Tubuh Ayah Berwarna Tanah | Cerpen Damhuri Muhammad


Seberapa lama kita sanggup melihat kembali wajah yg pernah kita kekalkan dlm foto sehabis ia meninggal dunia? Tanyamu sambil mencari potret diri seorang tokoh penting dlm sebuah folder khusus di laptopmu. Seorang sahabat kolumnis spesialis obituari meinginkannya, karena orang besar itu gres saja dilaporkan sudah meninggal dunia. Bagaimana jika yg timbul di layar monitor yaitu wajah ayahmu sendiri, yg mungkin pernah kau abadikan sebelum ia pergi untuk selamanya? Kau sanggup menatapnya lama-lama? Sekadar melaksanakan olah-digital ringan untuk keperluan cetak buku Yasin dlm acara tahlilan 40 hari sesudah akhir hayat, misalnya?

Bagimu, itu pekerjaan paling menakutkan. Barangkali lebih berbahaya dr upaya keras menemukan suatu saat-saat pemotretan dlm situasi yg sedemikian genting. Wajah dlm foto itu seakan-akan ingin bercakap-cakap denganmu. Bibirnya seperti faktual bergerak. Tangannya bagai menggapai-gapai memintamu membisu sejenak, mendengarkanpembicaraannya. Dengan macam-macam ekspresi, ia seperti memohon uluran tanganmu guna menyampaikan hal-hal yg tak tersampaikan semasa hidup. Ia menyelisik segala diam-diam di hadapanmu, mengakui rupa-rupa tudingan yg semasa hidup mungkin disanggah terus-menerus. Foto orang yg sudah mati itu seperti rumah virtual yg dihuni banyak impian, & semuanya dialamatkan kepadamu. “Semestinya bila penduduknya sudah almarhum, datanya pula dikuburkan! Supaya tak bikin repot,” ungkapmu, ketus.

Itulah yg kemudian menciptakan kau lebih gandrung mengabadikan benda-benda mati daripada memotret orang-orang hidup. Bila tak bisa mengelak dr insan, kau niscaya akan menentukan insan yg sudah menelentang di peti jenazah. Tapi, tentu ada saja saatnya kau tak bisa menolak untuk mengarahkan mulut lensa ke wajah orang hidup. Masih ingat saat ayahmu tiba-tiba minta dipotret dgn latar belakang kebun Kangkung yg ia garap dgn sisa-sisa tenaga sehabis bertahun-tahun melakukan pekerjaan selaku tukang sumur?

“Jangan sibuk memotret orang lain saja. Bikinlah foto Ayah. Tampakkan hamparan kebun sayur ini sebagai bukti bahwa Ayah masih bertenaga,” kata ayahmu pada satu potensi pulang beberapa tahun silam.

“Tolong kau atur bagaimana caranya agar wajah Ayah tak terlihat terlalu tua. Begitu pula badan Ayah, upayakanlah tak terkesan ringkih,” mohon ayahmu, meski usianya dikala itu sudah berkepala tujuh.

“Kenapa masih membisu? Lekas siapkan perkakasmu!”

Permintaan yg bukan saja ganjil, tapi pula membuatmu terperangah beberapa jeda. Kau tahu, semenjak kecil hingga dewasa, tak ada foto keluarga yg terpajang di dinding ruang tengah rumahmu. Kalaupun ada, itu hanya foto adikmu ketika mendapatkan piala kontes pidato, atau foto-foto adikmu yg satu lagi, ketika ia bareng sahabat-temannya di SMP, mengikuti lomba pandai cermat antarsekolah. Bahkan hingga dr rumah itu sudah terlahir tiga orang sarjana, tergolong dirimu, tak satu pun terpampang foto wisuda. Tak ada foto ibumu, tak pula ayahmu, terlebih foto akad nikah mereka. Tapi kemudian, di usia tujuh puluhan ayahmu tiba-tiba memintamu untuk menyiapkan perkakas pemotretan guna mengabadikan dirinya. Entah untuk keperluan apa.

  Insomnia | Cerpen Teguh Affandi

Tanpa banyak mengajukan pertanyaan-tanya, lensa-lensa terbaik kau keluarkan dr ransel, lampu-lampu flash off, tripod, & alat-alat pemantul cahaya, terpasang di area kebun Kangkung di belakang rumah masa kecilmu itu. Kau biarkan ayahmu berdiri dgn posisi yg ia sukai, tanpa diarahkan sama sekali. Kau bebaskan saja ayahmu mengobrol dgn leluasa ketika pemotretan berjalan. Cahaya petang itu cukup cerah. Suasananya sejuk & tenang, dgn selingan candaan-candaan ringan, hingga hasilnya kau berhasil memperoleh 50 frame dr macam-macam sudut pembidikan, dgn ketajaman gambar & rincian yg sempurna.

“Ayah tak perlu menyelidiki hasilnya. Ayah yakin kau sudah mahir!”

“Satu-dua mungkin perlu kau kirim pada kerabat-kerabat Ayah. Sekadar menawarkan bahwa Ayah masih kuat. Tak lapuk digasak penyakit mirip mereka.”

“Selebihnya kau simpan saja. Barangkali kau memerlukannya nanti.”

Dari raut mukanya, sebenarnya kau mengerti, ia ingin punya pose berdua denganmu, yg bisa saja kau lakukan dgn menyalakan mode swafoto pada kamera digitalmu. Tapi ayahmu sungkan memberikan harapan yg mungkin berlebihan itu. Sebab ia tahu, semenjak kecil kau adalah anaknya yg paling getol menolak setiap undangan berfoto. Pengalaman pertamamu dgn dunia fotografi yakni pengalaman menghadapi panik. Masa itu, bangun beberapa depa di depan verbal lensa, bagimu bagai pasrah menyambut tembakan mematikan dr senapan seorang algojo berwajah sangar, meski fotografernya ialah pamanmu sendiri, adik bungsu ayahmu. Kau merasa terancam setiap kali mesti berhadapan dgn kamera. Mukamu terasa akan dikuliti, telingamu serasa akan digunting, dadamu terasa bakal ditikam.

“Orang yg takut difoto di masa kecil, kelak bila sudah besar akan menjadi juru foto,” demikian doa pamanmu, yg sepertinya segera diaminkan oleh ayahmu.

  Pak Kodir | Cerpen Ken Hanggara

Doa itu terkabul di kemudian hari. Nasib mengantarkan hidupmu ke dunia foto. Hari-harimu tak pernah lepas dr kamera. Tak ada yg lebih mempesona bagimu selain aktivitas menggambar dgn cahaya, walaupun bidang keilmuanmu sama sekali tak ada kaitannya dgn fotografi. Namun, perangaimu tak kunjung berubah. Jangankan di dunia citraan, di dunia positif pun kau takut menampakkan diri. Kau senantiasa meminimalkan risiko terlihat muka bagi banyak orang. Kau gemar meniadakan badan dr siapapun. Tatkala tak bisa menghindar dr keharusan berpose di depan kamera, hasilnya sudah bisa ditebak; senyum terpaksa, tatapan basa-bau, & aura gamang yg tak bisa kau dustakan. Teman-teman menggelarimu sebagai juru foto dgn satu pantangan; difoto. Bila itu terjadi, kata mereka, reputasimu sebagai juru foto handal akan jatuh. Seperti jagoan yg belakang layar kesaktiannya terbongkar, hingga bertekuk-lutut di hadapan musuh.

Satu tahun selepas kau mengirimkan beberapa frame foto ayahmu pada saudara-saudaranya melalui surat elektronik, dr kejauhan kau mendengar kabar bahwa ayahmu telah berpulang. Dari kebun Kangkung itulah tubuh ayahmu dipapah oleh beberapa orang. Saat itu ia sedang panen, & hasilnya sudah ditunggu seorang tauke untuk dibawa ke pasar yg jatuh di hari Kamis. Tiba-tiba ayahmu diserang sesak napas yg sulit dihadang, hingga ia ambruk & terkulai lemas di atas pembatang. Ayahmu terkapar dlm keadaan yg terus melemah selama beberapa bulan, hingga nyawanya tak terselamatkan.

Maka, insiden pemotretan yg menciptakan 50 frame itu adalah perjumpaanmu yg terakhir dgn ayahmu. Bahkan sekadar mengantarkan ayahmu ke daerah istirahat penghabisan kau gagal memenuhinya. Pesawat yg kau tumpangi dr Jakarta mengalami keterlambatan. Yang mampu kau saksikan setiba di kampung halaman hanyalah tanah pemakaman ayah yg masih merah.

“Hingga kini gue belum sanggup membuka folder berisi foto-foto ayahku!” ungkapmu dgn tampang yg makin gamang.

“Pernah gue tak sengaja membukanya, kemudian gue buru-buru menutupnya. Ayahku hidup dlm foto-foto itu!”

*****

Foto-foto dlm folder khusus di laptop itu belum seberapa menggetarkan dadamu, Kawan. Semasa kita masih mahasiswa, kau masih ingat pernah mengajakku pulang ke kampungmu? Waktu itu gue menenteng suatu kamera analog, kado yg kuperoleh dr sebuah photo-contest. Dengan kamera itu, tentu dgn kemampuan yg masih amatir & perkakas penunjang yg murahan gue membuat suatu pose foto bersama di halaman rumahmu; kau, dua adikmu, & ayahmu. Foto itu kini masih utuh dlm arsip yg kuberi nama; dibuang sayang.

  Alergi | Cerpen Gola Gong

Memang sudah lusuh. Warnanya tentu sudah kusam. Tapi, kenangan yg bersarang di dalamnya, kupastikan tak akan berkarat. Dulu, sesudah negatifnya kita cetak, dgn amat bersemangat kau bilang bahwa ayahmu masih kuat. Kau ceritakan pula, saat memperbaiki pintu dapur yg lepas dr engselnya, ayahmu masih was-was bila tenaga mudamu tak sanggup menggeret daun pintu itu sendirian, kemudian ayahmu tergesa datang menolong, hingga kalian merehab dapur ibumu bersama-sama. Masa itu ayahmu pula masih tangguh. Sepulang melakukan pekerjaan menggali sumur di rumah orang, sekujur tubuhnya bergelimang tanah liat. Kau bilang, hanya lidahnya yg tak berwarna tanah.

“Sepanjang sekop masih beradu dgn batu-batu di kedalaman sumur, jangan pernah ragu. Ayah akan terus bergelimang tanah, sementara kalian riang-gembiralah di dunia sekolah,” begitu ayahmu memompa semangat kalian.

Kau tak bisa merawat ayahmu sebagaimana ia dgn kalem menggendong badan kecilmu ke Puskesmas tatkala kau panas tinggi selepas bermain bola dlm hujan lebat. Kau tak bisa menyuapinya dgn makanan kegemaran alasannya adalah ia sudah kehilangan selera. Sementara di masa kanak-kanak, sepotong Martabak yg hampir terdorong ke dlm mulutnya ia renggut kembali, karena ia melihat matamu mengharapkan Martabak Terang Bulan itu.

Kini ayahmu sudah tiada. Kegembiraan kalian pula telah lebih dulu berlalu. Tapi kau tak akan lupa tua yg sudah bersekutu dgn badan ayahmu. Kau tak akan lupa napas kelelakiannya, cara tertawanya, kekar pangkal lengannya. Merindukan masa bergelantungan di pundak ayahmu yakni semacam kegembiraan yg tak lagi akan bersuara. Atau semacam kesenyapan yg tak lagi akan terbahasakan di sepanjang hidupmu.

Klise foto itu sudah hilang, Kawan. Tapi, gue sudah menyelamatkannya dgn mengganti lembaran foto usang itu ke dlm format digital. Telah kukirimkan berkas lunaknya ke alamat emailmu. Unduh & simpanlah baik-baik. Kelak, kau akan memerlukannya….


Damhuri Muhammad, cerpenis, esais, & kolumnis. Cerpennya, Juru Masak & Banun, terpilih sebagai bahan latih dlm buku pelajaran Bahasa Indonesia, kelas II SMU, Kurikulum 2013. Sehari-hari ia melakukan pekerjaan sebagai pengajar filsafat di sebuah akademi tinggi swasta di Jakarta. Buku fiksi terkininya Anak-anak Masa Lalu (2015).