close

Versi-Versi Dan Pendekatan Dalam Konseling Lintas Budaya

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Model-versi Pelaksanaan Konseling Lintas Budaya
Palmer and Laungani (2008 : 97-109) mengajukan tiga versi konseling lintas budaya, yaitu (1) culture centred versi, (2)  integrative model, dan (3)ethnomedical model.
1.      Model Berpusat pada Budaya (Culture Centred Model)
Palmer and Laungani (2008) berpendapat bahwa budaya-budaya barat menekankan individualisme, kognitifisme, bebas, dan materialisme, sedangkan budaya timur menekankan komunalisme, emosionalisme, determinisme, dan spiritualisme. Konsep-desain ini bersifat kontinum tidak dikhotomus.
Pengajuan model berpusat pada budaya didasarkan pada suatu kerangka pikir (framework)  korespondensi budaya konselor dan konseli. Diyakini, kerap kali terjadi ketidaksejalanan antara perkiraan konselor dengan kalangan-kelompok konseli ihwal budaya, bahkan dalam budayanya sendiri. Konseli tidak memahami iman-dogma budaya yang mendasar konselornya demikian pula konselor tidak memahami iktikad-dogma budaya konselinya. Atau bahkan keduanya tidak mengerti dan tidak mau membuatkan doktrin-doktrin budaya mereka.
Oleh alasannya itu pada versi ini budaya menjadi sentra perhatian. Artinya, fokus utama model ini adalah pemahaman yang tepat atas nilai-nilai budaya yang sudah menjadi iktikad dan menjadi teladan perilaku individu. Dalam konseling ini inovasi dan pemahaman  konselor dan konseli kepada akar budaya menjadi sungguh penting. Dengan cara ini mereka mampu mengevaluasi diri masing-masing sehingga terjadi pemahaman terhadap identitas dan keunikan cara pandang masing-masing.
2.       Model Integratif (Integrative Model)
      Berdasarkan uji coba model kepada orang kulit hitan Amerika, Jones (Palmer and Laungani, 2008) merumuskan empat kelas variabel selaku suatu panduan konseptual dalam konseling model integratif, adalah sebagai berikut :
1)       Reaksi kepada tekanan-tekanan rasial (reactions to racial oppression).
2)       Pengaruh budaya secara umum dikuasai (influence of the majority culture). 
3)       Pengaruh budaya tradisional (influence of traditional culture).
4)       Pengalaman dan anugrah individu dan keluarga (individual and familyexperiences and endowments).
Menurut Jones (Palmer and Laungani, 2008), pada kenyataannya sangat sukar untuk memisahkan imbas semua kelas variabel tersebut. Menurutnya, yang menjadi kunci keberhasilan konseling adalah asesmen yang sempurna terhadap pengalaman-pengalaman budaya tradisional selaku sebuah sumber kemajuan eksklusif. Budaya tradisional yang dimaksud yaitu segala pengalaman yang memfasilitasi individu berkembangan baik secara disadari ataupun tidak. Yang tidak disadari termasuk apa yang diungkapkan Jung (1972) dengan ungkapan colective uncosious (ketidaksadaran koletif), yaitu nilai-nilai budaya yang diturunkan dari generasi ke generasi.  Oleh alasannya itu kekuatan versi konseling ini terletak pada kesanggupan mengases nilai-nilai budaya tradisional yang dimiliki individu dari aneka macam varibel di atas. 


3.      Model Etnomedikal (Ethnomedical Model)
     Model etnomedikal pertama kali diajukan oleh Ahmed dan Fraser (1979) yang dalam perkembangannya dilanjutkan oleh Alladin (1993). Model ini ialah alat konseling transkultural yang berorientasi pada paradigma memfasilitasi obrolan terapeutik dan peningkatan sensitivitas transkultural. Pada model ini menempatkan individu dalam konsepsi sakit dalam budaya dengan sembilan versi dimensional selaku kerangka pikirnya.
1) Konsepsi sakit (sickness conception)
Seseorang dikatakan sakit apa jika :Melakukan penyimpangan norma-norma budaya, Melanggar batas-batas dogma agama dan berdosa, Melakukan pelanggaran aturan, Mengalami dilema interpersonal.
2) Causal/healing beliefs
Menjelaskan model healing yang dilaksanakan dalam konseling, Mengembangkan pendekatan yang sesuai dengan iman konseli,  Menjadikan doktrin konseli selaku hal familiar bagi konselor, Menunjukkan bahwa siapa saja dari berbagai budaya perlu membuatkan (share)  tentang keyakinan yang serupa
3) Kriteria sehat (wellbeing criteria)
Pribadi yang sehat yaitu seseorang yang serasi antara dirinya sendiri dengan alamnya. Artinya, fungsi-fungsi pribadinya adaftif dan secara sarat dapat melaksanakan aturan-aturan sosial  dalam komunitasnya.
4) Body function beliefs
Perspektif budaya meningkat dalam kerangka pikir pebih memiliki arti, Sosial dan okupasi konseli kian membaik dalam kehidupan sehari-hari, Muncul intrapsikis yang efektif pada diri konseli
5) Health practice efficacy beliefs 
Ini merupakan implemetasi pemecahan dilema dengan pengarahan atas iman-dogma yang sehat dari konseli. 
B.     Pendekatan-Pendekatan dalam Konseling Lintas Budaya
Sedikitnya ada tiga pendekatan dalam konseling lintas budaya. Pertama, pendekatan universal atau etik yang menekankan inklusivitas, omonalitas atau keuniversalan kalangan-kelompok. Keduapendekatan emik (kekhususanbudaya) yang menyoroti karakteristik-karakteristik khas dari populasi-populasi spesifik dan keperluan-keperluan konseling khusus mereka. Ketiga, pendekatan inklusif atau  transcultural, yang terkenal semenjak diterbitkan sebuah karya Ardenne dan Mahtani’s (1989) berjudul Transcultural Counseling in Action. Mereka memakai ungkapan trans selaku musuh dari inter atau cross cultural counseling untuk menekankan bahwa keterlibatan dalam konseling ialah proses yang aktif dan resiprokal  (Palmer and Laugngani, 2008 : 156). Namun, Fukuyama (1990) yang berpandangan universal pun menegaskan, bahwa pendekatan inklusif disebut pula konseling “transcultural” yang memakai pendekatan emik; dikarenakan titik anjak batang tubuh literaturnya menjelaskan karakteristik-karakteristik, nilai-nilai, dan teknik-teknik untuk bekerja dengan populasi spesifik yang mempunyai perbedaan budaya secara umum dikuasai.
Pendekatan konseling trancultural mencakup komponen berikut.
a)      Sensitivitas konselor kepada variasi-kombinasi dan bias budaya dari pendekatan konseling yang digunakannya.
b)      Pemahaman konselor tentang wawasan budaya konselinya.
c)      Kemampuan dan akad konselor untuk membuatkan pendekatan konseling yang mencerminkan kebutuhan budaya konseli.
d)     Kemampuan konselor untuk menghadapi peningkatan kompleksitas lintas budaya.
Asumsi-perkiraan yang mendasari pendekatan konseling transcultural
sebagai berikut:
1.       Semua golongan-kelompok budaya mempunyai kesamaan kebenaran untuk  kepentingan konseling;
2.      Kebanyakan budaya merupakan lawan bagi seseorang dari budaya lain;
3.      Kelas dan jender berinteraksi dengan budaya dan besar lengan berkuasa kepada outcome konseling.