Dari jemari renta itu pernah lahir rajutan dgn sebuah nama. Rajutan yg kini dibingkai kayu & dipajang di dinding ruang tamu. Sebuah nama terbaca di sana. Nama seorang anak-yang dua puluh tiga tahun kemudian dilahirkan dr seorang ibu berhati berlian. Restu, nama yg akan terbaca tatkala siapa pun membuka pintu.
Dinding rumah itu berwarna bubuk-abu. Kursi kayu ada di ruang tamu dgn sebuah anggrek ungu di atas meja yg berwarna cokelat tua. Di ruang tengah ada sebuah televisi tua & radio yg lebih sering menyala. Cahaya senja yg mempesona masuk lewat jendela yg terbuka di sisi kiri ruangan. Seorang perempuan sering duduk di sana dgn secangkir teh menanti waktu berbuka puasa. Ia-lah seorang ibu yg menanti Restu.
Radio menyiarkan bunyi walikota & jajarannya yg mengucapkan selamat menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Puasa tinggal seminggu. Ibu sudah membuat kudapan manis bawang kesukaan anak sematawayang. Kue mentega akan dibeli ibu tiga hari sebelum hari raya, sebab yg menjual yaitu tetangga di sebelah rumah. Jadi untuk membelinya ibu tak perlu tergesa, sudah dipesan sejak lama.
Sementara untuk baju idul fitri tak pernah jadi soalan. Baju yg tempo lalu dibelikan almarhum suaminya masih tampak baru. Warnanya masih terang & tentu tatkala mengenakan gaun itu ibu makin bagus dipandang. Hari raya sudah ditunggu.
Namun ada perasaan yg bertebaran, menyublim ia di udara, & larut mirip garam di bahari. Rindu di benak ibu, menjadi seperti putih helai rambutnya kini-yang tak habis dijumlah satu persatu.
Ramadhan kali ini, ibu merasa begitu sunyi. Semenjak suaminya pergi, ia menyesap teh hangat dgn senyap. Apalagi semenjak Restu dimutasi ke Manokwari oleh perusahaan tempatnya bekerja lima tahun ini. Senyap begitu bersahabat mendekap. Sering ibu menyeduh tiga cangkir teh, kemudian insaf ia bahwa anak & suaminya tak lagi di meja makan yg sama.
Ia menikmati sisa-sisa bulan berkah dgn senyum yg ia paksakan selalu merekah. Hanya biar tetangga tak tahu bahwa hatinya galau. Ia gundah bukan main, Restu belum memberinya kabar sejak sebelum Ramadhan kemarin. Ingin ia menghubungi Restu lebih dahulu, tetapi bagaimana menggunakan ponsel pandai ini ia tak tahu. Bertanya pada tetangga ia takut menampakkan risaunya.
“Sedang apa, Mak Ina?” tanya seorang perempuan paruh baya yg lewat di depan rumahnya. Mak Ina, begitu ibu Restu diundang tetangga.
Ibu menegakkan kepala & melihat padanya. Ponsel terpelajar ada di kedua tangannya yg gemetar.
“Mak Ina sedang menelepon Restu?”
Ibu menggeleng pelan, “Belum,” jawabnya dgn suara yg pula pelan.
“Mak Ina mau menelepon Restu?”
Ibu hanya mengarahkan wajah pada wanita itu, matanya sudah sayu & si perempuan mendapatkan sedih serta pilu. Perempuan menemukan rindu pada ruang mata ibu yg sudah renta.
“Ria bantu,” tawarnya sembari mengambil ponsel dr tangan ibu & memanggil kontak Restu-yang cuma ada satu di situ.
Ia menekan-nekan layar sebesar telapak tangan. Sebentar kemudian terdengar olehnya suara seorang perempuan yg menyampaikan bahwa nomor yg dituju sedang berada di luar jangkauan.
Ibu tak tahu.
Tentu harus dijelaskan pula oleh Ria bahwa nomor Restu tak bisa dihubungi. Hanya saja tampaknya perkataan Ria bisa memperbesar murung di dada. Maka berbohonglah ia pada Mak Ina, “Restu mungkin sedang sibuk, Mak Ina. Nanti ia pasti mengabari kembali,” katanya.
Ria ingin pergi segera, tetapi ibu menahannya. “Ajari gue bagaimana caranya menghubungi Restu. Karena dulu Restu cuma mengajarkan cara menjawab telepon padaku. Biar nanti bila gue mau menelepon anakku, tak perlu menanti atau memanggilmu,” pintanya.
Ria ragu. Mengajari Mak Ina bisa menciptakan kebohongan terbongkar & belum tentu Mak Ina bisa menerima kondisi dgn sabar. Tapi Mak Ina memaksa & alhasil Ria menjawab ‘ya’.
Operator masih memberikan info bahwa nomor Restu tak bisa dihubungi. Ibu mengajukan pertanyaan itu bunyi siapa & Ria menerangkan seterang-terangnya. Ibu mengetahui, Restu tak bisa dihubungi. Jika masih begitu sampai hari-hari di depan nanti, barangkali rindu di dadanya cuma ia yg mencicipi sendiri. Restu sungguh-sungguh telah pergi.
“Mak Ina, jangan bersedih. Restu tentu akan pulang. Kembali mengetuk pintu. Tapi sekarang mungkin ia sedang mencari uang. Kepadamu tentunya ia sayang. Sebab nirwana & dunianya tinggallah Mak Ina seorang,” bujuk Ria ketika melihat air mata menetes satu-satu di ujung mata ibu.
Perempuan separuh baya berjulukan Ria pergi. Ia pamit hendak mengurung kerbau & sapi yg dilepas di padang rumput semenjak pagi tadi. Ibu mengucap terimakasih.
Sore ini ibu menentukan duduk di kursi beranda. Menikmati jalanan yg ramai oleh cowok. Teringat ia pada suatu bulan ampunan-tentang anaknya yg dahulu sering pula berlangsung beriringan mirip mereka, dgn kain sarung yg diikat di pinggang atau dijadikan epilog kepala seperti ninja. Tersenyum ia.
Riang Restu bermain kala itu. Sore hari menjelang maghrib tiba, sering ia memilih berbuka bersama di surau dgn pemuda yang lain. Namun sekali waktu, sering pula ia rindu teh produksi ibu. Menyeberang ia dr surau yg cuma berbatas jalan raya dr rumahnya. Ia minum teh hangat seteguk dua teguk & kembali ke surau dgn sedikit terbatuk. Setelah shalat maghrib, suara Restu menjadi penyejuk kalbu. Terdengar lantang, di semesta kampung ia terhampar. Ibu mendengar dr rumah dgn hati hening. Isya & tarawih kemudian menjelang, ibu & ayah berangkat sembahyang.
“Bagaimana kabarmu, anakku?” gumamnya.
Jalan raya di depan rumah sudah sepi.
Bedug berbunyi.
Ibu membaca doa berbuka. Restu di ingatannya.
Empat hari berlalu dgn begitu cepat. Lusa sudah tak lagi puasa. Hari raya. Ibu sudah membentang tikar di ruang tengah, meletakkan toples yg penuh dgn kue di atas meja yg alasnya rajut berwarna merah. Barangkali ini terlalu terburu-buru. Tapi seandainya Restu tiba lebih awal dr yg ia duga, tentu secepatnya anaknya merasa lebaran sudah disiapkan & tinggal dirayakan.
Ibu masih menunggu anaknya dgn sabar. Melihat ke arah pintu dgn tatapan nanar. Setiap bunyi pintu diketuk terdengar, melangkah ia & diraihnya pintu depan-kaki & tangannya sudah gemetar, & dadanya berdebar. Tapi tetap ia jelang dgn cita-cita anaknya-lah yg pulang.
Sampai pada permulaan Syawal yg dinanti dgn kumandang takbir yg silih berganti, tak terdengar langkah kaki yg lazimdidengar ibu dahulu pagi-pagi. Suara langkah kaki yg buru-buru, menghampiri ibu & ayah, menyalami telapak tangan & mencium kaki dgn meletakkan kepala sangat minim. “Ibu, Ayah, Restu minta maaf atas segala kesalahan yg Restu perbuat selama ini. Restu sayang Ayah & Ibu,” kenangnya.
Ibu menggumam kata-kata dgn mata berkaca-beling. Di tangannya, rajutan lama yg sebelumnya terpajang. Mengalir air dr pelupuk mata lelahnya.
Suara takbir dr surau diputar lebih keras dr sebelumnya. Tangis Ibu karam. Hiruk pikuk tawa tetangga di jalan tenggelam. Mesin mobil & semua kendaraan yg lalu lalang pula tenggelam. Juga suara langkah kaki yg diidamkan selama ini pun tenggelam.
Seorang lelaki, dgn ransel besar di punggungnya, masuk ke rumah. Ditaruhnya barang-barang di samping dingklik kayu terus masuk ke ruang tengah. Didapatinya seorang perempuan bau tanah duduk di suatu kursi, dgn jendela di sebelah kiri.
Segera dihampirinya sang ibu. Bersimpuh & bersujud ia serendah yg ia mampu. “Ibu, Restu minta maaf atas segala kesalahan yg Restu perbuat selama ini. Restu sayang Ibu,” katanya. Air mata mengalir deras di punggung kaki ibunya.
Ada perasaan yg tak mampu digambarkan. Melebihi bahagia & haru. Sosok Restu menjadi obat dr segala sakit & pilu yg selama ini menggelayuti hati ibu. Disapunya rambut hitam Restu dgn penuh kasih dr kalbu, diangkatnya tubuh Restu & berdirilah anaknya dgn lutut menghadap wajah sang ibu. “Restu sayang Ibu, Restu rindu Ibu,” kata anaknya sekali lagi.
Segera dipeluknya sang ibu dgn dekat selaku penyampai rindu yg sangat berat. Pecah tangisnya saat itu juga.
“Restu senantiasa rindu pada ibu. Tak habis-habisnya. Maaf Restu tak memberi kabar, Bu. Semula kepulangan ingin Restu jadikan kejutan. Ponsel sengaja Restu matikan untuk menghemat daya. Perjalanan Manokwari ke Jambi jauh sekali. Tapi ternyata di jalan ponsel Restu malah kecurian. Maafkan Restu ya, Bu?”
Ibu tersenyum namun beriring sedu sedan alasannya adalah tangis yg ia telan. Sebuah perasaan kembali bertebaran, menyublim ia di udara, & larut mirip garam di maritim.
“Mendengar langkah kakimu & suaramu memanggil ibu dr depan pintu, itu lebih dr kata rindu.”
Takbir berkumandang lebih panjang hingga Zuhur menjelang. (*)