Amang oi! Kontan ia melonjak setengah berteriak. Induk jarinya pecah bercucur darah. Sambil menggendong tangan kirinya yg kebas, ia bergegas turun ke bawah. Mencari daun pagapaga untuk dikunyah, sesegera mungkin dilumurkan ke jarinya yg terbelah. Biasanya, pagapaga yg sudah bercampur ludah itu ampuh menyumpal luka yg merekah. Nian berhenti pula semburan darah. Tinggal menanggungkan denyutnya saja, mirip menahankan desakan puluhan jarum yg tiba bergelombang menusuk ulu luka. Tentu perihnya yg meletup-letup itu akan mengombang-ambingkan tidurnya malam ini.
“Istirahatlah kamu dahulu!” Boru Pohan memberi anjuran.
“Iya, nanti tambah parah pulak luka kakak,” ujar Togu sambil mengelebatkan martil ke bongkahan kerikil.
Tiurmiada gres saja mengawali pekerjaan. Karungnya pun baru berisi sepertiga. Padahal, matahari yg melesat dr timur, sejengkal lagi melintasi kepala. Sesiang ini, Tiurmaida sebaiknya sudah merampungkan empat karung kerikil. Tapi satu karung belum genap, di jarinya seliang luka malah datang menyergap. Ia memang telat naik ke bukit. Tadi pagi Marsius mengamuk lagi. Baru beberapa langkah beranjak dr pintu, Tiurmaida mendengar lesatan umpat-serapah suaminya.
Tiurmaida kemudian berpaling langkah, menyurut sepasang kaki kembali ke tempat tinggal. Tadi, sebelum berangkat, ia sudah menyuapi Marsius. Bahkan selepas subuh Tiurmaida sudah memandikan suaminya, membersihkan kotoran Marsius yg basalemak di pisak celana, bahkan bercecer disebagian tubuh. Lalu ia mengganti pakaian Marsius, pula menukar tikar tidurnya. Ya, Tiurmaida mesti hati-hati melakukan rutinitas itu. Ia tak boleh serampangan membuka-pasang gembok pasung. Tatkala hendak memakaikan baju, ia cukup melepas kekangan di gelang tangan Marsius. Pun sebaliknya, melepas kaki yg terkunci bila hendak mengenakan celana.
Tiurmaida begitu bersungguh-sungguh mengelola Marsius. Meski Marsius tak tentu waktu melampiaskan gerutu, ia tak pernah sanggup membiarkan suaminya dlm keadaan kacau. Ia setia menghalau setiap amuk yg menyuruk ke tubuh Marsius. Kadang tengah malam ia harus beranjak dr tidur yg nyenyak demi mendiamkan Marsius yg berteriak-teriak. Marsius memang tak leluasa bergerak, tetapi sering gigitan Marsius hinggap di tangannya. Bahkan, selebam luka gigitan pernah mendidih di dada kiri Tiurmaida. Tatkala itu, ia sedang menenangkan Marsius. Tiurmaida berupaya mendekap, namun rahang suaminya lebih dulu meretap.
Demi Tuhan! Sebetulnya Tiurmaida tak tega melihat Marsius terlentang diatas dipan lapuk tak berkapuk & dikekang beberapa balok & rantai. Marsius tambah kurus. Matanya cekung, melengkung seperti sepasang sabit yg mencabik-cabik hati. Benar, acap kali tatapannya kosong bagai lorong teramat sepi. Tapi sering kali lorong itu menjadi dua tungku yg menyemburkan api. Dagu & rahangnya mirip tebing curam, ringkih, & penuh belukar. Tulang-tulang Marsius menonjol, membuat potongan tubuh yg lain mirip liang-liang kecil yg menganga. Punggungnya terkelupas lantaran sudah tergeletak kurang lebih tujuh bulan lamanya. Tapi apa hendak dikata, perangai suaminya tambah parah saja. Memasung Marsius ialah opsi terbaik sekaligus menyesakkan bagi Tiurmaida.
Ia sudah mengunjungi banyak datu, orang berilmu yg dianggap sakti di kampung itu. Namun, hasilnya nol beku. Beberapa datu di kampung tetangga pula sudah dikunjungi. Lagi, kesempatan sembuh belum terpenuhi. Tapi senantiasa ada kekuatan lain yg membikin Tiurmaida bertahan. Selagi bareng Marsius, dadanya menyerupai danau lapang yg siap menampung segala kepedasan hidup. Ia memilih tetap merawat suaminya meski tamat-simpulan ini keluarga Baginda Paruhuman sering membujuknya semoga meninggalkan Marsius. Dua hari lalu—entah yg keberapa kali—ibunya kembali tiba.
“Apalah salahnya kalau kau menikah lagi.”
“Keputusan itu sudah kupikirkan masak-masak, Bu.”
“Masih muda kamu itu, Tiur.”
“Iya. Tapi tak mau gue mangidolong!”
“Pikirkanlah sekali lagi.”
Tapi Tiurmaida menjawab dgn gelengan yg tegas. Ia tak mau mangidolong meskipun itu diperkenankan aturan kampung. Berdasarkan instruksi akhlak, istri pantang meminta cerai. Andai terpaksa, mangidolong ialah satu-satunya jalan biar keinginan istri untuk berpisah mampu terwujud. Biasanya istri lari ke tempat tinggal orangtuanya. Dengan begitu, keluarga pihak suami akan mendatangi keluarga pihak istri. Maka, digelarlah mufakat, mengalirlah nasihat-nasihat semoga suami istri yg berselisih kembali seangguk setuju. Tapi jika istri menolak, terpaksa pihak suami menyodorkan talak.
Namun, Tiurmaida kukuh pada pendiriannya, tak untuk mangidolong! Sebab itu cuma memuluskan perjodohannya dgn anak namboru, anak dr kerabat wanita Baginda Paruhuman. Tiurmaida menolak planning itu bukan karena lelaki bernama Ali Tukma itu duda beranak tiga, tapi lantaran ia masih lapang dada mengasihi Marsius. Lagi pula, ia tak sedang bertengkar dgn Marsius. Iya, terus jelas harapan untuk menikah lagi sering memercik di keruh pikirannya. Ia masih muda! Usianya tiga puluh dua. Tapi setiap mengenang segala pahit-manis kebersamaannya dgn Marsius, keinginan yg hinggap itu seketika lenyap.
Tentu Tiurmaida tahu segala risikonya & ia siap menanggung itu. Ia sudah terbiasa menahankan beling perih sebuah risiko. Bukankah risiko yg mengintai tatkala ia menetapkan menikah dgn Marsius. Ah, berkait kepedihan masa kemudian masih menancap di sembab ingatannya. Orangtuanya terperinci-terangan menentang Marsius selaku calon menantu. Tatkala itu, serapah apa lagi yg belum limpah? Padahal, menurut Tiurmaida, argumentasi penolakan keluarganya terlampau mengada-ada. Ya, cuma bersebab dendam lampau tatkala lamaran ayahnya pernah ditolak mendiang ibu Marsius.
Namun, meski kelak tercampak dr keluarga, Tiurmaida tetap berkeras memilih Marsius. Tekad sudah demikian padat. Marsius & Tiurmaida nekat marlojong, kawin lari! Dan keluarga Baginda Paruhuman murka tatkala mengetahui anak gadisnya raib. Apalagi tatkala mereka mendapatkan abit partading dibawah bantal Tiurmaida. Itulah seperangkat bakal baju, sepucuk surat, & sejumlah uang sebagai pemberitahuan bahwa seorang gadis sudah berketetapan hati menikah dgn pilihannya. Lazimnya, selang beberapa hari, utusan keluarga laki-laki akan mendatangi keluarga perempuan. Mereka bertamu untuk memberitahu ulang insiden marlojong, berikutnya merembukkan rencana ijab kabul dengan-cara budpekerti & agama.
Tapi Baginda Paruhuman tak memberi kesempatan pada delegasi keluarga Marsius untuk duduk bersila didalam rumahnya. Berarti ia tetap tak merestui Tiurmaida. Namun, apa boleh buat, pernikahan harus dilaksanakan meski tanpa kehadiran ayah & ibu Tiurmaida. Soal izin & wali nikah, peraturan adat melimpahkannya pada uda Tiurmaida—adik pria ayahnya. Marsius & Tiurmaida pun sah menjadi suami istri. Mereka menyusun harapan & mimpi, pengin punya anak sebagai pelipur hati. Penuh harap pula mereka, kelak kedatangan anak akan melunakkan hati ayah & ibunya.
Tapi keinginan itu layaknya selengkuk busur yg memuntahkan ribuan panah ke tengkuk Tiurmaida. Bayangkan, sembilan tahun berumah tangga, mereka tak pula dikaruniai anak. Maka, kesempatan untuk mengait simpati keluarga adalah mimpi yg terbengkalai. Malah orangtua & sanak famili terus menghunus cibiran: “Lihatlah, kutukan telah berlaku bagi Tiurmaida anak durhaka. Ia tak melahirkan anak meski seorang saja!”
Ois, dgn sulit payah Tiurmaida & suaminya mengasah ketekunan. Tak patah arang mereka pergi makin kemari. Harta warisan milik Marsius: sawah & ternak, habis digadai demi keinginan memangku anak. Berobat kampung sudah dijalani, tak terbilang bidan yg mereka datangi. Mereka berulangkali pulang pergi ke rumah sakit di Sidimpuan—dari kampung sekitar satu setengah jam naik mobil sewa. Tapi hasilnya berbuah hampa, bahkan belakangan dokter menyatakan rahim Tiurmaida berurusan!
Itulah vonis yg mengiris. Namun, Tiurmaida mesti tahu diri. Ia menyilakan Marsius memberi talak demi menikahi perempuan lain & punya anak. Namun, mentah-mentah suaminya menolak sembari bersumpah tak akan meninggalkannya. Tiurmaida terharu, namun pula gundah. Ia pasrah, nyaris mengalah. Tapi tatkala hasrat mulai terkulai, saat gontai kaki hendak menjejak nganga ngarai, bertiuplah sebuah anugerah ke perut Tiurmaida. Tuhan Maha Besar, ia hamil! Betapa luar biasa kegembiraan Tiurmaida & Marsius menyambut hadiah Tuhan itu. Apalagi sesudah anak tersebut lahir dgn sehat. Anak laki-laki, namanya Maramuda.
Memang, pancaran kebahagiaan tetap mengguratkan keperihan. Mengapa? Karena keluarga besar Baginda Paruhuman tak ambil belahan dlm bingar kegembiraan itu. Malah, bukan ucapan sukacita yg mengalir ke indera pendengaran Tiurmaida, melainkan gumpal kalimat berbalut pecahan kaca. Begitu legam kiranya dendam ayah & ibunya. O, semudah itukah memutuskan tali darah antara orangtua & anak? Berpekik-pekik ia dlm hati.
Tapi ampun, hantaman yg lain kembali meremukkan dada Tiurmaida. Maramuda meninggal tatkala usianya gres dua tahun tiga bulan! Pusaran air yg menyintak Maramuda dr lengan Marsius ketika mereka mandi ke sungai. Oihda, kenapa selekas itu Maramuda pergi? Tiurmaida pun lelap dlm ratap. Pedih! Tapi inilah alur takdir yg musti diarungi Tiurmaida. Ia berupaya percaya, bahwa segala kejadian senantiasa merindangkan pohon pesan tersirat. Meski ia tak tahu kelezatan apa yg kelak dicecapnya.
Ia cuma tahu, kalau maut Maramuda membikin Marsius terpukul. Itukah yg menyebabkan suaminya sering menangis sendiri, bicara sendiri, & tertawa sendiri? Marsius pun mulai lupa dgn dirinya sendiri, lupa istri sendiri, lupa pula bahwa ia sudah tidak memiliki anak lagi. Rasa cemas senantiasa mendebarkan Tiurmaida. Mengapa tidak? Tabiat Marsius makin tak terkendali. Ia sering merampas anak-anak kecil—seumur Maramuda—dari gendongan para ibu di kampung itu. Karena ulahnya, tak jarang Marsius mesti terperosok ke dlm kekalapan warga kampung. Marsius dilempar, dihajar, & terkapar. Ia direndam ke lumpur sawah, lalu dipulangkan sambil memanggul luka yg parah.
Peristiwa itu tak sekali dua kali terjadi, & hasilnya menuntun Marsius menikung ke sebalik pasung. Tapi Tiurmaida mesti sabar, apalagi tatkala seketip harapan datang menyelip. Iya, belakangan ini keluarganya—terkhusus ibunya—sering berbelok ke rumahnya. Meski baginya itu telat, ia tetap bersyukur. Ia sedikit lega & berupaya untuk tak tersungkur ke kolong kesumat. Apalagi tatkala ibunya tak pernah penat bernasihat, pula tak henti meniupkan bergumpal semangat ke rompal hidupnya. Namun, seiring itu, kekecewaan berjuntai pula di ranggas pikirannya. Rupanya, kebaikan keluarga Baginda Paruhuman berhilir pada perjodohannya dgn Ali Tukma.
Kini karung keenam. Paling tak ia bisa menuntaskan satu dua karung lagi, sebelum hari betul-betul terjerembap ke kubang gelap. Disekitarnya, kerikil-batu—sepangkal paha—hasil longsoran modern masih tersisa beberapa onggok lagi. Berarti sepekan ke depan, ia masih memiliki potensi menukarkan tenaganya dgn uang. Tiurmaida tersenyum, kemudian menatap cahaya buram yg menyala di rumah Marolop. Itulah satu-satunya rumah di daerah pinggang bukit itu. Marolop mandor para pemecah batu. Ia yg menampung serpihan kerikil-batu, sebelum mengirimnya dgn truk pada para pemesan di Sipirok atau di Sidimpuan. Lelaki itu pulalah yg membayarkan upah sesuai jumlah karung yg dituntaskan.
Seusai magrib, biasanya Marolop turun ke kampung, menghabiskan dua pertiga malam di kedai kopi sambil berjudi. Maka, Tiurmaida harus lekas merampungkan pekerjaannya, kemudian menyeret karung-karung itu ke hadapan Marolop. Kalau tidak, ia akan kehilangan Marolop. Dan Tiurmaida mesti menanti besok untuk menerima upah hari ini. Padahal, upahnya bakal lebih sedikit dr hari sebelumnya. Biasanya Tiurmaida sanggup menjalankan dua belas karung kerikil dlm sehari. Sekarung kerikil imbalannya sembilan ratus rupiah, berarti ia akan mengantongi upah nyaris sebelas ribu per hari. Namun tak untuk kali ini. Sebab, sepetang ini baru lima karung yg berisi. Itu pun dilaksanakan sambil menahankan sayatan-sayatan kecil di induk jarinya yg bacin.
Teman-sobat Tiurmaida, satu-satu berangsur pulang tatkala mendung mengapung dr celah bukit. Beberapa malam terakhir, lebat hujan & kesiur angin berjam-jam mengepung daerah bukit & kampung. Tapi malam ini Tiurmaida sepertinya akan terus mengayunkan martil, terus memecah batu-watu dgn sisa kekuatan. Sesekali ia betulkan letak tudung kain di kepalanya. Angin yg meluncur deras dr bahu bukit yg koyak kadang menggigilkan tulangnya. Tapi wajah Marsius yg memintas-mintas di serambi kenangan, mengembuskan kehangatan gres ke tubuhnya.
Sesekali Tiurmaida menghela napas, meluruskan lengkung punggung sambil mendongak ke atas. Perlahan ia amati langit membentuk payung raksasa berwarna pekat. Petir menggelegar, kilat membelah udara. Segeliat lagi terompah waktu akan menginjak pangkal malam. Ia menoleh ke belakang, menyaksikan barisan bukit tandus seperti berpenggal kepala yg berserakan. Sorot mata Tiurmaida berpindah ke arah depan, ia pandangi sembul cahaya dr rumah- rumah penduduk di kaki bukit. Ah, indah! Dari jauh semacam kilau danau. Apalagi tatkala hujan terburai dr perut langit, bilah-bilah air yg dipantuli cahaya mirip percik kembang api.
Entah lantaran keindahan itu, hujan yg berkelebat dlm gelap tak menciutkan nyali Tiurmaida. Padahal, tubuhnya berkelambu hujan. Tangannya menebal, namun ou, kenapa tak mampu memental kengiluan yg menerobos luka induk jarinya. Tiurmaida menggeletar, tetapi kian bersahabat genggamannya pada martil. Rahangnya berdetap, tapi ayun tangannya tetap menetak kerikil. Deru hujan, desir angin, sentak petir, pula denting watu-watu menyerupai lagu-lagu yg meneguhkan semangatnya. Tapi dr arah bukit, samar-samar terdengar lagu aneh yg menyusup ke indera pendengaran Tiurmaida. Ia tak paham kalau lagu itu bernada gemuruh.
Aduh!