Dua hari ini Desa Randu diserang wabah gatal-gatal. Penyakit itu bermula dr seorang perjaka desa yg sudah usang merantau di Malyasia, & secara tiba-tiba pulang menenteng penyakit gila di kulitnya. Kedua orang renta si pemuda semula menganggap penyakit gatal-gatal itu akhir anaknya jarang mandi. Namun seiring waktu gatal-gatal yg dialami si anak makin parah. Kulit anak itu tak cuma ditumbuhi bentol-bentol merah, namun luka-luka yg berangsur bernanah. Penyakit itu bahkan menular pada ayahnya yg petani. Dan dr ayahnya, penyakit itu menyebar ke warga lain.
Warga semula menganggap remeh penyakit gatal-gatal itu. Mereka berpikir hanya dgn membersihkan kulit menggunakan sabun, gatal-gatal hilang. Namun yg terjadi sebaliknya. Beberapa warga yg berinteraksi dgn keluarga si cowok pun terjangkit. Bentol-bentol merah di kulit mereka pelan-pelan berair & menular ke anggota keluarga lain. Akhirnya banyak warga Randu terpapar penyakit itu.
Karena penyakit gatal-gatal itu, beberapa warga karenanya dibawa ke rumah sakit di kota. Kepala Desa merasa lingkungannya tak aman, lantas mendatangkan seorang dokter sepesialis kulit & mahir lingkungan. Dokter mengambil sampel darah dr para penderita. Dokter melaksanakan sungguh hati-hati. Adapun ahli lingkungan mengambil pola air di desa.
“Semua hasilnya gres bisa kami berikan beberapa hari ke depan,” kata dokter & mahir lingkungan. “Kami harus membawanya ke lab untuk observasi.”
Kepala Desa yg merasa warganya terancam mengiba, “Tolong segera berikan informasi pada kami, Dok. Kami semua takut atas kejadian ini.”
“Baik,” kata dokter & ahli lingkungan. “Bila sudah selesai mengobservasi, kami akan memperlihatkan kabar.”
Dokter & andal lingkungan pergi meninggalkan desa. Kepala Desa & beberapa wakil desa benar-benar berharap mendapatkan solusi dr insiden itu.
Seluruh warga desa Randu waswas selama menunggu hasil lab dr para jago. Mereka sadar betul beberapa warga yg terpapar penyakit gatal-gatal sebelumnya baik-baik saja, utamanya bagi yg kontak eksklusif. Paiman, misalnya, dengan-cara secara tiba-tiba mengeluh tubuhnya demam sesudah beraktivitas di sawah. Tiga hari kemudian Paiman muntah-muntah cukup parah. Lalu, pada hari keempat, tubuh Paiman ditumbuhi dengan-cara rimbun bentol-bentol merah di kulit.
Sama dgn Arif, putra sulung Tarjo. Bocah itu bergotong-royong jarang keluar rumah. Bocah itu cuma keluar untuk kebutuhan penting yg tak melibatkan interaksi sosial, seperti berbelanja pulsa atau berangkat kuliah. Namun bocah itu mengalami penyakit yg sama sebagaimana penduduk lain. Arif kini terkapar tak berdaya di rumah sakit.
Banyak warga yg terkena penyakit gatal-gatal menciptakan warga lain meminimalkan aktivitas. Bahkan untuk sementara waktu, Kepala Desa mengimbau warga tak banyak beraktivitas.
“Perhatian seluruh warga Desa Randu,” kata Kepala Desa lewat pengeras di masjid. “Saya imbau sementara tak keluar rumah bila tak begitu mendesak, mirip melakukan pekerjaan atau mencari pakan ternak. Bila keluar rumah pastikan tubuh sungguh-sungguh sehat semoga tak terkena penyakit lain.”
Warga desa yg mendengar, eksklusif menuruti. Anak-anak sepulang sekolah tak dibolehkan keluyuran seperti hari-hari biasa. Warga sudah tak bercengkerama lagi di pos ronda seperti biasa. Dan, para pencari rumut yg lazimnya melakukan pekerjaan bersama-sama di sawah, seakan membuat jarak biar tak berinteraksi eksklusif. Mereka semua takut terkena penyakit gatal-gatal.
Pagi itu warga menerima gosip tak kalah mengejutkan dr televisi. Kepala Desa yg sedang bersantai minum kopi di ruang keluarga secara tiba-tiba risau sesudah mendapat informasi itu. Televisi mewartakan ada puluhan penduduk kota terkena penyakit gatal-gatal serius. Penyakit itu menular dr sebuah rumah sakit yg sebelumnya menampung seorang pasien berpenyakit serupa.
“Penyakit ini sebelumnya diderita seorang perawat,” kabar seorang pembawa program. “Perawat itu menganggap gatal-gatal tersebut cuma hal biasa. Namun setiap hari gatal-gatal itu makin parah. Bahkan sebelum si perawat mengeluhkan ke rumah sakit, penyakit itu sudah menular ke keluarga & tetangganya.”
Kepala Desa yg menyimak pun lekas meletakkan kopinya. Kepala Desa Randu saat itu juga tak mampu menyelesaikan kopi & pisang goreng buatan istrinya. Ia termenung dgn tatapan kosong seraya memikirkan banyak hal buruk yg akan terjadi. Di tengah kegelisahan pikirannya, seorang warga desa tiba-tiba mendatangi rumahnya.
“Paiman baru saja dikabarkan meninggal, Pak,” kata warga itu. “Sebentar lagi mayatnya dibawa ke desa.”
Kepala Desa cepat mengambil tugas selaku pemimpin. “Kalau begitu, mari kita siapkan pemakamannya.”
“Begini, Pak?” Rona pucat kental menggenang di air muka si perjaka.
“Ada apa?”
“Rumah sakit melarang kita mengurus jenazah Paiman. Semua prosesi penguburan akan dilaksanakan pihak rumah sakit. Pihak rumah sakit cemas penyakit Paiman mampu menular.”
Pikiran Kepala Desa saat itu juga meledak. Ia kini bisa membetulkan apa yg sudah ia bayangkan. Dan, seperti mendapatkan bencana besar, Kepala Desa hanya bisa tertunduk, kemudian dgn kaki lemas meletakkan badannya ke bangku di ruang tengah.
Seperti rekomendasi pihak rumah sakit, pemakaman dikerjakan dengan-cara tertutup. Pihak keluarga tak dapat mengurus mayatnya. Pemakaman tak boleh didatangi warga lain. Hanya tim dokter berpakaian khusus yg boleh. Warga Desa Randu makin cemas.
Sehari kemudian, pemerintah mengeluarkan hukum yg membuat warga makin kalang-kabut. Pemerintah lewat aturan itu menyuruh seluruh rakyat tak banyak beraktivitas di luar. Bahkan pemerintah menyarankan seluruh kegiatan sekolah & kerja diliburkan. Langkah itu pemerintah lakukan karena wabah gatal-gatal yg menyerang kota sudah mengkonsumsi ratusan korban.
“Setiap warga kota diimbau lebih baik di rumah,” imbau pemerintah. “Seluruh aktivitas diliburkan. Seluruh pekerjaan dilakukan di rumah. Ibadah pun untuk sementara di rumah.”
Aturan pemerintah itu tentu langsung dituruti warga. Hanya untuk permasalahan ibadah, masyarakat belum mampu benar-benar meninggalkan daerah ibadah. Namun sebab larangan begitu ketat, beberapa tempat ibadah di kota sepi. Demekian pula di Desa Randu. Sebuah masjid di desa menjadi sungguh sepi. Bahkan sehari sehabis pemakaman tertutup itu, cuma ada satu orang yg tiba ke masjid.
“Wah, jikalau seperti ini terus mampu-bisa tak ada jamaah,” kata seorang makmum di masjid. “Padahal dlm kehidupan sehari-hari saja masjid sudah sepi. Kapan kita mampu memakmurkan masjid?”
Kepala Desa yg berkala menjadi imam di masjid menjawab, “Kita berdoa saja. Semoga setelah peristiswa ini warga makin sadar betapa penting ibadah.”
Mereka melamun. Mereka tak bisa berbuat banyak kini alasannya adalah wabah penyakit gatal-gatal menimpa hampir seluruh kota. Mereka pun tak memprotes, alasannya adalah pemerintah kini sedang bersusah payah untuk menanggulangi peristiwa nasional itu.
Hari terus berlalu. Warga kota makin banyak yg terkena penyakit gatal-gatal. Pemerintah hingga sekarang belum mampu memperoleh obat untuk mengatasi penyakit itu. Korban jiwa pun terus berjatuhan. Pemerintah pula makin ketat menawarkan hukum pada warga biar tak banyak keluar.
Seluruh kegiatan seperti sekolah, bekerja, & beribadah mesti dikerjakan di rumah. Banyak tempat ibadah kesannya sepi tanpa jamaah. Demekian pula di Desa Randu. Bahkan sesudah Kepala Desa terkena tanda-tanda penyakit gatal-gatal, masjid di desa seperti menjadi tempat mati.
“Aku nggak mau mati konyol alasannya terkena penyakit itu untuk azan,” kata seorang warga yg waswas.
Akhirnya tak ada yg mengorganisir masjid. Azan yg berkala lima kali sehari tak lagi berkumandang. Masjid di desa dibiarkan menjadi tempat kumuh, terbengkalai hingga lebih dr tiga ahad.
Memasuki ahad keempat, warga masih tak peduli terhadap kondisi masjid. Namun tiba-tiba terjadi peristiwa asing. Seseorang bersuara merdu melantunkan azan dr dlm masjid.
Warga yg mendengar di rumah tercenung resah. Bahkan istri Kepala Desa, yg berumah berada tak jauh dr masjid, menilik. Akan namun tak ada seorang pun di dlm masjid.
Kejadian aneh itu tak cuma sampai di situ. Setelah lantunan azan, terdengar bunyi tangisan begitu merdu dr dlm masjid. Tangisan itu menciptakan setiap orang yg mendengar merasa sangat sedih.
“Siapa yg menangis dr dlm masjid itu?” keluah istri Kepala Desa.
Penasaran, istri Kepala Desa karenanya nekat masuk ke masjid. Disana istri Kepala Desa melihat punggung dr sosok bercahaya dgn sepasang sayap yg menempel. Istri Kepala Desa termenung, kagum menyaksikan sosok itu. (*)