Tiga Fase Sistem Komunikasi Indonesia

Sistem komunikasi di Indonesia ialah bagian dari metode kemasyarakatan yang bersandarkan pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia dan dinamika sosial politik yang mengiringinya. Atas dasar pertumbuhan dinamika sosial politik bangsa Indonesia, maka sistem komunikasi Indonesia sudah mengalami tiga fase pergantian metode komunikasi. Fase pertama adalah sistem komunikasi yang bercorak otoritarian-media pembangunan. Fase kedua adalah metode komunikasi yang bercorak libertarian-demokratik-partisipan. Dan fase ketiga adalah tata cara komunikasi yang bercorak libertarian-tanggung jawab sosial.

Fase 1. Pada kurun kemudian di masa pemerintahan orde baru yang bercorak otoritarian, penguasaan dan kontrol pemerintah terhadap tata cara komunikasi sangatlah berpengaruh. Mekanisme kendali dijalankan dengan menciptakan aneka macam regulasi lewat peraturan-peraturan yang memungkinkan pemerintah mampu mengambil langkah-langkah-tindakan yang represif kepada lembaga-forum media yang dianggap tidak sejalan atau tidak mendukung terhadap kebijaksanaan pemerintah. Tidak cuma lembaga media, akan namun hampir semua kekuatan dalam penduduk tersubordinasi pada kekuasaan dan kepentingan pemerintah, dan diarahkan untuk mendukung kebijakan dan kepentingan kekuasaan. Hubungan antara pemerintah sebagai lembaga superbody pada era pemerintahan orde gres dengan unsur-unsur kemasyarakatan lainnya dapat digambarkan seperti tampakpada halaman 3.18 BMP Sistem Komunikasi Indonesia

Gambar itu memperlihatkan arah korelasi dalam bentuk segitiga dimana pemerintah selaku suprastruktur dalam tata cara kemasyarakatan pengemban kekuasaan, melakukan pengendalian dan pengaturan kepada media massa dan masyarakat. Pemerintah mengontrol media massa dan penduduk secara langsung, dan pemerintah memakai media massa untuk mengatur (opini) penduduk . Pengendalian dan pengaturan terhadap media massa dan penduduk dilakukan untuk menjamin kepatuhan kepada seperangkat norma yang ditetapkan pemerintah demi terwujudnya integrasi dan stabilitas dalam masyarakat. Integrasi dan stabilitas dapat dibilang menjadi semacam kredo bagi pemerintah orde baru untuk merealisasikan masyarakat yang damai, adil, sejahtera dan makmur. Oleh sebab itu semua kekuatan dalam masyarakat mesti diintegrasikan dan berada di bawah sub ordinasi pemerintah. Dalam kaitan ini media massa memiliki arti yang sangat strategis, oleh karena itu media massa juga menjadi objek kontrol pemerintah. Karena media massa mempunyai potensi untuk mensugesti dan membentuk opini penduduk , maka media harus menjadi “alat” pemerintah untuk menyukseskan program pemerintah

  Sikap Dan Jaringan Komunikasi Organisasi

Fase 2. Perubahan arus politik menuju liberalisasi politik pada era reformasi menawarkan pengaruh pada pergeseran tata cara komunikasi yang ada. Perubahan itu beralih dari metode komunikasi otoritatif kepada sistem komunikasi partisipatif. Melalui reformasi, keran keleluasaan sudah dibuka selebar-lebarnya dan menunjukkan keleluasaan pada penduduk untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan bidang komunikasi. Berbagai regulasi yang sebelumnya menghambat penyelenggaraan komunikasi dan kebebasan arus berita, pada masa terjadinya reformasi kemudian dilepaskan dengan begitu saja. Dalam perjuangan penerbitan pers misalnya, pada era pemerintahan Orde Baru diberlakukan adanya SIUPP atau surat ijin perjuangan penerbitan pers. Melalui SIUPP inilah pemerintah mengatur forum-lembaga penerbitan di bidang pers yang ada. Namun pada periode reformasi, lembaga SIUPP ini kemudian ditiadakan oleh pemerintah, dan mendirikan usaha penerbitan tidak lagi diperlukan ijin dari pemerintah kecuali hanya membentuk tubuh perjuangan. 

Pada gambar tersebut arah korelasi antara media massa, pemerintah dan penduduk berada dalam posisi interaksi yang cenderung ekual. Pemerintah tidak lagi sebagai aspek secara umum dikuasai dan determinan yang melakukan pengendalian terhadap metode media dan juga pada masyarakatnya. Sistem media dan koalisi penduduk sipil telah melahirkan metode kemasyarakatan yang lebih terbuka, egaliter dan demokratis. Kebebasan pers dan keleluasaan masyarakat saling mendukung dalam membuat iklim kehidupan yang demokratis. Masa ini setidaknya berjalan lebih kurang selama dua tahun semenjak dianulirnya SIUPP tahun 1998 hingga tahun 2000. Dalam era waktu itu bermunculan tidak kurang dari 1.800 sampai 2.000 perjuangan penerbitan dalam bentuk surat kabar, tabloid, dan majalah. Namun dalam perkembangannya terjadi seleksi alam kepada keberadaan usaha penerbitan.

Fase 3. Merupakan fase paska reformasi dalam bentuk konsolidasi penataan peran media dalam kaitannya dengan kehidupan penduduk , pemerintah dan pemodal. Betapapun praktek bermedia pada kala awal reformasi yang condong pada keleluasaan yang mengabaikan akhlak dalam bermedia telah melahirkan kegelisahan banyak pihak. Kebebasan bermedia tetap mesti dipertahankan sebagai salah satu instrumen demokrasi yang memberikan kontrol pada pemerintah dan faktor kehidupan masyarakat yang lain, namun kebebasan itu mesti dilandasai pada tanggung jawab dan akhlak profesional dalam bermedia. 

  Tata Cara Sosial, Tata Cara Politik Dan Tata Cara Komunikasi
Media dalam hal ini melakukan fungsi intermediasi di antara kepentingan tiga entitas dalam unsur kemasyarakatan ialah pemerintah, pemodal dan penduduk , selain juga kepentingan dari institusi media itu sendiri. Media menempati posisi sentral dalam mempertahankan keseimbangan dan dalam melayani kepentingan dari para pemangku yang memiliki kepentingan kepada media. Media memiliki kepentingan untuk mempertahankan kelangsungan hidup (keberadaan) kelembagaannya dengan melaksanakan fungsi-fungsi yang diemban oleh media khususnya dalam melakukan fungsi pengirim gosip. Pemerintah berkepentingan dalam mempertahankan keutuhan dan kepentingan penduduk dan mempertahankan stabiltas dalam menjalankan pemerintahan dan dalam melakukan komunikasi politik dengan unsur-elemen masyarakat. Pemilik modal berkepentingan agar institusi media yang dimodalinya dapat berkembang dengan baik dan dapat menghasilkan keuntungan ekonomi dan non ekonomi bagi pemilik modal. Masyarakat berkepentingan supaya memiliki akses gosip yang seluas-luasnya berhubungan dengan penyelenggaraan negara dan dalam menyuarakan kepentingannya terhadap pemerintah. Media mesti menjaga keseimbangan di antara kepentingan-kepentingan ini dengan bersikap netral, profesional dan independen. Media harus bertanggung jawab dengan tanggung jawab sosial dalam peranannya tanpa mengorbankan kepentingan dari salah satu komponen yang ada. Melihat ciri yang demikian ini, maka metode komunikasi pada fase ketiga ini dapat dikatakan selaku tata cara komunikasi yang bercorak bebas dan bertanggung jawab secara sosial.