Ulat Terakhir di Kamar Nenek | Cerpen A Warits Rovi

Saat pintu kamar dibuka dgn sekali dorong, setelah daun pintu itu menjamah tembok. seekor ulat akan terlihat, membisu dgn sedikit meliukkan tubuhnya yg berwarna hitam bergaris kuning memanjang dr ekor ke kepala, belahan bawahnya—yang mungkin adalah kaki—bergigir & melekat rekat pada tembok, tepat di samping pigura potret almarhum kakek, yg mulai lusuh berparam bubuk.

Tahinya bulat hitam berbutir-butir menyebar di lantai, di atas bantal, di tumpukan buku, beberapa tumpukan di antaranya yg sudah kering, mengeras mirip biji pepaya acak-acakan di kaki dipan.

Ulat itu datang-datang tandang ke kamar ini sekitar seminggu yg lalu. Mulanya, gue menemukannya berdiam di daun jendela, mirip tengah kecapekan usai perjalanan panjang, dr tengah ladang ke tempat tinggal ini. Aku menduga, ia masuk ke kamar ini lewat celah daun jendela yg renggang saat terbuka.

“Hii!”

Aku jijik. Tak sabar tanganku ingin lekas meraih sapu lidi untuk menumpas habis ulat menjijikkan itu. Tapi gue teringat wasiat nenek, pada menit-menit simpulan sebelum meninggal, supaya gue tak membunuh ulat apa pun yg masuk ke kamar ini.

“Cukup dosa pembunuh ulat tertimpa padaku, jangan kepadamu,” ucap nenek ketika itu, mengusap rambutku, matanya nanar & tangannya gemetar.

Akhirnya gue membiarkan semua ulat yg masuk ke kamar ini bebas menjalani hidupnya suka-suka. Sudah ada banyak ulat bermacam-macam bentuk & warna yg masuk ke kamar ini. Semuanya sungguh menjijikkan. Dan gue membiarkannya hidup atas nama menghargai wasiat nenek.

Di kamar ini, ulat-ulat itu berpindah-pindah dr satu tempat ke tempat lain. Bertahi sesukanya, bahkan ada yg dgn bebas merontokkan bulu-bulunya yg gatal ke baju, selimut & seprei.

“Hii!”

Ingin sekali gue merotannya hingga tubuhnya yg lembek itu meletus & mengeluarkan cairan hijau kental, seperti yg dilaksanakan nenek saat membunuh ulat semasih ia hidup. Tapi, lagi-lagi wasiat neneklah yg menciptakan keinginanku terkendali, hingga ulat tetap hidup & menghilang dgn sendirinya.

Ah, entahlah dgn ulat yg satu ini. Aku menilainya selaku ulat paling sopan di antara ulat-ulat lain yg pernah ada di kamar ini, ulat ini selalu berdiam di samping pigura potret kakek, ubun kepalanya sedikit disentuhkan ke bingkai pigura itu. Berhari-hari lamanya hingga sekarang, tak pernah pergi, bahkan tak pernah bertahi.

  Bibir yang Tercecer | Cerpen Reni Nuryanti

Pernah suatu hari, dgn penggaris kayu, kupindahkan ulat itu ke tempat lain agar tak menyentuh pigura kakek yg kuanggap salah satu barang yg memiliki makna tersendiri di kamar ini. Tapi ulat itu pindah lagi ke erat pigura itu, berdiam di sana & merasakan sesuatu yg nyaman. Empat kali gue memindahnya ke tempat lain, tapi ulat itu tetap kembali lagi ke samping pigura.

Aku tak tahu niscaya, kenapa ulat itu begitu nyaman di bersahabat pigura. Tapi yg terperinci, antara ulat, nenek dan—potret—kakek dlm pigura itu punya lingkaran cerita yg saling berhubungan. Dulu, kakek seorang pejuang, ia sering meninggalkan nenek sendirian tatkala sedang diutus ke beberapa tempat yg sedang dijajah oleh Belanda.

Dalam kesendiriannya, nenek selalu berdoa untuk keselamatan suaminya. Doa-doa nenek ada yg dipanjatkan seusai salat, & ada yg dilagukan dgn suatu lirik tatkala ia tengah meronce bunga melati, sambil duduk santai di kursi kayu yg ada di bawah pohon jambu yg tumbuh di halaman rumahnya.

Suatu hari, dikala nenek menembangkan, seraya ia menautkan benang ke pusar bunga melati. datang-tiba ia dikejutkan oleh beberapa ulat yg seketika berjatuhan dr ranting jambu. Nenek terkejut, ia menghentikan jarinva yg bergerak di antara lilitan benang & bunga, kemudian menaruhnya perlahan di atas tikar daun pandan. Nenek lebih fokus memperhatikan ulat-ulat itu dgn wajah yg ketakutan. Bibirnya rapat bergeming. Dadanya diliputi bermacam-macam tanya, apakah itu membuktikan buruk bagi diri & keluarganya, karena kakek sudah usang tak pulang, lebih dr umumnya.

Nenek tak meronce lagi, ia biarkan susunan melati dlm ikat benang itu menelungkup senyap dgn lilit ujung benang merah melingkar longgar di atasnya. Ia menentukan masuk kamar, rebah sambil menutup parasnya dgn bantal, air matanya merembes, nenek cemas atas kondisi kakek di tempat tugas. Sekali lagi, ia teringat bagaimana ulat-ulat itu berjatuhan dr ranting jambu dgn cara yg sukar dinalar.

  Rumah Air | Cerpen Anton Kurnia

Beberapa hari sehabis itu, nenek sungguh-sungguh berada dlm cengkeram takdir yg teramat luka. Kakek meninggal dikala tugas, jasadnya dibawa pulang, ada sekitar tiga lubang bekas tembakan yg mengeluarkan ulat-ulat kecil. Nenek menjerit histeris sambil menghantam-mukul tembok. Kemudian ia sadar, wacana makna ulat-ulat yg sementara waktu kemudian berjatuhan dr ranting jambu.

Sejak saat itu nenek sungguh benci pada ulat. Setiap kali ia melihat ulat, nenek pasti membunuhnya, terlebih bila ada ulat yg menyelinap ke dlm kamarnya, ia akan eksklusif dibunuh dgn sadis oleh nenek. Jika ulat itu sedang merayap di lantai, nenek akan menginjaknya sambil memutar sandalnya dgn tekanan tumit hingga ulat di bawah kakinya itu mencipratkan cairan hijau yg kental ke arah tembok. Jika ulat itu sedang merayap di tembok atau di jendela, mula-mula ia menjatuhkan ulat itu ke lantai, di lantai itu ia kemudian menginjak ulat itu hingga meletus & kempes tinggal kulit.

“Ulat yakni penjajah. Penjajah itu adalah ulat. Kaprikornus, harus kita tumpas. Jangan diberi kehidupan,” kata nenek kepadaku suatu hari, matanya binar menyiratkan sebuah kesungguhan.

“Bukankah ulat itu lambang permulaan yg sederhana untuk hingga pada derajat yg mulia, menjadi seekor kupu-kupu,” gue menyergah, dahiku mengernyit.

“Tahu apa kamu!” Suara nenek keras. “Ulat yg mengkonsumsi tumbuhan kita. Ulat yg memakan jasad kakekmu. Apa ananda masih merasa kasihan?” lanjut nenek, matanya memandang umpama nyala api.

“Ulat tak jahat. Ia diberi insting untuk mencari rezeki dgn cara menyantap daun & daging. Jika ia sedang memakan tumbuhan kita, ia bukan mencuri, tapi memang sedang berusaha mencari makan sesuai insting yg sudah digariskan Allah sebagaimana tatkala kita bekerja di ladang,” ungkapku sedikit memaksimalkan suara, dgn tatap mata yg berapi-api.

“Jangan banyak berkhotbah! Aku nenekmu, lebih banyak tahu kehidupan ketimbang kamu,” sambung nenek dgn suara yg meninggi. Wajahnya merah dgn bibir sewot & gemetar.

Hari-hari sesudah itu, nenek lebih sibuk membunuh ulat ketimbang meronce bunga. Tak sehari pun ia lewatkan tanpa membunuh ulat. Awalnya ia hanya membunuh ulat yg merayap ke kepingan rumah, kemudian ia melebarkan aksinya mencari ulat di sekitar halaman, hingga risikonya ia sampai pada puncak kegilaannya, ia mesti harus pergi ke mana pun untuk mampu membunuh ulat, & ia melakukan itu saban hari.

  Ular yang Menggigit Ibu | Cerpen Khairul Umam

Nenek gres berhenti membunuh ulat ketika dirinya berbaring sakit. Dua hari sebelum meninggal tiba-tiba nenek ingin melihat kupu-kupu. Ia meminta keluarganya untuk secepatnya menangkap seekor kupu-kupu & memberikannya pada nenek. Tapi keluarga kami hanya berjumpa keajaiban, setiap kali mencari kupu-kupu, mata keluarga kami tak pernah melihat makhluk manis bersayap itu. Dari satu tempat ke tempat lain, tak seekor kupu-kupu pun yg menampakkan diri, seakan semua kupu-kupu sudah diusir dr bumi.

Akhirnya nenek menutup mata dgn satu wasiat biar gue & cucunya yg lain tak membunuh ulat, supaya ia menjadi kupu-kupu.

*****

Ulat setia itu akhirnya jadi kepompong, bergantung diam mirip melafazkan zikir, terikat oleh tiga helai benang alami yg berasal dr tubuhnya, masih tetap di tempat semula, di samping pigura tua yg menampung potret kakek. Warna kulitnya hijau dgn bintik-bintik halus warna hitam, bertumpuk membentuk garis-garis pendek di erat kepalanya.

Setelah dua bulan bersepakat dgn diam, kesannya kepompong itu menetas jadi kupu-kupu, warnanya hitam, berpoles garis merah melintang tipis hingga pada ujungnya yg bertebar warna kuning. Setelah kupu-kupu itu mengeringkan sayapnya, ia mencar ilmu terbang seperlunya, berpindah-pindah dr tembok ke lemari, dr lemari rak buku, kemudian ke Kasur, ke bantal, ke lampu & akibatnya ia hinggap dgn hening pada pigura yg memuat potret almarhum kakek.

Kupu-kupu itu hanya bisa mengggerak-gerakkan sayapnya dgn pelan. Tubuhnya lekat pada kaca pigura seperti direkat oleh polesan lem. Ia seperti sedang mencium potret kakek dgn segenap perasaan yg khusyuk.

Tak terasa lima hari lima malam, kupu-kupu itu tetap tak menggeser posisi sedikit pun, masih lekat pada pigura kakek, hingga beberapa hari kemudian gue terkejut setelah menoleh ke arah kupu-kupu itu, ia sudah tak ada & pigura kakek pun pula ikut menghilang.

“Nenek!” gumamku. Aku percaya ulat itu yakni jelmaan ruh nenek. (*)