Tulang Ikan di Tenggorokan | Cerpen Mashdar Zainal

RUMAH kami & rumah Wak Karni bersebelahan, hanya bersekat pagar beluntas setinggi pinggang & beberapa pohon petai cina yg tak pernah berbuah. Rumah Wak Karni berlantai dua, berwarna kuning muda, & berubin keramik, sedangkan rumah kami berlantai satu, sedikit reot, & berubin tanah mentah. Jika ditilik dengan-cara saksama, dua rumah itu akan tampak seperti gubuk & istana yg bersandingan. Atau mirip tahi lalat yg menempel di wajah manis.

Di halaman rumah kami yg berpagar beluntas itu, sama-sama menganga dua buah bak yg sudah lama kami manfaatkan untuk memelihara ikan. Sebelum pagar hidup itu membatasi rumah kami, Bapak & Wak Karni ialah saudara sepupu yg cukup karib.

Suatu ketika, mereka melakukan pekerjaan sama hendak membuka sebuah perjuangan peternakan ikan. Bapak & Wak Karni pundak-membahu menggali tanah di halaman rumah kami. Mereka saling membantu, semua pekerjaan dijalankan berdua, sampai dlm hitungan pekan, dua buah kubang selebar nyaris delapan meter telah menganga & siap dimanfaatkan. Satu kubang di halaman rumah kami, & satu kubang lagi di halaman rumah Wak Karni.

Kubang itu pun segera dialiri air dr sungai irigasi yg kebetulan mengalir melintasi halaman depan rumah kami. Bapak & Wak Karni yg mengurusnya. Benih gurami pun disebarkan di dua bak itu, pada hari yg sama, dgn jumlah yg sama. Tiada hari bagi dua laki-laki paruh baya itu kecuali berdua-duaan pada pagi hari, atau pada senja hari, mengelilingi dua kolam di halaman rumah sambil mengobrol ringan & sesekali menabur-naburkan pakan ikan ke antero bak.

Gurami-gurami yg mereka ternakkan rupanya lebih singkat tumbuh dr yg mereka perkirakan, pada tiga bulan pertama, gurami-gurami itu sudah mekar sebesar telapak tangan orang dewasa. Sesekali, Bapak atau pun Wak Karni menyerok satu dua ekor bilamana kami memerlukan lauk. Tepat dlm jangka waktu delapan bulan, gurami-gurami itu telah melebar sebesar piring & siap untuk dipanen. Pada panen musim pertama itu, Bapak & Wak Karni mendapatkan hasil melimpah yg tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Bahkan hasil berternak gurami itu jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan bertanam padi yg masa panennya empat bulan sekali namun kerap disantap wereng & tikus itu. Bapak & Wak Karni membagi hasil keuntungan itu menjadi dua. Dan berencana melanjutkan peternakan yg menguntungkan itu.

*****


HINGGA pada suatu petang, Wak Karni mengunjungi rumah kami & mengajak Bapak membicarakan sesuatu. Tiba-tiba Wak Karni mengutarakan maksudnya untuk menernak gurami dengan-cara individu, sendiri-sendiri. Entahlah, alasan apa yg menimbulkan Wak Karni mengutarakan keputusan mirip itu.

  Anjing Bahagia yang Mati Bunuh Diri | Cerpen Agus Noor

“Kita sudah cukup belajar bagaimana berternak gurami, kupikir kita sudah bisa mencobanya sendiri-sendiri. Maksudku, kita akan bisa melihat seberapa kemampuan kita masing-masing, dlm mengelola kolam & ikan-ikan itu. Aku tak mewaspadai kemampuanmu, gue cuma ingin menjajal kemampuanku sendiri, tak apa-apa, kan? Kau tak keberatan, kan?” kata-kata Wak Karni terlihat nyanyuk & terbata.

Bapak cuma berdeham. Tentu ia tak bisa menghalangi harapan Wak Karni. Dan akibatnya mereka pun berpisah. Beternak gurami sendiri-sendiri. Setelah memutuskan kerjasamanya dgn bapak, Wak Karni melebarkan kolamnya tiga kali lipat, mengingat halaman rumahnya jauh lebih luas dibandingkan dengan halaman rumah kami. Wak Karni membayar beberapa orang untuk menggali kubang gres di halaman rumahnya, mengalirinya dgn air yg sama, & melepaskan benih-benih ikan yg sama pada hari yg sama & dgn jumlah yg sama per kolamnya.

Waktu pun berlangsung, pekan & bulan seolah bermetamorfosis menjadi ikan-ikan kecil yg terus berkembang & berenang-renang di dlm kolam kami. Bapak & Wak Karni sudah mulai jarang berdua-duaan lagi. Sesekali mereka masih berpapasan di halaman rumah tatkala tengah memberi makan ikan-ikan itu. Mereka kian sedikit mengatakan. Bulan demi bulan pun mengirimkan kami ke masa panen. Tatkala ikan-ikan itu dipanen, terjadi suatu yg mengejutkan. Entah musabab apa, gurami-gurami yg dipanen di bak Wak Karni jauh lebih kecil dibandingkan dengan gurami-gurami hasil ternakan Bapak. Hasil panen dr satu bak milik Bapak sama dgn hasil panen dua kolam milik Wak Karni.

Wak Karni sempat heran & kemudian kembali mendatangi Bapak untuk menanyakan kira-kira apa yg membuat panen guraminya kurang mulus. Tanpa menggurui, Bapak pun menjelentrehkan caranya beternak, caranya memberi pakan, memberi gizi pelengkap untuk ikan-ikan, mengatur aliran air, & sebagainya….

Pada isu terkini berikutnya benih-benih gurami pun kembali diternakkan, pada waktu yg sama, dgn jumlah yg sama. Anehnya, tatkala masa panen tiba, hasil panen dr satu bak milik kami nyaris sama dgn hasil dr tiga kolam milik Wak Karni. Wak Karni mengalami panen yg lebih buruk dr isu terkini sebelumnya.

  Egois | Cerpen Setta SS

Entah mengapa, sejak itu Wak Karni tak pernah lagi mengajak Bapak bicara. Konon, di warung-warung & di pasar-pasar Wak Karni menebar desas-desus yg menyampaikan bahwa Bapak sudah menumpahkan guna-guna ke bak Wak Karni sehingga panennya selalu gagal. Mendengar kabar itu Bapak hanya tersenyum simpul, & merasa tak perlu menanggapinya. Hingga suatu pagi, tatkala bapak hendak memberi makan ikan-ikan di kolam kami, Bapak mendapatkan ratusan gurami yg belum siap panen itu telah membangkai & mengapung di permukaan bak seperti cendol. Beberapa gurami yg masih sekarat tampak menggelepar berputar-putar di antara ratusan bangkai yang lain sebelum termenung & mengapung dgn mata mendelik seperti layaknya mata ikan.

Bapak percaya sekali, seseorang telah menuang racun ke kolam kami. Karena, kalau air irigasi itu beracun, pasti ikan-ikan di kolam Wak Karni mengalami hal yg sama. Betapa mendongkolnya hati Bapak tatkala itu hingga ia nyaris menangis. Ratusan ikan itu yakni nyawa, & mereka melayang sia-sia. Mau tidak ingin ratusan ikan itupun terbuang tanpa faedah.

“Aku tak tahu, siapa orang yg tega melaksanakan ini, siapa pun itu, gue telah merelakannya, biar Tuhan yg mengorganisir orang itu. Kedengarannya memang sangat remeh, hanya ikan-ikan, namun ikan-ikan itu yaitu nyawa yg disematkan Tuhan, manusia tak bisa melakukan itu, maka biar Tuhan saja yg mengorganisir orang itu,” ujar Bapak dgn mata berkilat-kilat.

Ketika itu, orang-orang tengah berkerumun di tepian kolam dgn ratusan bangkai ikan itu, & Wak Karni pula ada di sana & ikut mengikrarkan bela sungkawa dgn wajah tertekuk.

Bapak tak pernah menuduh Wak Karni atau siapa saja, tapi entah mengapa, jarak antara Bapak & Wak Karni terasa kian jauh. Setelah peristiwa yg menyesakkan itu, Bapak mengalami kerugian yg cukup besar sampai ia mesti mengistiratkan kolamnya. Dan di belakang kami, Wak Karni kembali menebarkan desas-desus bau bahwa insiden matinya ikan-ikan di bak kami adalah eksekusi dr Tuhan untuk kami. Sebagai manusia biasa, Bapak pun tak bisa terus menerus menyabarkan hatinya. Satu hal yg sungguh tak digemari Bapak dr Wak Karni ialah, ia terlalu pengecut, ia selalu menutup mulutnya rapat-rapat di hadapan kami, & kemudian membeo keras-keras di belakang kami.

  Warung Tetangga | Cerpen Sulistiyo Suparno

Karena tak kuasa lagi membentengi kemarahannya, suatu petang, Bapak menemui Wak Karni yg tengah memberi makan ikan-ikan di halaman rumahnya. Terjadilah adu ekspresi di antara mereka. Nyaris saja dua lelaki paruh baya itu saling pukul mirip bocah cilik yg rebutan mainan, kalau saja para tetangga tak tiba & memisahkan mereka.

Esok paginya, kami mendapati istri Wak Karni tengah menancapkan ranting-ranting beluntas selaku pagar pembatas antara rumah kami. Seiring waktu, pagar beluntas itu pun kian merimbun & menjulang sampai setinggi pinggul orang dewasa. Wak Karni pun masih meneruskan perjuangan berternak guraminya. Dan kami dengar, hasil panenan Wak Karni tak pernah semenarik hasil panenan kami. Sementara itu, Bapak masih mengistirahatkan kolamnya. Hingga suatu hari, pelanggan Bapak tiba & memperlihatkan pemberian untuk Bapak, supaya Bapak bisa kembali mempergunakan bak di halaman rumah yg telah usang menganggur itu.

Tepat hari itu, tatkala salah satu konsumen Bapak tiba & bertamu ke tempat tinggal kami, kami mendengar suara ramai-ramai dr rumah sebelah, dr rumah Wak Karni. Sesekali kami mendengar tangisan & jeritan. Sebagai kerabat yg khawatir, sekaligus selaku tetangga yg baik, kami pun berlari tanpa peduli, menerobos pagar beluntas yg menjulang memisahkan rumah kami. Di ruang tengah, di antara kerumunan orang-orang, kami mendapati Wak Karni tengah terbaring dgn suara tercekik. Wajahnya memerah & matanya mendelik.

Kata istrinya, dikala sarapan dgn lauk lalapan gurami, beberapa jam kemudian, tulang gurami tersangkut di tenggorokan Wak Karni & tak mampu dikeluarkan. Beberapa orang mengusulkan supaya Wak Karni lekas-lekas dibawa ke rumah sakit. Namun, sebelum tubuh Wak Karni yg lemas itu dibopong ke dlm kendaraan beroda empat, Wak Karni telah menghembuskan napas terakhirnya. Istri Wak karni pingsan & anak-anaknya menjerit tak keruan. Tak seorang pun menganggap itu masuk logika. Bagaimana mungkin setangkai tulang ikan dapat merenggut nyawa seseorang?

Sementara itu, Bapak cuma bungkam, matanya redup tetapi berkilat- kilat serupa cermin retak. Mata Wak Karni yg mendelik itu mengingatkan Bapak pada mata ratusan ikan yg mengapung di kolamnya sementara waktu silam. (*)

Mashdar Zainal, lahir di Madiun 5 juni 1984, suka membaca & menulis puisi serta prosa, sekarang berdomisili di Malang.