close

Warga Kota Kacang Goreng | Cerpen Adek Alwi


Oleh: Adek Alwi


Kota kami terletak di dataran tinggi di lereng Gunung Singgalang. Karena itu, hujan & kabut di sana seakan-akan turun sesukanya. Kadang-kadang pagi, siang, petang atau malam hari. Adakalanya pula dr pagi hingga malam, ataupun sebaliknya-bahkan tatkala kemarau mungkin sedang meretak-retakkan tanah di kotamu.

Tetapi, karena sejak muncrat ke dunia sudah bergaul dgn cuaca serupa itu, warga kota tak mengumpat tatkala kabut mendadak turun dr bukit & gunung, atau hujan tiba-tiba menderap laksana bunyi kaki belasan ekor kuda. Paling-paling orang cuma bergumam, mirip menghadapi anak yg pembangkang: “Ha, sudah turun pula si kaki seribu!” Lalu mereka kembangkan payung, melenggang tenang-damai di atas trotoar sambil bersiul, bercakap-cakap, atau makan kacang goreng.

Betul. Berbagai pemandangan ganjil-lucu yg tak bersua di tempat lain mampu kau dapatkan di kota kami jika Anda suatu tatkala berkunjung ke sana. Meski cuaca cerah, orang-orang di jalan-jalan kau lihat menjinjing payung atau mempertongkatnya, mirip dgn warga kota-kota besar Eropa pada masa lalu. Dengan tongkat-payung itu pula mereka saling melambai & menyapa. “Hoi, apa kabar! Baik? Singgahlah dahulu!”

Tetapi, jangan pula payung, sedang jas pun (yang dikukuhkan selaku busana resmi alasannya adalah konon menyebabkan kesan “lain” bagi yg memakai pula yg menyaksikan), bukan suatu yg istimewa di kota kami. Di mana-mana kau mampu saksikan kaum pria memakai jas. Tidak kecuali para kusir bendi & tukang kacang goreng yg duduk mencangkung di pojok-sudut jalan dlm kabut, di belakang lampu semprong mereka yg temaram.

Dan, jika kau tinggal lebih usang di kota kami, akan andal pula kau menerka usia perkawinan seseorang hanya dgn melihat jas yg ia pakai. Karena, walau kerap membungkus badan mereka dgn jas, tetapi jarang sekali pria kota kami membuat jas dua kali dlm hidupnya. Kecuali, ya, kecuali lelaki-lelaki gatal atau yg punya istri lagi. Itu pula sebabnya anak- anak muda kota kami lebih suka pakai jaket ketimbang jas, betapapun manis bahan & potongan jas itu-untuk menghindarkan salah tafsir.

Hal lain yg bakal membuatmu terheran-heran yaitu tukang kacang goreng. Ya, di kota kami nyaris tak diketahui orang ungkapan pedagang, meski aktivitas seseorang berdagang, berniaga. Tukang kerupuk tak selalu berarti orang yg menciptakan kerupuk, tetapi pula penjual kerupuk. Begitupun tukang sate, tukang serabi, tukang bandrek, tukang rokok, tukang emas, & seterusnya. Tidak jelas kenapa demikian. Aku pula tak berencana membahasnya. Biarlah persoalan ini pecahan andal bahasa, pula sosiolog. Aku cuma ingin bercerita perihal mereka, tukang kacang goreng & penggemar kudapan itu.

Sekalipun kota kecil, tukang kacang goreng amat banyak di kota kami, seperti sebagian besar orang terpanggil lahir lantaran bakat itu. Mereka mampu didapatkan di mana-mana sejak pukul lima petang hingga tengah malam, beberapa waktu sesudah bubar bioskop. Mereka mangkal di emper-emper toko, tikungan-tikungan jalan, tampang perkantoran-perkantoran, depan asrama prajurit & polisi, di tampang rumah sakit, pula di depan gerbang-gerbang jalan menuju surau & masjid.

  Pedagang Senja | Cerpen Sungging Raga

Tukang-tukang kacang goreng itu pakai jas, duduk berkelumun sarung atau melekat ke karung goni kacang goreng mereka yg hangat. Lampu-lampu semprong mereka dr jauh ibarat bintang-bintang di langit, kedap kedip di balik tirai kabut & gerimis. Empat atau lima orang di antaranya pula mangkal di tampang dua bioskop yg ada di kota kami. Berjajar agak berjauh-jauhan di bawah papan reklame film, tak saling tertawa layaknya pasangan suami istri dilanda perang cuek.

Tentu ada korelasi erat antara tukang kacang goreng yg sungguh banyak itu & iklim kota kami yg hambar, serta hobi orang memakan kacang goreng. Tetapi, apakah itu yg mengakibatkan warga kota kami subur-subur, perlu observasi. Lagi pula, meski lazim satu keluarga punya anak sembilan, sepuluh atau selusin, kota kami tak pernah sesak risikonya. Anak-anak muda secepatnya berangkat melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi atau melakukan pekerjaan di kota lain & wesel-wesel mereka berlayangan di awal-awal bulan memenuhi kantor pos. Pada hari raya & libur-libur panjang, pengirim-pengirim wesel yg bersungguh-sungguh itu-yang sebagian di antaranya berkembang berkat duit kacang goreng-berlayangan ke kampung halaman menjumpai orangtua & sanak keluarga. Saat-dikala itulah mereka tak lepas-lepas dr kacang goreng, tak ubahnya kekasih-kekasih yg melampiaskan rindu dendam setelah usang berpisah.

Alhasil, tukang kacang goreng tetap banyak di kota kami & orang tak merasa rendah jadi tukang kacang goreng. Malah besar hati. Dalam KTP mereka pun tercantum: pekerjaan, tukang kacang goreng. Dan, penggemar kacang goreng tak pernah pula menyusut. Bahkan, sehabis lama merantau pun kegemaran itu rupanya tak hilang. Juga, meski sejumlah anak muda mengalami pengalaman pahit akibat kacang goreng. Bertengkar, bahkan divonis putus oleh si gadis lantaran kulit ari kacang goreng ikut menyelusup tatkala bertemu pada malam Minggu. Namun, selera memakan kacang goreng tak kunjung patah. Anak-anak muda itu seolah punya prinsip: pacaran boleh putus, makan kacang goreng jalan terus.

“Habis, memang lain kacang goreng kota kita ini,” komentar para suami saat makan kacang goreng di malam-malam masbodoh bergerimis. “Ini, lihatlah!” lanjutnya melempar sebuah kacang goreng ke atas meja. Gemuk, panjang, sebesar jempol. “Di tempat lain kecil-kecil kurus kulihat!”

“Memang,” sahut ibu-ibu di kota kami dgn gesit. “Tetapi, tetap belum ada yg sanggup mengalahkan kacang goreng Mak Sanin!”

“Ah, kalau itu, jangan dikata lagi, tiada bandingan!”

  Rumah Pemusnah Kenangan | Cerpen Fitri Manalu

“Ya, Mak Sanin adalah maestro kacang goreng!” jawab si istri bersemangat. “Ibarat penyair, ia itu Chairil Anwar atau Amir Hamzah. Ibarat pelukis, ia Affandi. Ibarat pencipta lagu dialah Gesang atau Ismail Marzuki. Ibarat… .

“… wanita ia yaitu kau-sekalian seorang!” potong sang suami tergesa-gesa & si istri pun membisu sambil tersenyum-senyum. Menyelusup manja ke pelukan suami.

Mak Sanin satu dr sekian banyak tukang kacang goreng di kota kami. Tokoh ini sangat populer bahkan hingga sekarang, khususnya di kelompok kaum ibu. Selain lantaran kualitas kacang gorengnya memang di atas rata-rata, wanita kota kami menggemari lelaki itu karena ia tak pernah pakai jas baru. Sudah barang pasti jasnya pun telah lapuk, sebab dipakai setiap malam selama bertahun-tahun, & warnanya nyaris tak jelas lagi. Tetapi, istrinya pintar & tekun menyisik sehingga tak kentara benar tambal- tambalan pada jas yg digunakan Mak Sanin.

Agak berlainan dgn orang akil balig cukup akal, khususnya ibu & kakak-abang perempuan kami, kami anak- anak justru takut pada Mak Sanin. Mungkin lantaran tubuhnya tinggi besar, mata rada sipit, & senantiasa merah menyala. Kumisnya pun lebat melintang. Juga lantaran ia “berisi”, punya ilmu. Suatu kali mitra kami si Katan menghajar anaknya hingga bonyok. Anak itu lari pulang menggerung-gerung & telinga si Katan pun disentil Mak Sanin. Berhari-hari daun indera pendengaran mitra kami itu gembung-infeksi kemerah-merahan. Orang pula menyampaikan Mak Sanin tak lagi bermain silat dgn insan melainkan dgn macan, tanda ilmunya tinggi. Kedua makhluk itu konon melakukannya malam-malam di pinggir kota usai Mak Sanin berjualan.

Mak Sanin yaitu satu-satunya tukang kacang goreng yg tak berpaut di pangkalan saat berjualan. Jam dagangnya pula berbeda dgn tukang kacang goreng yg lain. Biasanya, ia keluar sesudah magrib atau isya & akan rampung kira-kira pukul tiga dini hari atau dikala beduk subuh mulai berkumandang di seantero kota dr masjid & surau.

Begitu keluar rumah di pangkal malam itu orang tak akan menemukannya di tempat ramai seperti di wajah bioskop atau kawasan pasar. Dengan jas itu-itu juga, & sarung dililit ikat pinggang lebar, ia susuri jalan-jalan kota dgn karung goni berisi kacang goreng di atas kepala. Seolah ringan saja karung goni itu baginya. Tenang- tenang saja ia melangkah, mengunjungi calon pembeli. Dialah penemu sistem jemput bola dlm berdagang kacang goreng di kota kami.

Makin malam, makin gencar pula Mak Sanin mengembara menyusuri pelosok-pelosok kota. Juga ke Lubuak Mato Kuciang, Cubadak Bungkuak, Bancah Laweh, & Bak Aie yg merupakan pinggiran- pinggiran kota kami. Suara serta bunyi tangkelek atau bakiaknya berirama memecah udara: “Tak-tuk-tak, tak-tuk-tak, cang goreeeng…! Tak-tuk-tak, tak-tuk-tak, cang goreeeng…!”

  Renjana | Cerpen Risda Nur Widia

Pada larut malam yg hambar berkabut itu Mak Sanin benar-benar bermetamorfosis jadi pelayan tunggal sekaligus penjaga kota kami. Pencuri-pencuri mengurungkan niat mereka yg jelek mendengar suaranya. Orang-orang terbangun, ingin makan kacang goreng. Pasangan-pasangan yg tengah berkelahi terhenti. “Hah, itu Mak Sanin!” ujar si suami. “Beli dulu kacang gorengnya.” Anak-anak muda yg sedang begadang menyongsong kedatangannya dgn girang: “Tiga liter, Mak Sanin!” Dan, sewaktu pesanan mereka ditakar tangan mereka menyelusup ke karung goni, meraup kacang goreng bukan hanya sekali. Tetapi, itu biasa. Semua pembeli melakukannya & semua tukang kacang goreng membiarkan saja.

Dan, pengantin-pengantin gres, yg memang tak tidur-tidur di tengah malam buta itu, berpandangan & saling tersenyum mendengar suara Mak Sanin mendekati. Bergegas mereka benahi diri, tegak menunggu di ambang pintu. Rambut nyonya muda yg hitam subur tergerai hingga pinggang, harum bercampur peluh, berkibar-kibar ditiup angin malam.

“Mak Sanin!”

“Hoooi!” Tukang kacang goreng itu menghampir ke makhluk bagus itu. Dengan jas yg itu-itu juga.

“Seliter saja ah, Mak Sanin.”

“Yo! Eh, cukup seliter?”

“Hi-hi-hi. Cukuplah. Hanya berdua.” Dan, tangan-tangan mungil itu menyusup pula ke karung-goni yg hangat. Kemudian, sambil bercengkrama serta menikmati kacang goreng berdua-dua di larut malam itu, pasangan-pasangan itu menyimak bunyi Mak Sanin & bunyi tangkelek-nya yg menjauh. Semakin jauh, lalu sayup-sayup dikirimkan angin malam melalui kisi- kisi jendela.

Tetapi, pada suatu malam, tatkala ramai-ramai di tahun ’66, cuma sebagian warga kota yg mendengar suara & bunyi tangkelek itu. Warga yg lain tidak. Besoknya, seluruh warga kota tak mendengarnya. Padahal, sudah mereka tunggu-tunggu. Dan besoknya lagi, kota kami heboh tak alang kepalang. “Masya Allah,” kata ayah bagai orang kedinginan. “Padahal, tahu benar saya, mata si Sanin itu merah cuma lantaran menukar siang dgn malam!”

Tukang kacang goreng itu ditemukan orang tergeletak di tepi kali. Ada sebelas bekas tusukan merobek jas renta & tubuhnya. Tujuh lubang peluru. Karung goninya entah di mana. Tetapi, justru setelah ia tak ada lagi namanya terus jadi buah tutur warga kota kami, bahkan hingga sekarang. Orang-orang akan mencela tukang kacang goreng bila kacangnya tak lezat atau ia bertingkah. “Huh, tak serupa Mak Sanin!” ujar mereka.

Karena itu, Anda pun akan terheran-heran mendapatkan banyak tukang kacang goreng di kota kami yg berkata kepadamu: “Ha, kacang enak ini! Tak asal-asalan kuali & pasir buat merendangnya. Belilah. Cobalah. Tidak bakal menyesal. Delapan tahun saya mencar ilmu merendang kacang pada Mak Sanin!” Anda termenung heran lantaran Anda toh tak kenal siapa Mak Sanin. Dan, mungkin pula tidak ingin tahu.

Jakarta, Desember 2004