Urgensi Pendidikan Urgensi Pendidikan dalam Budaya Politik
Indonesia baru yang dicita-citakan banyak orang yakni penduduk baru yang disebut civil
society. Hal ini bermakna kekuasaan berada di tangan rakyat, diputuskan oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Rakyat tidak lagi menjadi objek, namun sebagai subjek pelaku kekuasaan. Masyarakat madani cuma
mampu terwujud jikalau masyarakat menemukan pendidikan yang mencukupi sehingga penduduk dapat
mengerti kiprahnya dalam proses perubahan sosial secara kreatif-konstruktif untuk mencari
bentuk-bentuk sintetik gres secara tulus, damai sekaligus mencerahkan.
Oleh alasannya itu, pemerintah semestinya dapat mengembangkan komitmennya untuk membuat
pemerintahan yang higienis, menegakkan hukum tanpa pandang bulu, dan berpihak pada proses
pemberdayaan rakyat dengan memprioritaskan pada bidang pendidikan. Kesejahteraan rakyat
sebaiknya diartikan dengan kian meningkatnya mutu sumber daya manusia yang terdidik
agar bisa meningkatkan penghasilannya secara benar, mampu berdiri diatas kaki sendiri, dan inovatif.
Sebagaimana yang dinyatakan Kuntowijoyo bahwa ukuran pertumbuhan suatu masyarakat bukan
cuma dengan menyaksikan kemajuan ekonomi saja, atau apa yang ia sebut “keadaan luar”. Ukuran
pertumbuhan yakni bertambahnya keyakinan, wama zadahum illa imana (Q.S. al-Ahzab: 22). Keadaan luar
itu yakni kondisi yang perlu (necessary condition), namun itu saja tidak cukup, karena ekonomi
bukan suatu kondisi yang mampu memadai (sufficient condition).3 Kenyataan menunjukkan banyak
orang yang berkecukupan secara bahan, namun kehidupan yang dijalaninya tidak memperlihatkan
kebahagiaan. Tidak jarang alasannya adalah ekonomi orang justru lupa diri. Oleh karena itu, perubahan
“kondisi di dalam” (pergeseran hati) itulah yang sejati dan esensial. Artinya, tujuan selesai dari suksesnya pembangunan yaitu pergantian kesadaran setiap individu. Perubahan kesadaran jauh
lebih permanen ketimbang perubahan secara material.
Oleh karena itu, pendidikan sebagai salah satu aspek penentu dan indikator kemajuan suatu
bangsa hendaknya menjadi tujuan pembangunan. Melalui pendidikan dibutuhkan para pelaku
politik di negeri ini mampu lebih memahami posisi sekaligus tugas dan tanggung jawab yang diemban
bagi kemakmuran rakyat. Bagaimana setiap orang yang terjun di dunia politik menyadari
hakikat berpolitik. Pendidikan yang dimaksud mencakup segala faktor yang mampu menawarkan
pengertian baru tentang apa, untuk apa, bagi siapa sesuatu (kekuasaan) mesti diraih dan di
pertahankan.
Pokok permasalahan yang ingin diulas dalam makalah ini adalah perihal bagaimana atau
mirip apa budaya politik yang ada di Indonesia? Dengan menyaksikan fenomena budaya politik yang
ada, aspek apa dalam kehidupan bangsa ini yang perlu dibenahi dan siapa yang dianggap mampu
memperbaikinya? Serta bentuk pendidikan yang bagaimana yang dapat mengganti dan
mengembalikan hakikat budaya politik tersebut?
Idealitas dan Realitas Budaya Politik
Budaya politik didefinisikan oleh Almond dan Verba selaku sebuah perilaku orientasi yang khas
sebuah warga negara kepada metode politik dan aneka ragam bagiannya, dan perilaku kepada peranan
warga negara di dalam metode itu.
Pengertian budaya politik ini membawa pada suatu pengertian
rancangan yang menggabungkan dua tingkat orientasi politik, ialah orientasi metode dan orientasi individu.
Sebagai sebuah tata cara, organisasi politik hendaknya mempunyai orientasi yang akan mengupayakan
kemakmuran warga negara. Aspek individu dalam orientasi politik hanya sebagai pengesahan pada
adanya fenomena dalam penduduk tertentu yang kian mempertegas bahwa masyarakat secara
keseluruhan tidak mampu terlepas dari orientasi individu. Artinya, hakikat politik bantu-membantu bukan
berorientasi pada individu pemegang kekuasaan dalam politik, melainkan kemakmuran rakyat yang
menjadi orientasinya. Sementara itu, perihal objek politik berdasarkan Albert dan Verba meliputi tiga komponen; kognitif, afektif, dan evaluatif.
Komponen kognitif dipakai untuk mengukur tingkat pengetahuan
seseorang mengenai jalannya sistem politik, tokoh-tokoh pemerintahan, budi yang mereka
ambil, atau tentang simbol-simbol yang dimiliki sistem politiknya secara keseluruhan. Komponen
afektif berbicara wacana aspek perasaan seorang warga negara yang mampu menjadikannya mendapatkan
atau menolak tata cara politik tertentu. Sikap yang telah usang tumbuh dan berkembang dalam
keluarga atau lingkungan seseorang juga dapat mempengaruhi pembentukan perasaan tersebut.
Sementara bagian evaluatif ditentukan oleh penilaian tabiat yang dimiliki seseorang. Di sini, nilai
moral dan norma yang dianut mampu menentukan serta menjadi dasar perilaku dan penilaiannya
kepada tata cara politik. Oleh alasannya itu, diperlukan penanaman nilai-nilai budbahasa bagi penduduk ,
agar mampu menilai dan memihak dengan benar dan akil, salah satunya melalui institusi pendidikan.
Konsep budaya politik pada hakikatnya berpusat pada khayalan (asumsi dan perasaan) insan
yang merupakan dasar semua langkah-langkah. Oleh alasannya adalah itu, dalam menuju arah pembangunan dan
modernisasi suatu penduduk akan menempuh jalan yang berbeda antara satu masyarakat dengan
yang lain dan itu terjadi karena peranan kebudayaan sebagai salah satu faktor. Budaya politik ini
dalam suatu derajat yang sangat tinggi– mampu membentuk aspirasi, keinginan, preferensi, dan prioritas
tertentu dalam menghadapi tantangan yang ditimbulkan oleh pergeseran sosial politik.
Setiap penduduk mempunyai common sense yang bervarisi dari satu kebudayaan dengan kebudayaan yang
lain, yang berimplikasi pada perbedaan persepsi wacana kekuasaan, partisipasi, pengawasan
(control) sosial, serta kritik penduduk .
Dalam kehidupan politik kadang kala muncul fenomena politik kekuasaan, bukan politik tabiat,
yaitu tindakan politik yang semata-mata untuk merebut dan memperoleh kekuasaan alasannya adalah dengan
kekuasaan politik yang dimilikinya seseorang atau kelompok akan mendapatkan keuntungan bahan,
popularitas, dan fasilitas yang membuat hidupnya serba berkecukupan dan mendapatkan status sosial
yang tinggi. Dalam format politik yang demikian mampu dipastikan, siapapun akan mengorbankan
apa saja dan dengan cara bagaimanapun berupaya untuk meraih tujuan politiknya. Dengan kata
lain, kekuasaan ialah segala-galanya sehingga mesti diperjuangkan dengan mati-matian.
Dalam politik budbahasa, kekuasaan bukan tujuan simpulan, tetapi selaku alat perjuangan untuk
merealisasikan cita-cita sopan santun kemanusiaan. Kekuasaan yang mau dicapainya tidak diperoleh
dengan menghalalkan segala cara, tetapi diraih melalui cara-cara yang bijak, sah, dan sehat secara
prosedural, dibenarkan secara moralitas kemanusiaan, dan kepatutan sosial. Politik watak ini
semestinya menjadi tujuan yang mesti dicapai oleh politisi sejati, dengan keinginan jalannya
pemerintahan dan negara akan lebih sehat, berpengaruh, terkontrol, dan berjalan untuk kepentingan
memajukan kehidupan rakyat yang lebih baik secara jasmani, rohani, dan intelektual.
Sejak pembahasan pertama oleh dua filsuf Yunani klasik, Plato dan Aristoteles, mengenai
hakikat acara politik memang berhubungan dengan persoalan budbahasa. Politik didefinisikan selaku
keperihatinan pada informasi-isu lazim yang mempengaruhi keseluruhan kegiatan komunitas. Mereka
membedakan kepentingan biasa dan kepentingan eksklusif. Artinya, kepentingan lazim dipandang
selaku hal yang lebih tinggi secara budpekerti. Aristoteles menyatakan, “Manusia pada hakikatnya
ialah makhluk politik; telah menjadi pembawaannya hidup dalam sebuah polis”. Hanya dalam
polis manusia mampu mencapai nilai moralnya yang paling tinggi. Di luar polis, insan mampu
menjadi subhuman (hewan buas) atau superhuman (Tuhan).
Lebih lanjut Aristoteles dan Plato menatap politik utamanya dalam kerangka tujuan-tujuan
watak yang mesti diburuoleh para pengambil keputusan. Adanya polis untuk mencari kebaikan
bersama, kebajikan masyarakat, dan kesempurnaan adab. Para pemimpin politik memiliki
tanggungjawab untuk menjamin kebahagiaan, yang bukan sekadar kenikmatan hedonistik,
melainkan kesesuaian gagasan dan tindakannya. Oleh alasannya itu, sikap mereka mesti dinilai
menurut patokan etis, yakni apakah mereka cuma memenuhi kepentingan eksklusif atau melayani
kepentingan lazim.
Dalam budaya politik, birokrasi pemerintahan Indonesia semenjak permulaan kemerdekaan sampai sekarang
masih belum bergeser dari paradigma kekuatan, bukan pelayanan. Dalam paradigma kekuasaan
terkandung hak-hak untuk mengendalikan, untuk itu mereka mendapatkan sesuatu dari mereka yang
dikontrol. Rakyat sebagai pihak yang dikuasai, bukan yang menguasai. Oleh karena itu, rakyat harus
memperlihatkan sesuatu terhadap penguasa agar mampu melayaninya. Fenomena sosial menawarkan
betapa rakyat dibentuk sibuk oleh pegawapemerintah pemerintah untuk upacara penyambutan presiden, sebagai
penguasa tertinggi di negeri ini yang berkunjung ke kawasan kekuasaannya. Demikian pula ketika
para petinggi pemerintahan lain berkunjung, pengadaan acara-acara seremonial, dan pengagungan
simbol-simbol menjadi momen penting yang menghabiskan banyak dana yang bantu-membantu kurang
berguna. Hal ini memperlihatkan upaya rakyat untuk menghormati pemerintah/atasan supaya mereka
tetap mendapat pelayanan. Padahal secara esensial, pelayanan menjadi peran yang diemban oleh
pemerintah.
Affan Gaffar (alm.) mengemukakan bahwa budaya politik masyarakat Indonesia terbagi
menjadi tiga; hierarkhi tegar, patronage (patron-client), dan neo-patrimonialistik.
Hierarkhi yang tegar memilahkan dengan mengambil jarak antara pemegang kekuasaan dengan rakyat sehingga kelompok birokrat sering menampakkan diri dengan self-image yang bersifat benevolent.
Seolah-olah mereka selaku golongan pemurah, baik hati dan pelindung rakyat, sehingga ada tuntutan rakyat harus patuh, tunduk, dan setia pada penguasa. Perlawanan kepada penguasa akan menjadi
bahaya bagi rakyat. Lebih tragis lagi, sebuah upaya untuk melindungi hak mereka sendiri pun
diartikan selaku perlawanan pula.
Budaya politik patronage menurut Gaffar selaku budaya yang paling menonjol di Indonesia.
Pola relasi dalam budaya politik patronage ini bersifat individual, yaitu antara si patron dan si
client, majikan dan pembantu, atasan dan bawahan. Antara keduanya terjadi interaksi yang bersifat
resiprokal atau timbal balik dengan mempertukarkan kekuasaan, kedudukan, jabatan dengan tenaga,
dukungan, materi, dan loyalitas. Budaya politik ini menjadi salah satu penyebab maraknya praktik
KKN dan ketidakadilan dalam penduduk . Budaya neo-patrimonialistik alasannya adalah negara memiliki
atribut yang bersifat terbaru dan rasionalistik, seperti birokrasi di samping juga memberikan
atribut yang bersifat patrimonialistik.
Nurcholish Madjid menyatakan, “Sistem politik yang seharusnya diterapkan di Indonesia yakni
sistem politik yang tidak cuma baik untuk umat Islam, tetapi yang sekiranya juga akan membawa
kebaikan untuk semua anggota penduduk Indonesia”. Artinya, keinginan politik semestinya
bermaksud untuk mewujudkan kebaikan bersama secara kemanusiaan, tidak cuma menguntungkan
kalangan atau golongan, terlebih individu tertentu selaku pemegang kekuasaan.
Apapun budaya politik yang dianut, yang terpenting bahwa penguasa politik jangan menjauh
dari realitas rakyat yang sudah memilihnya. Pemilihan biasa yang disebut sebagai pesta demokrasi
rakyat jangan hanya terhenti pada usaha rakyat dalam mempertahankan figur/tokohnya.
Fenomena yang sering dijumpai, sesudah mengungguli pemilu dan sukses menjadi pemimpin,
mereka lupa diri dan lebih parahnya mereka tidak lagi perduli pada rakyat. Bila kekuasaan masih
didominasi oleh tata cara feodal dan patrimonial-irrasional, maka demokrasi yang didambakan oleh
setiap orang akan sulit terwujud.
Peran Pendidikan dalam Mewarnai Budaya Politik
Hakikat dan peran pokok pendidikan ialah menjadikan siswa insan yang humanis.
Pendidikan juga mesti membekali generasi muda untuk mampu menangani pendangkalan hidup.
Untuk itu, pendidikan perlu membantu siswa untuk dapat memuliakan hidup. Di sini, pendidikan
ditantang tidak cuma bisa menolong anak asuh semoga hidupnya berhasil, namun lebih-lebih dapat
berarti. Pendidikan mesti mampu memberikan kearifan. Kearifan dimaksudkan tidak cuma
tentang individu, namun juga demi kepentingan biasa dan masyarakat secara luas.
Manusia tidak hanya berisikan kemampuan intelektualitasnya saja. Pendidikan yang baik tidak
boleh termakan untuk sekadar menekankan kedigdayaan dan kemajuan intelektualitas semata.
Pendidikan perlu membekali diri untuk pelatihan hati nurani, jati diri, rasa tanggung jawab, sikap
egaliter, dan kepekaan normatif yang menyangkut makna nilai dan tata nilai. Nilai, jati diri, dan sikap
egaliter ini menyangkut “hati” dan afeksi. Pendidikan juga mesti membantu siswa untuk
membentuk hati dan perasaannya, belajar mengendalikan diri, mengajar untuk menghindari sifat
angkuh, diktatorial, dan merendahkan orang lain Singkat kata, sekolah secara sadar
harus membina cipta, rasa, dan karsa siswa secara simultan.
Pendidikan harus mengkaji kembali perlunya pendidikan nilai atau etika, pendidikan akal
pekerti atau pendidikan aksara yang disadari selama ini ditelantarkan. Oleh karena nilai ialah
inti dari setiap kebudayaan, terutama nilai budpekerti. Nilai-nilai tersebut bukanlah nilai-nilai subjektif,
tetapi nilai-nilai objektif dan nilai-nilai hakikat kemanusiaan (human dignity) yang menjadi perekat
dasar dan pengikat dalam kehidupan bareng .
Jika pandangan ini yang menjadi teladan setiap pemegang kekuasaan, alhasil krisis bangsa
yang telah multidimensi ini tidak akan pernah diatasi secara manusiawi. Kancah politik
bangsa akan terus merajalela dan rakyatlah yang mau menjadi korbannya. Artinya, perpolitikan
telah mengalami degradasi budbahasa yang menghancurkan derajat kemanusiaan dan menghancurkan aspek
kehidupan masyarakat. Oleh alasannya itu, proses pendidikan politik untuk memperkuat kekuasaan
hati nurani perlu disosialisasikan secara aktual, baik dalam pendidikan politik di penduduk maupun
di lembaga pendidikan itu sendiri.
Aktualisasi pendidikan politik menuntut untuk segera diaplikasikan dalam seluruh jenjang
pendidikan. Sedini mungkin pada setiap individu ditanamkan perilaku terbuka, jujur, menghargai, dan
mau mendengarkan pendapat orang lain, adaptasi hidup disiplin, serta pengertian makna hak
dan tanggung jawab, sekaligus pemahaman untuk bisa menyeimbangkan keduanya.
Diharapkan nilai-nilai ini dapat menjadi jati diri yang terus dimiliki dan teraplikasikan dalam
kehidupan. Penanaman nilai-nilai ini dapat dilaksanakan secara serentak oleh guru, orangtua, dan
lingkungan yang mengitarinya. Upaya yang lebih efektif yaitu dengan bantuan contoh teladan
(uswah hasanah) pada anak dalam kehidupan sehari-hari alasannya kalau cuma dengan teori saja,
konkrisitas watak tersebut tidak akan didapatkan, dan teori cuma akan menjadi teori saja, tanpa
adanya upaya untuk mengaktualisasikannya.
Pentingnya keteladanan ini bahkan disebut sebagai biang segala duduk perkara oleh Kartono
sebagaimana dikutip oleh Paulus Mujiran. Krisis keteladanan menjadi salah satu penyebab
muramnya wajah pendidikan di tanah air, yang berimbas pada faktor politik, ekonomi, sosial, dan
budaya. Bukti yang mampu dilihat yaitu rendahnya keteladanan pemimpin kepada rakyatnya.
Masyarakat tidak lagi memperoleh panutan yang mampu dijadikan acuan. Padahal dalam kehidupan
bersama, keteladanan yaitu hal yang mutlak. Akibatnya, timbul krisis keyakinan berimbas pada
hilangnya legitimasi penguasa itu sendiri.
Menurutnya, untuk membangun keteladanan diperlukan perilaku selaku berikut. Pertama,
mendasarkan diri pada nilai pertimbangan adab yang mampu ditempuh dengan melatih jujur,
mengasah nurani, dan mengenal tanggungjawab. Kedua, perimbangan logika kecerdikan, yang disinyalir
mampu meminimalkan terjadinya tindakan anarkhis dan pertentangan. Ketiga, menempatkan nilai
pertimbangan sosial, dengan memupuk sikap rendah hati, gampang mengucapkan terima kasih,
toleransi, dan santun. Keempat, budaya menghargai usulan orang lain, perbedaan dan pluralitas.
Pendidikan tidak mampu terpisah dari struktur kebudayaan, di mana proses pendidikan itu terjadi.
Proses pendidikan bukan semata-mata transmisi kebudayaan dan ilmu wawasan, tetapi
ialah proses dekonstruksi dan rekonstruksi kebudayaan. Dengan demikian, kebudayaan
akan meningkat sesuai dengan kesanggupan pendidikan insan. Konsep kultural yang antisipatif
untuk menyongsong masa depan berpusat pada spiritualitas agama dan kearifan kebudayaan.
Artinya, jika aspirasi negarawan telah mulai percaya pada agama dan kearifan budaya, berarti
sebagai bangsa kita sudah kembali menyiapkan hati nurani yang selama ini diabaikan dan
Dalam budaya politik, berdasarkan Tilaar, terdapat perbedaan antara budaya politik yang terpuji
dengan budaya politik yang tercela ini terletak pada nilai-nilai dan tata cara nilai yang mendasari cara
menerima doktrin dari rakyat, cara memimpin rakyat, dan cara mempergunakan kekuasaan
yang diberikan oleh rakyat. Budaya politik yang baik dan terpuji yaitu budaya politik yang
menekankan pada prinsip-prinsip ihwal keharusan mendahulukan kepentingan rakyat dan bangsa
di atas kepentingan individu dan kalangan, serta perlunya melibatkan rakyat (atau setidaknya
memikirkan kepentingan rakyat) dalam setiap pengambilan keputusan politik. Sebaliknya,
budaya politik yang buruk atau tercela ditandai oleh praktik-praktik mendahulukan kepentingan
individu dan golongan di atas kepentingan rakyat, berorientasi pada kepentingan penguasa saja, dan
mengabaikan kepentingan rakyat.
Selain masalah budaya, tantangan utama politik di Indonesia adalah kekerasan dan ketidakadilan
yang diakibatkan oleh praktik politik kekuasaan. Politik yang identik dengan kekuasaan dijalankan
bukan atas dasar etika politik, tetapi untuk mempertahankan kekuasaan. Oleh sebab itu, banyak
konsesi diberikan dengan mengorbankan tujuan utama politik itu sendiri, yakni kemakmuran
bareng . Haryatmoko menyatakan bahwa budaya politik tidak mampu dilepaskan dengan adab politik,
yang mengandaikan aspek normatif (sopan santun dan akhlak), kaidah kebudayaan (kejujuran dan keadilan),
dan peduli terhadap pelatihan nilai-nilai dan perwujudan keinginan. Oleh alasannya adalah itu, perlu disadari
dan dijalankan upaya untuk mengembalikan hakikat faktor-aspek politik, supaya mampu membantu
terwujudnya bangsa yang civilized, meskipun hal ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar dan
perlu usaha secara berbarengan dari semua pihak lebih dari satu generasi (bersifat evolusioner).
Para politikus kita tidak menyadari bahwa pendidikan bersifat antisipatoris dan preparatoris,
yaitu selalu mengacu ke abad depan dan selalu menyiapkan generasi muda untuk kehidupan
kala mendatang. Pemikir dan pelaku yang baik di bidang ekonomi dan politik tidak akan timbul
secara secara tiba-tiba atau ‘dikarbit’, tetapi mereka harus dibina secara sistematis selama masa waktu
yang panjang. Kondisi kehidupan pendidikan saat ini akan menghipnotis keadaan kehidupan
ekonomi dan politik di periode depan. Kalau kita sekarang membiarkan kondisi pendidikan yang
menyedihkan ini terus berlangsung, maka mampu diramalkan kehidupan ekonomi dan politik kita 15
tahun yang mau datang juga tetap mengenaskan. Kelalaian untuk melakukan investasi pendidikan
dikala ini harus ditebus dengan harga mahal di era depan.
Pendidikan selaku proses pengembangan sikap demokratis. Dalam proses pendidikan ini, kita
berhadapan dengan seorang individu yang ‘sedang menjadi’. Kekuasaan dalam pendidikan mempunyai arti
kekuasaan untuk menawarkan kesempatan (opportunity) dari kebebasan insan. Manusia selaku
subjek harus merasa bebas. Dari keleluasaan inilah dibimbing kepada kemampuan mengambil
keputusan, merumuskan alternatif, dan secara bahu-membahu membangun masyarakat yang lebih
baik. Demokrasi di sini bukan dalam arti formal, tetapi merupakan sikap hidup yang dinyatakan
dalam perbuatan (action), selaku hasil refleksi dari pengalaman aktual dalam kehidupan.
Upaya pengembangan budaya politik demokratis mesti dilaksanakan dengan melibatkan segmen
masyarakat, mulai dari elit politik hingga rakyat awam. Salah satu cara yang dapat ditempuh yaitu