua orang yg membantu. “Gerakan kasar bisa menyakiti tubuh istri saya di dlm perut ikan ini.”
Sampai di rumah, Bollo tak menemukan wadah yg bisa memuat badan ikan itu. Sekelebat ia teringat kolam lele di belakang rumah. Ke sanalah ikan itu ia bopong lagi. Beberapa tetangganya, merasa iba menyaksikan bagaimana Bollo memperlakukan ikan besar itu, turut menolong menyedot air kolam, membiarkan puluhan ekor ikan lele menggelepar ikut terserok. Orang-orang yg membantunya lalu bolak-balik menenteng bejana ke bahari untuk mengisi kolam dgn air asin. Setelah sarat , dgn penuh kasih, Bollo mencemplungkan ikan besar itu ke dlm kolam.
Setelah orang-orang pulang, Bollo menggelar tikar di akrab kolam, kemudian berbaring di situ. Kantuk & letih tak besar lengan berkuasa lagi ia tahan, & ia ingin tidur di dekat istrinya yg ada di dlm perut ikan.
Hingga hari ini, orang-orang di kampungnya masih sering menyaksikan Bollo duduk di tepi kolam, bercakap-piawai dgn ikan besar yg ia anggap sudah menyatu dgn tubuh istrinya. Orang-orang sering pula melihatnya mengulurkan tangan ke dlm kolam, mengelus-elus badan ikan itu. Sesekali ia malah mencelupkan kepalanya, untuk mencium ikan itu, walau ikan itu sudah mati & mulai membusuk. (*)