Tinjauan Yuridis Pengalihan Duit Kembalian Konsumen Dalam Bentuk Derma Oleh Pelaku Perjuangan Menurut Undang-Undang Pertolongan Pelanggan

SKRIPSI

TINJAUAN YURIDIS PENGALIHAN UANG KEMBALIAN KONSUMEN DALAM BENTUK SUMBANGAN OLEH PELAKU USAHA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN

 OLEH :

NAMA      : ANNISA

STAMBUK      : 040 2013 0208

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar
Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Muslim Indonesia

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2017

KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis mampu mendapatkan akomodasi dalam menuntaskan penelitian serta menulisnya dakam bentuk skripsi, sehingga penulis mampu menuntaskan studi pada Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia Makassar guna mendapatkan gelas Sarjana Hukum. Shalawat dan salam penulis  haturkan terhadap junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah memperlihatkan jalan kebenaran. 
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini banyak mengalami hambatan, tetapi berkat santunan, bimbingan, kerjasama dari aneka macam pihak dan berkat dari Allah SWT, sehingga kendala-kendala tersebut mampu terselesaikan. Penulis mengucapkan banyak terima kasih terhadap Ayahanda  H. Nurla Wally  dan Ibunda tercinta Asna Wally yang selalu senantiasa menawarkan motivasi, sumbangan, pelajaran, pengalaman hidup, dan kesabarannya dalam mendidik penulis sampai detik ini. Pada kesempatan ini dengan segala keikhlasan dan kerendahan hati penulis menyampaikan terimah kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya terhadap :
1. Ibu Prof. Dr. Hj. Masrurah Mokhtar, MA selaku Rektor Universitas Muslim Indonesia.
2. Bapak Dr. H. Muhammad Syarif Nuh, SH.,MH selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia, dan Wakil Dekan serta seluruh staff.
3. Bapak Hasanuddin Kanenu, SH.,MH selaku Ketua Bagian Hukum Dan Masyarakat atas pengarahannya kepada penulis.
4. Bapak Prof. Dr. Syamsuddin Pasamai, SH.,MH sebagaiPembimbing I dan Ibu St. Darwana Handa, SH.,MH sebagaiPembimbing II yang sudah banyak membantu dan meluangkan waktunya guna menunjukkan bimbingan kepada penulis.
5. Bapak Dr. Muhammad Rinaldy Bima, SH.,MH dan Bapak Sudirman Sanusi, SH.,MH. Masing-masing selaku penguji yang telah menyempatkan waktunya untuk menunjukkan pengarahan terhadap penulis.
6.  Ibu Besse Indriati Masdin, SH.,MH. selaku Pembimbing Akademik yang banyak menolong penulis selama perkuliahan.
7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia yang sudah memperlihatkan ilmu dan pengajarannya selama perkuliahan.
8. Saudara-saudaraku tersayang  Aprilya, Sarni, Feby, Sri, Dilla, Syamsul dan Dita yang selalu memberikan semangat, bantuan, dan mengajarkan kebaikan kepada penulis.
9. Sahabat-sobat yang tersayang 5CM-FH UMI (Sri Suci Utami, Nur Rahmah, Nurul Safitri Djaafar, Alfinny Alfionita) dan TIWALS (Tika, Ica, Wana, Ayu, Lia, dan Suci) yang sudah memperlihatkan derma dan doanya.
10. Teman-teman di Fakultas dan KKPH (Muaz, Faje, Iin, Ubul, Ririn, Dana, Enteng, Ulen, dan Yuli) yang banyak menolong dan menawarkan pemberian.
11. Semua sobat-sobat yang sudah menolong penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Akhir kata kiranya tulisan ini mampu berkhasiat dan berguna bagi semua pihak yag berkepentingan utamanya dalam penerapan serta pengembangan Ilmu aturan di Indonesia.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

    Makassar, 28 Februari 2017
   

    Penulis

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai makhluk sosial saling berinteraksi untuk menyanggupi keperluan dalam hidupnya, upaya untuk meraih tujuan hidupnya antara lain dengan menjalin kerjasama yang baik antara sesama manusia dalam aneka macam macam faktor kehidupan, salah satunya yakni faktor ekonomi yang didalamnya mencakup persoalan-masalah jual beli, perdagangan, dan sebagainya. Perdagangan atau jual beli juga merupakan bukti bahwa sesama manusia saling memerlukan satu sama lain.

Prinsipnya pelaku usaha memperoleh keuntungan maksimum dengan pengorbanan tertentu, akan tetapi pada praktiknya pelaku perjuangan kadang kala melakukan perbuatan-perbuatan yang memiliki peluang merugikan konsumen sehingga kepuasan konsumen karenanya di nomor dua kan. Perbuatan pelaku usaha yang sering merugikan pelanggan tetapi tidak disadari oleh pelanggan itu sendiri, yakni pengalihan uang kembalian pelanggan ke dalam bentuk lain seperti menukarkannya dengan permen atau yang marak terjadi pada saat ini yaitu melakukan pemotongan pundi amal semacam pemberian atau donasi secara sepihak dengan alasan tidak adanya uang kembalian atau sekedar ingin membulatkan duit kembalian yang dialihkan ke dalam bentuk sumbangan misalnya yang sudah penulis alami sendiri, adalah ketika Penulis berbelanja di suatu minimarket Indomaret dan juga Alfamidi. Karena dengan argumentasi duit koin tidak ada atau habis, kasir memberi pilihan supaya duit kembalian di donasikan saja. Uang kembalian penulis memang cuma Rp 150,00 maka dengan eksklusif penulis menyetujuinya. Sedangkan, hal serupa terjadi lagi dikala penulis berbelanja di Alfamidi, dalam struk pembelian dicantumkan bantuan Rp 50,00 tanpa ada keterangandari pihak minimarket bahwa uang kembalian sudah disumbangkan. 

Peristiwa mirip ini, apabila seorang konsumen tidak menerima pengalihan uang kembalian tersebut  maka  pelanggan akan merasa terpaksa dan mesti mendapatkan realita bahwa uang kembalian yang seharusnya diterima utuh harus didonasikan. Jumlah nominal duit yang disumbangkan memang sedikit, tetapi hal ini sangat mengusik ketentraman dan melanggar hak – hak konsumen. Tujuan awal acara bantuan memang baik tetapi sama mirip bentuk kembalian berbentukpermen, pelanggan merasa terpaksa dan harus berkompromi dengan penawaran yang diberikan oleh pelaku usaha. Disamping itu, pelanggan tidak diberikan pilihan atau solusi lain oleh pelaku usaha, sehingga konsumen seakan – akan tidak berdaya untuk menolak anjuran yang diberikan oleh pelaku perjuangan.
Islam mengajarkan seseorang pelaku usaha itu harus bisa menepati janji dan tidak berkhianat ataupun curang dalam menjalankan bisnisnya, hal ini telah diterangkan di dalam Al-Qur’an pada Surat Al-Baqarah (2:283) bahwa Allah SWT berfirman : 
Artinya :
“Jika kau dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan namun bila sebagian kau mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah beliau bertakwa terhadap Allah Tuhannya; dan janganlah kau (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka bergotong-royong beliau ialah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu lakukan”.

Seperti yang telah diterangkan dari ayat diatas sifat yang harus dimiliki oleh seorang pelaku perjuangan ialah harus mampu menepati kesepakatan, jujur dan tidak berkhianat ataupun curang dalam melakukan bisnisnya. 

Dalam hal pengalihan uang kembalian pelanggan yang dialihkan sebagai dana sosial atau sering disebut kontribusi mampu dibilang penyimpangan alasannya persepsi jual beli yang biasa yang dikerjakan oleh penduduk adalah perdagangan dengan memakai alat tukar uang untuk mendapatkan sebuah barang dan duit kembaliannya diterima dalam bentuk uang juga bukan untuk dana sosial dan aktivitas tersebut tampakmemaksa dan merugikan jikalau konsumen tidak rela. Adapun hukum yang berkaitan dengan pengalihan duit kembalian konsumen dalam bentuk bantuan atau bantuan yaitu : Undang-undang No. 8 Tahun 1999 jo. Undang – Undang No. 9 Tahun 1961 jo. Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1980 jo. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 57 Tahun 2001 jo Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 58 Tahun 2001 jo. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 59 Tahun 2001 jo. Undang-undang No. 6 Tahun 2009 ihwal Bank Indonesia dan peraturan-peraturan lainnya. 
 Di dalam Penjelasan Pasal 5 Undang – Undang No. 9 Tahun 1961 perihal Pengumpulan Uang dan Barang menjelaskan bahwa : 
(Pasal 5) ;

“Pemberian pertolongan secara sukarela, tiada dipaksa, merupakan salah satu syarat perlindungan izin pengumpulan duit atau barang yang mau dikontrol lebih lanjut oleh Menteri Kesejahteraan Sosial dalam peraturan pelaksanaan”.

Praktik pengalihan duit kembalian pelanggan ke dalam bentuk bantuan bukan merupakan keinginankedua belah pihak melainkan cuma merupakan kebijakan dari pihak pelaku usaha saja. Pihak pelanggan tidak mengenali dan tidak ada pemberitahuan terlebih dahulu oleh pihak pelaku usaha tentang kepada siapa dana sosial tersebut akan disalurkan. Konsumen akan merasa tidak tenteram jika setiap mereka membeli dan sisa uang kembaliannya dialihkan untuk dana sosial (bantuan). Kurangnya wawasan konsumen perihal hak-hak mereka dilindungi oleh undang-undang mengakibatkan pelanggan seakan – akan tidak berdaya dengan tindakan pelaku usaha tersebut. Padahal Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bermaksud untuk melindungi pelanggan dari kecurangan-kecurangan dan langkah-langkah yang dijalankan oleh pelaku perjuangan. Oleh alasannya itu, konsumen yang tertipu atau merasa hak-hak mereka tidak diterima sebagaimana mestinya, atau yang merasa dirugikan mampu membuat surat pengaduan terhadap lembaga-forum yang ditunjuk oleh undang-undang memiliki kegiatan menanggulangi dukungan konsumen. 
Memuat Undang-undang Mata Uang tentang penggunaan Rupiah yang terdapat pada Pasal 21 angka (1), adalah wajib dipakai dalam setiap transaksi yang memiliki tujuan pembayaran, penyelesaian kewajiban yang lain yang harus dipenuhi dengan uang dan/atau transaksi keuangan lainnya yang dilaksanakan di Wilayah Kesatuan Republik Indonesia. Jika melanggar pasal ini akan dikenakan pidana yang diatur dalam Pasal 33 angka (1).
Berkenaan dengan hal tersebut, dalam rangka menghindari adanya pengaturan yang demikian, pengaturan perihal pengecualian penggunaan duit Rupiah perlu diamanatkan oleh RUU Mata Uang untuk diatur dalam Peraturan Bank Indonesia sebagaimana diamanatkan Undang-undang Bank Indonesia ketika ini.
Permasalahan diatas menjadi latar belakang penulis untuk melakukan observasi hukum dengan judul “Tinjauan Yuridis Pengalihan  Uang Kembalian Konsumen Dalam Bentuk Sumbangan Oleh Pelaku Usaha Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen”. 

B.    Rumusan Masalah
Permasalahan ialah kenyataan yang dihadapi dan harus teratasi oleh peneliti dalam penelitian. Dengan adanya perumusan problem maka akan dapat ditelaah secara optimal ruang lingkup observasi sehingga tidak mengarah pada hal – hal diluar masalah. Adapun masalah yang diajukan dalam observasi ini yakni :
1.    Bagaimana pertanggungjawaban pelaku perjuangan yang mengalihkan uang kembalian konsumen ke dalam bentuk perlindungan atau donasi berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999  Tentang Perlindungan Konsumen?
2.    Bagaimana tindakan hukum yang dapat dilaksanakan konsumen yang menderita kerugian balasan pengalihan duit kembalian oleh Pelaku usaha?

C.    Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian bertujuan untuk mencari, memperoleh, mengembangkan, menguji kebenaran sebuah wawasan dan selaku fasilitas didalam memecahkan beragam problem didalam penduduk . Adapun tujuan penelitian yang hendak penulis kerjakan ialah :

1.    Tujuan Objektif
a. Untuk mengenali dan menganalisis pertanggungjawaban pelaku perjuangan yang mengalihkan uang kembalian pelanggan ke dalam bentuk tunjangan menurut UU No. 8 Tahun 1999  Perlindungan Konsumen.
b.   Untuk mengetahui dan menganalisis tindakan hukum yang dapat dilaksanakan konsumen yang menderita kerugian atas pengalihan uang kembalian oleh pelaku perjuangan.

2.  Tujuan Subjektif
a. Penelitian ini ditujukan untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dalam penulisan aturan untuk melengkapi kriteria akademis dalam rangka menjangkau gelas sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia.
b.  Guna memperbesar wawasan dalam bidang Hukum Perdata utamanya perihal santunan terhadap konsumen.
D.    Manfaat Penelitian
Manfaat observasi sendiri yaitu untuk mengusut kondisi, alasan maupun konsekuensi terhadap kondisi tertentu. Keadaan tersebut mampu diatur dengan melalui eksperimen maupun berdasarkan pengamatan. Adapun manfaat dari observasi ini yaitu :
1. Manfaat  Teoretis
a. Untuk menambah pengetahuan dan pengertian hukum terhadap sistem pengembalian duit kembalian pelanggan dalam bentuk bantuan. 
b.Untuk memberikan dukungan ajaran akademis bagi para pelaku usaha maupun konsumen mengenai mekanisme hukum dalam Undang-undnag No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
2. Manfaat Praktis
a. Agar penduduk mengetahui sistem pengalihan uang kembalian konsumen menjadi bentuk dukungan sesuai dengan peraturan terkait. 
b.Agar penduduk sebagai konsumen sebagaipihak yang dirugikan, dapat mengetahui tanggung jawab pelaku perjuangan atas pengalihan duit kembalian konsumen kedalam bentuk bantuan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Tinjauan Umum Tentang  Perlindungan Konsumen 

1.    Pengertian Perlindungan Konsumen dan Konsumen

Istilah Perlindungan Konsumen dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 perihal Perlindungan Konsumen bahwa:

Pasal 1 (angka 1);
“Perlindungan Konsumen yaitu segala upaya yang menjamin adanya kepastian aturan untuk memberi pemberian kepada pelanggan”.

Rumusan pemahaman pinjaman pelanggan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen diatas telah memberikan cukup kejelasan. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian aturan”, dibutuhkan sebagai benteng untuk menghapus tindakan diktatorial yang merugikan pelaku usaha cuma demi untuk kepentingan pinjaman pelanggan.

Perlindungan pelanggan berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keselamatan dan keamanan pelanggan, serta kepastian aturan. Hukum dukungan konsumen ialah bagian dari hukum pelanggan dan memperoleh kaidah hukum pelanggan dalam banyak sekali peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia tidaklah mudah, hal ini dikarenakan tidak dipakainya perumpamaan pelanggan dalam peraturan perundang-undangan tersebut meskipun didapatkan sebagian dari subyek-subyek hukum yang menyanggupi kriteria konsumen. Sedangkan, pemahaman konsumen dalam penduduk lazim dikala ini bahwa pelanggan itu adalah pembeli, pengguna jasa layanan, atau pada pokoknya pemakai suatu jenis produk yang dikeluarkan oleh pelaku perjuangan. Dalam kekerabatan ini, pemahaman konsumen menurut Abdul Halim Barkatullah  (2008:7) menerangkan bahwa :

Istilah pelanggan berasal dari alih bahasa dari kata Consumer (Inggris-Amerika), atau consument atau konsument (Belanda). Secara harfiah diartikan selaku “ orang atau pelaku perjuangan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu “ atau “ sesuatu atau seseorang yang memakai sebuah persediaan atau sejumlah barang”.

Dari sudut pandang pengertian pelanggan lainnya, Celina (2009:5) menunjukkan penjelasan perihal pengertian pelanggan, Celina mengungkap bahwa :
“Setiap orang, pada sebuah waktu, dalam posisi tunggal/sendiri maupun berkelompok bareng orang lain, dalam keadaan apa pun pasti menjadi pelanggan untuk sebuah produk barang atau jasa tertentu”.

Berbeda halnya dengan klarifikasi Abdul Halim Barkatullah  dan Celina. Pengertian Konsumen menurut Az. Nasution (2000:23) sesungguhnya dapat dibagi menjadi 3 bagian, ialah :

a.  Konsumen adalah setiap orang yang menerima barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu.
b. Konsumen – antara, adalah setiap orang yang menerima barang dan/atau jasa untuk dipakai dengan tujuan menciptakan barang dan/atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang dan/atau jasa lain atau untuk diperdagangkan.
c. Konsumen – selesai, yaitu setiap orang alami mendapatkan dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk menyanggupi kebutuhan hidupnya langsung, keluarga dan/atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali.

Para hebat aturan pada umumnya sepakat mengartikan pelanggan selaku pemakai bikinan terakhir dari benda dan jasa (uiteindelijke gebruiker van goederen en diensten). Dalam Pasal 1 angka 2 Undang – undang No. 8 Tahun 1999 wacana Perlindungan Konsumen, menunjukkan defenisi pelanggan selaku berikut :

(Pasal 1 angka 2);
“Konsumen ialah Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam penduduk , baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun mahkluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.   

Dari defenisi tersebut mampu diketahui bahwa yang dibilang selaku pelanggan haruslah pemakai tamat dari suatu barang maupun jasa yang tersedia dalam penduduk , baik untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahkluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan. Tetapi disisi lain Undang – undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) tidak memberikan sebuah ketegasan maupun klarifikasi apakah badan hukum (recht person) atau suatu pelaku perjuangan yang menjadi pembeli atau pemakai simpulan mampu dikategorikan selaku konsumen

2.    Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Didalam suatu peraturan, hal yang terpenting dalam terbentuknya sebuah peraturan adalah Asas. Asas dapat mempunyai arti dasar, landasan, fundamen, prinsip dan jiwa atau harapan. Asas yaitu suatu dalil lazim yang dinyatakan dalam perumpamaan lazim dengan tidak menyebutkan secara khusus cara pelaksanaannya. Asas mampu juga disebut pemahaman-pengertian dan nilai-nilai yang menjadi titik tolak berpikir wacana sesuatu. Asas Hukum ialah prinsip yang dianggap dasar atau fundamen aturan yang terdiri dari pengertian-pengertian atau nilai-nilai yang menjadi titik tolak berpikir wacana aturan. Kecuali itu Asas Hukum dapat disebut landasan atau argumentasi bagi terbentuknya suatu peraturan aturan atau ialah sebuah ratio legis dari suatu peraturan hukum yang menganggap nilai-nilai, jiwa, keinginan sosial atau perundangan etis yang ingin diwujudkan. Karena itu Asas Hukum merupakan jantung atau jembatan suatu peraturan-peraturan hukum dan aturan aktual dengan keinginan sosial dan persepsi etis masyarakat.

Asas hukum atau prinsip aturan bukanlah peraturan hukum konkrit melainkan fikiran dasar yang umum sifatnya atau ialah latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap system hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan aturan konkret dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut.

Adapun Asas bantuan pelanggan yang tertuang dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 ihwal Perlindungan Konsumen :

(Pasal 2) ;
a. Asas Manfaat; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan pinjaman ini mesti menunjukkan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan pelanggan dan pelaku perjuangan secara keseluruhan;
b.Asas Keadilan; partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memperlihatkan peluang kepada konsumen dan pelaku perjuangan untuk mendapatkan haknya dan melakukan kewajibannya secara adil;
c. Asas Keseimbangan; menawarkan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual;
d. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen; menunjukkan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang disantap atau digunakan;
e.  Asas Kepastian Hukum; baik pelaku perjuangan maupun pelanggan mentaati aturan dan mendapatkan keadilan dalam penyelenggaraan sumbangan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.

  Wah Ada Kabar Jelek Ni Untuk Kau Yang Kegemaran Selfie !

Disamping asas, hal yang diperlukan dalam sebuah peraturan ialah tujuan. Tujuan ialah target. Tujuan ialah keinginan. Tujuan lebih dari cuma sekedar mimpi yang terwujud. Tujuan yakni pernyataan yang terperinci. Tidak akan ada apa yang bakal terjadi dengan suatu keajaiban tanpa sebuah tujuan yang jelas. Tidak akan ada langkah maju yang segera diambil tanpa menetapkan tujuan yang tegas. Dan tujuan dalam hukum ialah untuk menjamin kepastian hukum dalam penduduk yang bersendikan pada keadilan.

Menurut Pasal 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 wacana Perlindungan Konsumen, tujuan dari Perlindungan Konsumen :

(Pasal 3) ;
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
b.Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya selaku pelanggan;
d.Menciptakan sistem pemberian konsumen yang mengandung unsur kepastian aturan dan keterbukaan informasi serta kanal untuk mendapatkan isu;
e.Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya pemberian ini sehingga berkembang sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berupaya;
f.Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelancaran perjuangan bikinan barang dan/atau jasa, kesehatan, ketentraman, keselamatan dan keamanan pelanggan.

Pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen ini, ialah isi pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 sebelumnya, sebab tujuan dukungan pelanggan yang ada itu merupakan sasaran selesai yang harus diraih dalam pelaksanaan pembangunan di bidang aturan santunan konsumen.

3.     Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha

Hak ialah sebuah kewenangan atau kekuasaan yang diberikan oleh aturan atau sebuah kepentingan yang dilindungi oleh aturan baik eksklusif maupun lazim. Maka mampu diartikan bahwa hak yaitu sesuatu yang layak atau pantas diterima. Sebelum membahas perihal hak konsumen, ada baiknya dikemukakan dahulu apa pemahaman hak itu.

Dalam Pasal 4 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 wacana Perlindungan Konsumen, Hak Konsumen dikelola dalam :

 (Pasal 4) ;
a.  Hak atas ketentraman, keselamatan, dan keselamatan dalam menyantap barang dan/atau jasa.
b. Hak untuk menentukan barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c. Hak atas informasi yang benar, terang, dan jujur perihal kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
d. Hak untuk didengar pertimbangan dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang dipakai.
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, tunjangan, dan upaya solusi sengketa pinjaman pelanggan secara patut.
f. untuk menerima pelatihan dan pendidikan pelanggan.
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-seruan yang lain.

 Hak tersebut di atas pada intinya yakni untuk menjangkau kenyamanan, keselamatan, dan keamanan konsumen. Sebab masalah tersebut ialah hal yang paling utama dalam pertolongan pelanggan. Barang dan/atau jasa yang penggunaannya tidak memperlihatkan ketentraman, tidak kondusif atau membahayakan keselamatan pelanggan terperinci tidak pantas untuk diedarkan dalam penduduk . Juga untuk menjamin bahwa suatu barang dan/atau jasa yang dikehendakinya menurut atas keterbukaan info yang benar, terang, dan jujur. Jika terdapat penyimpangan yang merugikan, pelanggan berhak untuk di dengar, mendapatkan advokasi, training, perlakuan yang adil, kompensasi hingga ganti rugi.
Hak-hak pelanggan yang tersebut di atas berkhasiat untuk melindungi kepentingan pelanggan, sebagaimana tercantum dalam tujuan dari santunan konsumen adalah mengangkat harkat hidup dan martabat pelanggan. Sehingga diharapkan pelanggan menyadari akan hak-haknya dan pelaku perjuangan diharuskan untuk memerhatikan apa saja tindakan-tindakan usaha yang dilarang berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen sehingga tidak ada lagi pelanggaran hak-hak pelanggan.

Selain ada hak, pelanggan juga mempunyai beberapa keharusan. Kewajiban adalah suatu beban atau tanggungan yang bersifat kontraktual. Dengan kata lain kewajiban yaitu sesuatu yang sepantasnya diberikan. Kewajiban konsumen dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, ialah:

(Pasal 5) ;
a.     Membaca atau mengikuti petunjuk gosip dan prosedur pemakaian;
b.     Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c.     Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d.     Mengikuti upaya solusi aturan sengketa pelanggan secara patut.

Adanya keharusan pelanggan membaca atau mengikuti petunjuk info dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan, merupakan hal penting yang mesti diperhatikan untuk mendapat pengaturan. Adanya pentingnya keharusan ini alasannya sering pelaku usaha telah memberikan peringatan secara terperinci pada label sebuah buatan, tetapi konsumen tidak membaca perayaan yang telah disampaikan kepadanya. Dengan pengaturan keharusan ini, memberikan konsekuensi pelaku usaha tidak bertanggung jawab, jikalau pelanggan yang bersangkutan menderita kerugian akibat mengabaikan keharusan tersebut.

Berkaitan dengan klarifikasi sebelumnya, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 wacana Perlindungan Konsumen dalam Pasal 1 angka 3 memberi pemahaman ihwal pelaku usaha;

(Pasal 1 angka 3);
“Pelaku perjuangan yaitu setiap orang perorangan atau badan perjuangan, baik yang berupa badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan Republik Indonesia, baik sendiri maupun tolong-menolong melalui perjanjian menyelenggarakan aktivitas perjuangan dalam banyak sekali bidang ekonomi”.

 Penjelasaan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 ihwal Perlindungan Konsumen menerangkan pelaku perjuangan yang diikat oleh undang-undang ini yaitu para usahawan yang berada di Indonesia, melaksanakan perjuangan di Indonesia. Pelaku perjuangan yang termasuk dalam pengertian ini ialah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, agen dan lain-lain.
Ketentuan di atas dapat dijabarkan ke dalam beberapa syarat, ialah ;

1.     Bentuk atau wujud dari pelaku usaha:

a.  Orang individual, ialah setiap individu yang melakukan acara bisnisnya secara seorang diri.

b. Badan usaha, ialah kumpulan individu yang secara bersamasama melaksanakan kegiatan perjuangan. Badan usaha selanjutnya mampu dikelompokkan kedalam dua klasifikasi, ialah ; Badan Hukum dan Bukan Badan Hukum.

2.     Badan perjuangan tersebut harus menyanggupi salah satu tolok ukur ini:

a.     Didirikan dan berkedudukan di wilayah hukum Negara RI

b.     Melakukan acara di daerah hukun Negara Republik Indonesia.

3.     Kegiatan perjuangan tersebut mesti didasarkan pada perjanjian.

4.     Di dalam berbagai bidang ekonomi. Bukan hanya pada bidang buatan.

Dengan demikian jelas bahwa pengertian pelaku perjuangan menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 ihwal Perlindungan Konsumen sungguh luas. Yang dimaksud dengan pelaku perjuangan bukan cuma produsen, melainkan sampai pihak terakhir yang menjadi perantara antara produsen dan konsumen, mirip biro, distributor dan pengecer (konsumen mediator).

Menyangkut hak pelaku perjuangan sudah dijelaskan secara rinci dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 perihal Perlindungan Konsumen hak pelaku perjuangan yaitu sebagai berikut:

(Pasal 6) :

a.Hak untuk menerima pembayaran yang cocok dengan kesepakatan tentang keadaan dan nilai barter dan/atau jasa yang diperdagangkan.

b. Hak untuk menerima pertolongan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.

c. Hak untuk melaksanakan pembelaan diri sepantasnya di dalam penyelesaian aturan sengketa konsumen.

d.Hak untuk rehabilitasi nama baik jika terbukti secara aturan bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

e.     Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-permintaan lain-nya.

Dari hak pelaku usaha di atas diperlukan pemberian konsumen mampu menyingkir dari hak-hak pelaku usaha yang berlebihan dan berpotensi mengabaikan kepentingan pelaku perjuangan, bila ada hak maka hak pelaku usaha mesti dibarengi dengan keharusan. Undang-undang Perlindungan Konsumen menerangkan keharusan pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 wacana Perlindungan Konsumen yakni ;

(Pasal 7) ;

a.  Beritikad baik dalam melakukan kegiatan bisnisnya;

b. Memberikan informasi yang benar, terperinci dan jujur perihal kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. Memperlakukan atau melayani pelanggan secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

d.  Menjamin kualitas barang dan/atau jasa yang dibuat dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan persyaratan kualitas barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. Memberi kesempatan kepada pelanggan untuk menguji, dan/atau menjajal barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibentuk dan/atau yang diperdagangkan;

f.Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian bila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak cocok dengan perjanjian.

Dilihat dari uraian di atas, terperinci bahwa hak dan kewajiban pelaku perjuangan bertimbal balik dengan hak dan keharusan konsumen. Ini memiliki arti hak bagi konsumen ialah keharusan yang mesti dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian pula dengan keharusan pelanggan ialah hak yang mau diterima pelaku usaha. Bila dibandingkan dengan ketentuan lazim di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tampak bahwa pengaturan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen lebih spesifik. Karena di dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 ihwal Perlindungan Konsumen pelaku usaha selain harus melaksanakan aktivitas perjuangan dengan itikad baik, ia juga harus mampu membuat iklim usaha yang kondusif, tanpa kompetisi yang curang antar pelaku usaha.

4.     Bentuk-Bentuk Pelanggaran Pelaku Usaha
Dalam upaya untuk melindungi hak-hak konsumen kepada pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 wacana Perlindungan Konsumen, pada prinsipnya telah mengklasifikasi bentuk-bentuk pelanggaran tersebut ke dalam 3 golongan yang dijabarkan dalam Bab IV Pasal 8 hingga dengan Pasal 17, yaitu :

1. larangan bagi pelaku perjuangan dalam kegiatan produksi (Pasal 8 );

2. larangan bagi pelaku usaha dalam aktivitas pemasaran (Pasal 9-16);

3. larangan bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17) .

Ada 10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 8 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 wacana Perlindungan Konsumen, adalah pelaku perjuangan dihentikan :

(Pasal 8) ;

(1)  Pelaku usaha dihentikan memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:

a.tidak memenuhi atau tidak cocok dengan persyaratan yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. tidak sesuai dengan berat higienis, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

c.tidak sesuai dengan ukuran, dosis, timbangan dan jumlah dalam hitungan berdasarkan ukuran yang bergotong-royong;

d.tidak cocok dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau informasi barang dan/atau jasa tersebut;

e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pembuatan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau informasi barang dan/atau jasa tersebut;

f.  tidak cocok dengan akad yang dinyatakan dalam label, etiket, informasi, iklan atau penawaran khusus pemasaran barang dan/atau jasa tersebut;

g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;

h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;

i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang menampung nama barang, ukuran, berat/isi higienis atau netto, komposisi, hukum pakai, tanggal pengerjaan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta informasi lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan mesti di pasang/dibentuk;

j.tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku.

(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.

(3)  Pelaku perjuangan tidak boleh memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan terkotori, dengan atau tanpa memberikan info secara lengkap dan benar.

Larangan-larangan yang tertuju pada “produk” sebagaimana dimaksud diatas yakni  untuk memberikan sumbangan kepada kesehatan/harta konsumen dari penggunaan barang dengan kualitas yang di bawah kriteria atau kualitas yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai harga yang dibayar. Dengan adanya tunjangan yang demikian, maka konsumen tidak akan diberikan barang dengan mutu yang lebih rendah ketimbang harga yang dibayarnya, atau yang tidak cocok dengan info yang diperolehnya. Selanjutnya tentang tindakan yang dihentikan bagi pelaku perjuangan dalam aktivitas pemasaran dijelaskan pada Pasal 9 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999, bahwa :

(Pasal 9) ;

(1) Pelaku perjuangan tidak boleh menunjukkan, mempromosikan, mengiklan-kan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seperti ;

a. barang tersebut telah memenuhi dan/atau mempunyai potongan harga, harga khusus, standar kualitas tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;

b. barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau gres;   
 
c. barang dan/atau jasa tersebut sudah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, kesepakatan, perlengkapan tertentu, laba tertentu, ciriciri kerja atau komplemen tertentu;

d. barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;

e.  barang dan/atau jasa tersebut tersedia;

f.  barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;

g. barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;

h.  barang tersebut berasal dari tempat tertentu;

i.  secara langsung atau tidak pribadi merendahkan barang dan/atau jasa lain;

j. memakai kata-kata yang berlebihan, mirip kondusif, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau imbas sampingan tanpa informasi yang lengkap;

k. memberikan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

Pasal 9 UUPK ini pada pada dasarnya ialah bentuk larangan yang tertuju pada “sikap” pelaku perjuangan, yang memberikan, mengiklankan, mempromosikan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar dan/atau seakan-akan barang tersebut telah meenuhi kriteria kualitas tertentu, memiliki pecahan harga dalam keadaan baik dan/atau buruk, telah menerima dan/ atau memiliki sponsor, tidak mengandung cacat tersembunyi. Larangan kepada pelaku perjuangan tersebut dalam UUPK menenteng akhir bahwa pelanggaran atas larangan tersebut dikualifikasi selaku tindakan melanggar hukum. Selanjutnya, sama dengan Pasal 9 UUPK yang sudah dijelaskan sebelumnya, Pasal 10 menjelaskan larangan yang tertuju pada “perilaku” pelaku usaha yang maksudnya mengupayakan adanya perdagangan yang tertib dan iklim usaha yang sehat guna memastikan produk yang diperjualbelikan dalam penduduk dikerjakan dengan cara tidak melanggar aturan. Berikut klarifikasi Pasal 10 Undang-undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999, menjelaskan:

(Pasal 10) ;

Pelaku perjuangan dalam menunjukkan barang dan/atau jasa untuk diperdagangkan tidak boleh menawarkan, mengiklankan, mempromosikan atau menciptakan pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan wacana ;

a.     harga atau tarif sebuah barang dan/atau jasa;

b.     kegunaan suatu barang dan/atau jasa;

c.     keadaan, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas sebuah barang dan/atau jasa;

d.     anjuran bagian harga atau kado menarik yang disediakan;

e.     bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.

Berhubungan dengan penjelasan dalam Pasal 10, maka dalam Pasal 11 mengontrol ihwal pemasaran yang dijalankan lewat cara obral/lelang. Sedangkan Pasal 12 menentukan bahwa pelaku perjuangan dihentikan menunjukkan, mengiklankan atau mempromosikan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku perjuangan tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang disediakan, dipromosikan, atau diiklankan.

Disini ditegaskan bahwa pelaku usaha mesti memiliki itikad baik dalam melaksanakan usahanya. Pasal 13 juga mengatur hal serupa, ialah pelaku usaha dihentikan menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan sebuah barang dan/atau jasa dengan cara prospektif pinjaman kado berupabarang dan/atau jasa lain secara hanya-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau menawarkan tidak sebagaimana yang dijanjikannya. Sedang yang berkaitan dengan undian,pelarangannya diatur di Pasal 14. Pada Pasal 15 diputuskan bahwa pelaku usaha dalam memberikan barang dan/atau jasa tidak boleh melaksanakan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang mampu mengakibatkan gangguan baik fisik maupun psikis kepada konsumen. Pasal terakhir berhubungan dengan tindakan yang tidak boleh dalam aktivitas penjualan yaitu Pasal 16 yang menertibkan penawaran melalui pesanan.

B.    Tinjauan Umum Tentang Pengumpulan Uang atau Barang

1.    Pengertian Pengumpulan Sumbangan

Secara biasa pengumpulan sumbangan merupakan usaha menerima duit atau barang untuk pembangunan dalam bidang pendidikan dan penanggulangan bencana. Banyaknya pengumpulan pertolongan yang cukup beragam simpulan-tamat ini perlu menerima perhatian dari pemerintah. Dalam Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 wacana Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan menjelaskan pemahaman Pengumpulan derma dalam Pasal 1 angka 3:

  Karakteristik Politik Seksualitas Orang Dayak Dan Batak Silaban 1970 - 2011

(Pasal 1 angka 3);

“Pengumpulan pertolongan yakni setiap usaha mendapatkan uang atau barang untuk pembangunan dalam bidang kesejahteraan sosial, mental/agama/kerohanian, kejasmanian, pendidikan dan bidang kebudayaan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1961 wacana Pengumpulan Uang atau Barang”.

Pengumpulan uang atau barang dalam undang-undang ini pada hakekatnya mesti ditujukan untuk membangun atau membina dan meningkatkan sebuah perjuangan yang memiliki kegunaan untuk mewujudkan penduduk adil dan makmur, utamanya dalam bidang kemakmuran, adalah keselamatan, kenyamanan, dan kemakmuran lahir dan batin dalam tata-kehidupan dan penghidupan insan, baik dalam kehidupan orang seorang maupun dalam kehidupan bersama.  Dalam Pasal 1 Undang – Undang No. 9 Tahun 1961 menerangkan bahwa :

(Pasal 1) ;

“Yang diartikan dengan pengumpulan uang atau barang dalam undang -undang ini yaitu setiap perjuangan menerima duit atau barang untuk pembangunan dalam bidang kesejahteraan sosial, mental / agama / kerohanian, kejasmanisan dan bidang kebudayaan”.

Ketentuan pasal 1 diatas antara lain usaha menerima duit atau barang dengan jalan menyelenggarakan pertunjukan amal, pameran, lelang untuk amal,penjualan barang dngan pembayaran yang berlebih harga bantu-membantu atau usaha-perjuangan lain yang sama, mirip pemasaran kartu seruan,buku-buku dan gambar-gambar atau dengan cara mengirimkan poswissel dengan maksud mencari pinjaman.

2.  Dasar Hukum Pengumpulan Uang atau Barang

a.  Undang-undang Nomor 9 Tahun 1961 Tentang Pengumpulan Uang atau Barang.

b.  Undnag-undang Nomor 6 Tahun 1974 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial.

c.  Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 Tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan Sosial.

d. Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 1/HUK/1995 Tentang Pengumpulan Sumbangan Korban Bencana.

e. Keputusan Menteri Sosial RI Normor 56/HUK/1996 Tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan oleh Masyarakat.

3.    Tujuan Pengumpulan Uang atau Barang 

Mengenai  pelaksanaan pengumpulan duit atau barang maka dalam Pasal 2 Undang-undang No. 9 Tahun 1961 Tentang Pengumpulan Uang atau Barang menerangkan bahwa :

(Pasal 2) ;

(1)    Untuk menyelenggarakan pengumpulan duit atau barang sebagaimana dimaksuda dalam pasal 1 dibutuhkan izin lebih dulu dari pejabat yang berwenang.

(2)    Pengumpulan duit atau barang yang diwajibkan oleh hukum agama, aturan etika dan budbahasa-istiadat, atau yang diselenggarakan dalam lingkungan terbatas, tidak memerlukan izin tersebut diatas.

Pemberian izin dimaksudkan untuk menjaga dan memelihara keamanan dan kententraman rakyat banyak baik secara preventif, maupun represif dari perbuatan orang-orang yang kurang bertanggungjawab. Adapun yang dimaksud dalam pasal 2 pengumpulan uang atau barang yang dipandang tidak memerlukan izin lebih dulu itu, antara lain sebagai acuan : zakat/zakat fitrah, pengumpulan di dalam masjid, gereja, pura, dan kawasan peribadatan yang lain, dikalangan umat  gereja untuk usaha diakonal dan perjuangan gereja yang lain, bersama-sama yang dikerjakan dalam kondisi darurat, misalnya pada waktu timbulnya wabah, kebakaran, banjir, topan dan musibah yang lain, pada waktu terjadinya bencana tersebut dan lingkungan terbatas dalam sekolah, kantor, rukun kampung/tetangga, seprahamal, desa untuk bersih desa dan lain sebagainya.

Dalam rangka pengendalian  penyelenggaraan pengumpulan pertolongan yang didapat dipertanggungjwabkan secara benar sesuai ketentuan peraturan perundang-ajakan yang berlaku, maka langkah-langkah yang bersifat preventif atau represif mampu dilakukan Depertemen Sosial sesuai dengan kewenangannya dan melaksanakan koordinasi dengan kepolisian lokal dalam hal penanganan lebih lanjut. Selanjutnya, Pasal 3 Undang-undang No. 9 Tahun 1961 sudah dikelola tentang santunan izin untuk menyelenggaran pengumpulan uang atau barang bahwa:

 (Pasal 3) ;

“Izin untuk mengadakan pengumpulan duit atau barang diberikan kepada perkumpulan atau organisasi kemasyarakatan dengan maksud selaku mana tersebut alam pasal 1 yang tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-permintaan”.

Dalam rangka pengendalian penyelenggaraan pengumpulan pemberian yang didapat dipertanggungjwabkan secara benar sesuai ketentuan peraturan perundang-permintaan yang berlaku, maka langkah-langkah yang bersifat preventif atau represif mampu dikerjakan Depertemen Sosial sesuai dengan kewenangannya dan melakukan kerjasama dengan kepolisian lokal dalam hal penanganan lebih lanjut.

Pengumpulan sumbangan yang dikerjakan tanpa izin dari pejabat yang berwenang atau tidak cocok dengan syarat-syarat yang telah ditentukan dalam keputusan izin atau penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-permintaan yang berlaku, dapat dikenakan saksi pidana sebagaimana ditetapkan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 Tentang Pengumpulan Uang atau Barang.

BAB III
METODE PENELITIAN

A.    Tipe Penelitian Bahan Hukum

Tipe penelitian yang penulis pergunakan dalam penyusunan penulisan hukum ini yakni observasi aturan normatif atau observasi hukum kepustakaan. Penelitian aturan normatif adalah sebuah prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan nalar keilmuan hukum dari sisi normatifnya.
Penelitian hukum normatif memiliki definisi yang sama dengan penelitian dokrinal (doctrinal research) yakni penelitian berdasarkan bahan-materi aturan (library based) yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-materi hukum primer dan sekunder.

B.    Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Jenis bahan hukum yang dipakai dalam penelitian ini, ialah data sekunder (secondary data),adalah data yang tidak diperoleh secara langsung dari lapangan atau penduduk , melainkan diperoleh dari studi kepustakaan yang mencakup berbagai buku, dokumen resmi, peraturan perundang-permintaan, hasil observasi ilmiah yang berbentuklaporan serta materi-bahan kepustakaan yang berkaitan dengan urusan yang diteliti. Dalam penelitian ini,sumber data yang digunakan yaitu :

a.    Bahan Hukum primer 

Dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Dalam goresan pena ini diantaranya :

1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 wacana Perlindungan Konsumen.

2. Undang – Undang Nomor 9 Tahun 1961 ihwal Pengumpulan Uang dan Barang.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan.

4.Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 ihwal Badan Perlindungan Konsumen Nasional.

5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 wacana Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.

6.Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 wacana Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat dan peraturan-peraturan lainnya.

b.     Bahan Hukum sekunder 

Semua dokumen yang merupakan info atau hasil kajian tentang pengumpulan duit atau barang, sengketa pelanggan dan LPKSM mirip buku-buku, seminar-pelatihan, jurnal aturan, majalah, koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berhubungan dengan persoalan diatas.

c.     Bahan Hukum tersier 

Semua dokumen yang berisi tentang desain– konsep dan informasi – keterangan yang mendukung materi aturan primer dan materi aturan sekunder, mirip kamus, ensiklopedi, dan sebagainya.

C.     Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

   Teknik pengumpulan materi aturan yang akan digunakan sebagai sumber di dalam observasi ini yaitu studi kepustakaan yaitu pengumpulan bahan hukum dengan jalan membaca peraturan perundang-usul, dokumen-dokumen resmi, jurnal, artikel-artikel dari internet, maupun literatur-literatur lain yang akrab kaitannya dengan persoalan yang dibahas menurut materi hukum sekunder. Dari bahan aturan tersebut, kemudian dianalisis dan dirumuskan sebagai materi aturan penunjang di dalam observasi ini.

D.     Teknik Analisis Bahan Hukum

Penelitian hukum ini berusaha untuk mengetahui atau memahami gejala yang diteliti untuk kemudian mendeskripsikan data-data yang diperoleh selama observasi, ialah apa yang tertera dalam materi-materi hukum yang berhubungan dan menjadi acuan dalam penelitian hukum kepustakaan sebagaimana telah diterangkan diatas.

Metode daypikir yang dipilih oleh penulis yakni metode penalaran deduktif, yaitu hal-hal yang dirumuskan secara biasa dipraktekkan pada keadaan yang khusus.

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.Tanggungjawab Pelaku Usaha Atas Pengalihan Uang Kembalian Konsumen Dalam Bentuk Sumbangan Menurut UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Perjanjian perdagangan ialah kesepakatanyang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari, dimana terdapat pihak yang memasarkan atau biasa disebut penjual dan pihak yang berbelanja atau lazimdisebut pembeli, kesepakatantersebut tentu merupakan sebuah tindakan hukum yang mempunyai akibat-akhir aturan tertentu. Dalam Pasal 1457 KUHPerdata membuktikan pemahaman perdagangan sebagai berikut:

(Pasal 1457) ;
“Perjanjian jual beli ialah sebuah kesepakatandengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan sebuah benda dan pihak lain untuk mengeluarkan uang harga yang telah dijanjikan”.

Perjanjian jual beli kebanyakan ialah perjanjian konsensual karena mengikat para pihak ketika terjadinya janji para pihak tersebut tentang unsur esensial dan aksidentalia dari perjanjian. Dikatakan adanya kesepakatan perihal komponen esensial dan aksidentalia, alasannya adalah meskipun para pihak sepakat tentang barang dan harga, kalau ada hal-hal lain yang tidak disepakati yang terkait dengan persetujuanperdagangan tersebut jual beli tetap tidak terjadi alasannya adalah tidak tercapai komitmen.

Pelaku usaha selaku penjual yakni salah satu unsur yang tidak terpisahkan dari masyarakat, partisipasi pelaku perjuangan dalam pembangunan sosial salah satu diantaranya ialah lewat kegiatan-kegiatan bersifat sosial, mirip menawarkan bantuan kepada korban petaka, fakir miskin, dan sebagainya. Kegiatan ini lazimdisebut acara pundi amal. Program pundi amal yakni program yang dilaksanakan dalam rangka membangun kemakmuran sosial dengan mengumpulkan dukungan dari penduduk . Salah satu teladan yaitu pengalihan uang kembalian pelanggan ke dalam bentuk derma atau kontribusi.

Dalam UUPK sendiri tidak diatur secara jelas dan terperinci mengenai duduk perkara pengembalian duit, akan tetapi yang menjadi landasannya yaitu diaturnya hak pelanggan dalam Pasal 4 dan keharusan pelaku usaha yang diatur dalam Pasal 7. Pengaturan lebih lanjutnya terdapat pada kebijakan pelaku usaha itu sendiri. Kemudian juga mampu dijadikan dasar yakni UU No. 23 Tahun 1999 jo. UU No. 3 Tahun 2004 jo. UU No. 6 Tahun 2009 Tentang Bank Indonesia, dibilang bahwa alat pembayaran yang sah di kawasan RI ialah uang Rupiah, di sini makin terperinci bahwa alat pembayaran yang sah mesti memakai duit tidak dapat diganti dengan apapun.

Perlindungan konsumen membicarakan tanggung jawab pelaku usaha yang diketahui ada beberapa jenis prinsip tanggung jawab yang menurut beberapa sumber hukum formal, mirip peraturan perundang-ajakan dan perjanjian standar dilapangan hukum keperdataan kerap menawarkan pembatasan-pembatasan terhadap tangung jawab yang dipikul oleh si pelanggar hak konsume.n

Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum bantuan pelanggan dapat dibedakan sebagai berikut :

1)     Kesalahan (liability based on fault)

Prinsip tanggung jawab menurut komponen kesalahan (fault liability atau liability based on fault) yaitu prinsip yang cukup umum berlaku dalam aturan pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, terutama Pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan, seseorang gres mampu dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum bila ada komponen kesalahan yang dilakukannya. Mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, ialah

a. adanya perbuatan;   
b. adanya unsur kesalahan;
c. adanya kerugian yang diderita;
d. adanya kekerabatan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.

Perkara yang perlu diperjelas dalam prinsip ini, yang bahu-membahu juga berlaku biasa untuk prinsip-prinsip yang lain yaitu definisi perihal subjek pelaku kesalahan.

2)  Praduga senantiasa bertanggung jawab (presumption of liability).

Berkaitan dengan prinsip tanggung jawab ini, dalam iman aturan pengangkutan utamanya, dikenal empat variasi:

a. Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab jika dia mampu pertanda, kerugian ditimbulkan oleh hal-hal di luar kekuasaannya.

b. Pengangkut mampu membebaskan diri dari tanggung jawab kalau ia mampu mengambarkan, ia mengambil sebuah langkah-langkah yang diharapkan untuk menghindari timbulnya keragian.

c. Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab jika dia dapat menerangkan, kerugian yang muncul bukan alasannya kesalahannya.

d.  Pengangkut tidak bertanggung jawab jikalau kerugian itu ditimbulkan oleh kesalahan/kelalaian.

3)   Praduga selalu tidak bertanggung jawab (presumption of nonliability)

Prinsip ini kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip prasangka untuk tidak senantiasa bertanggung jawab cuma diketahui dalam lingkup transaksi konsumen yang sungguh terbatas dan pembatasan demikian umumnya secara common sense mampu dibenarkan.

4)  Tanggung jawab mutlak (strict liability)

Prinsip tanggung jawab mutlak (strict abitity) sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab diktatorial (absolute liability). Kendati demikian ada pula para mahir yang membedakan kedua terminologi di atas.

5)  Pembatasan tanggung jawab (limitation of liability).

Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle) sangat disukai oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausul eksonerasi persetujuankriteria yang dibuatnya.

Dari kelima prinsip diatas yang dipergunakan dalam UUPK yakni prinsip tanggung jawab mutlak. Tanggung jawab mutlak ((strict liability) yakni bentuk khusus dari trot (perbuatan melawan hukum), adalah prinsip pertanggung jawaban dalam tindakan melawan hukum yang tidak didasarkan kepada kesalahan. Tetapi prinsip ini mewajibkan pelaku langsung bertanggung jawab atas kerugian yang muncul sebab tindakan melawan aturan itu. Karenanya, prinsip strict liability ini disebut juga dengan liability without fault. Dalam prinsip tanggung jawab mutlak beban pembuktian kepada pelanggaran berada ditangan pelaku usaha.

Prinsip tanggung jawab mutlak ini dalam hukum perlindungan pelanggan secara umum digunakan untuk menjerat pelaku perjuangan, terutama produsen barang yang produknya merugikan pelanggan, prinsip ini lebih dikenal dengan product liability. Variasi yang sedikit berlawanan dalam penerapan prinsip tanggung jawab ini terletak pada risk liability yang memiliki arti keharusan mengganti rugi dibebankan kepada pihak yang mengakibatkan resiko adanya kerugian itu. Namun si pelanggan tetap diberikan beban pembuktian meskipun tidak sebesar si pelaku perjuangan.

Penentuan tanggungjawab mesti menyaksikan beberapa hal ialah :

1. Adanya hak pelanggan yang dilanggar dengan tindakan pelaku perjuangan dalam pengalihan duit kembalian konsumen kedalam bentuk pemberian;

2. Adanya keharusan pelaku usaha yang tidak terpenuhi dengan terjadinya pengembalian uang kembalian tersebut.

Setelah terpenuhinya 2 (dua) hal diatas barulah pelaku perjuangan mampu dimintai pertanggungjawaban terkait persoalan pengalihan duit kembalian dalam bentuk pinjaman atau kontribusi. Pentingnya hukum tentang tanggung jawab pelaku usaha atas pengalihan duit kembalian konsumen kedalam bentuk sumbangan yang menganut prinsip tanggung jawab mutlak (strict lialibility) dalam mengantisipasi kecenderungan pemberian konsumen dari kerugian yang diderita pelanggan akhir pengalihan uang kembalian pelanggan kedalam bentuk derma.

Keuntungan yang didapat pihak pelaku usaha sangat sering menciptakan konsumen menderita kerugian, kerugian yang terjadi seperti harga (fixed pricing) atau menjual rugi (predatory pricing), mutu pelayanan kepada konsumen dan alokasi sumber daya yang tidak efisien. Akan namun, kerugian yang diterima oleh konsumen bahwa selanjutnya tidak ada kontrakatas pelaku usaha untuk bertanggung jawab maka walaupun tidak ada kesepakatanatas pelaku perjuangan untuk bertanggung jawab hal ini sudah menjadi kewajiban pelaku perjuangan untuk bertanggung jawab, seperti yang telah dikelola dalam Pasal 1494 KUHPerdata bahwa :

(Pasal 1494);
“Meskipun sudah diperjanjikan bahwa si penjual tidak akan menanggung suatu apapun, namun dia tetap bertanggung jawab perihal apa yang berupa akhir dari sebuah tindakan yang dilaksanakan olehnya, segala kontrakyang bertentangan dengan ini adalah batal.”

Akibat dari tindakan itulah yang menimbulkan adanya suatu tanggung jawab dari pelaku usaha, dimana tanggung jawab itu harus dipikul olehnya sendiri. Baik balasan dari perbuatan yang melanggar hukum tersebut dikehendakinya maupun tidak diinginkan oleh si pembuat atau dalam arti sebab kurang hati-hati atau kelalaiannya mengakibatkan timbulnya perbuatan yang mampu menjadikan kerugian bagi konsumen. Maka pertanggungjawaban pelaku usaha dalam Pasal 19 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ialah:

(Pasal 19) ;

(1) Pelaku perjuangan bertanggung jawab memperlihatkan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akhir mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

(2) Ganti rugi tersebut dapat berupa pengembalian duit atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau bantuan sumbangan yang tepat dengan ketentuan peraturan perundang-usul yang berlaku.

(3)  Pemberian ganti rugi dilakukan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sesudah tanggal transaksi.

(4)  Pemberian ganti rugi tersebut tidak menghapuskan kemungkinan adanya permintaan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut tentang adanya unsur kesalahan.

(5) Ketentuan ayat (1) dan (2) tidak berlaku kalau pelaku usaha dapat mengambarkan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Pembuktian perihal ada tidaknya unsur kesalahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ialah beban dan tanggung jawab pelaku perjuangan tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana. Dimana metode beban pembuktian yang dianut oleh UUPK yaitu metode beban pembuktian terbalik. Ketentuan mengenai beban pembuktian terbalik, yakni pembuktian terhadap ada tidaknya komponen kesalahan dalam gugatan ganti rugi merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha. Hal ini tidak dimaksudkan untuk menempatkan pelaku perjuangan pada posisi yang sulit semata-mata, namun alasannya kedudukan pelaku perjuangan sebagai produsen jauh lebih kuat dibandingkan pelanggan. Antara lain disebabkan kemampuan pebisnis di bidang keuangan, pertumbuhan teknologi industri yang amat pesat, dan kesanggupan pengusaha untuk menggunakan hebat aturan yang terbaik dalam menghadapi suatu masalah.

B.  Tindakan Hukum Yang Dapat Dilakukan Oleh Konsumen Atas Pengalihan Uang Kembalian Dalam Bentuk Sumbangan

  Tahukah Anda Bule Belanda Ini Jatuh Cinta Dengan Alam Indonesia

Jika konsumen menderita kerugian yang disebabkan pelaku usaha yaitu hal yang paling sederhana dikerjakan ialah meminta ganti rugi kepada pelaku perjuangan yang sudah mengalihkan uang kembalian pelanggan kedalam bentuk bantuan. Apabila tuntutan ganti rugi yang diminta tidak tercukupi oleh pelaku perjuangan maka konsumen berhak melaksanakan pengaduan akan hal ini kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

Adapun pihak konsumen yang diberi hak mengajukan somasi dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen yaitu :

(Pasal 46 angka 1) ;

(1)    Gugatan atas pelanggaran pelaku perjuangan mampu dilaksanakan oleh :

a.    Seorang konsumen yang dirugikan atau andal waris yang bersangkutan;

b.     Sekelompok konsumen yang mepunyai kepentingan yang serupa;

c.    Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) yang memenuhi syarat ialah berupa badan hukum atau yayasan yang dalam somasi dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi itu adalah untuk kepentingan derma konsumen dan melakukan acara sesuai dengan budget dasar;

d.    Pemerintah dan/atau instansi terkait, bila barang dan/atau jasa yang dimakan atau dimanfaatkan menyebabkan kerugian bahan yang besar dan/atau korban yang tak sedikit.

Penuntutan solusi pengembalian duit kembalian konsumen yang dilaksanakan pelaku usaha dapat dijalankan  dengan mengajukan gugatan class action melalui peradilan biasa telah dibolehkan sejak keluarnya UUPK yang mengontrol class action ini di Indonesia. Gugatan class actioan akan lebih efektif dan efisien dalam menyelesaikan pelanggaran aturan yang merugikan secara bersamaan atau sekaligus dan misalnya kepada orang banyak.

Ganti rugi yang dikerjakan oleh pelaku usaha sebagai pihak yang menjual produk-produk kebutuhan sehari-hari terhadap  pengalihan duit kembalian dengan santunan atau bantuan yakni pelaku usaha bertanggung jawab untuk mengubah duit koin atau setara nilainya kepada pelanggan ialah sesuai dengan kelalaian yang melanggar Pasal 19 angka 2 UUPK yang menyatakan bahwa:

(Pasal 19 angka 2);
“Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemeberian derma yang tepat dengan ketentuan”peraturan perundang-ajakan yang berlaku.”

Selanjutnya tuntutan/somasi kerugian konsumen kepada pelaku usaha secara hukum perdata mampu dibedakan menjadi 2 yaitu :

1. Kerugian transaksi yaitu kerugian yang muncul dari jual beli barang yang tidak sebagaimana mestinya akhir dari wanprestasi.

2.Kerugian produk yaitu kerugian yang langsung atau tidak eksklusif yang diderita akibat dari hasil produksi, kerugian mana masuk dalam resiko bikinan balasan tindakan melawan aturan.

Bahwa selanjutnya adanya ganti rugi atas tanggungjawab yang dikerjakan pelaku usaha yakni berdasarkan Pasal 19 ayat (2) UUPK, sedangkan ganti rugi yang mampu didasarkan pada Pasal 1365 KUHPerdata, ialah :

(Pasal 1365);
“Tiap tindakan melanggar aturan, yang menimbulkan kerugian pada orang lain, mengharuskan orang yang sebab salahnya mempublikasikan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Dengan adanya santunan hukum kepada konsumen, apabila ketetapan tersebut sudah dilanggar maka, Undang-undang Mata Uang memutuskan Ketentuan Pidana dan Sanksi Administratif bagi pelaku perjuangan , dalam Pasal 33 angka 2 Undang-undang Mata Uang menjelaskan:

(Pasal 33 angka 2);

“Setiap orang dihentikan menolah untuk mendapatkan Rupiah yang penyerahannya dimaksud selaku pembayaran atau untuk menuntaskan keharusan yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali terdapat keraguan atas keaslian Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dipidanakan dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pemberian sanksi ini berusaha supaya menawarkan imbas jera kepada perlaku usaha dalam mengerjakan aktivitas bisnisnya, sehingga menciptakan masyarakat Indonesia yang tertib aturan, sehingga jelas keberadaan negara Indonesia ialah negara hukum. Dengan demikian sehubungan dengan tindakan aturan yang dilakukan oleh konsumen yang menderita kerugian akibat pengalihan uang kembalian oleh pelaku perjuangan, dimungkinkan solusi aturan itu mengikuti beberapa lingkup peradilan. Misalnya lewat peradilan umum atau pelanggan memilih jalan solusi di luar pengadilan seperti :

1.  Penyelesaian Sengketa Litigasi (Melalui Pengadilan)

Litigasi ialah sistem penyelesaian sengketa lewat forum peradilan. Sengketa yang terjadi dan diperiksa lewat jalur litigasi akan diperiksa dan diputus oleh hakim. Melalui metode ini tidak mungkin akan dicapai sebuah win win sulution (penyelesaian yang memperhatikan kedua belah pihak) karena hakim mesti menjatuhkan putusan dimana salah satu pihak akan menjadi pihak yang menang dan pihak lain menjadi pihak yang salah. Dalam Pasal 45 UUPK telah menjelaskan bahwa :

(Pasal 45);

(1)“Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku perjuangan melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara pelanggan dan pelaku perjuangan atau melalui  peradilan yang berada di lingkungan peradilan lazim.”

(2)Penyelesaian sengketa pelanggan mampu ditempuh lewat pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.   

Setiap pengaduan konsumen terhadap kerugian yang dideritanya dari pelaku perjuangan mampu ditempuh lewat 2 (dua) cara seperti yang telah dijelaskan dalam Pasal 45 ayat (1) diatas ialah :

1. Gugatan terhadap pelaku usaha melalui forum yang bertugas menuntaskan sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha di luar peradilan dalam hal ini : Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Lembanga Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

2. Gugatan terhadap pelaku perjuangan melalui peradilan lazim memakai ketentuan aturan acara perdata, sebagaimana penyelesaian masalah perdata kebanyakan.

Ketentuan ayat 2 Pasal 45 berikutnya menerangkan, ”penyelesaian pengalihan duit kembalian pelanggan mampu ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela kedua belah pihak”. Selanjutnya dijelaskan, opsi untuk berperkara di pengadilan atau di luar pengadilan yaitu pilihan sukarela para pihak. Penyelesaian ayat 2 Pasal 45 diatas menyebutkan adanya kemungkinan perdamaian diantara para pihak sebelum mereka berperkara di pengadilan atau di luar pengadilan. Dengan demikian, kata “sukarela” harus diartikan selaku opsi para pihak, baik sendiri-sendiri maupun tolong-menolong untuk menempuh alternatif perdamaian.

Hal-hal yang mendukung untuk melaksanakan penyelesaian di dalam pengadilan kalau:

a.     Para pihak belum menentukan upaya solusi di luar pengadilan;

b.     Upaya penyelesaian di luar pengadilan, dinyatakan tidak berhasil salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.

Namun adanya kendala yang dihadapi kalau berperkara di peradilan umum. Adapun kendala yang dihadapi konsumen dan minimarket dalam solusi pengalihan duit kembalian ialah :
1.     Penyelesaian pengembalian duit melalui peradilan sungguh lambat;

2.     Biaya masalah yang mahal;
3.     Pengadilan pada umumnya tidak responsif;
4.     Putusan pengadilan tidak menuntaskan dilema;
5.     Kemampuan para hakim yang bersifat generalis.

Di antara sekian banyak kelemahan dalam penyelesaian pengalihan duit kembalian pelanggan di minimarket melalui peradilan, tergolong banyak dikeluhkan para pencari keadilan yakni lamanya solusi perkara, alasannya pada umumnya para pihak yang menginginkan solusi yang cepat terhadap perkara mereka.

Berdasarkan konsekuensi bahwa putusan Hakim akan mengungguli salah satu pihak dan mengalahkan pihak lainnya, maka berdasarkan hukum program perdata di Indonesia Hakim wajib menyuruh para pihak untuk melaksanakan mediasi untuk mendamaikan para pihak. Jika tidak dicapai perdamaian maka pemeriksaan masalah akan dilanjutkan. Meskipun investigasi perkara dilanjutkan kesempatan untuk melaksanakan perdamaian bagi para pihak tetap terbuka (dan hakim harus tetap memberikannya meskipun putusan sudah disusun dan siap untuk dibacakan). Jika para pihak sepakat untuk berdamai, hakim membuat sertifikat perdamaian (acte van daading) yang pada pada dasarnya berisi para pihak mesti menaati sertifikat perdamaian tersebut dan tidak mampu mengajukan lagi perkara tersebut ke pengadilan. Jika perkara yang sama tersebut tetap diajukan ke pengadilan maka masalah tersebut akan ditolak dengan argumentasi ne bis in idem (perkara yang serupa dihentikan diperkarakan 2 kali) alasannya adalah sertifikat perdamaian tersebut berkekuatan sama dengan putusan yang selesai dan mengikat (tidak dapat diajukan upaya hukum).

2.     Penyelesaian di luar Peradilan Umum (non litigasi)

Penyelesaian sengketa lewat jalur non litigasi terbagi menjad beberapa tata cara adalah:

1.    Negosiasi

Negosiasi ialah cara penyelesaian sengketa dimana para pihak yang bersengketa saling melakukan kompromi untuk menyuarakan kepentingannya. Dengan cara kompromi tersebut dibutuhkan akan tercipta win-win solution dan akan menyelesaikan sengketa tersebut secara baik.

2.    Mediasi

Mediasi yakni cara penyelesaian sengketa yang kurang lebih hampir sama dengan perundingan. Bedanya yaitu terdapat pihak ketiga yang netral dan berfungsi sebagai penengah atau memfasilitasi mediasi tersebut yang biasa disebut perantara. Pihak ketiga tersebut hanya boleh memperlihatkan anjuran -usulan yang bersifat sugestif, karena intinya yang memutuskan untuk menyelesaikan sengketa ialah para pihak. Pihak ketiga tersebut juga harus netral sehingga mampu menawarkan anjuran -nasehat yang objektif dan tidak terkesan memihak salah satu pihak. Mediasi ialah mekanisme wajib dalam proses pemeriksaan perkara perdata, bahkan dalam arbitrase sekalipun dimana hakim atau arbiter wajib memerintahkan para pihak untuk melaksanakan mediasi dan jikalau mediasi tersebut gagal barulah investigasi masalah dilanjutkan. Tidak semua orang bisa menjadi perantara professional sebab untuk dapat menjadi perantara dibutuhkan semacam sertifikasi khusus.

3.    Arbitrase

Arbitrase ialah cara penyelesaian sengketa yang seperti dengan litigasi, cuma saja litigasi ini mampu dibilang selaku “litigasi swasta” Dimana yang menilik perkara tersebut bukanlah Hakim namun seorang arbiter. Untuk dapat menempuh prosesi arbitrase hal pokok yang mesti ada adalah “klausula arbitrase” di dalam persetujuanyang dibentuk sebelum timbul sengketa balasan kontraktersebut, atau “Perjanjian Arbitrase” dalam hal sengketa tersebut telah timbul tetapi tidak ada klausula arbitrase dalam perjanjian sebelumnya. Klausula arbitrase atau kesepakatanarbitrase tersebut berisi bahwa para pihak akan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sehingga menggugurkan kewajiban pengadilan untuk mengusut kasus tersebut. Jika perkara tersebut tetap diajukan ke pengadilan maka pengadilan wajib menolak alasannya adalah kasus tersebut sudah berada di luar kompetensi pengadilan tersebut akhir adanya klausula arbitrase atau kontrakarbitrase.

Tujuan dari penyelesaian sengketa pelanggan di luar peradilan sesuai dengan Pasal 47 UUPK untuk tercapainya bentuk dan besarnya ganti rugi demi memperlihatkan kepastian bahwa tidak terulang kembali kerugian yang diderita oleh pelanggan. Untuk solusi sengketa antara pelaku perjuangan dan pelanggan diluar pengadilan, pemerintah membentuk BPSK.

Dengan megetahui BPSK sebagai tubuh khusus di luar peradilan biasa yang menuntaskan sengketa antara konsumen dan pelaku perjuangan, maka pelanggan yang hak-haknya merasa dirugikan mampu mengajukan permintaan pada BPSK, sebab BPSK ialah tubuh solusi sengketa. Penyelesaian sengketa pelanggan dijalankan dalam bentuk janji yang dibuat dalam bentuk kontraktertulis yang ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa, yang dikuatkan dalam bentuk keputusan BPSK.

Untuk mengatasi keberlakuan proses pengadilan, UUPK memberi jalan alternatif dengan menyediakan penyelesaian kembalian uang koin diluar peradilan. Pasal 45 (angka 4) UUPK menyebutkan:

(Pasal 45 angka 4);
“Jika telah diseleksi upaya penyelesaian sengketa pelanggan diluar pengadilan, gugatan lewat pengadilan cuma mampu ditempuh kalau itu dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau para pihak yang bersangkutan”.

Ini mempunyai arti solusi di pengadilan pun tetap dibuka setelah para pihak gagal menuntaskan sengketa mereka diluar pengadilan. Maksud kata-kata “dinyatakan tidak berhasil” dalam ayat diatas tidak terang. Secara redaksional, juga tidak terang apakah yang dimaksud dengan perumpamaan “solusi diluar pengadilan” ini ialah upaya perdamaian diantara mereka, atau juga tergolong solusi lewat BPSK.

Jika yang dimaksud dengan perumpamaan “solusi diluar pengadilan” ini termasuk solusi melalui BPSK, tentu saja tidak mungkin, salah satu pihak atau para pihak mampu menghentikan perkaranya ditengah jalan, sebelum BPSK menjatuhkan putusan. Dengan demikian, kata-kata “dinyatakan tidak berhasil” pun mustahil mampu dilakukan untuk memilih penyelesaian lewat BPSK, maka mereka sebaiknya terikat untuk menempuh proses investigasi hingga putusan dijatuhkan. Jika mereka tidak dapat mendapatkan putusan itu, barulah mereka diberi hak melanjutkan penyelesaian di Pengadilan Negeri.

Pasal 54 ayat (3) UUPK menegaskan, bahwa putusan majelis dari BPSK itu bersifat selesai dan mengikat. Kata-kata “selesai” diartikan selaku tidak adanya upaya banding dan kasasi. Yang ada yakni “keberatan” yang dapat disampaikan kepada Pengadilan Negeri dalam waktu 14 hari kerja, setelah pihak yang berkepentingan menerima keteranganputusan tersebut. Jika pihak yang dikalahkan tidak menjalankan putusan BPSK, maka putusan itu akan dan oleh BPSK terhadap penyidik untuk dijadikan bukti permulaan yang cukup dalam melaksanakan penyidikan. UUPK sama sekali tidak memberi kemungkinan lain bagi BPSK kecuali, menyerahkan putusan itu terhadap penyidik. Dalam hal ini UUPK tidak memakai kata “mampu” sehingga berati menutup alternatif untuk tidak menyerahkan masalah itu terhadap penyidik.

 

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

  
A.     Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan pada bagian sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1.Dalam hal pengalihan duit kembalian konsumen, tanggungjawab pelaku perjuangan yang sebenarnya yaitu tanggungjawab akhlak berupa adab berjualan yang baik, pada dasarnya bukan problem besar kecilnya jumlah uang yang dialihkan ke dalam bentuk pertolongan atau bantuan akan namun, kejujuran pelaku perjuangan dalam mengerjakan usahanyalah yang dituntut oleh pelanggan.

2.Tindakan hukum yang dapat dilaksanakan pelanggan dalam pengalihan duit kembalian oleh pelaku usaha adalah melaksanakan penuntutan kepada pelaku usaha melalui somasi ganti rugi dengan jalur litigasi yakni peradilan umum (peradilan niaga) dan yang kedua dengan jalur non litigasi ialah lewat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

B.     Saran

1.Hendaknya adanya tugas aktif dari pemerintah dalam pelaksanaan hak-hak konsumen dan kewajiban pelaku perjuangan yang dikontrol dalam UUPK, hal ini bertujuan agar penduduk selaku pelanggan yang awam kepada aturan mengetahui bahwa hak-hak mereka dilindungi oleh hukum.

2. Masyarakat semestinya lebih kritis dalam pelaksanaan haknya agar pelaku perjuangan tidak berani lagi melaksanakan kecurangan dalam pengalihan uang kembalian konsumen ke dalam bentuk tunjangan atau bantuan tanpa izin dari pelanggan.

 

DAFTAR PUSTAKA

A.    Buku-buku 

Al-Qur-an dan terjemahannya.

Abdul Halim Barkatullah. 2008. Hukum Perlindungan Konsumen Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran. Banjarmasin: FH Unlam Press.

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo. 2007. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.

Andrian Sutedi. 2008. Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen. Bogor: Ghalia Indonesia.

Az. Nasution. 2000.  Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Jakarta: Diadit Media.

Burhanuddin S. 2011. Pemikiran Hukum Perlindungan Konsumen Dan Sertifikasi Halal. Malang: UIN-Maliki Press.

Celina Tri Siwi Kristiyanti. 2009. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sinar Grafika.

Dedi Harianto. 2010. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Iklan Yang Menyesatkan. Bogor: Ghalia Indonesia.

Erman Rajaguk (dkk). 2000. Hukum Perlindungan Konsumen. Bandung: Mandar Maju.

Firman Tumantara Endiprdja. 2016. Hukum Perlindungan Konsumen Filosofi Perlindungan Konsumen dalam Perspektif Politik Hukum Negara Kesejahteraa.Malang: Setara Press.

Gunawan Widjaja Ahmad Yani. 2000. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta:  PT.Gramedia Pustaka Utama.

Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati,Ed. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen. Bandung: Mandar Maju.

Janus Sidabalok. 2006. Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia Dengan Pembahasan Atas UU No. 8 Tahun 1999. Bandung : Citra Aditya Bakti.

J. Sario. 1992. Hukum Perikatan (Perjanjian kebanyakan). Bandung: Citra Aditya Bakti.

M. Nazil. 2010. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. 
R. Subekti. 1995. Aneka Perjanjian. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Soerjono Soekanto. 2011.  Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Suharsimi Arikunto. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Suyadi. 2000. Diktat Dasar-dasar Hukum Perlindungan Konsumen. Purwokerto: (Fakultas Hukum UNSOED).

Shidarta. 2000. Hukum Perlidungan Konsumen Indonesia. Jakarta: PT Grasindo.

Sudikno Mertokusumo. 1999.  Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Cet. Kedua. Yogyakarta: Liberty.

Soemitro. 1990. Metodologi Penelitian Hukum Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Yusuf Shofie. 2003. Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undnag Perlindungan Konsumen (UUPK) Teori Dan Praktek Penegakan Hukum. Bandung: Citra Adetia Bakti.

Zulham. 2013. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Kencana.

B.    Perundang-permintaan

Republik Indonesia,Undang – Undang No 8 Tahun 1999 wacana Perlindungan Konsumen.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 Tentang Pengumpulan Uang atau Barang.
Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 ihwal Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 wacana Badan Perlindungan Konsumen Nasional.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 perihal Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.

Undang-undang No. 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia.

Undang-undang No. 6 Tahun 2009 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah  Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang dan peraturan-peraturan lainnya.

C.    Internet