Ular-ular Peliharaan Bapak | Cerpen Rahmy Madina


Oleh: Rahmy Madina


Sudah berulangkali kami meminta Bapak berhenti. Memelihara ular bukan pilihan yg sempurna. Apalagi dlm jumlah banyak. Dipelihara semenjak baru menetas pun, ular tetap buas & licin. Kalau ular-ular itu lepas dr sangkar, Bapak & kami sekeluarga niscaya bingung. Seekor ular saja lepas mampu bikin geger orang sekampung, bahkan lebih.Ular itu bisa menyelinap masuk ke kamar, ke laci meja, ke lemari baju, bahkan ke brankas Bapak.

Jangan pelihara ular, Pak! Mereka licik. Bisa-mampu Bapak ketularan.

Begitu Ibu pernah menasihati Bapak sebab sudah tak tahan lagi. Padahal, selama ini Ibu memilih membisu daripada mesti berdebat panjang-lebar. Namun Bapak ngeyel,bersikeras memelihara mereka. ia benar-benar sudah tidak ingin peduli pada kami, lebih mengasihi ular-ularnya. ia tak menghiraukan pula info-info di televisi atau koran perihal penyanyi dangdut yg terenggut nyawanya alasannya bisa ular.

Setiap hari Bapak menghabiskan waktu untuk bercengkerama bersama mereka. Membiarkan ular-ular itu melata di tubuhnya. Bahkan satu-dua melilit kaki & tangan. Sebentar lagi mereka akan melilit leher & memangsa Bapak. Tak perlu menanti sampai duit Bapak habis untuk membeli pakan. Lengah sedikit saja, mereka bisa dgn mudah mengambil peluang. Ular-ular itu tak pernah kenyang.

Nggak mungkin, Bu. Mereka semua baik. Aku mengenal mereka satu per satu. Aku sudah kenal betul. Bahkan tahu cara menaklukkan mereka,” jawab Bapak sambil terkekeh-kekeh. Membuat kami makin tak memahami jalan pikirannya. “Si Hitam yg terbesar, ia akan diam dikala diberi ayam panggang jumbo. Si Lurik, yg kecil tetapi sigap cukup, diberi tikus molek. Si Kuning & si Hijau sama, mereka suka kodok rebus. Si Derik, paling doyan makan kelinci. Apalagi kelinci yg lucu-lucu.

Makin tak tahan, Ibu berdiri. Menghardik Bapak. “Bapak sudah hilang logika!” ujarnya geram. “Menangani kelicikan, harus lebih licik! Atau, jangan-jangan Bapak sudah seperti yg Ibu duga!

Bapak melotot. “Hati-hati berucap, Bu! Jangan hingga kita terkoyak karena prasangka.

Ular-ular itu yg bakal mengoyak Bapak. Cepat atau lambat. Tinggal menunggu Bapak lengah!

Bapak menggebrak meja & bangkit dr duduk. ia memandang Ibu sambil melotot, mirip ular menyaksikan mangsa. “Sejak Ibu ikut pengajian kampung, omongan Ibu makin nggak bener! Berani melawan Bapak!” Bapak menghardik. Membuat satpam & pembantu rumah membisu-diam mengintip dr balik jendela. Mereka ingin tahu apa yg terjadi di dlm rumah.

  Hipokrit | Cerpen Putra Hidayatullah

Aku pun berdiri. Menggenggam kedua lengan Ibu, mengisyaratkan untuk menyudahi kemarahan. Sia-sia. Bapak makin tersulut. “Sudah, Bu. Ibu istirahat saja di kamar,” ucapku sambil menuntun Ibu. Tak ada gunanya berdebat dgn Bapak. Otaknya sudah menjadi sarang bagi ular-ular peliharaannya.

Heh!” teriak Bapak pada kami. “Kurang didik kalian! Tidak tahu berterima kasih! Uang dr ular-ular itu kalian pula yg menikmati! Jati! Anak kurang latih!” sambungnya.

Karena kami tak merespon, Bapak melemparkan guci kecil ke dinding. Namun kami tak ingin peduli. Sama tak peduli seperti Bapak pada kami.

*****

Pagi itu, tanpa sarapan dulu, Bapak sudah berangkat ke sangkar ular-ularnya. Necis, lengkap dgn jas & dasi.Begitu saban hari, & pulang saat malam. Aku & Ibu cuma mampu menahan duka. Bahkan Ibu tidak ingin beranjak keluar dr kamarku, sebelum Bapak betul-betul berangkat & tak kembali lagi sebelum jam menawarkan angka 23.00.

Bapak memang keterlaluan.Ular-ular itu jauh lebih berharga bagi dia. Uang yg ia mampu selalu ia sisihkan untuk berbelanja pakan ular setiap hari. Makin lama gerak mereka pun kian lincah. Kalau Bapak masuk ke sangkar, mereka eksklusif mengenali. Merayap & bergelayut di badan Bapak. Sementara Bapak mengagumi setiap gerak mereka. Menganggap bisnisnya selama ini, merawat & mendidik mereka supaya menjadi peliharaan yg kenal sang majikan, sukses. Bapak tak tahu, ular-ular itu sedang melenakan beliau.

Setiap pergerakan ular di badan Bapak, ia anggap pijatan. Bentuk rasa terima kasih sebab laki-laki itu sudah merawat mereka dgn baik. Menyediakan tempat nyaman, pula memenuhi keperluan mereka. Seakan mengerti bahasa tubuh ular itu, Bapak tersenyum bahagia sambil bergumam. “Asal kalian senang, gue pula bahagia. Ya, kalian mesti senang bersamaku. Kita semua akan selalu senang.

Sementara itu, Ibu yg sudah muak atas tingkah laris sang suami, memilih kembali bungkam. Biarlah Bapak puas bermesra-mesraan dgn mereka. Menepis fakta bahwa ular berbisa.

Setelah setengah jam Bapak pergi, Ibu kembali ke kamarnya. Sekadar untuk mandi. Betapa terkejut Ibu tatkala mendapati sirip ular di handuk Bapak. Ibu berteriak mengundang-manggil saya. “Jati!” ujarnya panik. “Jat? Jati. Cepat kemari!

Aku berlari tergopoh-gopoh menghampiri Ibu di dlm kamar. “Ada apa, Bu?

Ibu menangis, menunjukkan handuk itu kepadaku. Aku tak bisa berkata apa-apa, selain meminta Ibu bersabar. Tuhan niscaya mendengar doa kami.

*****

Suasana panas rumah kami berangsur surut. Baik Ibu, Bapak, maupun gue tak betah usang-usang saling diam. Sore itu, Bapak pulang lebih awal atas usul Ibu yg mengembangkan ia sup iga Istimewa. Kami makan bersama dlm situasi canggung. Meski memaksakan diri bercakap-mahir & bertanya seadanya, atmosfer yg tercipta di antara kami tak lagi sama. Entah kami yg tak bisa lagi mendapatkan Bapak atau Bapak yg rindu pada kami tak mampu sepenuhnya kembali. Sementara ia masih tak bisa melepas ular-ular itu.

  Sebuah Rencana Hujan | Cerpen Sungging Raga

Bu, rencananya malam ini Bapak ingin menenteng ular-ular itu ke tempat tinggal.

Ibu pribadi berhenti mengunyah. ia menatapku dgn tatapan kosong. Sementara gue mencoba meredam amarah supaya bertahan sampai suapan terakhir.

Berapa ular yg akan Bapak bawa?

Bapak menggigit daging iga sebelum menjawab. “Semua.

Ibu tak bisa menjawab. Diam, memandang masakan, meski tak berselera untuk mengkonsumsi. Aku tak tahan lagi. Kujatuhkan sendok & garpuku, kemudian bangkit, keluar dr zona tak nyaman itu. Kudengar bangku Bapak pula bersuara. ia berdiri pula rupanya. Namun gue masih bisa menangkap suara Ibu yg meminta ia menahan emosi. Aku sungguh-sungguh tak suka tingkah Bapak. ia di luar batas. Bahkan kulihat pula sisik berkembang di tangannya. Tak usang lagi laki-laki itu pula akan memproduksi mampu. Tubuhnya akan licin, menjadikannya tangkas bergerak, bermata lebih tajam, & ia akan dgn mudah menaklukkan mangsa. Itu kalau Bapak tak lebih dulu menjadi mangsa ular-ular peliharaannya.

Malam itu, Bapak benar-benar membawa mereka ke tempat tinggal. Menyiapkan tempat yg tenteram untuk mereka singgah, menyediakan menu kesukaan mereka, & mulailah mereka melata di tubuh Bapak. Satu jam, dua jam, tiga jam, Bapak masih asyik bercengkerama bersama mereka. Tawanya keras memekakkan indera pendengaran. Memanjakan betul ular-ular itu, seperti pada sang anak. Sementara Ibu melarangku cemburu.

Menjelang pagi, saat gue & Ibu gres saja terlelap, mendadak Bapak berteriak keras sekali. Kami berdua langsung terlonjat terkejut . Bangun dr tidur. Pembantu & satpam pula sudah melek saat kami keluar kamar.

Bu, ada apa? Kok Bapak teriak-teriak?” tanya pembantu kami panik.

Ibu menggeleng. Jelas sekali cemas. “Ayok kita lihat!” ujarnya.

Kami berempat berlari ke ruangan daerah Bapak bermesraan dgn ular-ular itu. Teriakan Bapak menjadi-jadi, membuat kami makin cemas. Dari pintu kami saksikan ular-ular itu menyerang Bapak. Si Hitam kesayangannya melilit badan Bapak sampai tak mampu bergerak. Si Loreng menggigit pendengaran Bapak dgn taring yg runcing. Si Kuning & si Hijau melilit pergelangan kaki Bapak & menggigit jempol kakinya. Si Derik menyemprotkan bisa ke muka Bapak yg sudah tak berdaya.

  Burung-burung Mbah Sinting | Cerpen Ang Ariandi

Tak kuasa gue melihat Bapak. Aku terkesiap, berniat menerobos masuk & menyelamatkan dia. Namun Ibu mencegahku. Tak kuasa menyaksikan gue mereka serang.

Jangan, Nak. Kamu di sini saja,” ujar Ibu sambil menangis. ia menarik gue menjauh, bersembunyi dibalik dinding. Pembantu & satpam kami sama-sama takut.

Namun, Bu, Bapak bisa mati terbunuh ular-ular itu!

Biar!” tegas Ibu. “Itu pilihan Bapakmu. Mati dimangsa peliharaannya.

Bu?

Jati! Kamu bermakna buat Ibu! Kalau ananda masuk, ananda akan berubah licik. Tak ubahnya ular-ular itu!

Aku melamun. Menatap Ibu yg makin deras menitikkan air mata. Pun tak tega melihat Bapak yg sudah lemas, entah mati atau masih bernyawa. Setelah beberapa dikala lamanya, kesannya mereka pergi. Mencari celah-celah di ruangan untuk melarikan diri. Si Hitam bahkan menghancurkan jendela rumah kami.

Setelah merasa kondusif, kami pribadi berhamburan masuk. Menemui Bapak. Hebat! Lelaki itu belum meregang nyawa.

Pak, kenapa bisa sampai begini?” ucap Ibu sambil menangis sejadi-jadinya.

Bapak memandang Ibu dgn lemas. Dengan nada tersendat-sendat, Bapak berkata, “Mereka mengkhianati saya, Lastri.

Sudah berulang kali Ibu menasihati Bapak. Berhenti memelihara ular. Akan datang saatnya Bapak tak lagi mampu memadai nafsu mereka,” jawab Ibu sarat penyesalan.

Seharusnya semua itu tak perlu terjadi jika Bapak mendengar pesan yang tersirat Ibu.

Maafkan saya,” kata Bapak pada kami semua.

Aku ketakutan. “Bu, kita bawa Bapak ke rumah sakit, sekarang!” ucapku.

Ibu menggeleng. “Jangan!” tukas Ibu. Aku terkejut. Tak mengerti tujuannya.

Bapak bisa mati!

Ibu menatapku. Ada kerelaan tersirat di mata bau tanah itu. “Kalau bapakmu tak bisa diselamatkan, jasadnya akan menjadi ular. Kita semua yg terkena getah!

Aku percaya Bapak sama-sama terkejut denganku atau pembantu & satpam yg galau harus berbuat apa. Kami semua memandang Ibu, yg entah bagaimana mempunyai pikiran licik. Sama seperti ular-ular peliharaan Bapak! (*)

Banaran 19 April 2016: 03.51