Utang untuk Foya-foya | Cerpen Khuswatun Khasanah


Sudah dua minggu gue kembali merasakan nikmatnya bekerja. Alhamdulillah, tak begitu sukar menyesuaikan diri di sana. Ditambah, Mas Abi, suamiku, senantiasa menenangkanku, bercerita mengenai kehidupan di kawasan kerja. Memang benar, dukungan orang terdekat menjadi vitamin pendongkrak semangat yg paling manjur.


Sudah lama gue tak bekerja, semenjak menikah. Sekarang, sehabis anak sudah cukup besar, Mas Abi mengizinkanku kembali bekerja.

Masih ingat pesan ibu mertua agar tak segan menolong teman kerja yg membutuhkan. Maka, berbekal hal itu, ketika hari Jumat Lastri meminjam uang, pribadi kuberikan kepadanya. Apalagi, alasannya untuk biaya pengobatan saudaranya. ia berjanji akan mengembalikannya ketika gajian bulan depan.

Untung, gue masih punya simpanan dana darurat yg kukumpulkan sejak masih sendiri. Kebiasaan ‘mengepos-poskan’ duit memang sangat menguntungkan. Jadi, saat-ketika mendesak, tak kelimpungan cari utangan.

Jika kuceritakan, pasti Mas Abi menyepakati keputusanku untuk menolong Lastri. Tadinya, gue akan memberitahu hari itu juga, namun lupa. Rencananya, hari ini gres akan memberitahu suamiku. Tentu sepulang kerja.

*****

Lastri baru saja masuk ruangan. Dari wajah semringahnya, sepertinya ia menenteng cerita bahagia. Mungkin kondisi saudaranya sudah mulai membaik. Tentu gue sangat senang bila memang itu yg terjadi. Tiba-tiba mataku terpaku pada slim bag yg digunakan Lastri. Terlihat gres & glamor. Makdeg. Entah kenapa, suuzonku mirip ingin men-dusel keluar. Aku berupaya menyingkirkan hal itu dr kepalaku.

“Eh, Lastri. Tas gres lagi, nih,” sapa Bu Tutik yg meja kerjanya berada di sampingku.

Kedengarannya bukan sedang menyanjung. Intonasi bunyi & mimiknya memperlihatkan hal yg sebaliknya. Lastri menanggapi ucapan Bu Tutik dgn senyuman. Owalah, ternyata slim bag itu yg menjadi sumber kebahagiaan hati Lastri.

“Iya, Bu Tutik. Karena kemarin pacarku habis transfer.”

“Wah, pacarnya baik ya, Mbak Lastri. Kapan-kapan ajak ke sini, dong. Dikenalkan ke kita,” timpal Bu Dinda sambil melengkungkan bibirnya. Kearah bawah. Lantas melirik ke arah Bu Tutik.

Sepertinya, ada yg janggal. Tetapi, gue menahan diri untuk tak ikut berkomentar. Cari aman selaku orang baru. Lagi pula, gue belum tahu betul abjad mereka. Dan, itu bukan urusanku.

Namun, slim bag itu terus menggangguku. Apalagi, kalau kukaitkan dgn duit pinjaman kemarin. Makin bertumpuk-tumpuk resahku rasanya. Astaghfirullah, ikhlaskan, Sin! Jangan diungkit-ungkit. Sudah bukan urusanmu lagi, ia pakai buat apa. Anggap semua yg diucapkan Lastri yakni fakta.

  Menanti Kematian | Cerpen Jujur Prananto

“Hehe. Pacarku tinggal & dinas di luar kota, Bu. Sibuk. ia kan, PNS Bea Cukai,” sahut Lastri enteng.

Aku mengamatinya. Lalu, pandanganku beralih ke slim bag yg ditaruh di atas meja. Seperti sengaja dipamerkan. Meja kerjanya berada sempurna di depanku. Ada rasa sesak yg menggumpal.

“Bagus, ya, Mbak Sinta?” Lastri menyungging senyum kepadaku. ia sadar gue mengamatinya sejak tadi.

Allahu Akbar. Semoga benar apa yg ia ucapkan. Semoga benar, tas itu dr pacarnya. Semoga uang yg kupinjamkan memang benar-benar ia gunakan untuk bapaknya yg sakit. Mendadak, hatiku diliputi keraguan akan ucapannya. Aku pun kembali memfokuskan perhatianku ke arah PC di depanku. Menghilangkan perasaan-perasaan jelek yg mengimpit dada.

*****

Tiba jam makan siang. Aku menentukan bergabung dgn Bu Tutik & Bu Dinda yg duduk bareng dua wanita lain seusiaku. Ingin mencari tahu tentang Lastri. Dilihat dr gelagatnya, ada yg tak beres. Aku sudah mencoba untuk tak bersuuzon pada Lastri dgn aneka macam cara. Tetapi, tetap tak bisa menggusur sepenuhnya dr pikiranku.

“Boleh bergabung, Bu, Ibu?” tanyaku meminta izin. Aku menyunggingkan senyum tulus pada keempat wanita berlainan generasi tersebut. Mereka menyambutku ramah. Aku pun duduk di dingklik sebelah Bu Dinda yg masih kosong.

“Sedang nggak puasa ya, Mbak Sinta?” tanya Bu Tutik kepadaku. Aku mengangguk.

Dari masih sendiri, gue sudah sudah biasa puasa Nabi Daud. Tetapi, sejak bersuami, kebiasaan itu kutinggalkan. Sebagai gantinya puasa Senin-Kamis, itu pun jikalau suami mengizinkan.

“Iya, Bu. Sedang berhalangan,” jawabku singkat.

“Oh. Kayak gini, nih, yg perlu ditiru. Sudah rajin kerjanya, salehah pula,” sahut Bu Tutik.

Aku berusaha bersikap biasa saja setelah mengucapkan terima kasih atas penilaiannya.

Nggak kaya itu, tuh.” Bu Dinda menunjuk dgn dagunya ke arah seseorang yg tengah berdiri di depan dispenser. Lastri. Perempuan lajang ter-glowing di seantero kantor.

“Coba saja hatinya secantik wajahnya,” sahut wanita seusiaku yg duduk di samping Bu Tutik.

Aku eksklusif berhenti mengunyah. Mendadak rasa laparku hilang, berganti menjadi rasa penasaran menggelegak. Belum pula gue mengajukan pertanyaan apa sebabnya ia bicara begitu, Bu Tutik sudah mendahuluiku, “Dia itu suka utang. Ada saja alasannya. Bapaknya sakitlah, saudaralah kena bencana alam. Besok-besok mungkin tetangganya. Padahal, tujuan bahwasanya buat foya-foya.”

  Cerpen: Yang Dipersembahkan Kepada Tuhan

Ucapan Bu Tutik disambut gelak tawa yg berderai. Aku cuma tersenyum. Hatiku mencelus bekerjsama.

“Semoga saja ananda tak menjadi korbannya, ya Nduk,” sahut Bu Dinda dgn nada simpati.

Aku mengangguk saja. Demi ketenteraman hati yg sebenarnya sudah mulai bergolak.

“Sudah, Bu. Jangan bahas ia terus. Keenakan beliau. Kita yg dosa, ia dapat pahala.”

“Iya, Bu. Lagi pula sayang makanannya. Keburu selera makanku habis,” timpal yg lainnya.

Akhirnya, kami melanjutkan makan yg tadi sempat terjeda. Sebenarnya, selera makanku sudah lenyap dr tadi. Tetapi, ketimbang mencampakkan masakan, lebih baik menghabiskan makanan yg sudah terhidang meski tanpa selera.

“Dihabiskan makannya, Dik. Barangkali berkah yg ada di kuliner itu berada di suapan terakhir.” Ucapan suamiku itu yg hingga kini menempel erat di kenangan. Agar menghargai masakan & tak mengakibatkan diri sebagai saudara setan yg senang akan tindakan mubazir.

*****

Aku menghempaskan diri dgn keras. Tepat di samping suamiku duduk. Kopi yg tengah diseruputnya dikembalikan ke meja. Kemudian, badannya dihadapkan kepadaku. Mas Abi sungguh hafal istrinya ini. Tanpa mengucap sepatah kata pun, ia sudah merasakan isi hatiku.

“Kamu murka, ya?” konfirmasi Mas Abi.

Aku membisu saja. Lalu, beranjak begitu saja dr sisiku.

“Ini. Tadi Mas mampir minimarket buat beli pulsa. Tiba-tiba kepingin beliin ananda cokelat. Ternyata, ananda pulang cemberut begitu.” Mas Abi menyodorkan sebatang cokelat kepadaku. Rasa marahku meleleh berganti dgn sayang. Aku menyenderkan kepala ke bahunya.

“Mas, gue kesal sekali tadi. Temanku mendustai saya, Mas.”

“Membohongi bagaimana?”

“Dia pinjam uang, bilangnya buat ongkos pengobatan ibunya. Eh, malah buat foya-foya beli tas glamor. Bagaimana gue tak mangkel, Mas?”

“Kamu sudah tabayun dahulu, Dik? Jangan asal nuduh. Nanti kalau tak terbukti, jatuhnya fitnah lho, Dik.” Mas Abi mulai berceramah.

Sebelum berkepanjangan, gue tergesa-gesa memangkas dgn lanjutan ceritaku. Kuhabiskan jatah ceramah Mas Abi dgn melaporkan kronologi penyebab rasa dongkolku. Termasuk peristiwa pada dikala makan siang tadi.

“Walau bagaimana pun, tetap harus waspada, Dik. Selama Adik belum menyaksikan sendiri, semuanya masih praduga. Alangkah baiknya Adik tetap berbuat baik kepadanya mirip pada yg lain. Justru ini menjadi ladang pahala buat Adik.”

Tadinya gue senang karena merasa dibela.

“Maksudnya bagaimana, Mas?” Kutekan rasa kesalku yg ternyata masih ada.

“Kamu tetap berteman dgn beliau. Jangan malah dijauhi. Kalau ia sudah tenteram, baru Adik nasihati ia baik-baik. Urusan ia bakal berganti atau tidak, jangan dipikirkan. Itu belahan Allah, cuilan kita hanya mengingatkan saja. Wa tawa shoubil haqqi, wa tawa shoubish shobr,” lanjut Mas Abi sambil menukil sebuah ayat di final ceramahnya.

  Mata, Air, Hujan | Cerpen Sungging Raga

Aku menghela napas. Setelah dipikir-pikir, ucapan Mas Abi ada benarnya juga, sih. Memang, Mas Abi pada umumnya benar dibandingkan dengan salahnya. Sandaran idaman pokoknya, apalagi dikala dilanda lemah iktikad. Beruntungnya gue bersuamikan Mas Abi. Makara, kian betah bergelayut manja di lengannya. Saat begini, lebih afdal kalau urusan Lastri dipikirkan belakangan. Momen yg pantas diabadikan dlm memori kepala & hati tak boleh diusik. Seharusnya.

Sedang asyik-asyiknya menikmati momen romantis, datang-tiba ponsel Mas Abi berbunyi. Aku mengerutkan bibir, tanda tak suka keasyikan kami diusik. Mas Abi malah terkekeh & melanjutkan teleponan di teras.

Aku mengangsurkan badanku ke sofa. Mengambil ponsel yg kuabaikan semenjak sesi curhat bareng Mas Abi. Dengan agak malas kubuka-buka story WA sobat-te manku. Yang kadang isinya menghibur, bikin haru, kadang. Mataku terbelalak tatkala jariku berhenti pada story WA bernama Dik Lastri itu. Bukan hanya gambarnya saja yg menciptakan darahku datang-datang mendidih, namun caption di dalamnya juga, yg ngalah-ngalahi pedasnya cabai rawit sebaskom. Gambar slim bag berwarna pink peach itu menantang pandanganku.

Sirik tanda tak mampu. Kalau mampu beli, Ciiin. Jangan pelototin aja. Suaminya kartap BUMN kok medit. Buat sendiri aja perkiraan.

Aku terperinci sungguh geram. Meski tak ada nama Sinta dlm story WA itu, gue merasa percaya sindiran tajam itu sengaja ditujukan kepadaku. Aku teringat akan suamiku yg merupakan karyawan tetap sebuah BUMN ternama di negeri ini. Ditambah, gue memang tak terlalu suka menghambur-hamburkan duit membeli barang glamor.

Cukup sudah. Aku tak akan mengakibatkan Lastri selaku ladang pahala seperti yg dikatakan Mas Abi. Akan kubuat perhitungan lisan tajam wanita itu. Ini perang antarperempuan. Kaprikornus, dlm hal ini Mas Abi tak perlu dilibatkan.

Loh, mau ke mana, Dik? Kok keliatan marah, gitu?” tanya Mas Abi setelah selesai bertelepon.

Mungkin ia kaget, gres ditinggal sebentar saja, ekspresi wajahku sudah seperti, entahlah. Kujawab dgn gusar, “Mau ngulek cabe sebaskom!” Lalu, berlalu begitu saja tanpa menghiraukan Mas Abi yg makin galau. (*)