Musim baratan tiba. Masa-masa paceklik untuk para nelayan. Ombak & badai menyurutkan niat melaut. Hanya beberapa nelayan yg nekat berangkat, bertaruh nyawa demi mencari pemasukan. Meski kadang kala sehabis bertaruh nyawa, hasil yg didapat tak setara.
Bahkan mereka terkadang terpaksa pulang dgn tangan hampa. Beruntung jikalau mendapat tangkapan ikan sebiji barang dua biji bisa untuk lauk. Jika sedang apes, tak seekor ikan pun menyangkut pada jaring. Jika begini kenyataannya, para nelayan cuma mampu mengeluh. Untuk nelayan yg taat sembahyang, mereka berpikir bila rezeki kuasa Tuhan.
Warman & Mono terlihat semringah, bahagia & bungah tatkala menerima raskin. Pagi berembun uap bahari itu bareng puluhan warga nelayan miskin di kelurahan Ujung Laut mereka mengambil beras raskin di balai desa. Masing-masing KK menerima jatah 5 kilogram.
Pada wajah mereka setitik sinar berbinar. Musim baratan. Nelayan tak berani melaut.
Tak ada ikan yg ditangkap bermakna tak ada pendapatan. Beruntung nelayan yg punya keahlian selain mencari ikan. Istilahnya mereka bisa kerja di darat. Entah nukang kayu, ikut proyek, atau sekadar kuli panggul. Namun untuk mencari kerja tak semudah membalik telapak tangan. Juga tak semua nelayan mampu kerja di darat. Kebiasaan melakukan pekerjaan di maritim, menciptakan mereka merasa lebih asik kerja di bahari ketimbang di darat. Sebagaian besar mereka cuma memiliki keterampilan menangkap ikan. Ibaratnya kerja di laut tinggal menebar jaring, tanpa perlu memanen ikan. Padahal untuk pergi ke bahari, mereka pula butuh solar asupan perahu & bekal nasi atau roti untuk penguat energi si nelayan.
Ketika ekspresi dominan baratan tiba untuk makan sehari-hari, sebagian besar nelayan menjagakan simpanan, pinjaman tengkulak, atau ngutang di warung. Mendapat beras raskin mereka bisa sedikit bernapas lega.
“Pemerintah memahami kesulitan kita,” gumam Kang Warman sembil menyeruput kopi pahit di warung Yu Jenah, janda beranak lima, yg suaminya, seorang nelayan hilang ditelan gelombang lautan demam isu baratan. “Setiap ekspresi dominan paceklik kita menerima pemberian raskin.”
“Seandainya tak cuma setahun sekali. Paceklik kan berbulan-bulan,” keluh Lik Baidi sambil mengambil sepotong combro. Warung Yu Jenah, di bibir bahari, menjadi kawasan nongkrong nelayan usai melaut. Sekadar ngopi, menikmati gorengan & ngobrol perihal hal-hal sehari-hari. Persoalan kehidupan yg tak lepas dr problem ekonomi, urusan perut, hingga duduk perkara politik urusan rebutan kedudukan & jabatan.
“Jangan mengeluh, bersyukurlah. Dapat beras lima kilo. Lumayan. Bisa untuk lima hari kan?”
“Anak Sampeyan cuma satu, Kang, Man. Anakku banyak. Belum keponakan yg numpang.”
“Salahnya sendiri sih Kang. Punya anak banyak….”
“Bikinnya enak lhah Kang. Numan…”
Mereka tertawa bahagia. Yu Jenah menentukan meracik segelas kopi ketika tetamu warung tiba. Kali ini bawah umur muda yg mampir warung sehabis asik berfoto-foto di bibir pantai.
Beras raskin kali ini mutunya cantik. Biasanya beras patah, kuning, banyak batu! Tapi siang itu seorang Sholikul menemui Warman & mengadu…
“Dapat berapa kilo raskin, Kang Man?”
“Yo, 5 kilo. Sama kan?”
“Ya, Lik. Tapi Si Seno nimbang beras katanya kurang 5 ons. Pardi kurang 3 ons. Bangor kurang 4 ons. Sampeyan?”
“Aku tak nimbang, Kang. Ibune eksklusif ngambil untuk ngliwet.”
“Ini tak adil Kang, kecurangan. Korupsi. Kok tega-teganya beras raskin di korupsi. Kita ke kelurahan Kang. Mustam si wartawan yg kebetulan satu RT sama kita akan menuliskan beritanya di koran!”
Berita ihwal raskin yg menyusut bobotnya termuat di koran lokal. Si wartawan memberi kesaksian bahwa ketika diadakan penimbangan ulang disaksikan warga & aparat kelurahan memang bobot raskin menyusut antara 1- 5 ons.
Keesokan harinya pejabat datang & memberi penjelasan . “Bobot beras menyusut sebab beras mengalami penyusutan. Beras masih dlm kondisi belum kering benar tatkala dimasukkan ke dlm karung. Sesuatu yg wajar.”
Sebagian warga mengangguk. Sebagian warga tak gampang yakin. “Kami tak mudah percaya, dikelabui begitu saja. “
“Ini korupsi. Ada tikus dlm raskin. Jika satu sak berkurang 2 ons saja berapa jika beras jumlahnya puluhan ton? Berapa puluh juta rupiah uang yg masuk dlm kantung pejabat berparas tikus?”
Pak RT mendampingi warga yg masih kurang puas mendengar keterangan pejabat, menuju balai desa. Bukan bertujuan demo, cuma meminta klarifikasi dr kepala desa selaku penyalur beras raskin. Kepala desa hanya bisa menyatakan bila mirip umumnya ia hanya menyetorkan daftar jumlah warga yg berprofesi nelayan. Kemudian dinas sosial yg menyelenggarakan pembelian beras selaku dukungan. Tentu saja dgn anggaran yg sudah dicanangkan oleh APBD.
“Tentang beli berasnya di mana, harganya berapa, bagaimana mutunya, itu bukan kewenangan saya…”
“Dibanding beras raskin khusus sumbangan untuk nelayan periode tahun kemudian, mutu beras raskin tahun ini, kini ini, mutu beras lebih bagus, Pak Lurah.”
“Tahun lalu butir beras raskin banyak yg pecah, kuning, bahkan banyak kutu. Saking buruknya si beras, ada warga enggak mau makan.”
“Mending diberikan pada ayam atau kalkun.”
“Terpaksa disantap pula sih. Daripada kelaparan.”
“Menghargai oranglah, emang zaman penjajahan!”
“Kabarnya sih beras dr bulog manis, terus ditukar sama oknum dibelikan beras yg mutu buruk.”
“Lagi-lagi korupsi.”
“Perilaku si oknum serupa bedebah! Bakal penghuni neraka tuh!”
“Orang makan orang. Raksasa zaman sekarang ya orang seperti ini. Memakan jatah orang.”
Keesokan harinya, pada sebuah koran setempat tersiar info seputar beras raskin nelayan yg isinya tak sesuai timbangan.
Bupati terpilih dgn wajah polosnya memberi keputusan. “Sudah dikatakan ini cuma problem kecil, tak perlu dibesar-besarkan. Sebagai warga negara yg baik kita harus menjunjung asas praduga tak bersalah. Saya menerima keterangan dr pihak terkait, bahwa setelah diadakan pengusutan oleh tim terkait beras mengalami perbedaan bobot alasannya adalah adanya penyusutan…”
“Kalau bobot susut kenapa dlm setiap karung ada bekas jahitan ulang?” si wartawan tak puas.
“Apa kita harus menanyakannya pada rumput bergoyang?” bisik warga dikala membaca gosip tersebut di papan koran balai desa.
“Bukan, Kang, tetapi pada penjahit yg menjahit ulang karung,” sahut carik
“Gak. Kita bertanya saja pada…. penjahit kut*ng!” ceracau seorang penulis cerpen yg kebetulan sedang turut rapat.