close

Tikus Bermata Merah | Cerpen Azharul Husna

Ada lelaki bau tanah di kampungku. Usianya sungguh tak dapat kutaksir. Sudah kutanya pada orang-orang bau tanah di dusun, mereka pun tak tahu, yg niscaya sudah sangat renta. Sebagai gambaran saja buatmu, waktu gue kecil saja ia sudah kami panggil Nek. Sekarang gue sudah berusia 25 tahun. Dapat kau bayangkan berapa renta usianya?

Setiap hari pria renta itu berjalan sendirian menyusuri lorong-lorong. Kadang ia menenteng beberapa benda. Kadang menenteng balok sebesar pemukul kasti, sesekali minyak tanah & pernah tanpa sengaja kulihat ia sedang memainkan pemantik api.

Nama pria renta itu, Nek Daud. Mulut Nek Daud bergumam tak pernah berhenti, sekali-sekali terdengar suaranya berselawat, kali yg lain ia bersenandung tak terang atau mengoceh sendiri. Tak tanggung, bunyi Nek Daud jelas terdengar sampai ke ujung lorong.

Orang-orang tak ada yg memperdulikan apa pun yg dilakukan Nek Daud, mereka sudah cukup sibuk dgn permasalahan masing-masing. Suara Nek Daud dianggap angin belaka. Seminggu tak terlihat, jalanan terasa sepi. Tapi siapa yg peduli? Lagi pula ia hanya penting pada saat tertentu saja.

Pada siang hari dikala bawah umur membandel, mereka tak mau disuruh tidur siang, & melaksanakan hal apa saja yg tidak boleh oleh orang renta mereka. Pada saat itulah Nek Daud menjadi bintang film cerita jahat bagi penghuni kampung. Ibu-ibu dgn penuh semangat menyebabkan Nek Daud selaku pemeran utama dlm hikayat orang gila untuk menakuti anak-anak mereka.

Lalu kucoba mengingat-ingat, sejak kapan pula Nek Daud ini menjadi gila?

*****

Dua tahun belakangan Nek Daud sering berjalan sendirian. Sarung bercorak kotak-kotak biru dongker yg mulai kehilangan garis warna meliliti pinggangnya. Pada sebuah sore di hari Jumat, dikala semua aktivitas bersawah & melaut diliburkan, nyaris saja lumbung penyimpan beras milik Keuchik Nuh terbakar. Untung saja, sebelum kobaran api menjadi besar ada orang yg sempat melihat Nek Daud masuk lumbung padi sambil memantik api dr mancisnya. Api sukses dipadamkan, sedangkan Nek Daud dipulangkan ke tempat tinggal keluarganya.

  Kamboja diatas Nisan | Cerpen Herman R.N

Masyarakat semakin ramai berdatangan ke lumbung pada Keuchik Nuh. Mereka mulai berbisik-bisik menyaksikan isi ruangan 4×4 meter tersebut. Puluhan beras dgn logo berwarna jingga tersusun rapi, tak jadi hangus dikonsumsi api. Pemandangan ini menjadi bara api gres yg tak terkata.

“Alhamdulillah, Allah masih sayang pada kita. Jika tak ada yg menyaksikan, beras raskin untuk penduduk sudah pasti tak jadi dibagikan bulan depan,” terang Keuchik Nuh di hadapan warga tiba-tiba.

Setelah kejadian itu, Nek Daud bukannya insaf. Tingkah Nek Daud semakin menjadi-jadi. Sialnya, Setiap kali Nek Daud berjumpa pandang dgn Keuchik Nuh, ia seperti melihat iblis. Pernah saat lewat di halaman kantor desa Nek Daud menghantam Keuchik Nuh dgn balok seukuran pemukul kasti. Untung saja aparatur kampung & staf masih bisa menghalangi amuk Nek Daud & Keuchik Nuh dapat diselamatkan. Kalau tidak, barangkali siang itu Keuchik Nuh akan mati. Di peluang yg lain, giliran kambing milik sekretaris kampung yg dijerat Nek Daud dgn tali.

Ah ya, dr sana semua kegilaan Nek Daud dimulai.

*****

Awal Juni kemudian gue mudik. Niat hati bareng keluarga merayakan Lebaran. Bertahun-tahun merantau terasa wajah gampong mulai berubah. Alih-alih naik sepeda motor sengaja kupinjam sepeda keponakan untuk berkeliling. Melihat sawah, ladang, ke rumah uwak, menikmati situasi yg begitu mewah ini.

Siang gue mengayuh sepeda melalui sawah, jalan pintas menuju ke tempat tinggal. Dan sial, ban sepeda bocor tertusuk kulit keong mas. Terpaksalah sepeda kudorong, alasannya kalau memaksa tetap dinaiki pasti akan rusak pula pelak.

Kulihat laki-laki renta duduk di balai-bali depan rumah akrab sawah. Lama kulihat air mukanya. Aku tersirap! Sudah jatuh tertimpa tangga, gue bergumam. Laki-laki renta itu Nek Daud gila! Mau berlari gue sudah tak kuat lagi, kupaksa saja seramah mungkin sambil menyapa.

  Para Pemudik yang Tak Pernah Kembali | Cerpen Zaenal Radar T

“Nek…”

Orang gila pula manusia, kalau kita baik-baik mana mungkin ia akan menyerang begitu saja?

Piyoh dilee keunoe” Nek Daud memaksa sambil tangannya mengaut-ngautku, wajahnya sampai terangguk-angguk. ia tersenyum!

Daripada dikejar pakai balok atau dibakar, gue berpikir, baik pula bila gue memilih mendekatinya untuk sekadar melepas letih sambil menumpang membuatkan duduk. Saat itu gres kuinsafi, ada borgol di kakinya. Sekali lagi tersirap darahku. Tetapi lari kini pun akan kelihatan mirip pecundang. Makara gue duduk membisu di dekatnya. Itulah pertemuan pertamaku yg bekerjsama dgn tokoh terkenal di seluruh kampung. Selama ini cuma terhubung melalui dongeng-cerita suram saja.

“Lihatlah, bahkan keluargaku pula memborgolku biar gue tak bisa ke mana-mana. Menganggapku gila & menyakitiku,” katanya.

Lalu gue agak mendekat ke arahnya, ia menyambung lagi ceritanya. ia bersungut-sungut bercerita. ia berkata, nyaris saja dapat membunuh tikus bermata merah jelmaan iblis. Ia pula masih kecewa & merasa murka pada warga yg tak mempercayainya bahkan sampai menggagalkan rencananya membunuh binatang pengerat tersebut.

“Kau tahu, yg satu itu ada di lumbung padi Keuchik Nuh. Tikusnya berbagai, hampir sebesar karung goni. Aku bisa melihatnya Nak, sungguh gue tak berbohong.”

Aku termangu mengingat dongeng pembakaran lumbung hampir dua tahun yg kemudian.

Tiba-tiba ia menempelkan tangannya di telingaku lalu berbisik,

“Mereka semua gila, sengaja membiarkan tikus itu beranak-pinak di kantor desa. Dasar pemuja iblis.”

“Siapa mereka Nek?”

“Keuchik Nuh & kawan-kawannya!”. (*)