Pmikiran Imam Al Ghazali Dan Ibn Rusd

PENDAHULUAN
Menyaksikan perkembangan peradaban Barat yang fenomenal dan spektakuler

, pencapaian peradaban Barat kini ini mampu digolongkan puncak peradaban umat manusia yang pernah diraih sepanjang sejarah. Ilmu wawasan dan teknologi mutakhir merupakan dua produk peradaban yang sudah diraih bangsa Barat yang bisa menyanggupi kebutuhan hidup umat manusia. Sejak Revolusi Industri di Inggris era ke-16 dan Revolusi Prancis pada tahun 1789, Barat bergerak maju bagaikan anak panah yang dilepaskan dari busurnya.

Perkembangan peradaban itu terus melaju pesat meninggalkan peradaban bangsa Timur yang memang sejalan dengan misi mereka yakni menciptakan atau mengakibatkan dunia Islam tidak mempunyai tugas penting dalam mencoraki arus sejarah global. Menurut Dr. H. Saiful Anwar, MA, tejadinya kesenjangan corak dan laju pertumbuhan antara Barat dan Timur Islami itu timbul dari alasannya-alasannya adalah yang komplek. Salah satunya seringnya dikaitkan dengan cerita pertarungan antara “agama” dan filsafat yang dimenangkan kubu pertama.[1]
Di segi lain berdasarkan A. Syafi’i Ma’bakir, alasannya kekecewaan para ilmuwan Barat terhadap iman-iktikad Gereja pada abad pertengahan , mereka alhasil melawan dogma-kepercayaan tersebut. Perlawanan itu begitu sengit, bahkan melebihi batas. Deskartes contohnya, tanpa ragu mengatakan bahwa budpekerti dan dogma tidak ada sangkut pautnya dengan pikiran sehat (reason). Sementara Machiavelli (1467 – 1527), seorang filosof politik Italia yang telah apalagi dahulu memproklamasikan terpisahnya adab dengan politik.[2]
Abu Hamid al-Ghazali (450 – 505 H/1058 – 1111 M) ialah salah seorang filosof yang melontarkan sanggahan hebat keras terhadap fatwa para filosof. Kritik pedas tersebut dia tuangkan dalam bukunya yang populer Tahafut al-Falasifat (The Inkoherence of the fhilosopher; Kerancuan Pemikir Para Filosof).[3] Disatu pihak, al-Ghazali mendapat gelar Hujjatul Islam (Argumen Islam), dan dinyatakan oleh Ibn ‘Asakir sebagai Mujahid (Pembaharu) Islam masa ke-5 H. tak aneh bila beliau menduduki posisi penting di dunia Islam sepanjang sejarah hidupnya.[4] Sejak abad ke-13 M dunia Islam lebih didominasi kalam dan sufisme sehingga emperisme terhambat pekembangannya
Karya al-Ghazali yang sungguh monumental ialah Tahafut al-Falasifah yang berisikan serangan terhadap kerancuan berfikir para filosof yang secara lahiriah ditandingi dan disangkal oleh Ibn Rusyd melalui bukunya Tahafut al-Tahafut. Sebagai seorang filosof, Ibn Rusyd merasa perlu membela para filosof dan pemikiran mereka serta mendudukkan persoalan-dilema tersebut pada proporsinya. Melalui karyanya yang berjudul Tahafut al-Tahafut, seperti Ibn Rusyd sudah mengisyaratkan bahwa al-Ghazali-lah yang sesungguhnya semrawut dalam berpikirnya.[5]
PEMBAHASAN
  1. Al-Ghazali
a.      Riwayat Hidup al-Ghazali
Nama lengkapnya yakni Abu Hamid Muhammad bin Ahmad al-Ghazali al-Thsusi. Ia dilahirkan pada tahun 450 H bertepatan dengan tahun 1058 M di Ghazal, Thus, Provinsi Khurasan, Republik Islam Iran.[6] Sebagaimana telah di nukilkan oleh Ahmad Syafi’i Ma’cendekia dalam bukunya Peta Bumi Intelektual Muslim di Indonesia bahwa tahun kelahiran al-Ghazali bertepatan dengan tahun meninggalnya al-Mawardi, seorang yuris Abbasiyah yang sungguh kenamaan. Perbedaan antara dua ulama besar ini ialah al-Mawardi dikenal selaku yuris dan diplomat yang ingin mengembalikan wibawa politik Abbasiyah yang telah berantakan  melalui bukunya yang berjudul al-Ahkam al-Sulthaniyah, al-Ghazali  dalam pengembaraan intelektualnya ternyata telah menukik jauh ke alam esoteris dengan kemampuan sufistik yang luar biasa.[7]
Pada kurun kecilnya al-Ghazali mencar ilmu terhadap Yusuf al-Nassaj, seorang guru sufi kenamaan ketika itu. Sepeninggal gurunya ini, al-Ghazali berguru terhadap Ahmad Ibn Muhammad al-Razakanya al-Thusi dan dilanjutkan kepada Abu Nashral-Isma’ily di Jurdan dan kesannya beliau masuk ke sekolah Nizhamiyah di Naisabur yang dipimpin oleh imam al-Haramaini (Imam dua kota haram: Makkah dan Madinah), dari beliaulah al-Ghazali belajar wawasan mirip ilmu fiqh, ilmu kalam dan ilmu nalar.[8]
Pada sekolah ini pulalah al-Ghazali belajar teiri dan praktek tasawuf terhadap Abu Ali al-Fadhl Ibn Muhammad Ibn Ali al-Farmadhi (w.477 H). dengan demikian, semakin lengkaplah ilmu yang diterimanya selama di Naisabur dan di sekolah ini pulalah beliau diangkat menjadi dosen dalam usia 25 tahun. Setelah gurunya, al-Juwaini wafat, al-Ghazali ke Mu’askar dan berafiliasi baik dengan Nizham al-Mulk, Perdana Mentri Sultan Bani Saljuk.[9]
Dalam hidupnya al-Ghazali pernah mengalami suatu masa keragu-raguan. Dalam perjalanan hidupnya untuk mencari kebenaran al-Ghazali mempelajari teology ternyata dalam teology tersebut banyak terdapat pertentangan-kontradiksi. Kemudian dipelajarinya filsafat ternyata tidak memiliki argument yang kuat bahkan ada hal-hal yang berlawanan dengan agama. Akhirnya dia memperoleh kebenaran yang dicarinya dalam tasawuf.[10] Sirajudin Zar menukilkan sesudah al-Ghazali mengalami keragu-raguan tersebut, beliau meninggalkan semua jabatan yang disandangnya, seperti rektor dan guru besar di Baghdad, kemudian ia mengembara ke Damaskus. Di Masjid Jami’ Damaskus ia mengisolasi diri (uzlah) untuk beribadah, kontemplasi, dan sufistik yang berjalan selama dua tahun.[11]
Setelah sembuh dari penyakit rohaninya, al-Ghazali kembali memimpin Perguruan Tinggi Nizhamiyah di Bagdad, kemudian ia pulang ke Thus dan membangun sebuah madrasah Khan-kah (semacam daerah praktik suluk). Al-Ghazali diberi gelar kehormatan dengan Hujjat al-Islam (Argumentasi Islam).[12] Semasa mendalami filsafat, dia memperoleh banyak terdapat kekurangan di dalamnya bahkan menurut keyakinannya banyak fatwa filsafat yang bertentangan dengan fatwa Islam bahkan ajaran filsafat kelihatan meremehkan ajaran Islam. Maka tidak aneh jika dirinya terpanggil untuk membantah ulama melalui bukunya yang berjudul “Tahafut al-Falasifah” (kesemrawutan aliran filosof-filosof). Sasaran kritik al-Ghazali dalam bukunya itu utamanya ditujukan kepada filosof-filosof Islam al-Farabi dan Ibnu Sina. Pandangan kedua orang filosof tersebut berdasarkan keyainannya banyak menyimpang dari pokok-pokok fatwa Islam. Tujuan al-Ghazali dengan kritiknya itu yakni untuk mengembalikan kewajiban syari’at agama dan menyelamatkan aqidah ahlussunnah.[13]
Ia wafat pada hari senin, 14 Jumadil tamat 505 H / 18 Desember 1111 M, dimakamkan di Tabaran, Thus, dan kuburannya banyak diziarahi oleh orang-orang. Menurut laporan adiknya, Ahmad al-Ghazali, al-Ghazali wafat sehabis berwudu shalat shubuh.[14]
Sosok al-Ghazali memiliki keistimewaan yang hebat, ia seorang ulama, pendidik, ahli fikir dalam ilmunya, dan pengarang yang produktif. Al-Ghazali berbagai meninggalkan warisan dalam bentuk karya ilmiah yang banyak menawarkan kontribusi konkret bagi pedoman umat Islam mirip Ihya Ulum al-Din, Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, Maqasid al-Falasifah, Tahafut al-Falasifah, Al-Munqiz min al-Dhalal, Mizan al-‘Amal.[15]
Pemaparan singkat di atas menggambarkan bahwa al-Ghazali sudah menempuh jalan yang panjang dan berliku dalam proses mengisi intelektualnya, bahkan boleh dikatakan semua disiplin ilmu disentuhnya dan memahami betul dengan keilmuannya terbukti dengan banyaknya warisan berbentukkarya ilmiah yang dia lewati untuk umat, tetapi tiada gading yang tidak retak, kelihatannya hal ini cukup proporsional untuk menggambarkan bahwa cukup banyak tokoh dan ilmuan yang memberikan komentar terhadapnya baik berupa kebanggaan hingga ke tingkat kultus, dan kritik hingga ke tingkat alergi, baik pada zaman klasik maupun pada zaman terbaru. Pada sub bahasan bagian ini akan dibahas salah seorang tokoh dan pemikirannya yang mengkritik al-Ghazali yaitu Ibnu Rusyd.
b.      Kritik Terhadap Filosof
Al-Gahazali melontarkan sanggahan luar biasa keras terhadap pemikiran para filosof. Adapun yang dimaksud dengan filosof dalam bahasan al-Ghazali ini adalah Aristoteles dan Plato[16] juga al-Farabi dan Ibn Sina alasannya adalah kedua filosof Muslim ini dipandang al-Ghazali sangat bertanggung jawab dalam menerima dan menyebarluaskan fatwa filosofis dari Yunani (Sokrates, Aristoteles, dan Plato) di dunia Islam. Kritik pedas tersebut dia tuangkan dalam bukunya yang populer Tahafut al-Falasifah (Kerancuan berpikir para filosof). Sebelumnya, dia mempelajari filsafat tanpa derma seorang gurupun dalam kala waktu dua tahun. Setelah berhasil dihayatinya dengan seksama, lalu dia tuangkan dalam bukunya Maqasid al-Falasifat (Tujuan Pemikiran Para Filosof). Dengan adanya buku ini ada orang yang mengatakan bahwa dia betul-betul menguasai argument yang dipergunakan oleh para filosof.[17]
Kesalahan para filosof tersebut dalam bidang ketuhanan ada 20 problem, ialah:[18]
1.      Membatalkan usulan mereka bahwa ala mini azali
2.      Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini kekal
3.      Menjelaskan keragu-raguan mereka bahwa Allahlah Pencipta alam semesta dan bahu-membahu alam ini diciptakanNya.
4.      Menjelaskan kelemahan mereka dalam menandakan Yang Maha Pencipta
5.      Menjelaskan kekurangan mereka dalam menetapkan dalil bahwa mustahil adanya dua Tuhan
6.      Membatalkan pertimbangan mereka bahwa Allah tidak memiliki sifat
7.      Membatalkan usulan mereka bahwa Allah tidak terbagi terhadap ke dalam al-jins dan al-fashl (diffirentia)
8.      Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah mempunyai substansi basith (simple) dan tidak mempunyai mahiyat (hakikat)
9.      Menjelaskan kekurangan pertimbangan mereka bahwa Allah tidah berjism
10.  Menjelaskan kelemahan usulan mereka perihal al-dahr (baka dalam arti tidak berawal dan tidak selsai)
11.  Menjelaskan kekurangan usulan mereka bahwa Allah mengetahui yang selain mereka
12.  Menjelaskan kekurangan pendapat mereka dalam menandakan bahwa allah cuma mengetahui zatnya
13.  Membatalkan pertimbangan mereka bahwa Allah tidak mengetahui juz’iyyat
14.  Menjelaskan pendapat mereka bahwa planet-planet yakni binatang yang bergerak dengan kemauanNya
15.  Membatalkan apa yang mereka sebutkan ihwal tujuan penggerak dari planet-planet
16.  Membatalkan pendapat mereka bahwa planet-planet mengenali semua juz’iyyat
17.  Membatalkan pertimbangan mereka yang mengatakan bahwa mustahil terjadinya sesuatu di luar hokum alam
18.  Menjelaskan usulan mereka bahwa roh manusia yaitu jauhar (substansi) yang berdiri sendiri tidak mempunyai badan
19.  Menjelaskan pertimbangan mereka yang menyatakan wacana mustahilnya fana (lenyap) sifat manusia
20.  Membatalkan usulan mereka yang menyatakan bahwa badan tudak akan dibangkitkan dan yang mau mendapatkan kesenangan dalam nirwana dan kepedihan dalam neraka hanya roh
Tiga dari 20 duduk perkara di atas, menurut al-Ghazali telah menciptakan filosof menjadi kafir, adalah:
1.      Alam dan Semua Substansinya Qadim
Pada biasanya filosof Muslim berpendapat bahwa alam ini kadim, artinya wujud alam berbarengan dengan wujud Allah. Kekadiman Allah dari alam cuma dari segi zat (taqaddum zaty) dan tidak dari segi makan (taqadum makany). Menurutnya para filosof Muslim mengemukakan argumentasi .
a.       Mustahil timbulnya yang baharu dari yang qadim. Jika Allah kadim, maka terjadinya alam merupakan sesuatu keniscayaan dan hal ini akan menyebabkan kadim kedua-duanya (Allah dan alam). Jika diandaikan Allah yang kadim sudah ada, sedangkan alam belum, sebab merupakan kemungkinan semata, dan sesudah itu alam diadakanNya, maka apa sebab bahwa alam diadakan sekarang, tidak sebelumnya. Kalau dibilang sebelumnya motifnya (murajjihnya) belum ada, mengapa gres ada sekarang, tidak sebelumnya? Jika dibilang kekuasaan gres ada sekarang, tidak sebelumnya? Bagaimana terjadinya kekuasaan itu. Jika dikatakan sebelumnya Allah tidak berkehendak (iradath) dan baru kemudian berkehendak, mengapa terjadi kehendak itu, apakah keinginanitu tiba dari zatNya atau dari luar zatNya? Keduanya itu yaitu tidak mungkin bagi alasannya adalah Allah tidak mengalami perubahan.
Al-hazali menjawab sendiri argument filosof Muslim ini dengan mengemukakan, tidak ada halangan apapun bagi Allah menciptakan alam sejak azali dengan iradatNya yang kadim pada waktu diadakanNya. Sementara itu, ketiadaan wujud alam sebelumnya alasannya memang belum dikehendakiNya. Iradat, menurut al-Ghazali adalah sebuah sifat bagi Allah yang berfungsi membedakan (menentukan) sesuatu dari yang lain yang sama. Jika tidak demikian fungsinya, pasti bagi Allah cukup saja dengan sifat qudrat. Akan tetapi, alasannya adalah sifat qudrat antara mencipta dan tidaknya sama kedudukannya, harus ada sifat khusus yang membedakannya, yaitu sifat iradah. Andaikan para filosof Muslim menilai sifat tersebut tidak tepat disebut selaku iradat, mampu diberi nama lain asal itu yang dimaksud atau dengan arti sama. Sekedar ungkapan tidak butuhdiperdebatkan, yang penting adalah isinya.[19] Oleh alasannya itu jikalau Allah memutuskan ciptaanNya pada satu waktu dan tidak pada waktu lainnya, tidaklah tidak mungkin terciptanya sesuatu yang gres dari yang bersifat kadim alasannya adalah iradat Allah bersifat mutlak dan tidak dihalangi oleh ruang dan waktu.[20]
b.      Keterdahuluan wujud Allah dari alam hanya dari sisi esensi (taqaddum zaty), sedangkan dari sisi zaman  (taqaddum zamany) antara keduanya ialah sama. Hal ini sama seeperti keterdahuluan bilangan satu dari dua. Jika demikian kondisi antara Allah dan alam, harus keduanya kadim atau baharu dan mustahil salah satunya kadim dan yang lainnya baharu. Andaikan Allah mendahului alam dari segi zaman, bukan dari segi zat, ini memiliki arti ada zaman sebelum alam diwujudkan. Pada waktu itu alam mesti belum ada karena ketiadaan lewat wujud. Oleh karena itu, Allah mendahului zaman terbatas pada satu sisi dan tidak terbatas pada segi awal. Ini mempunyai arti sebelum ada zaman sudah ada zaman yang tidak terbatas akibatnya. Hal ini paradok, justru itu mustahil zaman selaku ukuran gerak baharu dan beliau harus kadim.s
Persoalan ini dijawab oleh al-Ghazali, memang wujud Allah lebih dulu dari alam dan zaman. Zaman baharu dan diciptakan. Sebelum zaman diciptakan tidak ada zaman. Pertama kali ada Allah, kemudian ada alam karena diciptakan Allah. Jadi, dalam keadaan pertama kita bayangkan adanya Allah saja, dan dalam keadaan yang kedua kita bayangkan ada dua esensi ialah Allah dan alam dan tidak butuhmembayangkan adanya esensi yang ketiga, adalah zaman. Zaman adanya sesudah adanya alam alasannya adalah zaman merupakan ukuran waktu yang terjadi di alam.[21] Menurut al-Ghazali, mengandaikan zaman sebelum zaman ialah khayalan fikiran semata, yang diassumsikan sungguh-sungguh ada, padahal realitanya tidak sama sekali.[22]
c.       Alam sebelum ada ialah sesuatu yang mungkin, kemungkinan ini tidak ada mulanya, dengan arti senantiasa awet.
Menurut al-Ghazali, ala mini senantiasa mungkin terjadinya, dan setiap saat mampu digambarkan terjadinya. Jika dibilang bahwa alam ini selama lamanya (kadim) tentu dia tidak baharu. Kenyataan ini terang tidak berlawanan dengan realita dan tidak sesuai dengan teori kemungkinan.[23] Yang kadim menurut persepsi al-Ghazali hanya Allah, sedangkan selain Allah ialah baharu (hadis). Implikasi dari pemahaman ini akan membawa pada:
          Paham syirik, alasannya banyak yang kadim, banyaknya Tuhan
          Paham atheisme, alam yang kadim tidak ada pencipta[24]
Menurut Sirajudin Zar, problem alam apakah diakadan dari ada atau dari ketiadaan dan prosesnya tidak dijelaskan dalam al-Qur’an . oleh alasannya adalah itu, apa pun pendapat yang dikemukakan tidak berlawanan dengan al-Qur’an dan itu semua ialah hasil pemahaman seseorang terhadap aliran al-Qur’an  yang disebut dengan hasil ijtihad dan itu bukan pedoman al-Qur’an yang dihentikan berganti dan dihentikan diubah.[25]
2.      Allah tidak mengetahui yang juz’iyyah (perincian) yang terjadi di alam
Menurut para filosof bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal atau peristiwa yang terjadi di alam, kecuali cuma yang umum saja. Alasan yang mereka kemukakan sesuatu yang baharu itu dengan segala peristiwanya selalu berubah-ubah, sedangkan ilmu selalu mengikuti terhadap yang diketahui (objeknya), yakni pergantian kasus yang diketahui, mengakibatkan perubahan ilmu. Kalau ilmu-ilmu ini berubah dari tahu menjadi tidak atau sebaliknya berart Tuhan mengalami pergeseran, sedangkan pergantian pada zat Tuhan mustahil terjadinya.[26]
Menurut al-Ghazali, argument mirip ini merupakan kesalahan fatal. Perubahan pada objek ilmu tidak menenteng perubahan pada ilmu, sebab ilmu merupakan idhafah (sesuatu rangkaian yang bekerjasama dengan zat). Jika ilmu berubah tidak menenteng pergantian pada zat, dengan arti kondisi orang yang mempunyai ilmu tidak berubah. Untuk memperkuat argumentnya, al-Ghazali mengemukakan ayat-ayat al-Qur’an, diantaranya:
a.       Firman Allah dalam Qs. Yunus (10):61
Artinya: “…… tidak luput dari wawasan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang aktual (Lauh Mahfuzh).
Artinya: “Katakanlah: “…dan  Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha mengenali segala sesuatu?”
Sebenarnya terdapat kesamaan antara al-Ghazali dan filosof Muslim, bahwa ilmu dan zat Allah tidak mungkin mengalami perubahan dan Allah Maha Mengetahui. Perbedaan mereka cuma terletak pada persoalan bagaimana Allah megetahui yang juz’iyyah. Filosof mengemukakan bahwa Allah mengetahui yang juz’iyyah (parsial) lewat yang kulli (lazim). Hal ini terjadi disebabkan perbedaan mereka dalam memutuskan sifat dan zat Tuhan. Para filosof mengidentikkan dengan sifat dan zat, sementara al-Ghazali membedakan antara sifat dan zatnya. Pendapat filosof Muslim tidak berlawanan dengan ayat-ayat yang sudah dikemukakan oleh al-Ghazali di atas. Mereka cuma menjelaskan bagaimana cara Allah mengetahui yang juz’iyyah dan mereka bukan mengingkari Allah ihwal mengetahui yang juz’iyyah.[27]
3.      Pembangkitan jasmani tidak ada
Menurut filosof Muslim yng akan dibangkitkan di akhirat nanti yaitu rohani saja, sedangkan jasmani akan hancur. Makara yang mau mencicipi kebahagiaan atau kepedihan yaitu rohani saja. Al-Ghazali pada dasarnya tidak menolak adanya bermacam-macam kelezatan di darul baka yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelezatan di dunia empiris/indrawati. Juga tidak menolak kekekalan roh setelah berpisah dari jasad, semua itu dapat dikenali dari otoritas dari jasad. Akan tetapi dia membantah bahwa akal saja dapat memberikan pengetahuan selesai dalam masalah metafisika. Dalam menyanggah usulan para filosof ini al-Ghazali lebih banyak bersandar pada arti tekstualitas al-Qur’an. Tidak ada alasan untuk menolak terjadinya kebahagiaan atau kesengsaraan fisik dan rohani secara serentak. [28]
Para filosof Muslim beropini bahwa tidak mungkin mengembalikan rohani kepada jasad semula, dengan berpiahnya jasad dengan roh memiliki arti kehidupan telah berakhir dan badan sudah hancur. Sedangkan berdasarkan al-Ghazali kekalnya jiwa sehabis mati tidak berlawanan dengan anutan agama Islam. Hadis-hadis menyebutkan pula bahwa roh-roh insan mencicipi adanya kebaikan atau siksa kubur dan lain-lain. Semua ini selaku indikasi adanya kekekalan jiwa. Sementara itu, kebangkitan jasmani secara explisit sudah ditegaskan oleh syara’.[29]
Makara pertentangan yang terjadi antara filosof Muslim dengan al-Ghazali hanya berkisar pada tataran interpretasi perihal dasar-dasar ajaran Islam yakni pada bentuk kebangkitan di alam baka, bukan pertentangan pada dasar-dasar Islam itu sendiri, adalah kebangkitan di alam baka.[30]
  1. Ibn Rusyd
a.      Biografi
Ibnu Rusyd yaitu salah seorang yang paling diketahui dunia Barat dan Timur. Nama lengkapnya Abu al-Walid Muhammad ibnu Ahmad Ibnu Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ahmad ibnu rusyd, lahir di Cordova, Andalus pada tahun 520 H/ 1126 M, sekitar 15 tahun sesudah wafatnya abu Hamid al-Ghazali. Ia ditulis sebagai satu-satunya filsuf Islam yang berkembang dan meningkat dalam keluarga yang semuanya menjadi fuqaha? dan hakim. Ayahnya dan kakeknya menjadi hakim-hakim agung di Andalusia. Ibnu Rusyd sendiri menjabat hakim di Sevilla dan Cordova pada dikala terjadi relasi politik yang penting antara Andalusia dengan Marakasy, pada kurun Khalifah al-Manshur.[31]
Tidak hanya seorang ilmuan terpandang, dia juga ikut ke medan perang melawan Alphonse, raja Argon. Khalifah begitu menghormati Ibnu Rusyd melebihi penghormatannya pada para pejabat daulah al-Muwahhidun dan ulama-ulama yang ada masa itu. Walau pun demikian Ibnu Rusyd tetap menjadi orang yang rendah hati, beliau memperlihatkan diri secara akil sepantasnya seorang guru dalam memberi petunjuk dan pengajaran pada umat. Hubungan bersahabat dengan Khalifah segera berakhir, sesudah Khalifah menyingkirkannya dari bahagian kekuasaan di Cordova dan buku-buku karyanya pernah ditugaskan Khalifah untuk dimusnahkan kecuali yang berkaitan dengan ilmu-ilmu murni saja. Ibnu Rusyd mengalami hidup pengasingan di Yasyanah.[32] Tindakan Khalifah ini menurut Nurcholish Madjid, cuma berdasarkan perhitungan politis, dimana situasi tidak kondusif dimanfaatkan oleh para ulama konservatif dengan kebencian dan kecemburuan yang terpendam kepada kedudukan Ibnu Rusyd yang tinggi.[33]
Di dunia Barat dia disebut dengan Averrois, sebutan ini bantu-membantu lebih pantas untuk kakeknya. Menurut Sirajuddin Zar istilah ini yaitu akibat terjadinya metamorfose Yahudi-Spanyol-Latin. Kata Arab Ibnu oleh orang Yahudi diucapkan mirip kata Ibrani Aben, sedangkan dalam tolok ukur Latin Rusyd menjadi Rochd. Dengan demikian, nama Ibnu Rusyd menjadi Aben Rochd, maka melalui asimilasi abjad-aksara konsonan dan penambahan sisipan sehingga hasilnya menjadi Averrois.[34] Dari Averrois ini muncul sebuah golongan pengikut Ibnu Rusyd dalam bidang filsafat yang menamakan diri Averroisme. Dalam bidang ini, Ibnu Rusyd memang pertanda diri sangat andal dan terhormat, penjelasan-penjelasannya tentang filsafat dan komentarnya kepada filsafat Aristoteles dinilai yang paling tepat dan tidak ada tandingannya. Sebab itu ada yang menamakannya sebagai guru kedua (bukan al-Farabi), sesudah guru pertama Sang Filosof atau Aristoteles.
Pengalaman pahit dan kegetiran hidup Ibnu Rusyd menurut Sirajudin tidak berjalan usang (satu tahun). Pada tahun 1197 M, khalifah mencabut hukumannya dan posisinya direhabilitasi kembali. Tidak usang menikmati hal tersebut, ia meninggal pada tanggal 10 Desember 1198 M / 09 Shafar 595 H di Marakesh dalam usia 72 tahun berdasarkan perkiraan Masehi dan 75 tahun menurut perkiraan tahun Hijrah.[35]
b.      Jawaban Terhadap Sanggahan Al-Ghazali
Menurut Al-Ghazali dalam kitab Al-Munqidz min Ad-Dlolal, Filosof terbagi menjadi 3 kalangan adalah kelompok Dahriyyin (materealis), Thobiiyyin (Naturalis) Ilahiyyin ( ketuhanan).[36] Filosof ilahiyyin mirip Socrates, Plato dan Aristoteles telah menafikan menyangkal dua kelompok filosof sebelumnya. Filsafat mereka dibawa dan dikembangkan oleh al-Farabi dan Ibnu Sina dan disebarluaskan di dunia Islam. Selanjutnya filsafat tersebut oleh al-Ghazali ada yang diterima adalah yang menyengkut metematika, fisika, kimia, dan lain-lain, sedang yang menyangkut ketuhanan ditolak dengan dianggap sebagai bid’ah (heteredoksi) bahkan kufur, sebagaimana ia tulis dalam  kitab tahafutul falasifah, ia menatap para filosof sebagai Ahl–Al-Bid’ah, bahkan kafir. Kesalahan para filosof dalam bidang ketuhanan ada duapuluh poin, tiga diantaranya menimbulkan mereka menjadi kafir[37] adalah; masalah qadimnya alam, dilema ketidak tahuan Asllah ihwal hal-hal juz’iyyat, dan dilema kebangkitan manusia bukan secara jasmani, namun hanya ruhani.
1.      Masalah Qadimnya Alam
Menurut Al-Ghazali Alam diciptakan dari tiada menjadi ada. Pemikiran seperti inilah yang memutuskan adanya pencipta. Yang ada tidak perlu kepada yang menyelenggarakan. Sementara filosof muslim memandang bahwa alam ini sudah ada semenjak zaman azali Allah menciptakabn alam ini bukan dari tiada tetapi dari ada.[38]
Menurut Ibnu Rusyd tidak ada ialah tidak ada, ada yaitu ada, masing-masing tidak bisa mengambil alih posisi lainnya, tidak mungkin bagi Allah mencipta sesuatu yang tiada. Kaprikornus Allah mencipta alam bukan dari tiada, tapi dari ada, Allah merubah bentuk menjadi alam mirip ini, Ibnu Rusyd menyandarkan pendapatnya ini dengan Qs Al-Anbiya: 30
أولم يرى الذين كفروا أن السموات والأرض كانتا رتقا ففتقناهما،وجعلنامن الماء كل شيئ حي، أفلايؤمنون
Artinya : Dan apakah orang oyang yang kafir tidak mengenali sebetulnya langit dan bumi keduanya dahulu yakni suatu yang padu. Kemudian kami pisahkan antara keduanya. Dan air, kami jadikan segala sesuatu yang hidup, maka mengapakah mereka tiada juga beriman.(Qs Al-Anbiya: 30)
Juga firman Allah dalam Qs. Hud: 7
وهو الذي خلق السموات والأرض في ستة أيام وكان عرشه على الماء ليبلوكم أيكم أحسن عملا,
Artinya : Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam periode, dan yakni arsyNya diatas air, agar beliau menguji siapakah diantara kau yang lebih baik amalnya.(Qs. Hud: 7)
Dan firman Allah dalam Qs. Fusshilat : 11
ثم استوى الى السماء وهي دخان فقال لها وللأرض ائتيا طوعا أو كرها ، قالتا أتينا طائعين
Artinya : Kemudian Dia menuju langit, dan langit itu masih ialah asap, kemudian Dia berkata kepadanya dan terhadap bumi: datanglah kau keduanya berdasarkan perintahku dengan suka hati atau terpaksa. Keduanya menjawab : Kami tiba dengan suka hati.(Qs. Fusshilat: 11)
Juga firman Allah dalam Qs. Al-Mu’minun: 12
ولقد خلقنا الإنسان من سلالة من طين
Artinya : Dan bahwasanya kami telah menciptakan insan dari sebuah saripati dari tanah (Qs. Al-Mu’minun: 12)
Dari ayat-ayat tadi Ibn Rusyd menyimpulkan bahwa dalam mencipta Allah senantiasa menyebut sesuatu selaku asal mula penciptaannya. Jadi sebelum alam ini diciptakan, sudah ada sesuatu lainnya, yang didalam ayat-ayat tadi terdapat kata ماء  (air) dan دخان  ( asap ). Dengan demikian kata Ibnu Rusyd, pertimbangan filosof muslimlah yang sesuai dengan ayat Al-Qur’an, sedangkan pendapat Al-Ghazali dan para teolog muslim tidak sesuai dengan arti lahir ayat Al-Qur’an.
2.      Tuhan Tidak Mengetahui Hal-Hal Juziyyat
Menurut Al-Ghozali para filosof muslim beropini bahwa Allah tidak mengetahui yang parsial di alam, padahal dalam Qs. Yunus: 6
وما يعزب عن ربك من مثقال ذرة في الأرض ولا في السماء ولا أصغر من ذلك ولا أكبر إلا في كتاب مبين.
Artinya : Dan tidak luput dari wawasan Tuhanmu biarpun sebesar Dzarrah (atom) dibumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak ada yang lebih besar dari itu melainkan (semua) tercatat dalam kitab yang aktual.
Dalam menjawab tuduhan ini Ibn Rusyd memastikan bahwa Al-Ghazali salah paham, alasannya tidak ada para filosof muslim yang mengatakan demikian.  Yang dimaksudkan para filosof muslim yakni wawasan Allah ihwal yang parsial di alam ini tidak sama dengan pengetahuan insan. Pengetahuan Allah bersifat qadim ialah semenjak azali.  Allah mengenali segala yang terjadi di alam ini, betapapun kecilnya, sedang wawasan insan bersifat baharu. Begitu pula pengetahuan Allah berbentuk sebab, sedangkan pengetahuan insan berbentuk balasan.[39] Demikian juga menurut Ibn Rusyd, wawasan Allah tidak mampu dikatakan juz’i ( parsial) dan kullli ( lazim), Juz’i yaitu satuan yang ada di alam yang berbentuk materi dan materi cuma mampu ditangkap dengan panca indera. Kulli mencakup banyak sekali jenis (nau’). Kulli bersifat absurd, yang hanya mampu diketahui lewat nalar.[40] Allah bersifat immateri (rohani), pastinya pada dzatNya tidak terdapat panca indera untuk mengenali yang parsial. Oleh alasannya itulah, kata Ibn Rusyd, tidak ada para filosof muslim yang mengatakan ilmu Allah bersifat juz’i dan kulli.[41] Dari itu jelaslah perbedaan antara Al-Ghazali dan para filosof muslim tentang ilmu Allah. Al-ghazali terkesan menyamakan ilmu Allah dengan ilmu manusia, sedangkan para filosof muslim terkesan membedakan antara ilmu Allah dengan ilmu insan. Namun pada dasarnya mereka berpendapat bahwa Allah mengetahui (parsial dan umum) segala yang terjadi di alam ini, namun mereka berlawanan perihal cara Allah mengetahuinya.
3.      Masalah Kebangkitan Jasmani di Akhirat
Imam Ghozali sebagaimana para teolog lainnya meyakini bahwa kebangkitran jasmani yakni jasmani dan rhani, sebagimana firman Allah dalam Qs.Yasin: 52
وضرب لنا مثلا ونسي خلقه قال من يحي العظام وهي رميم قل يحييها الذي أنشأها أول مرة.  وهو بكل خلق عليم.
Artinya : Dan dia menciptakan perumpamaan bagi kami dan dia lupa terhadap kejadiannya, ia berkata; siapakah yang mampu, membangkitkan tulang belulang yang sudah hancur luluh ?. katakanlah dia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertamam dan dialah yang mengenali wacana segala makhluq.
Menurut Ibn Rusyd, sanggahan Al-Ghazali terhadap filosof muslim, wacana kebangkitan jasmani di alam baka tidak ada, yakni tidak benar. Mereka tidak mengatakan demikian.[42] Semua agama, tegas Ibn Rusyd mengakui adanya hidup kedua di alam baka, tetapi mereka berlainan interpretasi tentang bentuknya. Para filosof beropini bahwa yang akan dibangkitkan hanya rohani, dan para teolog menyampaikan akan dibangkitkan rohani dan jasmani. Namun yang terperinci kehidupan di darul baka  tidak sama dengan kehidupan di dunia ini. Hal ini sesuai dengan hadits : “Disana akan dijumpai apa yang tak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar pendengaran dan tidak pernah terlintas didalam fikiran” dan ucapan Ibn Abbas RA : “Tidak akan ditemui di darul baka  hal-hal keduniawian kecuali nama saja”. Hidup di akhirat pastinya lebih tinggi dari pada di dunia.
Namun demikian, Ibn Rusyd menyadari bahwa bagi orang awam soal kebangkitan itu perlu digambarkan dalam bentuk jasmani dan rohani. Karena kebangkitan jasmani bagi orang awam lebih mendorong mereka untuk melaksanakan pekerjaan atau amalan yang bagus dan menjauhkan pekerjaan atau amalan yang buruk.[43]
Menurut Ibn Rusyd perilaku Al-Ghazali sendiri tidak konsisten, saling berlawanan dengan ucapannya sendiri. Dalam buku tahafutul falasifah, Al-Ghazali menyampaikan bahwa tidak ada seorang muslimpun yang berpendapat bahwa kebangkitan jasmani tidak ada. Namun dalam bukunya mengenai tasawwuf dia mengemukakan usulan kaum sufi bahwa yang ada nanti hanya kebangkitan rohani.[44] Dari uraian diatas mampu ditarik kesimpulan bahwa perbedaan usulan antara Al-Ghazali dan para filosof muslim hanya perbedaan interpretasi perihal ajaran dasar tentang kebangkitan di alam baka , bukan perbedaan antara mendapatkan atau menolak pedoman dasar tersebut. Dengan arti cuma perbedaan ijtihad antara Al-Ghazali dengan filosof muslim, atau dengan kata lain perbedaan otak antara satu orang muslim dengan otak orang muslimlain dalam mengerti ayat-ayat perihal kebangkitan di darul baka , hal ini lumrah terjadi dikalangan ulama Islam. Perbedaan mirip ini tidak akan menjinjing terhadap kekafiran. Lebih lanjut Ibn Rusyd menekankan hadits Rasululah: Siapa yang benar dalam berijtihad dibidangnya beliau menerima dua pahala dan siapa yang salah dalam ijtihadnya ia menadapat satu pahala.[45]
Dengan demikian, menurut Ibn Rusyd tuduhan kafir yang dilontarkan Al-Ghazali kepada filosof Muslim dalam 3 butir dilema diatas tidak pada tempatnya. Kendatipun diandaikan interpretasi mereaka keliru tetapi kesalahan mereka tergolong kesalahan ijtihad yang mampu dimaafkan. Jika tuduhan dilontarkan terhadap para filosof muslim melanggar ijma’, maka dalam pemikiran mereka  tidak ada ijma’ ulama secara niscaya.[46]
c.       Averroisme
Tidak dapat disangkal bahwa perkembangan peradaban Barat (Eropa) seja periode ke-12 tidak terlepas dari dukungan peradaban Arab Islam yang dikembangkan oleh filosof dan saintis Muslim. Ketika Barat berada dalam kegelapan pada aad pertengahan, dunia Islam sudah mencapai puncak peradaban yang gemilang. Setelah berinteraksi langsung dengan dunia Islam barulah Barat mengalami kemajuan. Daerah yang paling berpengaruh eksklusif dalam proses transformasi ilmu wawasan dan filsafat Islam ialah Spanyol dan Sicilia[47]
Proses transformasi ilmu wawasan dan filsafat Islam kedua Barat terjadi melalui rute segitiga perdagangan antara Spayol – Sicilia – Syria. Para guru dan penjualdari Spanyol, muslim Sicilia dan Afrika serta prajurit salib ialah pembawa–pembawa utama pengetahuan Islam ke dunia Barat. Selain itu, jalur yang tidak kalah penting dalam proses transformasi ini yaitu jalur pendidikan. Sejak masa ke-10 sudah banyak pemuda-cowok eropa menimba ilmu pengetahuan di universitas-universitas Islam di kota Seville, Cordova, Toledo, Granada dan Valencia. Selain itu orang-orang mozarabes (orang-orang Spanyol yang mempunyai kebiasaan Arab-Islam dalam kesehariannya) juga mempunyai andil selaku transmitter dalam alih kebudayaan Islam ke dunia Barat. Mereka banyak menerjemahkan karya-karya filsafat dan ilmu wawasan Islam yang berbahasa Arab ke bahasa latin.[48] Termasuk juga karya-karya Ibn Rusyd.
Menurut Ibrahim Madkur, sebagaimana dikutip oleh Sirajuddin Zar, ada beberapa argumentasi yang menimbulkan perhatian Barat kepada anutan filsafat Ibn Rusyd.[49]
a.       Frederick II sebagai pecinta ilmu wawasan dan filsafat lebih banyak kesengsem pada komentar-komentar Ibn Rusyd kepada Aristoteles. Komentar tersebut diterjemahkan, kemudian tersebar luar di Eropa
b.      Orang-orang Yahudi, penganut filsafat Ibn Rusyd, berupaya menerjemahkan karya Ibn Rusyd dalam bahasa-bahasa Ibrani dan Latin. Kemudian, mereka bertindak sebagai perantara filsafat Ibn Rusyd dan filsaat Barat.
c.       Sebagian pengkaji filsafat memandang bahwa untuk memahami filsafat Aristoteles, semestinya membaca filsafat Ibn Rusyd. Oleh alasannya itu upaya menerjemahkan karya-karya Ibn Rusyd pada abad ke-16 dimaksudkan untuk lebih mengetahui filsafat Aristoteles melalui Ibn Rusyd.
Seperti telah diungkapkan di atas bahwa ajaran Ibn Rusyd masuk ke dunia Barat lewat aneka macam penerjemahan dan penerbitan. Penerjemahan itu dijalankan oleh murid-muridnya yang tiba dari aneka macam pelosok Eropa dan oleh orang-orang Yahudi. Di final hayatnya seorang Archbishop, Raimond I melakukan penerjemahan secara besar-besaran di Toledo. Penerjemah lain ialah Michel Scot dari Scotlandia, Hermann dari Jerman, dan Clunimus dari Cluminus (Yahudi). Terjemah yang mereka hasilkan tersebut diterbitkan beberapa kali di Venesia, Napoli, blogna, Paris, lyons, Strasbourg, dan Jenewa. Buku-buku tersebut juga menjadi pelajaran wajib di pelbagai perguruan tinggi Eropa[50]
Dengan demikian imbas fatwa Ibn Rusyd ini tidak secara langsung, melainkan melalui para murid-muridnya dari Eropa yang belajar ke Spanyol dan mereka inilah yang dikenal dengan Averroisme. Gerakan ini berjalan selama 400 tahun, yakni tahun 1250 – 1650 M. Secara historis, Averroisme ialah ungkapan yang dipakai untuk menunjukkan penafsiran-penafsiran filsafat Aristoteles yang dikembangkan Ibn Rusyd oleh pemikir Barat-Latin. Pada awalnya istilah ini dimaksudkan sebagai penghinaan (pejorative) terhadap pendukungnya. Tidak seorang pun yang berani dengan tegas menyatakan dirinya selaku pendukung Averroisme. Barulah sehabis kala Johannes Jandun (m. 1328) yang pertama kali memastikan dirinya secara terbuka selaku seorang Averrois dan diikuti oleh Urban dari Bologna serta Paul dari Venesia, para pendukung Ibn Rusyd baru berani secara terang-terangan menyatakan pendirian mereka.[51]
Sebelum averroisme timbul, Eropa kosong dengan ilmu pengetahuan, berpikir sempit dan tidak menghargai logika. Bagi mereka satu-satunya sember kebenaran pada dikala itu hanyalah agama Katolik (gerejawan) sehingga apa saja yang tidak sesuai dengan doktrin Katolik dianggap salah. Kendatipun Averroisme ini dibangsakan terhadap filosof Muslim, Ibn Rusyd, tetapi fatwa keduanya terdapat perbedaan yang mendasar. Hal ini dilatarbelakangi oleh agama yang berlainan. Dalam filsafat Ibn Rusyd yang dilator belakangi oleh pemikiran Islam yang bersifat rasional, sangat sedikit pemikiran yang bersifat dogmatis (qath’i al-dalalah) sedangkan yang terbanyak tersebut adalah yang bersifat zanni al dalalah. Berbeda dengan Islam, Nasrani semua ajarannya bersifat dogmatis sehingga tidak dapat didamaikan antara filsafat dengan ajaran agama.[52]
Dengan demikian Averroisme mengalami kesusahan saat menyebarkan ajaran rasional Ibn Rusyd. Pemikiran filsafat yang dibawa oleh Ibn Rusyd dalam Islam ialah satu kebenaran. Kebenaran yang dibawa filsafat tidak akan bertentangan dengan kebenaran agama, kalau dirasa ada pertentangan, diambil arti metafora (takwil).
Oleh karena itu kebenaran ganda (double truth), kebenaran yang dibawa agama adalah benar dan kebenaran yang dibawa filsafat juga benar, yang dikembangkan oleh Averroisme bukanlah berasal dari Ibn Rusyd. Bahkan ada Averroisme, Siger de Brabant (1235-1285), fatwa filsafat mungkin bertentangan dengan kebenaran agama, tetapi keduanya mesti diterima. Ajaran dan usulan ini menurut Nurchalish Madjid, sebagaimana dikutip Sirajudin Zar, ialah sebuah kemunafikan.[53] Penyimpangan yang lebih ekstrem dari Averroisme, menurut Harun Nasution, sebagaimana juga dukutip Sirajuddin Zar, adalah pendapat mereka yang mengatakan bahwa filsafat mengandung kebenaran, sedangkan agama menenteng hal-hal yang tidak benar. Oleh sebab itu tuduhan pemuka gereja kepada Ibn Rusyd seorang atheis tidak tepat dan salah alamat yang seharusnya dilontarkan kepada Averroisme.[54]
Sebenarnya hal di atas tidaklah dapat disalahkan Averroisme secara keselurah. Pengalaman meunjukkan bahwa apa yang selama ini dianggap sebagai kebenaran agama ternyata tidak tebukti kebenarannya menurut nalar. Kreatifitas akal telah terpasung oleh agama Nasrani. Akibatnya tidak hanya sampai di situ, paham Averroisme telah melahirkan free thinker dikalangan ilmuwan Eropa. Dengan kata lain para sarjana di Eropa, pada umumnya sudah meninggalkan anutan agama (atheis) karena agama tidak bisa menyaingi kebenaran yang dihasilkan filsafat dan sains. Namun pedoman ini menurut Philip K. Hitti, sebagaimana dikutip Sirajudin Zar bukan bersal dari Ibn Ruyd.[55]
Gerakan Averroisme ini menerima tantangan keras dari pihak gereja. Cara yang paling tragis ialah dengan cara ancaman bunuh dan penjara. Peristiwa ini disebut dengan inkuisi. Akibatnya, banyak dari ilmuwan yang menjadi korban mirip Copernicus, Galilei Galileo, Grodarno Bruno, dan lain-lain. Pada alhasil gerakan ini tidak terbendung oleh pihak gereja. Pemikiran Averroisme ini jugalah yang mendorong terjadinya Renaisance di Eropa, sehingga tidak terlampau berlebihan bila Lebon menyampaikan “Orang Arablah yang menyebabkan Eropa mempunyai peradaban alasannya adalah mereka yakni imam Eropa selama enam era.[56]
Berdasarkan paparan di atas mampu dipahami bahwa orang-orang Eropa dapat mengenal filsafat dan sains ialah atas jasa orag Islam, dan hal ini merupakan utang akal Barat terhadap umat Islam. Namun, perkembangan filsafat dan sains di Eropa berlainan dengan Islam ialah lepas kontrol dari bimbingan agama, yang karenanya dari sekuler menjadi atheis.[57]
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Seperti telah diuraikan di atas bahwa ada tiga lahan perdebatan yang ditudingkan al-Ghazali terhadap para filosof Muslim yang menjadikan mereka menjadi kafir yakni problem kadimnya alam, Allah tidak mengenali yang juz’iyyah dan problem pembangkitan jasmani. Tiga problem menjadi lapangan nalar alasannya adalah tidak ada nash al-Qur’an maupun hadits Nabi SAW yang menegaskannya. Pendapat al-Ghazali ini, sebagi seorang teolog Muslim, tentu saja dipengaruhi oleh paham kekuasaan dan keinginanmutlak ilahi, artinya Allah mampu berbuat apapun tanpa ada yang membatasi-Nya, sehingga tak aneh jika al-Ghazali beropini demikian.
Menurut Ibn Rusyd tuduhan yang dilontarkan oleh al-ghazali kepada filosof Muslim dalam tiga butir duduk perkara diatas tidak pada tempatnya. Kalaupun mereka salah, maka kesalahan mereka hanya pada lapangan ijtihadi.
Gagasan Averroisme yang ingin menyebarkan gagasan-ide Ibn Rusyd dan berkembang di Barat semenjak masa ke-13 ternyata tidak sepenuhnya bertumpu pada ajaran Ibn Rusyd. Ada penyimpangan-penyimpangan yang dikerjakan oleh para eksponen Averroisme dari pedoman-pemikiran Ibn Rusyd yang bahu-membahu.
DAFTAR PUSTAKA
al-Aqqad, Abbas Mahmud. Ibnu Ruysd: Sang Filsuf, Mistikus, Fakih, dan Dokter (terj), Khalifurrahman Fath, judul asli Ibnu Rusyd, Yogyakarta: Qirtas, 2003
Anwar, Saepul. Filsafat Ilmu al-Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi, Bandung: Pustaka Setia, 2007
al-Ghazali, al-Munqiz Min al-Dlalal, ter. Abdullah bin Nuh, Jakarta: Tinta Mas, 1996
Iqbal, Muhammad. Ibn Rusyd & Averoisme: Sebuah Pemberontakan Terhadap Agama, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004
Maarif, A. Syafi’I. Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1994
Madjid, Nurcholish. Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1994
Nasution, Harun. Falsafat dan Misticisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973
Syamsudin, Fachri. Dasar – Dasar Filsafat Islam, Jakarta: The Minangkabau Foundation, 2005
Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: Raja Grafindo, 2004


[1] Saepul Anwar, Filsafat Ilmu al-Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), cet. I. h. 14

[2] A. Syafi’I Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994), cet. II., h. 20

[3] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo, 2004), h. 159

[4] Saeful Anwar, op.cit., h. 16

[5] Muhammad Iqbal, Ibn Rusyd & Averoisme: Sebuah Pemberontakan Terhadap Agama, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004)., cet. I., h. 46

[6] Sirajuddin Zar, op.cit., h. 155

[7] Ahmad Syafi’i Ma’cendekia, op.cit., h. 54

[8] Sirajuddin Zar, op.cit., h. 156

[9] Ibid, h. 156 – 157

[10] Harun Nasution, Filsafat dan Misticisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973)., cet. I., h., 35 – 37

[11] Sirajuddin Zar, op.cit., h. 157

[12] Ibid., h. 158

[13] Fachri Syamsudin, Dasar – Dasar Filsafat Islam, (Jakarta: The Minangkabau Foundation, 2005)., cet. I., h. 74 – 75

[14] Saeful Anwar, op.cit., h. 68

[15] Sirajuddin Zar, op.cit., h. 159

[16] Dalam buku Sirajuddin Zar ditulis selain Aristoteles dan Plato, namun sesudah dicoba merujuk kesumber lain ternyata yang dimaksud dengan filosof dalam bahasan ini adalah Aristoteles dan Plato

[17] Sirajuddin Zar, op.cit., h. 160. Baca juga al-Ghazali, al-Munqiz Min al-Dlalal, ter. Abdullah bin Nuh, (Jakarta: Tinta Mas, 1996), h. 14-24

[18] Ibid., h. 162-163

[19] Ibid, h. 165

[20] Ibid

[21] Ibid, h. 166

[22] Ibid

[23] Ibid

[24]Ibid, h. 168. Baca juga Harun Nasution, Makalah Simposium tentang al-Ghazali diselenggarakan oleh Badan Kerjasama PTS se-Indonesia, Jakarta: 26 Januari 1985, h. 4

[25] Ibid.

[26] Fachri Syamsudin, op.cit. h. 83

[27] Sirajuddin Zar, op.cit., h. 169-171

[28] Ibid., h. 171

[29] Ibid., h. 172-173

[30] Ibid., h. 173

[31] Abbas Mahmud al-Aqqad, Ibnu Ruysd: Sang Filsuf, Mistikus, Fakih, dan Dokter (terj), Khalifurrahman Fath, judul orisinil Ibnu Rusyd, (Yogyakarta: Qirtas, 2003), cet, ke-1, h. 29

[32] Ibid, h. 32

[33] Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), cet, ke-3, h. 37

[34] Sirajuddin Zar, op.cit., h. 221

[35] Ibid., h. 160 Baca juga Al-Ghazali, Al-Munqidz, h. 14-24

[36] Sirajuddin Zar, opcit, h. 161. Baca juga Al-Ghazali, Tahafutul Falasifah, tahqiq Sulaiman Dunya, (Kairo:Darul Mara’bakir, 1962), h. 86-87

[37] Ibid. h. 161-163

[38] Ibid, h. 226

[39] Ibid, h. 118 

[40] Sirajuddin Zar, op.cit, h. 229. Baca juga Al-Ghazali, Tahafutul Falasifah, tahqiq Sulaiman Dunya, (Kairo:Darul Mara’berilmu, 1962), h. 86-87

[41] Sirajuddin Zar, op.cit, h.. 230. Baca juga Al-Ghazali, Tahafutul, h. 702-703

[42] Ibid.

[43] Harun Nasution, Falsafat dan Misticisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 47.

[44] Ibnu Rusyd, Tahafut, op.cit., h. 873-874.

[45] Ibid, h. 231 dan Ibn Rusyd, Tahafut, Ibid.

[46] Ibid, 232 dan Ibn Rusyd, Tahafut, Ibid.

[47] Muhammad Iqbal, op.cit., h. 80

[48] Ibid., h. 80-81

[49] Sirajuddin Zar, op.cit, h. 255. Baca juga Ibrahim Madkur, Filsafat dan Renaisans Eropa, dalam Sumbangan Islam Kepada Ilmu dan Kebudayaan, ter. Ahmad Tafsir, (Bandung: Pustaka, 1986), h. 136-137

[50] Ibid, h. 255-256

[51] Muhammad Iqbal, h. 95-96

[52] Sirajuddin Zar, op.cit, h. 256-257

[53] Ibid, h. 257

[54] Ibid

[55] Ibid., h. 258

[56] Ibid.

[57] Ibid.

  Ibnu Miskawaih Dan Ikhwan Al-Shafa