TIBA-TIBA saja Hari memberikan suatu amplop panjang coklat pada istrinya. Mata istrinya saat itu juga terbelalak sesudah menghitung lembaran-lembaran duit bergambar sang proklamator. Betapa tak ? Uang sebanyak itu bisa menghidupi keluarga selama beberapa bulan.
“Uang darimana, Mas?” tanya Irma, istri Hari. Senyumnya mengembang. Baru kali pertama merasa senang untuk yg berafiliasi dgn duit. Selama lima tahun mengarungi rumah tangga, acapkali mengalami kelemahan uang. Gaji honor suaminya dr sebuah SMP swasta, jelas tak akan cukup jikalau mengikuti perkiraan Matematika.
“Tak usah banyak nanya, yg niscaya itu duit halal,” jawab sang suami kemudian beranjak meninggalkan istrinya sendiri. Menghampiri motor di halaman kemudian bergegas mengendarainya.
Sejak itu, Hari jarang di rumah. Sepulang dr daerah mengajar, cuma mampir ke rumah sebentar. Ia pun sudah jarang mencicipi masakan istrinya alasannya adalah terburu-buru mesti pergi lagi. Masa Pemilu tinggal menghitung hari.
“Kaprikornus tim sukses Bu Indri.. pastilah sejahtera,” kata Burhan menggoda Irma saat bertemu di warung Mbak Wati.
“Ya iyalah… modalnya banyak, uangnya kayak yg beranak cucu, gak pernah habis…” Usman menimpali.
“Ngomong-ngomong. Bu Indri caleg perempuan satu-satunya dr kampong kita, ya?” seorang sok intelek menimpali.
“Ya… & elok,” Burhan nyengir.
“Aku pula mau kalau disuruh jadi tim suksesnya…” Ali ikut nimbrung. Irma bergegas meninggalkan warung. Lama-lama perbincangan mereka suka ngawur. Menyindir tentang suaminya yg sibuk melaksanakan agresi agar mendapat bunyi banyak untuk orang yg dibelanya.
Sampai di rumah, Irma mengingat-ingat lagi ucapan orang banyak. Bu Indri memang baik, bahkan sangat baik. Hari belum lama jadi tim suksesnya tetapi sudah sering diberi uang.
“Itu sebab suamimu orangnya mobile,” terang Dian, sahabatnya waktu ia curhat akan keresahan yg menyerangnya tiba-tiba.
“Mas Hari berilmu bicara & bisa memengaruhi banyak orang. Makanya Bu Indri percaya,” jelas Irma.
“Yap.. itu! Lalu, apa yg kau ragukan?”
Dian menatapnya. Irma cuma mendesah. Sudah banyak kebaikan Bu Indri. Mengubah perekonomiannya. Namun bila orang-orang mulai menggunjingkan keelokan Bu Indri, Irma gundah. Hari, suaminya, lelaki yg bermuka ganteng dgn tubuh tinggi tegap. Usianya sepuluh tahun lebih muda dr Bu Indri. Namun bukan tak mungkin jikalau keduanya saling jatuh hati, mengingat Bu Indri sudah lima tahun tak bersuami.
Mungkin perasaan Irma berlebihan namun itu bisa masuk logika. Banyak yg menjadi tim berhasil Bu Indri, namun kebaikan Bu Indri pada suaminya melebihi kapasitas. Apalagi Hari tim berhasil yg baru.
“Sudahlah, jangan terlalu dihantui…” Dian membaca apa yg dipikirkan sahabatnya. “Seharusnya kau bersyukur… suamimu menjadi kepercayaan orang yg baik…”
Malam itu Irma diliputi perasaan gelisah. Sudah pukul 21.00 namun Hari belum kembali ke rumah & nomor ponselnya tak bisa dihubungi.
Setelah pukul 23.00 tak pula tiba, Irma nekat menyusul ke vila milik Bu Indri yg selama ini digunakan untuk berkumpul para tim sukses. Namun yg dicari tak ada. Sepi. Ia cuma bertemu Bu Indri yg menghampirinya keluar ketika dirinya celingukan tak tentu tujuan.
Irma pergi dgn perasan damai alasannya adalah kecurigaan selama ini hilang setelah menerima perilaku Bu Indri yg ramah.
Namun Irma tak pernah tahu, sepeninggal dirinya, Bu Indri yg mengenakan baju tidur tipis berbahan sutra, secepatnya masuk ke dlm kamar yg gelap.
“Aktifkan ponselmu, pulanglah.. istrimu menunggu!” (*)