Tujuh Puluhan | Cerpen Yanusa Nugroho

Jalanan masih sepi. Apalagi sesudah kejadian ‘rame-rame’ itu. Peristiwa itu, di bulan Januari itu, sudah beberapa bulan berlalu, masih di tahun yg sama, tetapi laki-laki itu masih saja was-was tatkala bertemu petugas.

“Nama?”

“Ahmad.”

“Pekerjaan?”

“Kan, ada di situ?”

“Saya tanya sama kau, bukan mau membaca yg tertulis di sini.”

Hmm… saya penjual buah.”

“Tapi di sini ditulis pedagang.”

“Lantas apa bedanya? Saya pedagang buah, di Blok A.”

“Beda. Penjual buah, itu tertentu. Pedagang, … mampu jualan apa saja. Ya, kan?”

“Pak… saya mau kulak buah ke Kramat Jati… tolonglah, nanti saya bisa kekurangan.”

“Yang memilih bukan kamu. Status perkawinan?”

“Kawin.”

“Punya anak?”

“Punya.”

“Berapa?”

“Hmmm…5.”

“Kok, pake mmm… sangsi punya anak lima?”

“……….”

“Umur?”

“Saya lahir tahun empat satu, Pak. Kira-kira saya umur berapa?”

“Saya tak tanya itu. Umur?”

“Tiga puluh tiga tahun.”

“Kok, sudah punya anak lima?”

“…..”

“Kok, diam? Jawab, dong.”

“Apa urusannya, Pak?”

“Kamu tak perlu tahu. Cepat jawab & urusanmu selesai.”

“…..”

“Jadi, kenapa umur tiga puluh tiga tahun, sudah punya anak lima?”

“Saya kawin umur dua puluh, Pak.”

“Tiap tahun istrimu melahirkan?”

“……….”

“Jawab, dong.”

“Tiap dua tahun, Pak.”

“Kenapa tak ikut KB?”

“Urusan saya, dong, Pak.”

“Ini problem nasional. Negara ini sudah pada umumnya penduduk. Makanya, tidak boleh punya anak banyak-banyak. Ngerti?”

“Ngerti, Pak.”

“Alamat rumah?”

“KampungSawah, RT 03 RW 011, nomor 43.”

“Di sini ditulis nomor 45.”

“Salah ketik, Pak.”

“Siapa yg ngetik?”

“Kelurahan, Pak.”

“Kenapa tak protes?”

“Sudah.”

“Buktinya masih salah.”

“Kelurahan, kan, senantiasa begitu.”

“Jangan menyalahkan orang lain, kalau ananda protes, kan diperbaiki.”

“Sudah, Pak. Tapi tetap saja salah.”

“Kamu jangan membantah terus.”

  Gema Takbir Masih Kudengar | Cerpen Pipiet Senja

“Tidak, itu kenyataan Pak.”

“Kamu mau menang sendiri?”

“Tidak, Pak.”

“Kok, ananda ngotot?”

“…..”

“Agama?”

“Islam.”

“Bukan cuma di KTP, ya?”

“……”

“Saya tanya, ananda kok diam saja.”

“Maksudnya bagaimana, sih?”

“Kamu marah, ya? Melawan petugas?”

“Tidak, Pak, ampuuun… maaf, Pak… maaf.”

“Sialan, ditanya baik-baik nglunjak, kamu.”

“Maaf, Pak… maaf. Jangan pukul, Pak… jangan, Pak.”

Laki-laki kurus itu terduduk di tanah. Hidungnya berdarah. Seorang petugas menggantikan temannya & mulai menanyai pria luka itu.

“Kamu kenal sama Jumadil?”

“Ss… siapa, Pak?”

“Jangan pura-pura budek ntar budek beneran, kau. Jumadil!”

“Tidak, Pak.”

“Jangan bohong!”

“Sumpah, Pak, saya tak kenal nama itu.”

“Sekali lagi, jangan bohong. Kenal, enggak?”

“Enggak, Pak.”

Sebuah tamparan kini bersuara keras.

“Kenal enggak?”

“Enggak, Pak?”

Sekali lagi sebuah gamparan di tampang pria itu.

“Kenal, enggak?”

“…Terserah, Bapak, deh. Saya jangan digebukin, Pak.”

“Kalau ananda ngaku dr tadi, kan, saya tak usah mukul kau. Dasar kebo, maunya dipukul, gres ngaku. Kaprikornus ananda kenal sama Jumadil?”

“Ya, Pak.”

“Sudah lama kenal?”

“Belum, Pak.”

“Di mana kenalnya?”

“Lupa, Pak.”

“Kok. Bisa lupa?”

“Lupa, Pak… sungguh.”

“Kamu mau kemana?”

“Ke Kramat Jati, Pak kulak buah.”

“Buah apa?”

“Nanas.”

“Untuk apa?”

“Dijual, Pak.”

“Kamu pedagang buah?”

“Betul, Pak.”

“Jumadil pula penjual buah?”

“Saya tak tahu, Pak.”

“Kok bisa kenal?”

“Saya ndak tahu, Pak.”

“Tidak tahu atau tak ingat?”

“Ss… saya… jj… jangan dipukul, Pak.. ampuun, ampuun…”

“Tidak tahu, atau tak ingat?”

“Ampuuun… ampuun… kasihan anak bini saya, Pak… ampuun.”

Dan lars pun menderapkan mars. Maka patahlah iga. Pecahlah tangis & rintihan. Malam asing. Malam penuh halimun licik. Entah apa yg dihadapinya, tak ada yg peduli.

“Nih, minum dahulu.”

“Terimakasih, Pak.”

“Sekarang saya mulai dr awal lagi. Nama?”

  Rendang Buatan Ibu | Cerpen Ahda Imran

“…. Ahmad.”

“Ahmad siapa? Masak, cuma Ahmad?”

“Ahmad Sodik.”

“Ahmad, pakai ‘ha’ atau pakai, ’ka-ha’..?”

“Pakai ’ha’, Pak?”

“Hmm… sudah kawin?”

“Sudah, Pak.”

“Punya anak?”

“Lima, Pak”

“Lahir?”

“Sebelas Maret satu sembilan empat satu, Pak.”

“Kok, gila?”

“………”

“Saya tanya, kok aneh?”

“Apanya, Pak?”

“Tanggal lahirmu?”

“Kenapa, Pak?”

“Kenapa sebelas Maret? Kenapa tak dua belas, atau tiga belas?”

“…???”

“Hei, ananda belum menjawab pertanyaan saya?”

“Ss… saya musti jawab apa, Pak?” laki-laki itu terisak. Hatinya tertusuk, nuraninya tersayat, harga dirinya terkoyak.

“Jawab! Gitu aja, nangis. Cengeng!”

“Bapak keterlaluan… Untuk apa, nanya-nanya kayak gini. Bapak tahu, ini kan konyol, Pak. Kalau bapak mau tembak saya, tembak saja. Ini… tembak saja, Pak.”

Para petugas tersentak. Embun mendingin. Sunyi menyergap.

Laki-laki itu berteriak-teriak menantang. Tak dirasakannya asin darahnya sendiri. Tak dirasakannya perih lukanya sendiri. ia hanya tegak menantang, matanya nyalang.

“Kalau ananda tak membisu, saya tembak, kamu.”

“Silakan… coba kalau berani, tembak saja. Buat apa saya susah-sukar cari makan, kerja seperti hewan, kalau cuma untuk dihina seperti ini… Ayo, tembak!”

Para petugas itu melongo. Komandannya mendekat & memerintahkan anak buahnya menjauh. Mereka bergerak dgn cepat, seperti tikus got di kegelapan. Ditinggalkannya laki-laki luka itu, yg masih berteriak-teriak bagai orang gila.

Di mata laki-laki itu, terbayang anak-anaknya yg lelap. Istrinya yg mungkin tengah menyusui si bungsu. Lapak buahnya yg masih kosong, menunggu belanjaan malam itu. Besok akan ada layar tancap, mungkin saja tukang rujak atau tukang asinan tetangganya akan menciptakan barang jualan dr buah yg dibelinya.

Seumur hidup, ia tak pernah membayangkan semua ini terjadi. Ingin rasanya ia merampas salah satu senjata yg disandang petugas itu, kemudian… Laki-laki itu menangis. ia tak pernah tahu apa yg akan diperbuatnya, seandainya senjata itu ada di tangannya. Jangankan menembakkan pelurunya, apalagi sampai melukai manusia, sedangkan menyembelih ayam untuk syukuran pun ia tak tega.

  Laki-laki Pemanggul Goni | Cerpen Budi Darma

Malam merambat menjelang fajar. Laki-laki itu masih saja duduk di kelamnya aspal. Embun membasahi aspal hitam, seakan menunjukkan sedikit kesegaran di kemarau September. Tubuhnya lelah. Jiwanya letih. Lambungnya perih. Bibirnya perih. Matanya berdarah, mulutnya berdarah. Uangnya, entah raib kemana, ia tak tahu. KTP?

Laki-laki itu mulai gelisah, di manakah KTP-nya? Ah, jangan-jangan dibawa setan belang itu? Laki-laki itu makin bingung & putus asa. Sebentar lagi memang fajar, matahari akan bersinar & hari akan berganti. Tetapi, tanpa KTP, ia akan menghadapi hari-hari yg semakin tak menentu. Beberapa bulan yg lalu, penangkapan begitu banyak anak muda terjadi, menyusul bencana lima belas Januari; yg sama sekali tak dipahami Ahmad Sodik si penjual buah. Dan KTP menjadi pelindung terlalu banyak orang.

Dia membayangkan dirinya yakni seekor musang yg dikejar di malam hari. ia membayangkan dirinya yaitu tikus got, yg sial & menjadi target tembak pemburu kampung.

Lalu bagaimana jikalau ia harus menyekolahkan anak-anaknya nanti? ia mesti menyediakan beberapa ribu rupiah untuk menciptakan KTP gres, itu pun kalau orang kelurahan itu mau, kalau tidak?

Laki-laki kurus, merasakan pundaknya melengkung, menahan beban yg hebat besar. Kilatan ingatannya menyambar-nyambar. Seraut wajah bawah umur tanpa bantalan kaki membacakan teks proklamasi di upacara sekolah pagi hari.

Dengan menahan pedih di sekujur jiwa-raganya, pria itu berdiri. ia harus pulang & mengatakan apa adanya pada orang rumah. Apa pun yg dialaminya, ia harus menyampaikannya pada anak-anaknya, semoga mereka menjadi manusia yg jauh lebih besar lengan berkuasa. Kuat menghadapi apa pun, termasuk menahan diri untuk tak menyakiti orang lain. (*)