close

Tikus dan Manusia | Cerpen Jakob Sumardjo

ENTAH bagaimana caranya tikus itu memasuki rumah kami tetap sebuah misteri. Tikus berpikir dengan-cara tikus & insan berpikir dengan-cara insan, cuma manusia-tikus yg mampu membongkar misteri ini. Semua lubang di seluruh rumah kami tutup rapat (sepanjang yg kami dapatkan), tetapi tikus itu tetap masuk rumah. Rumah kami dikelilingi kebun kosong yg luas milik tetangga. Kami mengira tikus itu yakni tikus kebun. Tubuhnya cukup besar & bulunya hitam legam.

Pertama kali kami menyadari kehadiran penghuni rumah yg tak dipanggil, & tak kami ingini itu, tatkala saya tengah menonton film-video seorang diri, sementara istri sudah mendengkur kecapaian di kamar. Waktu itu tiba-tiba kaki saya diterjang benda masbodoh yg meluncur ke arah televisi, & saya lihat tikus hitam besar itu berlari kencang bersembunyi di balik rak buku. Jantung saya nyaris copot, darah naik ke kepala akibat terkejut, & otomatis kedua kaki saya angkat ke atas.

Baru kemudian timbul kemarahan & dendam saya. Saya mencari semacam tongkat di dapur, & hanya saya temukan sapu ijuk. Sapu itu saya balik memegangnya & menuju ke arah balik rak buku. Tangan saya amat kebelet memukul habis itu tikus. Namun, tak saya lihat wujud benda apa pun di sana. Mungkin begejil item telah masuk rak bab bawah di mana terdapat lubang untuk memasukkan kabel-kabel pada televisi. Untuk memeriksanya, saya mesti mematikan televisi dahulu. Saya takut kalau tikus keparat itu menyerang saya tiba-datang. Imigran gelap rumah itu saya biarkan selamat dahulu.

Saya tak pernah menceritakan keberadaan tikus itu pada istri saya yg pembenci tikus, hingga pada suatu hari istri saya yg justru memberitahukan pada saya adanya tikus tersebut. Berita itu begitu pentingnya melebihi kegawatan masuknya teroris di kampung kami.

“Pak, rumah kita kemasukan tikus lagi! Besar sekali! Item!”

“Di mana Mamah lihat?”

“Di dapur, lari dr rak piring menuju belakang kulkas!” Istri saya cemas luar biasa, menahan napas, sambil mengacung-acungkan pisau dapur ke arah kulkas di dapur.

“Sudah satu tahun enggak ada tikus. Rumah sudah higienis. Mengapa tikus masuk rumah kita? Tetangga jauh. Dari mana tikus itu?”

“Itu tikus kebun, Mah,” jawab saya kalem sambil mengembalikan buku Nietsche ke rak buku.

“Jangan kalem-kalem saja, Pah, cepat lihat kolong kulkas!”

Wah, suasana makin gawat. Saya menyanggupi perintah istri saya dgn menyalakan senter ke bagian kolong kulkas. Tidak ada apa pun. Tikus keparat! Ke mana ia menghilang?

  Kiai Maimun | Cerpen Asmadji AS Muchtar

Sejak itu istri saya amat ketat mempertahankan kebersihan. Semua piring di rak dibungkus kain, pula tempat sendok. Tudung saji diberati dgn ulekan biar tikus tak bisa menerobos masuk untuk menggasak masakan sisa. Gelas bekas saya minum nescafe-cream malam hari harus ditutup rapat. Tempat sampah ditutupi pengki penadah sampah sambil diberati batu. Strategi kami yakni semua kawasan makanan ditutup rapat-rapat sehingga tikus tak akan bisa menerobos.

Istri saya memesan dibelikan lem tikus paling andal, yakni merek Fox. Selembar kertas minyak tebal dilumuri lem tikus oleh istri saya & di tengah-tengah lumeran lem itu diletakkan ampela ayam bab makan malam saya. Jebakan lem tikus diletakkan di kaki kulkas. Pada malam itu, tatkala istri saya tengah asyik menonton sinetron “Cinta Kamila”, yg setiap malam setengah sembilan selalu menangis itu, istri saya tiba-datang berteriak memanggil saya yg sedang mengulangi membaca Filsafat Nietsche di kamar kerja, bahwa si tikus terperangkap. Saya segera menutup buku & lari ke dapur menyusul istri. Benar, seekor tikus hitam sedang meronta-ronta melepaskan diri dr kertas yg berlem itu.

“Mana pukul besi?!” saya panik mencari pukul besi yg entah disimpan di mana di dapur itu.

“Jangan dipukul, Pah!”

“Lalu bagaimana?” Saya menjawab mendongkol.

“Selimuti dgn kertas koran. Bungkus rapat-rapat. Digulung supaya seluruh lem lengket ke badannya.”

“Lalu diapakan?” Saya makin dongkol.

“Buang di kawasan sampah!”

Aah, mana pukul besi?” Kedongkolan memuncak.

“Nanti darahnya ke mana-mana! Bungkus saja rapat-rapat!”

Saya mengalah. Tatkala tikus itu akan saya tutupi kertas koran, matanya kuyu sarat ketakutan memandang saya. Ah persetan! Saya menekan rasa belas kasihan saya. Tikus saya kemasan rapat-rapat, lalu saya buang di tong sampah di depan rumah, sambil tak lupa menyanggupi perintah istri saya biar penutupnya diberati watu.

Siang harinya sepulang dr mengajar, istri saya terbata-bata memberitahu saya bahwa tikus itu lepas tatkala Mang Maman tukang sampah mau menuangkan sampah ke gerobaknya. Cerita Mang Maman, ada tikus meloncat dr gerobak sampahnya & lari ke kebun sebelah dgn terbungkus kertas coklat. Cerita lepasnya tikus ini beberapa hari kemudian diperkuat oleh Bi Nyai, pembantu kami, bahwa ia melihat tikus hitam yg belang-belang kulitnya.

Geram pula saya, & membisu-membisu saya berbelanja dua jebakan tikus. Tatkala mau saya pasang malam harinya, istri saya keberatan.

“Darahnya ke mana-mana,” katanya.

“Ah, mudah, masalah saya. Kalau kena lantai, saya akan pel pakai karbol,” jawabku.

Istri saya menyerah, & rupanya merasa punya andil bersalah juga. Coba jikalau tikus itu dahulu kupukul kepalanya, pasti beres.

Pada waktu subuh istri membangunkan saya.

“Tikusnya kena, Pah!”

Memang benar, seekor tikus hitam terjepit jebakan persis pada lehernya. Darah tak banyak keluar. Tatkala saya amati dr erat, ternyata bukan tikus yg kulitnya sudah belang-botak.

“Ini bukan tikus yg lepas itu, Mah!”

“Masa?” Ia mendekat memperhatikan.

“Kalau begitu ada tikus lain.”

“Mungkin ini istrinya,” celetukku.

Ketika mau saya lepas dr jebakan, istri saya melarangnya.

“Buang saja ke daerah sampah dgn jebakannya.”

Rasa tak kondusif masih menggantung di rumah kami. Tikus belang itu masih hidup. Dendam kami belum terbalas. Berhari-hari kemudian kami memasang lagi lem tikus dgn berganti-ganti umpan, mirip sate ayam, sate kambing, ikan jambal kegemaran saya, sosis, namun tak pernah berhasil menangkap si belang. Bibi menganjurkan semoga dikasih umpan ayam bakar. Saya berbelanja sepotong ayam bakar di kedai makanan padang yg paling ramai dikunjungi orang. Sepotong kecil paha ayam itu dipasang istri saya di tengah lumeran lem Fox, sisanya saya pakai lauk makan malam.

Gagasan Bi Nyai ternyata ampuh. Seekor tikus menggeliat-geliat melepaskan diri dr karton tebal yg dilumuri lem. Tikus itu benar-benar musuh istri saya, di beberapa bab badannya sudah tak berbulu. Kasihan pula menyaksikan sorot matanya yg memelas seolah minta ampun.

“Mah, cepat ambil pukul besinya.”

Istri saya mengambil pukul besi di dapur & diberikan pada saya. Tatkala mau saya hantam kepalanya, istri saya melarang sambil berteriak.

“Tunggu dahulu! Pukul besinya dikemas koran dahulu. Kepala tikus pula dikemas koran. Darahnya bisa enggak ke mana-mana!”

Begitu jengkelnya saya pada istri yg tak pernah berguru bahwa tikus yg meronta-ronta itu bisa lepas lagi.

“Cepat sana cari koran!” bentakku jengkel.

“Kenapa sih murka-marah saja?” sahut istri saya dongkol juga. Saya membisu saja, tetapi cukup tegang memantau tikus yg meronta-ronta makin hebat itu. Kalau dahulu terlatih lepas, pasti ia bisa lepas pula sekarang.

Akhirnya tikus hitam itu saya hantam tiga kali pada kepalanya. Bangkainya dibuang bibi di daerah sampah.

  Sepanjang Aliran Sungai | Cerpen Sungging Raga

Beberapa hari sehabis itu istri saya mulai kendur ketegangannya. Kalau saya lupa menutup kopi nescafe, umumnya ia murka-marah kalau bekas kopi susu itu dijilati tikus, tetapi kini tak mendengar lagi sewotnya. Begitulah kedamaian rumah kami mulai nampak, hingga pada suatu pagi istri saya mendengar sayup-sayup cicit-cicit bayi tikus! Inilah tanda-tanda perang baratayuda akan dimulai lagi di rumah kami.

“Harus kita dapatkan sarangnya! Bayi-bayi tikus itu kelaparan ditinggal kedua orangtuanya. Kalau mati bagaimana? Kalau mereka hidup, rumah kita menjadi rumah tikus!” kata istri.

Lalu kami melakukan penelusuran besar-besaran. Bagian-bagian tersembunyi di rumah kami obrak-abrik, namun bayi-bayi tikus tak ketemu. Bayi-bayi itu pula tak kedengaran tangisnya lagi. “Mungkin ada di para-para. Tapi bagaimana naiknya?” kata saya.

“Nunggu Mang Maman jikalau ambil sampah siang,” kata istri.

Ketika Mang Maman mau mengambil sampah di depan rumah, bibi minta kepadanya untuk naik ke para-para mencari bayi-bayi tikus.

“Di sebelah mana, Bu?” tanya Mang Maman.

“Tadi cuma terdengar di dapur saja. Mungkin di atas dapur ini atau bersahabat-bersahabat sekitar situ,” sahut istri saya.

Sekitar setengah jam kemudian Mang Mamang berteriak dr para-para bahwa bayi-bayi tikus itu ditemukan. Mang Maman menenteng bayi-bayi itu di kedua genggaman tangannya sambil menuruni tangga.

“Ini Bu ada lima. Satu bayi telah mati, yg lain sudah lemas. Lihat, napas mereka sudah tersengal-sengal.”

Istri saya bergidik menyaksikan bayi-bayi tikus merah itu.

“Bunuh & buang ke tempat sampah Mang” kata istri saya.

“Ah, jangan Bu, mau saya bawa pulang.”

“Mau memelihara tikus?” tanya istri saya heran.

“Ah ya tak Bu. Bayi-bayi tikus ini dapat dijadikan obat berpengaruh,” jawab Mang Maman sambil meringis.

“Obat kuat? Bagaimana memakannya?”

“Ya ditelan begitu saja. Bisa pula dicelupkan ke kecap lebih dahulu.”

Setelah memberi upah sepuluh ribu rupiah, istri saya masih terbengong-melongo menyaksikan Mang Maman memasukkan keempat bayi tikus itu ke kedua kantong celananya, sedangkan yg seekor dijinjing dgn jari & dilemparkan ke gerobak sampahnya.

Tikus-tikus tak terpisahkan dr hidup insan. Tikus selalu mengikuti insan & menyantap masakan manusia juga. Meskipun bagi sementara orang, utamanya wanita, tikus-tikus amat menjijikkan, mereka sukar dimusnahkan. Perang melawan tikus ini tak akan pernah rampung.

Saya masih menunggu, pada suatu hari istri saya akan terdengar teriakannya lagi oleh penampakan tikus-tikus yg baru. (*)