close

Tindakan Pencegahan Kaki Gajah

E.TINDAKAN PENCEGAHAN
       Pencegahan kepada penyakit filariasis / kaki gajah mampu dijalankan dengan jalan :
1.        Berusaha menghindari diri dari gigitan nyamuk
2.        Membersihkan air pada rawa-rawa yang ialah tempat   perindukan    nyamuk
3.        Mengeringkan / genangan air selaku kawasan perindukan nyamuk
4.        Membakar sisa-sisa sampah (berupa kertas dan plastik)
5.        Minimal melakukan penyemprotan sebulan sekali
   
       Pencegahan penyakit kaki gajah / filasiasis bagi penderita penyakit filariasis dibutuhkan untuk memeriksakan kedokter biar mendapatkan penanganan obat – obatan sehingga tidak menimbulkan penularan kepada masyarakat lainnya. 
       Perlu adanya pendidikan dan pencegahan serta pengenalan penyakit kaki gajah / filariasis di wilayah masing – masing  sangatlah penting untuk memutus mata rantai penularan penyakit ini.Membersihkan lingkinggan sekitar adalah hal terpenting untuk menghalangi terjadinya pertumbuhan nyamuk diwilayah tersebut.  
F.  PENANGANAN DAN PENGOBATAN PENYAKIT
      KAKI  GAJAH  /  FILARIASIS
      Dari dahulu hingga sekarang DEC ialah pilihan obat yang murah dan efektif jikalau belum bersifat kronis. Selain DEC, terdapat pula Ivermectin yang sampai kini harganya pun makin murah. Diethilcarbamazyne (DEC, 6 mg/kgBB/hari untuk 12 hari) bersifat makro dan mikrofilarisidal merupakan opsi yang sempurna untuk individu dengan filariasis limfe aktif (mikrofilaremia, antigen kasatmata, atau deteksi USG aktual cacing cukup umur). Meskipun albendazole (400 mg dua kali sehari selama 21 hari) juga mampu menunjukan efikasi yang bagus.
Pada perkara yang masih bersifat subklinis (hematuria, proteinuria, serta keganjilan limfosintigrafi) sebaiknya diberikan antibiotik profilaksis dengan terapi suportif contohnya dengan antipiretik dan analgesik. Sedangkan jika sudah mikrofilaremia negatif, yakni ketika manifestasi cacing dewasa telah terlihat, barulah DEC menjadi acuan obat utama. 
Pasien dengan limfedema aktual pada ekstremitas pantas mendapatkan fisioterapi khusus untuk limfedema atau dekongestif. Pasien harus dididik untuk hidup higienis dan menjaga semoga kawasan yang membesar tidak mengalami nanah sekunder. Sementara itu hidrokel mampu dialirkan secara berulang atau dengan insisi pembedahan. Jika dilaksanakan dengan baik ditambah DEC yang teratur, sebenarnya gejala pembengkakan ini bisa dikurangi sampai menjadi sangat rendah.
Penggunaan DEC selama 12 hari dengan dosis 6 mg/kgBB (total takaran 72 mg) ialah kriteria persyaratan yang sudah dilaksanakan di negara-negara dengan filariasis. Sebenarnya dengan dosis tunggal 6 mg/kgBB selama sehari juga telah bisa membunuh benalu-benalu yang ada di badan. Penggunaan selama 12 hari ialah fasilitas supresi mikrofilaremia secara cepat. Namun lazimnya penggunanan DEC takaran tunggal dikombinasikan dengan albendazole atau ivermectin dengan hasil mikrofilarisidal yang efektif.
Efek samping dari DEC ialah demam, menggigil, artralgia, sakit kepala, mual, sampai muntah. Keberhasilan pengobatan ini sangat tergantung dari jumlah benalu yang beredar di dalam darah serta sering menjadikan gejala hipersensitivitas akhir antigen yang dilepaskan dari debris sel-sel benalu yang telah mati. Reaksi hipersensitivitas juga bisa terjadi akibat inflamasi dari lipoprotein lipolisakarida dari organisme intraseluler Wolbachia, mirip yang disebutkan di atas. Selain DEC, ivermectin juga mempunyai efek samping yang sama dengan gejala ini. 
Yang penting selain pengobatan klinis filariasis ialah edukasi dan promosi pada masyarakat sekitar untuk memberantas nyamuk dengan gerakan 3M, sama mirip pemberantasan demam berdarah. Selain itu, di beberapa tempat perlu juga dijalankan dukungan DEC profilaksis yang disertakan ke dalam garam dapur khusus untuk masyarakat di tempat tersebut. Namun yang belakangan tidak terlampau terkenal di Indonesia. (farid)
      Memang lebih dari 40 tahun untuk pengobatan penyakit kaki gajah , baik secara Perorangan maupun secara massal dengan memakai DEC (Diethil Carbamazine Citrate). DEC bersifat membunuh mikrofilaria dan makrofilaria (Cacing akil balig cukup akal). Sampai dikala ini DEC merupakan satu – satunya obat penyakit kaki gajah yang efekitf, kondusif dan relaitf murah. Pada pengobatan individual bermaksud untuk menghanurkan benalu dan mengeleminasi, guna meminimalkan atau mencegah rasa sakit. Aturan dosis yang di anjukran untuk 6mg/kg berat tubuh/hari selama 12 hari diminum seudah makan, dalam sehari 3 kali. Pada pengobatan massal, di gunakan pertolongan DEC dosis rendah dengan jangka waktu bantuan yang lebih usang, misalya dalam bentuk garam DEC 0,2%-0,4% selama 9-12 bulan. Untuk orang dewasa dipakai 100mg/ahad selama 40 hari.
      Tujuan utama dalam penganan dini terhadap penderita penyakit kaki gajah yakni membasmi benalu / larva yang meningkat dalam tubuh penderita sehingga tingkat penularan mampu ditekan dan dikurangi.
Dietilkarbamasin citrate / dietylcarbamazine citrate (DEC) ialah satu – satunya obat filariasis yamg ampuh baik untuk filariasis bancroffi maupun malayi, bersifat makrofilarisidal. 
   Obat ini teregolong murah, aman dan tidak ada resistensi obat.Penderita yang menerima teapi obat ini mungkin akan memperlihatkan reaksi samping sisitematik .
Dietilkarbamasin tidak mampu di pakai untuk khemoprofilaksis.Pengobatan diberikan oral sesudah makan malam, diserap cepat, meraih konsentrasi puncak dalam darah sekitar 3 jam, dan diekresi lewat air kemih.
Dietilkarbamasin tidak dapat diberikan pada anak berumur kurang dari 2 tahun, ibu hamil / menyusui, dan penderita sakit berat / dalam kondisi lemah. Namun, pada perkara penyakit kaki gajah / filariasis yang cukup parah (sudah membengkak) karna tidak mampu terdeteksi dini, selain dukungan obat-obatan tentunya membutuhkan langkah lanjutan seperti tindakan operasi.
G.    PENYAKIT KAKI GAJAH / FILASIASIS DI INDONESIA
       Indonesia ialah kebun hewan parasit terbesar di dunia, dengan salah satu koleksi endemisnya; golongan cacing filaria. Dataran pulau Sumatera serta sebagian kawasan Jawa dan Bali menjadi daerah yang dari tahun ke tahun langganan terinfeksi kaki gajah .Penyakit filarial cukup terkenal di negeri ini. Cacing filaria merambat di sekitarjaringan subkutan dan sekujur pembuluh limfe.
 Di antara spesies antropofilik yang paling ganas yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia, malayi, Brugia timori, Onchocerca volvulus, dan Loa loa. Dari nematoda itu, menurut Prof.Dr.Herdiman Pohan, Sp.PD, KPTI dari Guru besar FKUI/RSCM, Brugia dan Wuchereria merupakan spesies terbanyak yang ditemukan di Indonesia, sementara Onchocerca dan Loa loa tidak terdapat. Selain itu, Mansonella ozzardi, Mansonella perstans, serta Mansonella streptocerca, tidak terlampau populer di Indonesia dan penyakit yang ditimbulkan tidak terlalu parah.
Satu desain mutakhir yang menjadi target pengobata ialah terdapatnya endosimbion yang terjadi di dalam badan filaria. Para pakar Tropical Medicine menemukan terdapat individu semacam rickettsia yang hidup intraseluler pada setiap stadium Wuchereria, Mansonella, dan Onchocerca yang dinamakan Wolbachia. Konon, individu ini berafiliasi endosimbiosis sungguh dekat dengan filaria sehingga dapat dijadikan target kemoterapi antifilarial.
W. bancrofti merupakan spesies yang sangat terkenal di dunia, meski hanya sedikit sekali mahasiswa kedokteran di dunia yang mempelajari secara intensif mata kuliah Parasitologi atau Tropical Medicine. Sekitar 115 juta manusia terinfeksi benalu ini di kawasan subtropis dan tropis, mencakup Asia, Pasifik, Afrika, Amerika Selatan, serta Kepulauan Karibia. Spesies dengan periodisitas subperiodik (kapan saja terdapat di darah tepi) didapatkan di Kepulauan Pasifik dengan vektor Aedes sp., sementara sebagian besar lainnya mempunyai periodisitas nokturnal dengan vektor Culex fatigans dan Culex cuenquifasciatus di Indonesia. Vektor Culex juga lazimnya ditemukan di daerah-kawasan urban, sedangkan vektor Aedes dapat ditemukan di tempat-kawasan rural.
Brugia malayi lazim dijumpai di China, India, Korea, Jepang, Filipina, Malaysia, dan pastinya Indonesia. Sementara Brugia timori ialah satwa khas Indonesia yang hanya mampu dijumpai di kepulauan Timor. Mirip dengan W.bancrofti, Brugia malayi mempunyai juga memiliki dua bentuk periodisitas. Bedanya, lazimnya B.malayi dengan periodisitas nokturnal ditemukan di tempat pertanian dengan vektor Anopheles atau Mansonia. Sedangkan spesies dengan periodisitas subperiodik ditemuakn di hutan-hutan dengan vektor Mansonia dan Coquilettidia (jarang).
Prinsip patologis penyakit filariasis bermula dari inflamasi kanal limfe akhir dilalui cacing filaria sampaumur (bukan mikrofilaria). Cacing sampaumur yang tak tahu diri ini melalui susukan limfe aferen atau sinus-sinus limfe sehingga menimbulkan dilatasi limfe pada kawasan-daerah yang dilaluinya. Dilatasi ini menimbulkan banyaknya cairan plasma yang terisi dari pembuluh darah yang menimbulkan penebalan pembuluh darah di sekitarnya.
Akibat kerusakan pembuluh, akan terjadi infiltrasi sel-sel plasma, esosinofil, serta makrofag di dalam dan sekitar pembuluh darah yang terinfeksi. Nah, infiltrasi inilah yang menjadikan terjadi proliferasi jaringan ikat dan menyebabkan pembuluh limfe di sekelilingnya menjadi berkelok-kelok serta menimbulkan rusaknya katup-katup di sepanjang pembuluh limfe tersebut. Akibatnya, limfedema dan perubahan statis-kronis dengan edema pada kulit di atas pembuluh tersebut menjadi tak terhindarkan lagi.
Kaprikornus, jelaslah bahwa biang keladi edema pada filariasis adalah cacing sampaumur yang merusak pembuluh limfe serta mekanisme inflamasi dari badan penderita yang menjadikan proliferasi jaringan ikat di sekeliling pembuluh. Respon inflamasi ini juga diduga selaku penyebab granuloma dan proliferatif yang menyebabkan obstruksi limfe secara total. Ketika cacing masih hidup, pembuluh limfe akan tetap paten, namun dikala cacing sudah mati akan terjadi reaksi yang memicu timbulnya granuloma dan fibrosis sekitar limfe. Kemudian akan terjadi obstruksi limfe total alasannya karakteristik pembuluh limfe bukanlah membentuk kolateral (mirip pembuluh darah), tetapi akan terjadi malfungsi drainase limfe di daerah tersebut. 
Di indonesia, penyakit ini tersebar luas hampir diseluruh propinsi. Berdasakan hasil survei pada tahun 2000 tercatat sebanyak 1553 desa yang tersebar di 231 kabupaten dan 26 propinsi, dengan jumlah kasus kronis 6233 orang. Untuk mengatasi penyebaran penyakit kaki gajah semoga tidak makin meluas, maka melalui organisasi WHO menetapkan kesepakatan global yaitu membrantas penyakit kaki gajah sampai tuntas. Di indonesia sendiri pada tahun 2002 sudah dimulai pelaksanaan pemberantasan penyakit kaki gajah secara sedikit demi sedikit di 5 kabupaten percontohan. Program pemberantasan dikerjakan lewat pengobatan massal dengan DEC (Dietilkarbamasin Citrate) dan Albendasol untuk setahun sekali selama 5 tahun.
       Jakarta-MI : Kendati disejumlah negara masalah penyakit kaki gajah (filariasis) telah punah, tetapi di indonesia dilaporkan, sampai tahun 2008 masih terdapat 11.699 penderita penyakit kaki gajah.
        Bahkan, di 316 kabupaten / kota tercatat masih tergolong kawasan endemis filariasis. Ketua komite jago pengobatan filariasis indonesia (KAPFI) purwantyastuti di jakarta, sabtu (21 / 11), menyertakan, pervalensi mikrofilaira (telur cacing) sebesar 19% dari total penduduk indonesia. Artinya, tedapat kurang lebih 40 juta penduduk indonesia yang tubuhnya mengandung mikrofilaria.
Mereka yang di tubuhnya mengandung mikrofilaria sejatinya berpotensi menularkan sakit kaki gajah pada orang lain. Alhasil diperkirakan 125 juta penduduk indonesia sangat berisiko tertular filariasis. ”Banyaknya spesies (jenis) nyamuk yang dapat menjadi aspek filariasis menimbulkan filariasis sulit diberantas.”imbuh purwantyastuti. 
Faktor paling krusial yang lain yakni masih renahnya janji pemerintah kawasan yang tidak mengutamakan acara eliminasi filariasis. Dikatakan, pengobatan massal filariasis harus dikerjakan bersama-sama di tiap kabupaten, supaya tidak ada lagi daerah endemik yang belum diobati.Disinilah diperlukan kesadaran pemda. Pasalnya, jikalau masih terdapat kawasan endemik, maka upaya pengobatan bakal sia-sia karena nyamuk penular kaki gajah bisa melayang batas wilayah.
Dalam enam tahun terahir, purwantyastuti mengakui, jumlah kabupaten / kota yang endemis kaki gajah / filariasis terus berkembangPada tahun 2006, tercatat 266 kabupaten / kota endemis filariasis. Pada tahun 2007, ada kenaikan menjadi 304 dan 2008 menjadi 316 kabupaten / kota.
Namun, dirinya membantah bila dari fakta itu bisa ditarik kesimpulan bahwa masalah kaki gajah / filariasis terus meningkat di indonesia. Dia berkomentar, kian banyaknya kabupaten yang melaporkan adanya penderita kaki gajah / filariasis di wilahnya menimbulkan semakin bertambahnya penderita filariasis di indonesia. Penigkatan jumlah penderita ini dimungkinkan sebab makin meningkatnya pengetahuan dan ketrampilan petugas dalam meneteksi serta sosialisasi filariasis yang semakin meningkat.
H.   BERITA TERKAIT
       BANDUNG – MI: Dinas kesehatan provinsi jawa barat menyiagakan puskesmas 24 jam untuk mengantisipasi penyakit kaki gajah atau fiariasis. Demikian dikatakan Kepala Dinas Kesehatan Jabar Alma Lucyati di Bandung. Menurut beliau hingga dikala ini pihaknya sudah memperlihatkan obat kepada 26 kota / kabupaten di Jawa Barat ”Di Jabar sendiri dijalankan pengobatan anti filariasis, terahir di Kota Bandung ”kata Alma” 
Ia mengatakan puskesmas tersebut siap melayani penduduk yang hendak megobati penyakit kaki gajah. ”Selain itu puskesmas menawarkan penyuluhan terhadap penduduk terkait penyakt kaki gajah sehi mereka mengerti apa penyakit kaki gajah,”Katanya.
Disinggung mengenai merebaknya virus kaki gajah ke Kota Bandung. Alma menyampaikan Bandung selalu dikunjunhgi warga dari aneka macam daerah yang mungkin membawa virus tersebut.
       Namun, untuk mengenali asal penyakit kaki gajah itu mesti dilihat warga yang mengidap penyakit tersebut berasal dari mana pernah berobat. Dua warga babakan yang dikenali terkena penyakit tersebut ”filariasis” bukan Warga Kota Bandung. Seluruh benalu filaria menjangkiti sekitar 170 juta orang di dunia dengan transmisi melalui nyamuk atau arthropoda yang lain. Parasit ini mempunyai siklus hidup yang kompleks, mencakup stadium larva infektif yang dibawa oleh serangga menuju hospes definitif (cuma) insan menjelma cacing sampaumur di pembuluh limfe atau jaringan subkutan lain, contohnya mata pada Loa loa. Perkembangan dari larva muda sampai menjadi larva infektif di dalam badan nyamuk berjalan selama 1-2 pekan sedangkan dari mulai masuknya larva dari nyamuk ke tubuh manusia sampai menjadi cacing dewasa berlangusng selama 3 hingga 36 bulan. Meski terkesan gampang sekali tertular oleh nyamuk, namun pada kenyataannya diperlukan ratusan hingga ribuan gigitan nyamuk hingga bisa menyebabkan penyakit filaria. Selain itu, jikalau sudah terpajan berulang kali dengan nyamuk vektor filarian ini, terdapat kekebalan yang condong meningkat. Kaprikornus, orang-orang kampung yang sudah lazimdigigit (dihisap) nyamuk Aedes atau Culex akan lebih kebal dibanding orang-orang kota yang kebetulan sedang bepergian ke kawasan-kawasan perkampungan yang endemis filariasis.

5.            Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak kemerahan dan terasa panas (early lymphodema) 
         Filariasis bengkak balasan seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah bening  mampu pecah dan mengeluarkan nanah serta darah, pembesaran tungkai, lengan, buah dada (Mamae), buah zakar yang tampakagak kemerahan dan terasa panas (Early lymphodema).
         Gejala klinis yang kronis berupa pembesaran yang menetap (Elephantrasis) pada tungkai, lengan, buah dada (Mamae), buah zakar (Elephantiasis skroti).

Tidak sSeperti malaria, dan demam berdarah, filariasis dapat ditularkan oleh berbagi jenis nyamuk diantaranya spesies nyamuk dari genus anopheles, culex, mansonia, aedes dan arnigeres. Karna inilah yang menyebabkan filariasis mampu menular dengan segera.