Fase 1. Pada kurun kemudian di masa pemerintahan orde baru yang bercorak otoritarian, penguasaan dan kontrol pemerintah terhadap tata cara komunikasi sangatlah berpengaruh. Mekanisme kendali dijalankan dengan menciptakan aneka macam regulasi lewat peraturan-peraturan yang memungkinkan pemerintah mampu mengambil langkah-langkah-tindakan yang represif kepada lembaga-forum media yang dianggap tidak sejalan atau tidak mendukung terhadap kebijaksanaan pemerintah. Tidak cuma lembaga media, akan namun hampir semua kekuatan dalam penduduk tersubordinasi pada kekuasaan dan kepentingan pemerintah, dan diarahkan untuk mendukung kebijakan dan kepentingan kekuasaan. Hubungan antara pemerintah sebagai lembaga superbody pada era pemerintahan orde gres dengan unsur-unsur kemasyarakatan lainnya dapat digambarkan seperti tampakpada halaman 3.18 BMP Sistem Komunikasi Indonesia
Gambar itu memperlihatkan arah korelasi dalam bentuk segitiga dimana pemerintah selaku suprastruktur dalam tata cara kemasyarakatan pengemban kekuasaan, melakukan pengendalian dan pengaturan kepada media massa dan masyarakat. Pemerintah mengontrol media massa dan penduduk secara langsung, dan pemerintah memakai media massa untuk mengatur (opini) penduduk . Pengendalian dan pengaturan terhadap media massa dan penduduk dilakukan untuk menjamin kepatuhan kepada seperangkat norma yang ditetapkan pemerintah demi terwujudnya integrasi dan stabilitas dalam masyarakat. Integrasi dan stabilitas dapat dibilang menjadi semacam kredo bagi pemerintah orde baru untuk merealisasikan masyarakat yang damai, adil, sejahtera dan makmur. Oleh sebab itu semua kekuatan dalam masyarakat mesti diintegrasikan dan berada di bawah sub ordinasi pemerintah. Dalam kaitan ini media massa memiliki arti yang sangat strategis, oleh karena itu media massa juga menjadi objek kontrol pemerintah. Karena media massa mempunyai potensi untuk mensugesti dan membentuk opini penduduk , maka media harus menjadi “alat” pemerintah untuk menyukseskan program pemerintah
Fase 2. Perubahan arus politik menuju liberalisasi politik pada era reformasi menawarkan pengaruh pada pergeseran tata cara komunikasi yang ada. Perubahan itu beralih dari metode komunikasi otoritatif kepada sistem komunikasi partisipatif. Melalui reformasi, keran keleluasaan sudah dibuka selebar-lebarnya dan menunjukkan keleluasaan pada penduduk untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan bidang komunikasi. Berbagai regulasi yang sebelumnya menghambat penyelenggaraan komunikasi dan kebebasan arus berita, pada masa terjadinya reformasi kemudian dilepaskan dengan begitu saja. Dalam perjuangan penerbitan pers misalnya, pada era pemerintahan Orde Baru diberlakukan adanya SIUPP atau surat ijin perjuangan penerbitan pers. Melalui SIUPP inilah pemerintah mengatur forum-lembaga penerbitan di bidang pers yang ada. Namun pada periode reformasi, lembaga SIUPP ini kemudian ditiadakan oleh pemerintah, dan mendirikan usaha penerbitan tidak lagi diperlukan ijin dari pemerintah kecuali hanya membentuk tubuh perjuangan.
Fase 3. Merupakan fase paska reformasi dalam bentuk konsolidasi penataan peran media dalam kaitannya dengan kehidupan penduduk , pemerintah dan pemodal. Betapapun praktek bermedia pada kala awal reformasi yang condong pada keleluasaan yang mengabaikan akhlak dalam bermedia telah melahirkan kegelisahan banyak pihak. Kebebasan bermedia tetap mesti dipertahankan sebagai salah satu instrumen demokrasi yang memberikan kontrol pada pemerintah dan faktor kehidupan masyarakat yang lain, namun kebebasan itu mesti dilandasai pada tanggung jawab dan akhlak profesional dalam bermedia.