BAB I
PENDAHULUAN
Pembicaraan mengenai rasional, tradisional, dan campuran antara rasional dan tradisional sudah sering kita dengar dalam anutan Islam kebanyakan. Istilah-ungkapan tersebut tidak cuma digunakan dalam ilmu kalam, namun juga digunakan dalam ilmu yang lain, seperti ilmu fiqh, dan sosiologi. Sebagai acuan dalam ilmu fiqh terdapat madzhab Imam Abu Hanifah yang sering dikategorikan sebagai madzhab yang bersifat rasional sebab dalam aliran aturan yang dikembangkannya banyak menggunakan akal sehat atau pertimbangan . Dan madzhab Imam Malik dikenal sebaliknya selaku aliran tradisional alasannya adalah dalam menyelasaikan suatu problem madzhab ini lebih banyak berpegang terhadap sunnah.
Jika dilihat dengan kaca mata aktual, maka beragamnya pedoman dan mazhab dalam Islam itu menawarkan bahwa umat Islam ialah umat yang kaya dengan corak fatwa. Ini memiliki arti umat Islam yaitu umat yang dinamis, bukan umat yang statis dan bodoh yang tidak pernah mau berfikir. Namun dari semua pemikiran yang mewarnai pertumbuhan umat Islam itu, tak sedikit juga yang mengundang terjadinya konflik dan menenteng kontroversi, khususnya pemikiran yang bercorak atau berkonsentrasi dalam membicarakan persoalan teologi.
Agar tidak terjebak dalam kontroversi dan kesalahpahaman tersebut, maka perlu dilakukan usaha-usaha untuk mengkaji kelompok ini secara objektif, dalam artian perlu adanya kajian mendalam di setiap sisinya. Oleh karena itu, penulis akan mencoba menguraikan beberapa hal yang berhubungan wacana ajaran rasional, tradisional dan diantara rasional dan tradisional dalam makalah ini, antara lain yakni latar belakang sosial politik keagamaannya, aliran-ajarannya dalam bentuk perbandingan antara ketiganya dan pertumbuhan dan pengaruhnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Sosial Politik Keagamaannya
1. Teologi Bercorak Rasional
Rasional dalam teologi memiliki arti pedoman teologi yang banyak mengandalkan terhadap kekuatan akal atau rasio, akal mempunyai daya yang besar lengan berkuasa serta mampu menunjukkan interprestasi secara rasional terhadap teks ayat al-Qur’an dan hadis. Penganut teologi ini cuma terikat pada doktrin-akidah yang dengan terang lagi tegas disebut dalam ayat-ayat al-Qur’an dan hadis adalah sebuah ayat yang tidak mampu diinterprestasikan lagi, yang berdasarkan Harun disebut ayat yang qath’i al-dalalah.[1]
Corak teologi rasional yang seperti ini merupakan aliran yang dianut oleh kaum Mu’tazilah. Yaitu fatwa yang lebih mayoritas memakai rasio, namun tetap bertahan kepada wahyu selaku kebenaran mutlak.[2]
Secara bahasa ungkapan Mu’tazilah berasal dari akar kata I’tazala, yang bermakna memisahkan diri. Namun dalam asal-seruan penamaan Mu’tazilah dalam anutan kalam, ada beberapa teori yang berlawanan.
Teori yang dikemukakan oleh al-Syahrastani yaitu berasal dari insiden yang terjadi di lingkungan pengajian Hasan al-Basri. Dalam sejarah, Mu’tazilah timbul berkaitan dengan perkara Washil Ibn ‘Atha yang lahir di Madinah pada tahun 700 M dengan Al-Hasan Al-Basri[3]. Washil sering mendengar kuliah-kuliah yang diberikan al-Hasan al-Basri di Bashrah. Suatu ketika Washil menyatakan pertimbangan bahwa beliau tidak oke dengan paham kaum Khawarij yang menyatakan bahwa orang mukmin yang berdosa besar menjadi kafir, dan paham kaum Murji’ah yang menyatakan bahwa orang mukmin yang berdosa besar masih tetap mukmin. Menurut Washil bahwa orang Islam yang melaksanakan dosa besar itu bukan kafir dan bukan pula mukmin, namun mengambil posisi di antara posisi kafir dan mukmin, dan jikalau orang yang demikian bertobat sebelum meninggal, ia akan masuk nirwana.
Tetapi kalau tidak sempat bertobat, ia akan masuk neraka untuk selama-lamanya. Dengan kata lain bila orang Islam berdosa besar, lalu mati dengan tidak sempat bertobat maka nasibnya di akhirat akan sama dengan orang kafir, ialah masuk neraka selama-lamanya. Washil dengan pendapatnya yang berlainan dengan usulan al-Hasan al-Basri lalu membentuk pemikiran teologi yang lalu dikenal dengan nama mu’tazilah. Dan Harun Nasuiton sependapat dengan teori ini, dengan mengatakan bahwa teori inilah yang lazim disebutkan dalam buku ilmu kalam[4].
Sedangkan berdasarkan Abuddin Nata, menyampaikan bahwa ajaran Mu’tazilah muncul sebagai respon dilema teologis yang meningkat di kalangan Khawarij dan Murji’ah akhir adanya kejadian Tahkim[5]. Sependapat dengan Abuddin Nata, Imam Muhammad Abu Zahrah juga mengatakan bahwa ajaran Mu’tazilah sudah muncul jauh sebelum terjadinya insiden antara Washil dan Hasan tersebut[6].
Dapat ditarik kesimpulan dari perbedaan pendapat para mahir di atas, bahwa nama Mu’tazilah ini sudah timbul pada kejadian Tahkim, ada juga yang menyampaikan bahwa anutan ini muncul ketika terjadinya perdebatan kaum muslimin pada saat dibunuhnya Usman bin Affan, dan berikutnya muncul dari peristiwa yang terjadi di antara Washil dan Hasan al-Basri.
2. Teologi Bercorak Tradisional
Tradisional dalam teologi bermakna mengambil perilaku terikat tidak cuma pada akidah yang terang dan tegas di dalam al-Qur’an dan sunnah (qath’i), namun juga pada ayat yang mempunyai arti zhanni, yaitu ayat-ayat yang memiliki arti harfiah dari teks ayat-ayat al-Qur’an dan hadis serta kurang memakai nalar.[7]
Adapun corak tradisional dalam pedoman kalam memiliki perbedaan dengan corak rasional sebagaimana diuraikan diatas. Penganut teologi tradisional mengambil perilaku terikat tidak hanya pada keyakinan-keyakinan, namun juga pada ayat-ayat yang mempunyai arti zanni, ialah ayat-ayat yang boleh mengandung arti yang lain dari arti leterlek yang terkandung didalamnya. Ayat-ayat itu mereka artikan secara leterlek. Dengan demikian para penganut teologi ini sukar dapat mengikuti pergantian dan perkembangan yang terjadi dalam penduduk modren. Mereka berpegang teguh pada arti harfiah dari teks ayat-ayat al-Qur’an dan hadis, ditambah dengan memakai logika, dan kurang sejalan dengan jiwa dan pedoman kaum cerdik.[8]
Selain itu teologi ini juga banyak berpegang kepada wahyu didalam menyelesaikan duduk perkara yang dihadapi. Dalam memecahkan duduk perkara, mereka terlebih dahulu berpegang terhadap teks wahyu dan kemudian menenteng argumen-argumen rasional untuk teks wahyu tersebut. Adapun yang tergolong penganut teologi tradisional ini ialah kaum Asy’ariyah.
Nama Al-Asy’ariyah diambil dari nama Abu Al-Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari yang dilahirkan dikota Bashrah (Irak) pada tahun 206 H/873 M. Pada mulanya Al-Asy’ari ini mencar ilmu terhadap tokoh Mu’tazilah waktu itu, yang bernama Abu Ali Al-Jubai. Dalam sementara waktu lamanya dia merenungkan dan memikirkan antara aliran-anutan Mu’tazillah dengan paham hebat-jago fiqih dan hadist.
Ayah al-Asy’ari yaitu seorang yang berfaham Ahlussunnah dan hebat hadist, dan wafat dikala al-Asy’ari masih kecil. Sebelum wafat, beliau berwasiat terhadap seorang sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya semoga mendidik al-Asy’ari. Ibu al-Asy’ari sepeninggal suaminya menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang berjulukan Abu Ali al-Jubba’i. Berkat didikan ayah tirinya lalu al-Asy’ari lalu menjadi tokoh Mu’tazilah. Baliau sering mengambil alih al-Jubba’i dalam perdebatan menentang musuh-lawan Mu’tazilah.
Al-Asy’ari menganut faham Mu’tazilah hanya sampai ia berusia 40 tahun, setela itu tiba-datang dia mengumumkan kepada jamaah di masjid Bashrah bahwa ia telah meninggalkan faham Mu’tazilah dan memperlihatkan kejelekan-kejelekan faham tersebut. Dan juga diceritakan bahwa latar belakang beliau meninggalkan aliran ini adalah pengakuan beliau bahwa belaiu bertemu dengan Rasulullah saw. di dalam mimpinya sebanyak tiga kali, adalah malam ke-10, 20, dan 30 bulan Ramadhan dan Rasul memperingatkannya semoga meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela faham yang diriwayatkan sendiri oleh beliau[9].
Terlepas dari sebab-alasannya itu, anutan al-Asy’ari muncul sebagai alternative yang menggantikan kedudukan fatwa Mu’tazilah yang sudah mulai ditinggalkan orang sejak zaman al-Mutawakkil. Diketahui bahwa sesudah al-Mutawakkil membatalkan putusan al-Makmun yang menetapkan anutan Mu’tazilah selaku madzhab negara, kedudukan ajaran ini mulai menurun. Apalagi setelah al-Mutawakkil memperlihatkan sikap penghargaan dan penghormatan terhadap Ibn Hambal sebagai musuh utama dari Mu’tazilah[10]. Dalam suasana demikianlah al-Asy’ari keluar dan menyusun teologi islam baru yang sesuai dengan paham penduduk yang berpegang kuat pada hadis.
3. Teologi yang Bercorak Antara Rasional dan Tradisional
Teologi yang bercorak antara rasional dan tradisonal di sini tujuannya bukanlah menggabungkan dua corak, rasional dan tradisonal, tetapi suatu pedoman yang pengikut alirannya terbagi dua, kelompok pertama mengikuti corak rasional dan yang lain mengikuti corak tradisional. Aliran yang bercorak antra rasional dan tradisional ini yaitu aliran al-Maturidiyah.
Al-Maturidiyah ialah salah satu sekte Ahl al-Sunnah wal Jama’ah, yang tampil bersama dengan Asy’ariyah. Al-Maturidiyah dan Asy’ariyah dilahirkan oleh keadaan sosial dan pemikirna yang sama. Kedua ajaran ini tiba duntuk memenuhi kebutuhan mendesak yang meyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstriminitas kaum rasionalis dimana yang berada di barisan paling depan yakni Mu’tazilah[11]. Hanya saja tempat berkembangnya berlainan, fatwa al-Asy’ariyah berkembang di Basrah sedangkan ajaran al-Maturidiyah berkembang di Samarkand.
Aliran Maturidiyah bangun atas prakarsa al-Maturidi dengan nama lengkap Abu Mansur ibn Muhammad ibn Mahmud al-Maturidi. Beliau dilahirkan di Maturidi, sebuah kawasan di Samarkand. Lahir kira-kira pada tahun 852 M dan wafat pada tahun 944 M. Beliau diketahui selaku pengikut Abu Hanifah, seorang mujtahid yang bercorak rasional.
Sebagai pengikut Abu Hanifah, maka aliran al-Maturidi juga kerap kali cenderung agak rasional. Dengan demikian walaupun al-Maturidi sendiri seperti al-‘Asyari muncul selaku reaksi kepada paham Mu’tazilah, tetapi dalam beberapa duduk perkara, al-Maturidi sendiri cenderung sependapat dengan Mu’tazilah, dan dalam beberapa hal lain: dengan sebutan Maturidi Samarkand.
Paham tradisional selanjutnya dianut oleh Maturidiah Bukhara. Maturidiah Bukhara yaitu pengikut Al-Bazdawi. Beliau bernama lengkap Abu Yusr Muhammad al-Bazdawi, salah seorang pengikut penting al-Maturidi. Hubungan guru dengan murid ini bukanlah kekerabatan dalam bentuk pribadi melainkan al-Bazdawi menerima ilmu dari orang renta dan neneknya yang merupakan murid dari al-Maturidi.
Ia menerima fatwa-fatwa Maturidi dari orang tuanya. Ia selanjutnya memiliki murid-murid, yang salah seorang di antaranya adalah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (460-537 M), pengarang kitab al-Aqaid al-Nasafiah. Dalam paham teologinya, al-Bazdawi tidak selamanya sepaham dengan al-Maturidi. Antara Maturidi Samarkand dan Maturidi Bukhara terdapat perbedaan yang berkisar pada dilema keharusan mengenali Tuhan. Jika Maturidi Samarkand mewajibkan mengenali Tuhan dengan nalar, sedangkan Maturidi Bukhara tidak demikian halnya alasannya menurutnya kewajiban mengetahui Tuhan mampu diraih dengan wahyu.
Selanjutnya, sebagaimana dalam paham Asy’ariah, Maturidi Bukhara pun memiliki paham bahwa Tuhan memiliki sifat, dan menganut paham jabariah, yakni bahwa yang menentukan tindakan manusia ialah Tuhan. Dengan memperhatikan uraian tersebut menjadi jelaslah bahwa Maturid Bukhara mampu digolongkan ke dalam paham teologi yang bercorak tradisional.
B. Ajaran-ajarannya Dalam Bentuk Perbandingan Diantara Ketiganya
Ada beberapa problem yang menjadi pertikaian pendapat antara pengikut pemikiran yang bercorak rasional dan tradisional mirip yang telah disebutkan di atas, dan dalam setiap permasalahan yang diangkat ada pemikiran yang tidak konsisten dalam mengikuti satu corak fatwa saja, pedoman ini dalam satu waktu menigkuti corak rasional dan kadang kala mengikuti corak tradisional, seperti fatwa Maturidiyah.
Adapun perbandingan pemikiran-aliran dari ketiga anutan itu dalam beberapa urusan yakni sebagai berikut:
1. Pelaku Dosa Besar
a. Aliran Mu’tazilah
Bila Khawarij mengkafirkan pelaku dosa besar dan Murji’ah memelihara keimanan pelaku dosa besar, maka Mu’tazilah tidak memilih status dan predikat pelaku dosa besar, apakah ia masih beriman atau telah kafir. Ketentuan ini diketahui dengan istilah manzilah baina manzilataini. Setiap pelaku dosa besar bagi fatwa ini berada di tengah posisi beriman dan kafir. Jika pelakunya meninggal dunia dan belum sempat bertobat, beliau akan dimasukkan ke dalam neraka selama-lamanya, meskipun demikian siksaan yang diterimanya lebih ringan dari siksaan orang kafir, dan disebut dengan orang fasik oleh Washil bin Atha’.
b. Aliran Asy’ariyah
Al-Asy’ari selaku wakil dari Ahl al- Sunnah, tidak mengkafirkan orang-orang yang bresujud ke Baitullah (beriman) walaupun mereka melaksanakan dosa beasar, seperti berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih beriman dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun mereka berbuat dosa besar. Tetapi jika dosa itu mereka lakukan dengan asumsi bahwa hal ini dibolehkan (halal) dan tidak menyakini keharamnnya, maka dia dipandang kafir.
Adapun akhir alam baka kelak bagi pelaku dosa besar bila meninggal dan tidak bertaubat, maka menurut aliran ini tergantung terhadap kebijakan Tuhan. Tuhan mampu saja mengampuninya dan menerima syafaat dari Nabi Muhammad saw. sehingga terbebas dari siksaan api neraka, begitu juga sebaliknya.
c. Aliran Maturidiyah
Aliran ini, baik Samarkand dan Bukhara sepakat menyampaikan bahwa pelaku dosa besar masih tetap selaku mukmin sebab adanya keimanan dalam dirinya. Adapun kesannya tergantung terhadap yang dilakukannya di dunia. Jika dia meninggal sebelum bertaubat, keputusannya diserahkan kepada Allah.
2. Iman dan Kufur
a. Aliran Mu’tazilah
Menyangkut permasalahan ini, anutan Mu’tazilah mempunyai pertimbangan yang serupa dengan penjelasan status dosa besar bagi para pelakunya.
Seluruh pemikir Mu’tazilah setuju menyampaikan bahwa amal perbuatan ialah salah satu bagian terpenting dalam rancangan iman, bahkan nyaris mengidentikkannya dengan akidah. Aspek penting dalam rancangan Mu’tazilah ihwal keyakinan yaitu apa yang mereka identifikasikan selaku ma’rifah (pengetahuan dan nalar). Ini menjadi unsur yang penting alasannya mereka bercorak rasional, mereka menekankan pentignya anutan akal atau pemikiran logika bagi keimanan.
b. Aliran Asy’ariyah
Untuk memahami makna dogma, Abu Hasan al-Asy’ari mendefenisikan dogma dengan secara berlainan. Beliau mendefenisikan kepercayaan dalam satu karyanya dengan qaul dan amal yang mampu bertambah dan menyusut. Dalam karya lain ia mendefinisikan tashdiq bi Allah. Dan dalam karya yang lain iktikad secara esensial yakni tashdiq bi al-janan (membenarkan dengan hati), mengatakan qaul memiliki arti verbal, dan melakukan aneka macam keharusan utama (amal). Dan keimanan seseorang tidak akan hilang kecuali bila ia mengingkari salah satu dari hal yang disebutkan di atas.
c. Aliran Maturidiyah
Aliran Maturidiyah Samarkand beropini bahwa kepercayaan yaitu tashdiqul bil qalbi, bukan semata-mata iqrar bi al-ekspresi. Aliran ini tidak berhenti hingga di situ, tashdiq mirip yang dipahami itu, mesti diperoleh dari ma’rifah. Tashdiq ialah hasil dari ma’rifah didapatkan lewat daypikir akal.
Sedangkan menurut Maturidiyah Bukhara yang dijelaskan oleh al-Bazdawi yakni tashdiqu bi al-qalbi dan tashdiq bi al-mulut. Tashdiqu bi al-qalbi yakni meyakini dan membenarkan dalam hati perihal keesaan Allah dan rasul-rasul yang diutus-Nya beserta risalah yang dibawanya. Sedangkan tashdiq bi al-verbal yakni mengakui kebenaran seluruh pokok pemikiran Islam secara mulut. Al-Bazdawi menyertakan bahwa dogma tidak dapat berkurang, tetapi mampu bertambah dengan adanya ibadah-ibadah yang dijalankan.
3. Perbuatan Tuhan dan Perbuatan Manusia
a. Aliran Mu’tazilah
Sebagai pemikiran yang bercorak rasional, fatwa ini beropini bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik. Namun hal ini bukan berati Tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk, Tuhan tidak melakukan tindakan buruk sebab Ia mengetahui keburukan dari tindakan buruk itu. Dan Tuhan tidaklah berbuat zhalim sebagaimana yang diterangkan dalam al-Qur’an.
Faham kewajiban Tuhan berbuat baik bahkan yang terbaik (ash-shalah wa al-ashlah) mengkonsekuensikan aliran ini menimbulkan faham keharusan Allah sebagai berikut:
1) Kewajiban tidak menawarkan beban di luar kesanggupan insan.
2) Kewajiban mengirim rasul
3) Kewajiban menepati kesepakatan (al-wa’du) dan ancaman (Al-Wa’id).
Untuk tindakan manusia menurut anutan ini bukanlah diciptakan Tuhan pada diri insan, namun insan sendirilah yang merealisasikan perbuatannya. Dan Mu’tazilah juga dengan tegas menyampaikan bahwa daya juga berasal dari insan, dan daya yang ada pada diri manusia merupakan kawasan terjadinya perbuatan. Jadi Tuhan tidak dilibatkan dalam perbuatan manusia. Dengan faham mirip ini, ajaran Mu’tazilah mengaku bahwa Tuhan sebagai pencipta permulaan dan insan berperan selaku pihak yang berkreasi untuk mengganti bentuk perilakunya.
b. Aliran Asy’ariyah
Menurut anutan ini, pedoman yang disampaikan oleh Mu’tazilah tidak bisa diterima karena berlawanan dengan faham keuasaan dan keinginanmutlak Tuhan. Dengan demikian ajaran ini tidak meneriman faham Tuhan mempunyai kewajiban untuk berbuat baik kepada manusia dan Tuhan tidak memiliki kewajiban. Tuhan dapat bertindak sesuka hati-Nya kepada makhluk.
Karena percaya pada keuasaan mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa Tuhan tidak memiliki kewajiban apa-apa, aliran ini berpendapat bahwa Tuhan mampu saja memperlihatkan beban di luar kemampuan insan. Walaupun menyuruh rasul itu mempunyai arti penting bagi insan, tetapi itu bukanlah keharusan Tuhan alasannya adalah Tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap manusia. Begitu juga halnya dengan menepati akad, Tuhan tidak mempunyai keharusan untuk menepati akad kepada insan.
Dalam hal perbuatan manusia, pada prinsipnya ajaran ini beropini bahwa perbuatan insan diciptakan oleh Allah, sedangkan daya insan tidak mempunyai imbas untuk mewujudkannya. Tuhan membuat perbuatan untuk insan dan menciptakan pula kepada insan daya untuk melaksanakan tindakan.
c. Aliran Maturidiyah
Terdapat perbedaan pertimbangan antara pengikut aliran Maturidyah dalam permsalahan ini. Maturidiyah Samarkand memperlihatkan batasan pada kekuasaan dan kehendak Tuhan, tindakan Tuhan hanyalah menyangkut terhadap hal yang baik-baik saja. Dengan demikian Tuhan mempunyai keharusan untuk melakukan hal yang baik bagi insan.
Adapun Matrudiyah Bukhara mempunyai padangan yang sama dengan Asy’ariyah perihal faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Bazdawi Tuhan pasti menepati komitmen-Nya, seperti memberi upah terhadap orang yang berbuat baik, walaupun Tuhan mampu saja membatalkan bahaya bagi orang yang berbuat dosa besar.
Ada perbedaan antra Maturidiyah Samarkand dan Bukhara perihal perbuatan manusia. Matudiyah Samarkand lebih akrab dengan Mu’tazilah, sedangkan Bukhara lebih dekat dengan Asy’ariyah. Perbedaan Matudiyah Samarkand dengan Mu’tazilah hanyalah bahwa daya untuk berbuat tidak diciptakan sebelum berbuat, namun diciptakan sama dengan perbuatannya.
4. Sifat-sifat Tuhan
a. Aliran Mu’tazilah
Aliran ini berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, defisini mereka perihal Tuhan bersifat negatif. Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, keuasaan, hajat, dan sebagainya, namun ini tidak bermakna bahwa Tuhan tidak mengenali, tidak berkuasa, tidak hidup, dan sebagainya. Tuhan tetap mengetahui, berkuasa, hidup dan sebagainya, namun dengan makna yang bahu-membahu, bukan sifat-Nya. Berarti Tuhan mengetahui dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri.
Aliran ini membagi sifat Tuhan ke dalam dua pembagian, yaitu:
1) Sifat-sifat yang merupakan esensi Tuhan itu sendiri, mirip wujud, qidam, baqa, dll.
2) Sifat-sifat yang ialah perbuatan Tuhan dan berhubungan dengan makhluk-Nya, mirip iradah, kalam, ‘adl, dsb[12].
Pemuka-pemuka Mu’tazilah setuju mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Aliran ini memberikan daya yang besar kepada nalar beropini bahwa Tuhan tidak mampu dikakatakan mempunyai sifat-sifat jasmani.
b. Aliran Asy’ariyah
Di kalangan Asy’ariyah daya, wawasan, hayat, kemauan, telinga, pandangan dan sabda Tuhan adalah awet. Sifat-sifat ini tidaklah sama dengan esensi Tuhan, berlainan dengan esensi Tuhan tapi berwujud dalam esensi Tuhan. Makara mereka berpendapat bahwa sifat-sifat itu bukanlah Tuhan, dan tidak pula lain dari Tuhan.
Asy’ariyah selaku ajaran kalam tradisional yang menawarkan daya yang kecil terhadap nalar juga menolak faham Tuhan memiliki sifat jasmani jika dipandang sama dengan jasmani insan. Asy’ari beropini bahwa sesuatu yang mampu dilihat adalah sesuatu yang wujud, alasannya Tuhan mempunyai wujud maka Ia dapat dilihat.
c. Aliran Maturidiyah
Maturidiyah Bukhara, mempertahankan kekuasaan Tuhan, berpendapat bahwa Tuhan memiliki sifat-sifat. Dan sifat-sifat Tuhan itu baka lewat kekekalan yang terdapat dalam diri-Nya bukan kekelan sifat itu sendiri. Sedangkan Maturidiyah Samarkand tidak sepaham dengan itu karena mereka beranggapan bahwa sifat bukanlah Tuhan, namun tidak pula tiba dari selain Tuhan.
5. Kehendak Muthlak dan Keadilan Tuhan
a. Aliran Mu’tazilah
Aliran ini berprinsip bahwa Tuhan itu adil dan tidak mungkin berbuat zhalim dengan memaksakan kehendak terhadap hamba-Nya, kemudian mewajibkan hamba-Nya itu untuk menanggung akhir perbuatannya. Dengan demikian, manusia memiliki kebebasan untuk melakukan perbuatannya tanpa ada paksaan apapun dari Tuhan. Dengan kebebasan itulah, manusia mampu bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Tidaklah adil bila Tuhan memperlihatkan pahala atau siksa terhadap hamba-Nya tanpa mengiringinya dengan memperlihatkan kebebasan terlebih dulu.
Secara lebih terperinci, ajaran ini menyampaikan bahwa kekuasaan bekerjsama tidak mutlak. Ketidakmutlakan itu disebabkan oleh keleluasaan yang diberikan kepada insan serta adanya hukum alam (sunnatullah).
Keadilan Tuhan mengandung arti Tuhan tidak berbuat dan menentukan yang buruk, tidak melupakan kewajiban-Nya terhadap insan dan segala tindakan-Nya adalah baik. Keadilan Tuhan terletak pada kewajiban adanya tujuan dalam tindakan-perbuatan-Nya, yakni kewajiban untuk berbuat baik dan terbaik bagi insan dan menawarkan keleluasaan terhadap manusia, dan hasratmutlaknya dibatasi oleh keadilan itu sendiri.
b. Aliran Asy’ariyah
Karena lairan ini yakin pada kemutlakan kekuasaan Tuhan, mereka berpendapat bahwa perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan. Yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu semata-mata adalah kekuasaan dan keinginanmutlak-Nya dan bukan sebab kepentingan manusia atau tujuan lain. Dengan demikian, keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak kepada makhluk-Nya dan mampu berbuat sekehendak hati-Nya, dan itulah keadilan Tuhan, Tuhan akan tidak adil bila tidak dapat berbuat sekehendak hati-Nya kepada insan, sebab Dia memiliki kekuasaan mutlak. Seandainya Tuhan ingin memasukkan semua insan ke dalam surga atau neraka, maka itulah keadilan Tuhan karena Tuhan berbuat dan menciptakan menurut kehendak-Nya. Makara berdasarkan anutan ini, keadilan Tuhan itu terletak pada keinginanmutlak-Nya.
c. Aliran Maturidiyah
Kehendak mutlak Tuhan menurut Matudiyah Samarkand, dibatasi oleh keadilan Tuhan. Tuhan adil mengandung arti bahwa segala tindakan-Nya adalah baik dan tidak bisa untuk berbuat jelek serta tidak mengabaikan kewajiban-Nya terhadap insan. Oleh karena itu Tuhan tidak akan menawarkan beban yang terlalu berat kepada manusia dan tidak diktatorial dalam menawarkan hukuman karena Tuhan tidak mampu berbuat zhalim.
Sedangkan Maturidiyah Bukhara beropini bahwa Tuhan memiliki kekuasaan mutlak. Tuhan dapat berbuat apa saja sekehendak hati-Nya dan menentukan segala-galanya. Tidak yang dapat menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan. Kaprikornus keadilan Tuhan terletak pada keinginanmutlak-Nya, tidak ada satupun dzat yang lebih berkuasa dibandingkan dengan-Nya.
Untuk lebih membuat lebih mudah pemahaman, akan disuguhkan perbedaan pendapat masing-masing ajaran tersebut ke dalam tabel yang dilampirkan di final makalah ini.
C. Perkembangan dan Pengaruhnya
1. Aliran Mu’tazilah
Kemunculan pedoman Mu’tazilah untuk pertama kalinya, pada kala dinasti Umayyah yang berada pada ambang kehancuran, yaitu pada era pemerintahan ‘Abd al-Malik bin Marwan dan Hisyam bin ‘Abd al-Malik. Dan saat pemerintahan jatuh pada Dinasti Abbasiyah, kalangan Mu’tazilah mendapatkan kawasan yang amat baik di dalam pemerintahan[13].
Dalam mempelajari pertumbuhan Mu’tazilah selanjutanya kita akan mendapatkan tiga era dimana ajaran ini lahir, Washil bin Atho dan Amr bin Ubaid selaku tokohnya pada periode pertama. Masa kedua adalah kala perkembangan dan kejayaan Mu’tazilah, yaitu pada periode awal Daulah Abbasiyah, Abu Hudzail dan an-Nazzham selaku tokohnya. Dan periode ketiga adalah periode kemunduran bahkan kehancuran Mu’tazilah hingga beberapa saat lamanya, al-Jubbai dan putarnya Abu Hasyim selaku tokohnya.
a. Periode Pertama.
Pada abad ini Washil dan Amr cenderung berargumentasi dengan al-Qur’an dan Hadist selaku landasan pertama yang dilanjutkan dengan rasio pastinya. Pada era ini, filsafat masih sangat minim di kelompok mereka bahkan belum diketahui . Pada masa ini kaum muslimin sudah mulai mempelajari al-Qur’an dan Hadist dari aneka macam aspeknya. Mereka juga telah mulai menerjemahkan berbagai buku ke dalam bahasa Arab. Tapi itu cuma untuk manfaat simpel saja, belum ke teori atau untuk kebutuhan argumentasi.
b. Periode Kedua
Masa ini adalah permulaan pemerintahan Bani Abbasyiah, pada kurun ini Islam mencapai puncak kejayaanya tergolong dari segi keilmuwan. Pada era ini kaum muslimin sudah mulai menerjemahkan buku-buku yang beragam tergolong filsafat. Para bangsa non Arab mulai berdatangan untuk menuntut ilmu, percampuran bangsa, kultur, bahasa dan pengetahuan terjadi pada masa ini. Pengaruhnya yakni kaum muslimin menjadi lebih tolerir. Contohnya adalah bangsa Sarayan diperbolehkan mendirikan sekolah yang mengajarkan filsafat
Tapi filsafat yang meningkat atau yang diajarkan di sekolah tidaklah murni dari filsafat Yunani kuno namun sudah bercampur dengan anutan-pedoman Plato. Pada era ini Mu’tazilah telah memakai filsafat walaupun belum tepat, mirip Abu Hudzail al-Allaf yang mengambangkan fatwa-aliran Mu’tazilah yang lalu diramu dengan info-berita gres. Juga dengan an-Nazzham yang dianggap sebagai filosofis pertama Mu’tazilah yang paling mendalam pemikirannya.
Pada periode ini juga Mu’tazilah mencapai puncak kejayaannya, ialah pada periode al-Ma’mun (198 H). Khalifah ini mengakibatkan Mu’tazilah selaku madzhab resmi kerajaan.
c. Periode Ketiga (kurun kemunduran)
Pada priode ke dua, tokoh-tokoh Mu’tazilah sudah mengenal filsafat meskipun belum tepat, alasannya adalah pada abad itu adalah permulaan penerjemahan. Maka pada priode berikutnya ialah pada kurun Abu Ali al-Jubbai (w 235 H) penrjemahan ini bisa dibilang tepat. Mereka sudah menggunakan istilah-istilah filsafat secara menyeluruh mirip al-jauhar, aradh, hulul, dan sebagainya. Pemikiran dan argumentasi merekapun telah berdasarkan filsafat.
Pada kurun ini Mu’tazilah mulai menurun dan akhirnya kalah pada periode Abu Hasyim oleh Abu Hasan al-Asy’ari, murid Al-Jubba’i sendiri. Abu Hasan adalah penganut Mu’tazilah selama lebih dari 40 tahun, pada sebuah ketika beliau tidak puas dengan tanggapan gurunya perihal tentang pertanyannya soal anak kecil, kafir dan mu’min yang meninggal. Iapun meninggalkan Mu’tazilah dan mengenalkan aliran baru.
Pengaruh politk juga sungguh penting dalam kemunduran Mu’tazilah. Pada saat al-Mutawakkil berkuasa (232 H) kemunduran ini makin terlihat. Ini ialah balasan dari perbuatan mereka sendiri, ialah saat al-Ma’mun berkuasa, para Mu’tazilah ini memaksakan faham mereka terhadap orang lain dan orang yang menolak diturunkan dari jabatan politiknya. Kehadian ini tekenal dengan sebutan peristiwa al-Qur’an.
Maka saat al-Mutawakkil berkuasa orang-orang yang diturunkan secara paksa pada periode al-Ma’mun diberikan jabatannya kembali, tentu orang-orang ini balik menyerang Mu’tazilah. Puncak kemunduran Mu’tazilah terjadi pada kurun Mahmud Ghaznawi seorang Sunni bermadzhab Syafi’i berkuasa (361-421). Buku-buku Mu’tazilah dibakar. Meskipun secara biasa Mu’tazilah sudah tidak berjaya lagi tapi ajaran-ajarannya tetap hidup dan melahirkan tokoh-tokoh besar dalam yang banyak berkarya dalam tulisan. Tokoh pertama Mu’tazilah pada era keempat yakni Abdul Jabbar. Pada awalnya beliau belajar fiqh dan hadist kepada imam Syafi’i, tetapi kemudian ia lebih suka belajar perihal Mu’tazilah. Ia menulis sistematika anutan Mu’tazilah dalam karyanya al-Mughni.
2. Aliran Asy’ariyah
Asy’ariyah adalah suatu paham doktrin yang dinisbatkan kepada Abu al-Hasan al-Asy’ari. Beliau lahir di Bashrah tahun 260 H. Bertepatan dengan tahun 935 M. Beliau wafat di Bashrah pada tahun 324 H di usia lebih dari 40 tahun. Al Asy’ari menganut paham Mu’tazilah hanya sampai usia 40 tahun. Setelah itu datang-tiba mengumumkan di hadapan jama’ah masjid Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham Mu’tazilah dan membuktikan keburukan-keburukannya.
Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali al-Jubba’i, salah seorang pembesar Mu’tazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan permasalahan kalam sehingga beliau menguasai betul aneka macam metodenya dan kelak hal itu menjadi senjata baginya untuk membantah kalangan Muktazilah.
Al-Asy’ari yang semula berpaham Mu’tazilah risikonya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber usang bahwa Abul Hasan sudah mengalami kemelut jiwa dan nalar yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Mu’tazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya adalah perdebatan antara dirinya dengan Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).
Sumber lain menyampaikan bahwa sebabnya adalah pada bulan Ramadhan dia berkhayal menyaksikan Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi berulang kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang saat pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui insan memberitahukan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H[14].
Setelah itu, Abdul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela kepercayaan-keyakinan salaf dan menerangkan perilaku-perilaku mereka. Pada fase ini, karya-karyanya memperlihatkan pada pendirian barunya. Dalam kitab al-Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal.
Tahun 912 M al-Asyari menetapkan keluar dari Muktazilah, sesudah bergulat dalam golongan itu selama kurang lebih empat puluh tahun. Kemudian ia merumuskan pandangan teologi (kalam) Islam yang berseberangan dengan pandangan Mu’tazilah. Kelompok al-Asyari ini diketahui dengan Asyariyah.
Pada tahun 935 M al-Asyari wafat. Perjuangannya memperkuat paham Ahlus Sunnah wa al-Jamaah dilanjutkan oleh murid-muridnya. Di antarannya adalah al-Juwaini, al-Ghazali, dan al-Sanusi. Tahun 1028 M lahir seorang tokoh Asyariyah bernama Abdul Malik bin AbduHah bin Yusuf bin Muhammad bin Abdullah bin Hayyuwiyah al-Juwaini al-Nisaburi, atau yang diketahui dengan Al-Juwaini. Ia menjadi pengajar di Madrasah Nizamiyah Nisyapur selama 23 tahun. Madrasah ini mengakibatkan teologi Islam anutan Asyariyah selaku kurikulum resmi. Salah satu murid Al-Juwaini yang populer ialah Al-Ghazali.
Tahun 1058 M, Lahir Abu Hamid al-Ghazali, yang lalu menjadi pembela ajaran Asyariyah paling berpengaruh sepanjang sejarah aliran Islam. Al-Ghazali juga pernah menjadi guru di Madrasah Nizamiyah. Sejak ketika itu ajaran Asyariyah menyebar ke seluruh pelosok dunia Islam, dari Andalusia sampai Indonesia.
Tahun 1427 M. lahir tokoh Asyariyah lainnya, ialah Abu Abdullah Muhammad bin Yusuf as-Sanusi. Imam yang satu ini, punya pengaruh yang besar di Indonesia, khususnya konsepnya wacana sifat Allah dan Rasul-Nya.
Akidah ini menyebar luas pada zaman wazir Nizhamul Muluk pada dinasti Bani Saljuq dan seolah menjadi keyakinan resmi negara. Paham Asy’ariyah makin meningkat lagi pada era keemasan madrasah An-Nidzamiyah, baik yang ada di Baghdad maupun di kota Naisabur. Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad adalah universitas paling besar di dunia. Didukung oleh para petinggi negeri itu mirip Al-Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud Zanki serta sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Juga didukung oleh sejumlah besar ulama, khususnya para fuqaha mazhab asy-Syafi’i dan mazhab al-Malikiyah masa simpulan-final. Sehingga masuk akal sekali jikalau dibilang bahwa iktikad Asy-‘ariyah ini adalah doktrin yang paling populer dan tersebar di seluruh dunia[15].
3. Aliran Maturidiyah
Golongan Maturidiyah berasal dari Abu al-Mansur al-Maturidi. Latar belakang lahirnya ajaran ini nyaris sama dengan fatwa Asy’ariyah, ialah selaku reaksi penolakan kepada pemikiran Mu’tazilah, meskipun bantu-membantu persepsi keagamaan yang dianutnya nyaris sama dengan pandangan Mu’tazilah ialah lebih menonjolkan nalar dalam system teologinya.
Abu Manshur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturudi lahir di Samarkand pada pertengahan ke dua aasehi dan meninggal di tahun 944 M. Tidak banyak diketahui perihal riwayat hidupnya. Ia ialah pengikut Abu Hanifah dan paham-paham teologinya banyak persamaannya dengan paham-paham yang dimajukan Abu Hanifah. Sistem aliran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur termasuk dalam golongan teologi hebat sunnah dan diketahui dengan al-Maturidiah[16].
Abu Mansur al-Maturidi mencari ilmu pada pertiga terakhir dari periode ke tiga hijirah, di mana fatwa Mu’tazilah telah mengalami kemundurannya, dan di antara gurunya ialah Nasr bin Yahya al-Balakhi (wafat 268 H). Negeri Samarkand pada ketika itu merupakan tempat diskusi dalam ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Diskusi di bidang fiqh berjalan antara pendukung mazhab Hanafi dan pendukung mazhab Syafi’i.
Selain itu, ajaran Maturidiyah merupakan salah satu dari sekte Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah yang tampil bareng dengan Asy’ariah. Kedua pemikiran ini datang untuk menyanggupi kebutuhan mendesak yang menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstrimitas kaum rasionalis di mana yang berada di barisan paling depan adalah Mu’tazilah, maupun ekstrimitas kaum tekstualis di mana yang berada di barisan paling depan adalah kaum Hanabillah (para pengikut Imam Ibnu Hambal).
Pada mulanya antara kedua pedoman ini (Maturidiyah dan Asy’ariyah) dipisahkan oleh jarak, anutan Asy’ariyah di Irak dan Syam (Suriah) lalu meluas ke Mesir, sedangkan aliran Maturidiyah di Samarkand dan di kawasan-tempat di seberang sungai (Oxus-pen). Kedua ajaran ini mampu hidup dalam lingkungan yang kompleks dan membentuk satu mazhab. Nampak jelas bahwa perbedaan sudut pandang tentang problem-duduk perkara Fiqh kedua pedoman ini ialah faktor pendorong untuk berlomba dan survive. Orang-orang Hanafiah (para pengikut Imam Hanafi) membentengi ajaran Maturidiyah, dan para pengikut Imam al-Syafi’I dan Imam al-Malik mendukung kaum Asy’ariyah[17].
Memang ajaran Asy’ariyah lebih dahulu menentang paham-paham dari pedoman Mu’tazilah. Seperti yang kita pahami, al-Maturidi lahir dan hidup di tengah-tengah iklim keagamaan yang sarat dengan pertentangan pertimbangan antara Mu’tazilah (fatwa teologi yang amat mementingkan logika dan dalam mengerti anutan agama) dan Asy’ariyah (fatwa yang menerima rasional dan dalil wahyu) sekitar problem kemampuan logika insan. Maka dari itu, al-Maturidi melibatkan diri dalam pertentangan itu dengan mengajukan aliran sendiri. Pemikirannya itu ialah jalan tengah antara anutan Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Kerana itu juga, ajaran Maturiyah sering disebut “berada antara teologi Mu’tazilah dan Asy’ariyah”.
Salah satu pengikut penting dari al-Maturidi ialah Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi (421-493 H). Nenek al-Bazdawi ialah murid dari al-Maturidi, dan al-Bazdawi mengetahui fatwa-aliran al-Maturidi dari orang tuanya. Al-bazdawi sendiri mempunyai murid-murid dan salah seorang dari mereka adalah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (460-537 H).
Walaupun rancangan ajaran al-Bazdawi bersumber dari fatwa al-Maturudi, tapi terdapat aliran-fatwa al-Bazdawi yang tidak sefaham dengan al-Maturudi. Antara ke dua pemuka fatwa Maturidiyah ini, terdapat perbedaan faham sehingga boleh dibilang bahwa dalam pedoman Maturidiyah terdapat dua golongan, adalah golongan Samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri, dan golongan Bukhara yaitu pengikut-pengikut al-Bazdawi.
Pada awalnya, anutan ini masih teguh pada satu kiblat yakni fatwa-pemikiran dari pendirinya (al-Maturidi). Namun jauh sesudah al-Maturidi meninggal, yaitu cucu dari salah seorang murid al-Maturidi, al-Bazdawi memperlihatkan pemahaman yang bertentangan dengan pedoman-ajaran al-Maturidi. Sehingga banyak hal-hal yang berbeda dalam desain fatwa yang diberikan oleh pendirinya dengan pemikiran al-Bazdawi itu sendiri. Maka dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut, anutan Maturidiyah terpecah menjadi dua kalangan besar ialah pengikut setia al-Maturidi yang kesannya disebut Maturidiyah Samarkand[18].
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Aliran-anutan yang bercorak teologi rasional di anut oleh kaum Mu’tazilah dan Maturidiah Samarkand. Secara bahasa perumpamaan Mu’tazilah berasal dari akar kata I’tazala, yang memiliki arti memisahkan diri. Namun dalam asal-usul penamaan Mu’tazilah dalam ajaran kalam, ada beberapa teori yang berlawanan.
Aliran bercorak teologi tradisional dianut oleh kaum Asy’ariyah dan Maturidiah Bukhara. Teologi Asy’ariyah dibangun oleh Abu Hasan Ali ibn Ismail bin Ishaq bin Salim bin Isma;il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa al-Asy’ari yang lahir di Bashrah pada tahun 875 M dan wafat di Baghdad pada tahun 935 M. Pada awalnya beliau adalah murid al-Jubbai dan termasuk salah seorang yang ternama dalam golongan Mu’tazilah.
Teologi yang bercorak antara rasional dan tradisonal di sini tujuannya bukanlah memadukan dua corak, rasional dan tradisonal, namun sebuah pemikiran yang pengikut alirannya terbagi dua, golongan pertama mengikuti corak rasional dan yang lain mengikuti corak tradisional. Aliran yang bercorak antra rasional dan tradisional ini yakni ajaran al-Maturidiyah.
B. Saran
Disadari bahwa cakupan pembahasan Ilmu kalam dalam makalah ini spenuhnya belumlah menampung dan menguraikan hal-hal yang menjadi sub topik pembahasan yang telah ditetapkan dalam silabus mata kuliah Studi Pemikiran Islam. Akan tetapi kiranya pembahasan ini mampu menjadi kerikil loncatan dan bahan pembuka ihwal, nasehat dan alasan yang logis-konstruktif dari para pembaca, sehingga apa yang menjadi sasaran dari penulisan makalah ini untuk mampu menjadi karya ilmiah yang memiliki kualitas keilmuan yang baik dapat diraih dengan baik. Amin
[2] Ibid., h. 51
[3] Alkhendra, Pemikiran Kalam, (Bandung: Alfabeta, 2000), h. 48
[4] Harun Nasution, Teologi Islam Alira-pedoman Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), h. 38
[5] Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf (Dirasah Islamiyah IV), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998), h. 75
[6] Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan ‘Aqidah, (Jakarta: Logos, 1996), h. 150
[7] Ermagusti, Op. Cit., h.47
[8] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya ,(Jakarta: UI-Preaa, 1979), Jilid II, h. 43
[9] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2003), h. 120
[10] Abuddin Nata, Op. Cit., h. 72
[11] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 80-81
[12] Harun Nasuiton, Op. Cit., h. 53
[13] Tsuroya Kiswati, Al-Juwaini Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, (Jakarta: Erlangga, 2005), h. 9
[14] Ibrahim Madkour, Op. Cit., h. 66-67
[15]file:///C:/Users/Acer/Documents/Makalah%20Sejarah%20Pemikiran%20Islam%20_%20Ambi%20Ricko%20-%20Academia.edu.htm
[16] Imam Muhammad Abu Zahrah, Op. Cit., h. 207
[17] Ibrahim Madkour, Op. Cit., h. 80-81