close

Wakyat | Cerpen Putu Wijaya



Bu Amat tiba-tiba menodong suaminya.

“Sejatinya Wakyat itu siapa, Pak?”

Amat tertegun. Berpikir, kemudian menggeleng.

“Bapak tak tahu.”

“Ah, masak tidak? Kita kan yg memilihnya?”

“Memilih? Memilih siapa?”

“Wakyat.”

“Siapa beliau?”

“Pilihan kita, kan!”

“Kita siapa?”

“Kita yg memilih!”

“Kita ini?”

“Ya & tidak.”

Amat ketawa.

Ibu ini dahulu kan guru bahasa indonesia, kini kok bahasanya mundur sekali! Ngomongnya yg bener dong! Jangan mirip orang gundah. Ya, ya, ya! Tidak, ya, tidak. Tidak bisa ya & tidak.”

Bu Amat tersenyum.

Amat berdiri mau cari angin di teras.

“Tunggu dulu, Bapak belum menjawab itu sebab tak tahu atau sepakat?”

“Ya & tidak!”

Bu Amat cemberut. Amat ketawa besar kemudian ke teras. Tapi belum sempat duduk, pikirannya seperti menyengat. Ia cepat kembali masuk.

“O, maksud Ibu….”

Tapi Bu Amat sudah ngeloyor ke dapur. Amat jadi penasaran. Ia kini ingat sama Pak Wakyat.

Orang itu sempat dipilih oleh pengurus lingkungan untuk mengaspal ulang jalan di seluruh kompleks yg rusak tergerus hujan. Soalnya, usulan penawarannya yg terbilang termurah.

Hanya saja ia memberi patokan. Sebelum jalanan diaspal, selokan air harus diperbaiki.

“Sebab kalau selokan rusak seperti sekarang ini, perbaikan jalan tak ada gunanya,” katanya tegas waktu itu. “Biar kata dibeton sekali pun, bila hujannya gila seperti sekarang ini, sekali byur saja, niscaya banjir lagi, banjir lagi sampai satu bulan. Karena airnya tak tahu mesti pergi ke mana! Jalan yg baru diaspal pasti hancur lagi. Nanti kami yg merenovasi kena getahnya. Dianggap korupsilah atau kurang profesional! Ya, enggak?”

Warga menilai alasan itu masuk akal. Tapi siapa yg paling sempurna memperbaiki selokan?

“Terserah,” kata Wakyat, “asal orangnya punya track record bener-bener & bukan cuma mahal namun kerjanya betul! Soalnya untuk apa murah tapi sebentar-sebentar jebol, jatuhnya bisa 2 kali lipat mahal. Mending mahal sekalian, hasilnya bisa diwariskan ke anak cucu. Tapi ini cuma sekadar masukan dr orang lapangan. Keputusan 100 persen di tangan owner, bapak-bapak warga di sini. Ya, enggak?”

Warga manggut-manggut menyimak Wakyat lantas mendesak.

“Tapi alasannya adalah ini jelas akan eksklusif menyangkut keamanan proyek jalan, menyangkut eksklusif dapat dipercaya kami sebagai pelaksana proyek, mohon ada jaminan jangan sampai pekerjaan kami terganggu alasannya adalah proyek kanal air got tak beres. Karena itu kami ingatkan, ramalan cuaca sekarang sudah resah sebab pergeseran cuaca yg ekstrim. Kita tak tahu kapan hujan akan turun. Kelihatan terang, tahu-tahu secara tiba-tiba hujan besar menggempur kita habis! Ya, enggak?! Ya kami blak-blakan saja bicara pahitnya, sebelum nasi keburu jadi bubur! Ya, enggak!”

  Mimpi Keluarga Perajin Batu Nisan | Cerpen A Warits Rovi

Pengurus kompleks terpaksa rapat lagi. Akhirnya dgn bunyi bundar memutuskan: perbaikan selokan pula dipercayakan pada Wakyat sendiri.

“Wah kami kok jadi seperti telor di ujung tanduk. Kami terus terang bilang, kunci perbaikan jalan ini bukan terletak pada renovasi jalannya, bukan, Pak. Tapi pada penyebab yg merongrong jalan rusak. Ya got-got brengsek itu. Konsentrasikan alokasikan dana mesti diprioritaskan ke situ dahulu! Karena biayanya memang sungguh, sangat tidak murah! Tapi itu bukan dimaksudkan biar proyek itu diserahkan ke kami! Bukan! Sama sekali bukan! Tapi bila memang begitu keputusannya, ya apa boleh buat. Oke, baiklah saja. Sebagai profesional saya bersedia. Tapi dgn satu syarat mutlak. Kekuatannya mesti sesuai dgn tuntutan kami, kami yg akan merenovasi jalan! Karena sekali lagi, itu akan langsung menyangkut keselamatan proyek renovasi jalan! Ya, enggak?”

Semua membenarkan. Lalu Wakyat mengulurkan suatu proposal yg nampak sudah dipersiapkannya dgn rapi. Di proposal itu diuraikan dgn teliti bagaimana air akan digiring keluar hunian begitu jatuh ke tanah. Sangat profesional, tetapi biayanya pula tak terbayangkan.

Dua bulan warga & pengurus lingkungan membahas anjuran got dr Wakyat itu. Mula-mula nyaris semua menentang hingga nyaris ditolak. Karena itu terasa terlalu pesimistik, panik & didramatisir.

Tapi tiba-tiba seorang warga vokal sekali membela hingga menggebrak meja.

“Kita kini sudah memasuki kala kota metropolitan dgn banyak sekali dilema milenial! Waktu & banyak sekali perubahan terjadi sangat cepat di kampung, apa yg terjadi 50 tahun lalu kini masih sama. Tapi di era milenial besok itu bukan 24 jam yg akan datang tetapi kondisi yg dahulu 5 tahun baru tiba, kini, besok begitu kita bangun tidur, sudah di sebelah kita. Nah! Kalau kita ceroboh, terlambat tak cepat tanggap kita akan mati konyol, dilalap pergantian zaman! Kita akan karam hidup-hidup! Karena itu jangan berhitung dgn uang yg bisa kita cari setiap hari. Berhitunglah dgn nyawa yg cuma satu kita punya. Jangan sayangi duit, sayangi nyawa! Berapa pun biayanya bila menyangkut nyawa, ikhlaskan! Duit bisa dicari tapi nyawa?”

  Zabaza | Cerpen Soni Farid Maulana

Warga itu tak sanggup melanjutkan. Tubuhnya gemetar. Ia menangis lalu pingsan. Semua jadi trauma. Sejak itu skors mulai bergeser. Dan pada bulan ketiga, ajuan Wakyat. baik perihal renovasi jalan maupun pembangunan got di-acc.

Tapi Wakyat menghilang. Sementara langit mulai condong muram-muram seakan memberi aba-aba akan curah hujan gila.

Warga khawatir. Pengurus lingkungan terpaksa rapat lagi. Keluar gagasan untuk mencari pemborong baru. Ide permulaan dihidupkan. Lupakan got, jalan diprioritaskan jangan sampai keburu dijegal hujan. Tender pun dibuka, beberapa pemborong berebutan mau mencaplok. Terjadi perebutan untuk memilih yg terbaik.

Tetapi warga yg dahulu sempat dicurigai sebagai sekutu di bawah selimut, kembali mempertahankan Wakyat.

“Inilah hasilnya jikalau demokrasi itu dijadikan hobi. Berunding lagi berunding lagi sampai mati! Bikin keputusan untuk arsip sudah kerja, padahal tak ada karya. Apa gunanya dulu berunding berbulan-bulan, menggandakan DPR ya! Cari Pak Wakyat. ia orang profesional, niscaya tak ingin menanti kita simpulan pidato! ia ada di proyek! Saya ada WA-nya! Jangan tunggu banjir merendam permukiman kita! Aduh, apa saya perlu nangis lagi?”

Tapi ia sudah menangis. Dan nyaris saja pingsan. Untung rapat memutuskan membatalkan tender. Dan mengundang kembali Wakyat!

“Oke, baiklah empati kami sepenuhnya untuk warga di sini,” kata Wakyat dlm rapat bareng warga pengelola lingkungan.

“Kita sudah ada histori. Tetapi sayang waktu tidak ingin menanti. Sebagai profesional kami tak mampu melawan keharusan. Sekarang kami sedang terikat proyek dgn investor ajaib. Tapi sebagai profesional yg inovatif, kita masih bisa memungkinkan yg tak mungkin. Hanya itu perlu ongkos. Kalau kami mampu mengontrak orang untuk mengawasi proyek di situ, kami mampu kembali pada janji kita dahulu. Kami akan lakukan dgn cepat. Nah kini solusinya tinggal, cepat turunkan dananya, besok pula kita mampu mulai. Tapi kalau masih menanti hasil rapat, maaf, sorry, kami tak sanggup. Jam 20.00 kami take off. Ini nomor rekening kami.”

  Suara di Bandara | Cerpen Budi Darma

Wakyat menyerahkan nomor rekening, kemudian bersalam-salaman. Setelah itu pergi, takut dijegal kemacetan rush hour orang pulang kerja. Pengurus hunian masih perlu rapat kilat. Tapi kemudian membuka kas & mengantardana sejumlah yg tertulis di bawah nomor rekening yg diberikan Wakyat.

Itulah yg kemudian membuat nama Wakyat melangit, jadi sungguh terkenal. Ia jadi “man of the year”, sebab semenjak itu menghilang, entah ke mana. Warga yg suka nangis & pingsan itu pun ikut kabur.

Begitu memalukannya lakon penipuan yg canggih, dramatis, tertata rapih, lucu & mengobarkan murka itu, sehingga seluruh warga berusaha melupakannya. Karena setiap teringat, semua orang jadi merasa dirinya begitu konyol.

Amat pernah membisu-diam minta Ami menelusuri di dunia maya, siapa itu Wakyat. Soalnya masalah sejenis berulang kali terjadi di banyak kawasan. Dan reaksi masyarakat hampir sama. Karena malu, mereka menjajal mengalihkan dgn melupakannya. Kasus itu jadi tenggelam.

Jadi bila Bu Amat mencoba mengorek lagi, “Berarti malu kita sudah mulai nyaris kikis. Sekarang kita berangsur sembuh & mesti menilik insiden kriminal itu tuntas! Kita mesti potong mati. Kalau tidak, percuma kita mengaku negara aturan! Percuma! Kebangkitan memang lazimdimulai dr kaum perempuan,” bisik Amat dlm hati. “Malu itu konyol, kita mesti bertindak sekarang!”

Amat bergegas menyusul istrinya ke dapur.

“Bu! Bapak baru sadar, gres mengerti sekarang!”

Bu Amat menjawab acuh tak hirau.

“Sadar apa? Bapak kok semangat sekali!”

“Habis bagaimana tidak, kaum wanita senantiasa jadi pelopor kebangkitan!”

Bu Amat melengos sinis.

“Kalau sudah memuji pasti ada maunya. Bilang saja mau apa. Tapi kan semalam sudah?!”

“Bukan! Ini soal Pak Wakyat! Menurut Ami modus itu yaitu…”

“Sudah tahu! Wak Kiat itu sudah ditangkap!”

Amat terkejut.

“Lho sudah ditangkap?”

“Sudah! Bapak selalu ketinggalan!”

“Kapan?”

“Bulan lalu!”

“Siapa bilang?”

“Ami. Anakmu, Pak! Di koran pula ada!”

Amat terdiam.

Lho, bila sudah tahu. Ibu kok tadi nanya?”

“Habis. Wakyat itu kan sejatinya wakil rakyat, wakil seluruh rakyat! Tapi kenapa prakteknya hanya wakil partai, wakil kalangan yg kurang peduli nasib rakyat keseluruhannya?!”

Amat terpukau. (*)