close

Terlalu Cinta Dunia Membuat Takut Mati

Semua tentu takut menghadapi kematian. Apalagi kita percaya bekal kita masih kurang untuk menghadapinya. Namun ada rasa takut akan ajal yang tercela dan ada pula yang tidak tercela. Yang tercela bila rasa takut tersebut didasari akan cinta yang berlebihan pada dunia sehingga melewatkan darul baka.
 Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي اْلأَمْوَالِ وَاْلأَوْلاَدِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيْجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُوْنُ حُطَامًا وَفِي اْلآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيْدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُوْرِ
“Ketahuilah oleh kalian, sebenarnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melewatkan, aksesori dan bermegah-megahan di antara kalian serta berbangga-banggaan dengan banyaknya harta dan anak, mirip hujan yang akibatnya tumbuh tanam-tumbuhan yang menciptakan takjub para petani, lalu flora itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning lantas menjadi hancur. Dan di alam baka nanti ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang mendustai.” (Al-Hadid: 20)
Suka Berjumpa dengan Allah”
Dalam hadits dari ‘Aisyah disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« مَنْ أَحَبَّ لِقَاءَ اللَّهِ أَحَبَّ اللَّهُ لِقَاءَهُ وَمَنْ كَرِهَ لِقَاءَ اللَّهِ كَرِهَ اللَّهُ لِقَاءَهُ ». فَقُلْتُ يَا نَبِىَّ اللَّهِ أَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ فَكُلُّنَا نَكْرَهُ الْمَوْتَ فَقَالَ « لَيْسَ كَذَلِكِ وَلَكِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا بُشِّرَ بِرَحْمَةِ اللَّهِ وَرِضْوَانِهِ وَجَنَّتِهِ أَحَبَّ لِقَاءَ اللَّهِ فَأَحَبَّ اللَّهُ لِقَاءَهُ وَإِنَّ الْكَافِرَ إِذَا بُشِّرَ بِعَذَابِ اللَّهِ وَسَخَطِهِ كَرِهَ لِقَاءَ اللَّهِ وَكَرِهَ اللَّهُ لِقَاءَهُ »
“Barangsiapa suka berjumpa dengan Allah, Allah juga mengasihi perjumpaan dengannya. Sebaliknya barangsiapa tidak suka perjumpaan dengan Allah, Allah juga tidak senang perjumpaan dengannya.” Kontan ‘Aisyah berkata, “Apakah yang dimaksud benci akan akhir hayat, wahai Nabi Allah? Tentu kami semua takut akan kematian.” Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– lantas bersabda, “Bukan begitu maksudnya. Namun maksud yang benar, seorang mukmin bila diberi kabar bangga dengan rahmat, keridhoan serta nirwana-Nya, ia suka bertemu Allah, maka Allah pun suka bertemudengan-Nya. Sedangkan orang kafir, jikalau diberi kabar dengan siksa dan murka Allah, beliau pun cemas bertemudengan Allah, lantas Allah pun tidak suka berjumpa dengan-Nya.” (HR. Muslim no. 2685).
Para ulama mengelompokkan takut akan kematian menjadi dua macam:
1- Takut yang tidak tercela, ialah takut mati yang sifatnya tabi’at yang setiap orang memilikinya.
2- Takut yang tercela, yaitu takut mati yang menunjukkan tanda lemahnya akidah. Takut mirip ini muncul sebab terlalu cinta pada dunia dan tertipu dengan gemerlapnya dunia sehingga banyak membuat puas diri dengan kelezatan dan kesenangan tersebut. Inilah yang disebutkan dalam hadits dengan penyakit wahn, yakni cinta dunia dan takut mati.
Hadits perihal penyakit wahn,
عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يُوشِكُ الأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا ». فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ « بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزِعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمُ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِى قُلُوبِكُمُ الْوَهَنَ ». فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهَنُ قَالَ « حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ ».

Dari Tsauban, dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hampir saja para umat (yang kafir dan sesat, pen) mengerumuni kalian dari aneka macam penjuru, sebagaimana mereka berkumpul menghadapi kuliner dalam piring”. Kemudian seseorang mengajukan pertanyaan,”Katakanlah wahai Rasulullah, apakah kami pada ketika itu sedikit?” Rasulullah berkata,”Bahkan kalian pada ketika itu banyak. Akan namun kalian bagai sampah yang dibawa oleh air hujan. Allah akan menghilangkan rasa takut pada hati musuh kalian dan akan menimpakan dalam hati kalian ’Wahn’. Kemudian seseorang mengajukan pertanyaan,”Apa itu ’wahn’?” Rasulullah berkata,”Cinta dunia dan takut mati.” (HR. Abu Daud no. 4297 dan Ahmad 5: 278, shahih kata Syaikh Al Albani. Lihat penjelasan hadits ini dalam ‘Aunul Ma’bud).
Cinta dunia dan takut mati di sini yakni dua hal yang saling melazimkan. Itu bermakna bila seseorang tertipu dan terlalu cinta pada dunia, maka dia pun begitu cemas pada akhir hayat. Lihat pembahasan dalam ‘Aunul Ma’bud. Inilah yang menciptakan rasa takut kepada ajal itu tercela.
Mengingat Mati
Namun mengingat mati sebenarnya sebuah yang dituntut pada setiap orang. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ
“Perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan” (HR. An Nasai no. 1824, Tirmidzi no. 2307 dan Ibnu Majah no. 4258 dan Ahmad 2: 292.). Yang dimaksud ialah kematian. Kematian disebut  haadzim (pemutus) alasannya dia menjadi pemutus kelezatan dunia.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ : كُنْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَجَاءَهُ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ قَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ الْمُؤْمِنِينَ أَفْضَلُ قَالَ : « أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا ». قَالَ فَأَىُّ الْمُؤْمِنِينَ أَكْيَسُ قَالَ : « أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا أُولَئِكَ الأَكْيَاسُ ».
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Aku pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian seorang Anshor mendatangi dia, ia memberi salam dan mengajukan pertanyaan, “Wahai Rasulullah, mukmin manakah yang paling baik?” Beliau bersabda, “Yang paling baik akhlaknya.” “Lalu mukmin manakah yang paling pintar?”, dia kembali mengajukan pertanyaan. Beliau bersabda, “Yang paling banyak mengenang akhir hayat dan yang paling baik dalam merencanakan diri untuk alam selanjutnya, itulah mereka yang paling cerdas.” (HR. Ibnu Majah no. 4259.).
Kita juga dapat mengambil pelajaran dari ayat,
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“Yang menyebabkan mati dan hidup, semoga Dia menguji kau, siapa di antara kau yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al Mulk: 2). 
Dalam Tafsir Al Qurthubidisebutkan bahwa As Sudi berkata perihal ayat ini, yang dimaksud orang yang paling baik amalnya yakni yang paling banyak mengingat maut dan yang yang paling baik persiapannya menjelang akhir hayat. Ia pun amat cemas menghadapinya.
Faedah Mengingat Mati
1- Mengingat ajal yakni tergolong ibadah tersendiri, dengan mengingatnya saja seseorang telah menerima ganjaran alasannya inilah yang ditugaskan oleh suri tauladan kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2- Mengingat ajal menolong kita dalam khusyu’ dalam shalat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اذكرِ الموتَ فى صلاتِك فإنَّ الرجلَ إذا ذكر الموتَ فى صلاتِهِ فَحَرِىٌّ أن يحسنَ صلاتَه وصلِّ صلاةَ رجلٍ لا يظن أنه يصلى صلاةً غيرَها وإياك وكلَّ أمرٍ يعتذرُ منه
“Ingatlah maut dalam shalatmu alasannya jika seseorang mengenang mati dalam shalatnya, maka beliau akan memperbagus shalatnya. Shalatlah seperti shalat orang yang tidak menyangka bahwa beliau masih punya peluang melaksanakan shalat yang yang lain. Hati-hatilah dengan masalah yang kelak malah engkau meminta udzur (meralatnya) (alasannya adalah tidak bisa memenuhinya).” (HR. Ad Dailami dalam musnad Al Firdaus.)
3- Mengingat maut menimbulkan seseorang makin menyiapkan diri untuk bertemudengan Allah. Karena barangsiapa mengetahui bahwa ia akan menjadi jenazah kelak, ia niscaya akan berjumpa dengan Allah. Jika tahu bahwa dia akan berjumpa Allah kelak padahal beliau akan ditanya wacana amalnya didunia, maka ia pasti akan menyiapkan jawaban.
4- Mengingat ajal akan menciptakan seseorang memperbaiki hidupnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أكثروا ذكر هَاذِمِ اللَّذَّاتِ فإنه ما ذكره أحد فى ضيق من العيش إلا وسعه عليه ولا فى سعة إلا ضيقه عليه
“Perbanyaklah banyak mengingat pemutus kelezatan (yaitu ajal) alasannya kalau seseorang mengingatnya ketika kehidupannya sempit, maka ia akan merasa lapang dan kalau seseorang mengingatnya saat kehiupannya lapang, maka dia tidak akan tertipu dengan dunia (sehingga ceroboh akan alam baka).” (HR. Ibnu Hibban dan Al Baihaqi).
Benar-lah apa yang disabdakan Nabi kita Muhammad Saw. bahwa hakekat ajal itu yaitu penghancur dari segala ketamakan dan kerakusan, meluluh-lantakkan kepongahan dan arogansi, pemutus segala kelezatan dan kenikmatan, penghancur semua impian dan cita-cita yang semu, tidak ada obat yang paling berguna dan mujarab bagi hati yang kelam selain mengingat maut, dia akan menghalangi seseorang dari kemaksiatan, melembutkan dan menyoroti hati dari kegelapan, mengusir kesenangan kepada dunia serta membuat ringan petaka yang tiba menimpa.
5- Mengingat maut menciptakan kita tidak berlaku zholim. Allah Ta’ala berfirman,
أَلَا يَظُنُّ أُولَئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوثُونَ
“Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan.” (QS. Al Muthoffifin: 4). 
Ayat ini dimaksudkan untuk orang-orang yang berlaku zholim dengan berbuat curang ketika menakar. Seandainya mereka tahu bahwa besok ada hari berbangkit dan akan dihisab satu per satu, pasti mereka tidak akan berbuat zholim mirip itu.
Al-Imam Ad-Daqqiq rah. berkata :
مَنْ أَكْثَرَ ذِكَرَ المَوْتِ أُكْرِمَ بِثَلَاثَةٍ: تَعْجِيلِ التَّوْبَة ، وَقَنَاعَةِ القَلْبِ ، وَنَشَاط العِبَادَةِ ، “وَمَنْ نَسِيَ المَوْتَ عُوجِلَ بِثَلَاثَةٍ : تَسْوِيفِ التَّوْبَةِ، وَتَرْكِ الرِّضَا بِالْكَفَافِ ، والتَّكَاسُلِ فِي العِبَادَةِ.”
“Barangsiapa yang banyak mengenang maut maka akan dimuliakan dengan tiga hal; bersegera dalam bertaubat, puas hati dan semangat ibadah, dan barangsiapa yang lupa akan maut diberikan hukuman dengan tiga hal; mengundur taubat, tidak ridha dengan kondisi dan malas ibadah.” Lihat kitab At Tadzkirah fi Ahwal Al Mauta wa Umur Al Akhirah, karya besar Al-Imam Al-Qurthubi rah.)
Di dalam hadits Jabir bin Abdullah ra. disebutkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda,
قَالَ لِي جِبْرِيْلُ : يَا مُحَمَّدَ عِشْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مَيِّتٌ ، وَأَحْبِبْ مَنْ شِئْتَ فَإِنَّكَ مُفَارِقُهُ ، وَاعْمَلْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مُلَاقِيْهِ
“Berkata Jibril kepadaku, ‘Wahai Muhammad, hiduplah sesukamu, bahu-membahu kau akan mati, dan cintailah siapa yang engkau harapkan, alasannya adalah bahwasanya engkau akan berpisah dengannya, dan bederma-lah sesukamu alasannya adalah bahwasanya engkau akan menemui amal-mu tersebut.’“ (Shahih Al-Jami’ No. 4355, Hadits Hasan)
Menemui amal-mu yakni untuk di-hisab. Al-Hisab artinya hitungan atau investigasi, tujuannya bahwa setiap insan akan dimintai pertanggung jawaban atas amal perbuatannya di dunia ini. Adapun orang-orang yang menerima catatan amalnya dengan tangan kanannya, maka akan dijumlah dan diperiksa amalnya dengan investigasi yang mudah, adalah Al-Ardhu (pemaparan).
Dari Aisyah ra.ha. bahwa Rasulullah Saw. menyatakan di dalam sabdanya:
مَنْ حُوسِبَ عُذِّبَ قَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ أَوَلَيْسَ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا قَالَتْ فَقَالَ إِنَّمَا ذَلِكِ الْعَرْضُ وَلَكِنْ مَنْ نُوقِشَ الْحِسَابَ يَهْلِكْ
“Barangsiapa yang dihisab, maka dia tersiksa”. Aisyah mengajukan pertanyaan, “Bukankah Allah sudah berfirman, “Maka beliau akan diperiksa dengan pemeriksaan yang gampang?.” Maka Rasulullah Saw. menjawab: “Hal itu yaitu Al ‘Ardhu. Namun barangsiapa yang ditanya tentang hisabnya, maka beliau akan binasa.“ (HR. Bukhari dan Muslim)
Al-Ardhu sebagaimana disebutkan dalam Tafsir As-Sa’di, “Allah memutuskan bagi hamba akan dosa-dosanya, sesudah beliau merasa akan binasa, Allah Swt. berfirman : “Aku telah menutupi dosa-dosa tersebut atasmu di dunia, maka pada hari ini Aku tutup dosa-dosamu untukmu.“
Mengingat berat dan mengerikannya hari hisabitu sangat benar-lah perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i rah.,
إِنَّ للهِ عِبَاداً فُطَنَا – طَلَّقُوا الدُّنْيَا وخَافُوا الفِتَنَا
نَظَروا فيهَا فَلَمَّا عَلِمُوا – أَنَّهَا لَيْسَتْ لِحَيٍّ وَطَنَا
جَعَلُوها لُجَّةً واتَّخَذُوا – صَالِحَ الأَعمالِ فيها سُفُنا
Sesungguhnya Allah,
mempunyai hamba-hamba yang pintar
mereka meninggalkan dunia
alasannya adalah takut terhadap fitnahnya
Mereka menyaksikan dan memperhatikan dunia,
maka tatkala mereka mengenali
bahwa dunia bukanlah daerah tinggal (Hakiki) bagi yang hidup
Maka mereka membuatnya sebagai samudera
sedang amal shalih selaku bahteranya.
(dinukil dari Al-Imam An-Nawawi rah. dalam Kitab Riyadhus Shalihin)
Berkata Al-Imam Asy-Syafi’i rah.,
يا واعظ الناس عما أنت فاعله = يا من يعد عليه العمر بالنَّفسِ
أحفظ لشيبك من عيبٍ تدنَّسه = إنَّ البياض قليلُ الحمل للدّنَسِ
كحامل لثياب الناس الناس يغسلُها = وثوبه غارقٌ في الرِّجس والنَّجسِ
تبغي النجاة ولم تسلك مسالكها = إن السفينة لا تجري على اليَبَسِ
ركوبُك النَّعش ينسيك الركوب على = ما كنت تركب من بغل ومن فرسِ‎
يوم القيامة لا مال ولا ولد = وضمَّة القبرِ تنسى ليلةَ العُرُسِ
Wahai insan yang mengajak melaksanakan kebaikan
sebagaimana kamu amalkan
Wahai manusia yang umurnya selalu dijumlah dengan tarikan nafas
Jagalah era tuamu dari perbuatan nista yang mau mengotori dirimu
Sesungguhnya baju putih itu peka terkena kotoran
Janganlah seperti binatu,
yang pekerjaannya mencuci busana orang lain
Sedangkan pakaiannya sendiri dibiarkan penuh kotoran dan najis
Kau menginginkan keberhasilan
tapi enggan melangkahkan kaki ke jalan keberhasilan
Sesungguhnya bahtera itu tidak bisa berjalan di atas daratan
Keranda mayat yang mau kau tumpangi
akan melupakan segala kendaraan yang pernah kau naiki
mirip keledai dan kuda
Pada hari kiamat nanti, tidaklah memiliki kegunaan harta dan anak
Dan himpitan alam kubur,
akan melalaikan kenikmatan malam pertama (malam pengantin)
Kematian disebut haadzim (pemutus)
alasannya ia menjadi pemutus kelezatan dunia.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ: كُنْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَجَاءَهُ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ الْمُؤْمِنِينَ أَفْضَلُ قَالَ: «أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا». قَالَ فَأَىُّ الْمُؤْمِنِينَ أَكْيَسُ قَالَ: «أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا أُولَئِكَ الأَكْيَاسُ »
Dari Ibnu ‘Umar, beliau berkata, “Aku pernah bareng Rasulullah Saw., lalu seorang Anshor mengunjungi Beliau, beliau memberi salam dan mengajukan pertanyaan, “Wahai Rasulullah, mukmin manakah yang paling baik?.” Beliau bersabda, “Yang paling baik akhlaknya.” “Lalu mukmin manakah yang paling pintar?.”, ia kembali bertanya, Beliau bersabda, “Yang paling banyak mengenang maut dan yang paling baik dalam merencanakan diri untuk alam selanjutnya, itulah mereka yang paling cerdas.” (HR. Ibnu Majah no. 4259. Hasan kata Syaikh Al Albani).
Mengingat maut membantu kita khusyu’ dalam shalat. Nabi Saw. bersabda,
اذكرِ الموتَ فى صلاتِك فإنَّ الرجلَ إذا ذكر الموتَ فى صلاتِهِ فَحَرِىٌّ أن يحسنَ صلاتَه وصلِّ صلاةَ رجلٍ لا يظن أنه يصلى صلاةً غيرَها وإياك وكلَّ أمرٍ يعتذرُ منه
“Ingatlah kematian dalam shalatmu alasannya adalah kalau seseorang mengingat mati dalam shalatnya, maka beliau akan memperbagus shalatnya. Shalatlah seperti shalat orang yang tidak menduga bahwa ia masih punya kesempatan melaksanakan shalat yang yang lain. Hati-hatilah dengan kasus yang kelak malah engkau meminta udzur (meralatnya) (alasannya adalah tidak mampu memenuhinya).”(HR. Ad-Dailami dalam Musnad Al-Firdaus. Hadits ini hasan sebagaimana perkataan Syaikh Albani)
Semoga Allah Ta’ala tetap memperlihatkan isyarat -Nya terhadap kita semua supaya hanya akhirat-lah tujuan hidup kita…
و عن ابن مسعود رضي الله عنه انه قال : (لو ان اهل العلم صانوا العلم ووضعوه عند اهله لسادوا به اهل زمانهم  ولكنهم بذلوه لااهل الدنيا لينالوا به من دنياهم فهانوا عليهم
“Dari Ibnu Mas’ud sesungguhnya dia telah berkata, “seandainya pemilik ilmu, menjaga ilmu dan mereka menaruh  ilmu pada ahlinya (yang memang berminat terhadap ilmu tersebut) sungguh mereka berbahagia dengan ilmu tersebut pada kurun mereka, akan namun mereka menawarkan ilmu tersebut kepada ahli dunia, semoga mereka mendapatkan dengan ilmu tersebut bab  dari dunia mereka (andal dunia ), maka mereka menjadi hina atas jago dunia”
Hakim bin Hizam rodhiyallohu ‘anhu berkata:
سَأَلْتُ رَسُولَ الله  صلى الله عليه وسلم فَأَعْطَانِى، ثُمَّ سَأَلْتُهُ فَأَعْطَانِى ثُمَّ قَالَ لِى: « يَا حَكِيمُ ، إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرٌ حُلْوٌ، فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ، وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ، وَكَانَ كَالَّذِى يَأْكُلُ وَلاَ يَشْبَعُ، وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى». قَالَ حَكِيمٌ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ الله، وَالَّذِى بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لاَ أَرْزَأُ أَحَدًا بَعْدَكَ شَيْئًا حَتَّى أُفَارِقَ الدُّنْيَا.
“Aku meminta pada Rosululloh -shalallohu ‘alaihi wa sallam- maka ia memberiku, kemudian saya minta lagi padanya, maka beliau memberiku, lalu dia bersabda padaku: “Wahai Hakim, sebetulnya harta itu hijau dan cantik. Barangsiapa mengambilnya dengan kedermawanan jiwa, beliau akan diberi keberkahan padanya. Tapi barangsiapa mengambilnya dengan harapan dan keinginan jiwa, maka tak akan diberkahi untuknya. Seperti orang yang makan tapi tidak kenyang. Dan tangan di atas itu lebih baik dibandingkan dengan tangan di bawah.” Maka saya berkata,”Wahai Rosululloh, Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tak akan lagi meminimalkan harta orang setelah Anda dengan ajakan sedikitpun, sampai saya meninggalkan dunia. (HSR Al Bukhory (2750))
Abul ‘Aliyah -rahimahulloh- berkata:
عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ وَكَانَ ثَوْبَانُ مَوْلَى رَسُولِ الله -صلى الله عليه وسلم- قَالَ قَالَ رَسُولُ الله -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ تَكَفَّلَ لِى أَنْ لاَ يَسْأَلَ النَّاسَ شَيْئًاوَأَتَكَفَّلَ لَهُ بِالْجَنَّةِ ». فَقَالَ ثَوْبَانُ أَنَا. فَكَانَ لاَ يَسْأَلُ أَحَدًا شَيْئًا. (أخرجه أبو داود ج 5 / ص 195)
“Dari Tsauban –dan dia yaitu maula dari Rosululloh -shalallohu ‘alaihi wa sallam—yang berkata: Rosululloh -shalallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Siapakah menjamin kepadaku untuk tidak meminta pada insan sedikitpun, dan aku menjamin untuknya dengan Jannah?” Maka Tsauban berkata,”Saya”. Dan Tsauban tak pernah meminta kepada seorangpun sesuatu apapun.” (HSR Abu Dawud/5/hal. 195 dan dishohihkan oleh Imam Al Wadi’y -rahimahulloh-)
‘Auf bin Malik Al Asyja’iy rodhiyallohu ‘anhu berkata:
كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ الله -صلى الله عليه وسلم- تِسْعَةً أَوْ ثَمَانِيَةً أَوْ سَبْعَةً فَقَالَ: «أَلاَ تُبَايِعُونَ رَسُولَ الله » وَكُنَّا حَدِيثَ عَهْدٍ بِبَيْعَةٍ فَقُلْنَا: قَدْ بَايَعْنَاكَ يَا رَسُولَ الله. ثُمَّ قَالَ: «أَلاَ تُبَايِعُونَ رَسُولَ الله ». فَقُلْنَا: قَدْ بَايَعْنَاكَ يَا رَسُولَ الله. ثُمَّ قَالَ: «أَلاَ تُبَايِعُونَ رَسُولَ الله ». قَالَ: فَبَسَطْنَا أَيْدِيَنَا وَقُلْنَا قَدْ بَايَعْنَاكَ يَا رَسُولَ الله فَعَلاَمَ نُبَايِعُكَ قَالَ: « عَلَى أَنْ تَعْبُدُوا الله وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَالصَّلَوَاتِالْخَمْسِ وَتُطِيعُوا – وَأَسَرَّ كَلِمَةً خَفِيَّةً – وَلاَ تَسْأَلُوا النَّاسَ شَيْئًا ». فَلَقَدْ رَأَيْتُ بَعْضَ أُولَئِكَ النَّفَرِ يَسْقُطُ سَوْطُ أَحَدِهِمْ فَمَا يَسْأَلُ أَحَدًا يُنَاوِلُهُ إِيَّاهُ .
“Kami pernah ada di sisi Rosululloh -shalallohu ‘alaihi wa sallam-, sembilan, atau delapan atau tujuh orang. Maka dia bersabda:“Berbai’atlah kalian terhadap Rosululloh”, padahal kami baru saja membai’at ia. Maka kami berkata,”Kami sudah membai’at Anda wahai Rosululloh.” Lalu dia bersabda:“Berbai’atlah kalian kepada Rosululloh”. Maka kami berkata,”Kami sudah membai’at Anda wahai Rosululloh.” Lalu ia bersabda:“Berbai’atlah kalian terhadap Rosululloh”. Maka kami mengulurkan tangan kami seraya berkata,” Kami sudah membai’at Anda wahai Rosululloh. Maka kami membai’at Anda untuk berbuat apa?” Beliau bersabda:“Agar kalian beribadah pada Alloh dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan untuk sholat lima waktu, dan supaya kalian taat.” Dan beliau mengatakan dengan lirih: “Dan supaya kalian tidak meminta pada manusia sedikitpun.” Maka sangat aku melihat sebagian dari rombongan tadi, cambuk dari salah seorang dari mereka terjatuh. Maka dia tidak meminta pada seorangpun untuk mengambilkannya untuknya.” (HSR Muslim /1043)
Dari Ummud Darda’ -rahimahalloh-, dia berkata:
قال لي أبو الدرداء : لا تسألي الناس شيئا ، قالت : فقلت : فإن احتجت ؟ قال : فإن احتجت فتتبعي الحصادين فانظري ما سقط منهم فاخبطيه ثم اطحنيه ثم كليه، ولا تسألي الناس شيئا
“Abud Darda’ –rodhiyallohu ‘anhu – berkata padaku,”Janganlah engkau meminta pada manusia sedikitpun.” Maka saya bertanya,”Kalau aku berhajat?” Beliau menjawab,”Jika engkau berhajat, maka ikutlah di belakang para tukang panen, kemudian lihatlah apa yang berjatuhan dari bawaan mereka, kemudian pungutlah dia, masaklah dan makanlah, dan jangan kamu meminta pada manusia sedikitpun.” (“Az Zuhd”/2/291/ Imam Ahmad -rahimahulloh-, dan dishohihkan Syaikhuna Yahya Al Hajury – hafidzahulloh – di tahqiq “As Sunanul Kubro” Imam Al Bauhaqy -rahimahulloh-)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rohimahulloh- berkata: “Hadits-hadits sudah mutawatir bantu-membantu Nabi –shollallohu ‘alaihi wasallam- mengharomkan minta-minta pada insan kecuali di ketika darurat.” (“Majmu’ul Fatawa”/8/hal. 316).
Al Imam Al Hafizh Ibnul Qoththon Al Fasiy –rohimahulloh- berkata: “Para ulama sudah setuju sesungguhnya meminta-minta itu harom.” (“Al Iqna’ Fi Masailil Ijma’”/7/3/hal. 397)
“Ya Alloh, alangkah banyaknya da’i besar yang menghapal ayat-ayat yang mengandung penyemangatan untuk bershodaqoh, beliau pindah dari masjid ini ke masjid itu, membacakan:
﴿وما تقدّموا لأنفسكم من خير تجدوه عند الله هو خيرًا وأعظم أجرًا﴾
“Dan kebaikan apapun yang kalian kerjakan untuk diri kalian sendiri, kalian akan menerimanya di sisi Alloh dengan yang lebih baik dan lebih besar pahalanya.”
Dan berbaliklah si miskin ini dari posisi da’i terhadap posisi pengemis. Sungguh benar Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wa alihi wasallam- dikala bersabda:
((لكلّ أمّة فتنةً، وفتنة أمّتي المال)).
“Setiap umat itu punya fitnah, dan fitnah umatku ialah harta.”
(“Dzammul Mas’alah”/hal. 218).
Tiada keraguan bekerjsama orang yang diberi ilmu dan iman itu lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang diberi iman saja, sebagaimana ditunjukkan oleh Kitab dan Sunnah. Dan ilmu yang terpuji yang ditunjukkan oleh Kitab dan Sunnah yaitu ilmu yang diwariskan oleh para Nabi. Sebagaimana sabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
إن العلماء ورثة الأنبياء؛ إن الأنبياء لم يورثوا درهما ولا دينارا، وإنما ورثوا العلم، فمن أخذه أخذ بحظ وافر .
“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi. Sesungguhnya para Nabi itu tidak mewariskan dirham ataupun dinar, akan namun mereka itu hanyalah mewariskan ilmu. Maka barangsiapa mengambilnya, beliau telah mengambil bagian yang banyak.” ‎
Dan ilmu ini ada tiga macam:
Jenis pertama: Ilmu tentang Alloh, nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya dan yang mengikuti itu. Dan untuk yang semisal itu Alloh menurunkan surat Al Ikhlas, Ayat Kursi dan semisalnya.
Jenis kedua: ilmu tentang apa yang Alloh kabarkan, berupa kasus yang telah lewat, perkara yang akan terjadi di periode mendatang, dan perkara yang terjadi ketika ini. Dan untuk yang semisal itu Alloh menurunkan ayat-ayat kisah, janji, ancaman, sifat Jannah dan Neraka dan semisalnya.
Jenis ketiga: ilmu wacana apa yang Alloh perintahkan, ihwal perkara-masalah yang terkait dengan hati dan anggota badan, perihal iman terhadap Alloh, pengetahuan perihal hati dan keadaannya, ucapan dan amalan anggota badan. Dan ilmu ini ada di dalamnya ilmu ihwal dasar-dasar iktikad dan kaidah-kaidah Islam. Dan masuk di dalamnya ilmu ihwal ucapan-ucapan dan tindakan lahiriyyah. Dan ilmu ini tergolong di dalamnya apa yang ditemukan dalam kitab-kitab ahli fiqh, ilmu wacana aturan-aturan tindakan lahiriyyah, … dst.HR. Abu Dawud (3641) dan At Tirmidziy (2682)
Suatu hari, Ibrahim bin Adham rahimahullah berlalu melalui pasar Bashrah. Manusia pun berkumpul kepadanya seraya berkata, “Wahai Abu Ishaq, bahu-membahu Allah berfirman dalam kitab-Nya, ‘Berdoalah terhadap-Ku, niscaya akan Kukabulkan bagi kalian’. Sudah sekian usang kami berdoa tetapi tidak dikabulkan?”
Beliau menjawab,
يَا أَهْلَ الْبَصْرَةِ، مَاتَتْ قُلُوبُكُمْ فِي عَشَرَةِ أَشْيَاءَ، أَوَّلُهَا: عَرَفْتُمُ اللَّهَ ولَمْ تُؤَدُّوا حَقَّهُ، الثَّانِي: قَرَأْتُمْ كِتَابَ اللَّهِ ولَمْ تَعْمَلُوا بِهِ، وَالثَّالِثُ: ادَّعَيْتُمْ حُبَّ رَسُولِ اللَّهِ وَتَرَكْتُمْ سُنَّتَهَ، وَالرَّابِعُ: ادَّعَيْتُمْ عَدَاوَةَ الشَّيْطَانِ وَوَافَقْتُمُوهُ، وَالْخَامِسُ: قُلْتُمْ نُحِبُّ الْجَنَّةَ ولَمْ تَعْمَلُوا لَهَا، وَالسَّادِسُ: قُلْتُمْ نَخَافُ النَّارَ وَرَهَنْتُمْ أَنْفُسَكُمْ بِهَا، وَالسَّابِعُ: قُلْتُمْ إِنَّ الْمَوْتَ حَقٌّ وَلَمْ تَسْتَعِدُّوا لَهُ، وَالثَّامِنُ: اشْتَغَلْتُمْ بِعُيُوبِ إِخْوَانِكُمْ وَنَبَذْتُمْ عُيُوبَكُمْ، وَالتَّاسِعُ: أَكَلْتُمْ نِعْمَةَ رَبِّكُمْ ولَمْ تَشْكُرُوهَا، وَالْعَاشِرُ: دَفَنْتُمْ مَوْتَاكُمْ وَلَمْ تَعْتَبِرُوا بِهِمْ
“Wahai penduduk Bashrah, hati kalian telah mati pada sepuluh kasus,
Pertama, kalian mengenal Allah namun tidak menunaikan hak-Nya.‎
Kedua, kalian membaca Al-Qur’an, tapi kalian tidak mengamalkannya.‎
Ketiga, kalian mengaku mengasihi Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, tapi kalian meninggalkan sunnahnya.‎
Keempat, kalian mengaku memusuhi syaithan, tetapi kalian mencocokinya.‎
Kelima, kalian menyampaikan bahwa kami menyayangi nirwana, tetapi kalian tidak bersedekah untuk (memasuki)nya.‎
Keenam, kalian mengatakan bahwa kami takut dari neraka, namun kalian menggadai diri-diri kalian untuk neraka.‎
Ketujuh, kalian menyampaikan bahwa maut adalah benar adanya, tapi kalian tidak bersiap untuknya.‎
Kedelapan, kalian sibuk membahas aib-aib saudara-kerabat kalian, sedang kalian membuang aib-aib kalian sendiri.‎
Kesembilan, kalian menyantap nikmat-lezat Rabb kalian, tetapi kalian tidak menunaikan kesyukuran terhadap-Nya.‎
Kesepuluh, kalian telah mengubur orang-orang mati kalian, tetapi kalian tidak mengambil pelajaran darinya.”
[Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilayatul Auliyâ` 8/15-16. Disebutkan juga oleh Ibnu Abdil Barr dalam Jâmi Bayân Al-‘Ilm no. 1220, Asy-Syâthiby dalam Al-I’tishâm 1/149 (Tahqîq Masyhûr Hasan), dan Al-Absyîhy dalam Al-Mustathraf 2/329.]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي اْلأَمْوَالِ وَاْلأَوْلاَدِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيْجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُوْنُ حُطَامًا وَفِي اْلآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيْدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُوْرِ
“Ketahuilah oleh kalian, bahu-membahu kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melupakan, embel-embel dan bermegah-megahan di antara kalian serta berbangga-banggaan dengan banyaknya harta dan anak, mirip hujan yang kesudahannya berkembang tanam-tumbuhan yang membuat takjub para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kau lihat warnanya kuning lantas menjadi hancur. Dan di akhirat nanti ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Al-Hadid: 20)
Bacalah berulang kalam dari Rabb yang mulia di atas berikut maknanya… Setelahnya, apa yang kamu pahami dari kehidupan dunia? Masihkah dunia membuaimu? Masihkah angan-anganmu melonjak tuk meraih gemerlapnya? Masihkah engkau tertipu dengan kesenangannya?
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu dalam Tafsir-nya, “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang hakikat dunia dan apa yang ada di atasnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala terangkan akhir hasilnya dan kesudahan orangnya. Dunia yaitu permainan dan sesuatu yang melupakan. Mempermainkan badan dan melalaikan hati. Bukti akan hal ini didapatkan dan terjadi pada bawah umur dunia. Engkau dapati mereka menghabiskan waktu-waktu dalam umur mereka dengan sesuatu yang melalaikan hati dan melengahkan dari berdzikir terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun komitmen (pahala dan surga, -pent.) dan ancaman (adzab dan neraka, -pent.) yang ada di hadapan, engkau lihat mereka sudah mengakibatkan agama mereka selaku permainan dan gurauan belaka. Berbeda halnya dengan orang yang sadar dan orang-orang yang berinfak untuk akhirat. Hati mereka penuh disemarakkan dengan dzikrullah, mengenali dan menyayangi-Nya. Mereka sibukkan waktu-waktu mereka dengan melaksanakan amalan yang dapat mendekatkan diri mereka terhadap Allah ketimbang membuangnya untuk sesuatu yang keuntungannya sedikit.”
Asy-Syaikh rahimahullahu melanjutkan, “Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menawarkan permisalan bagi dunia dengan hujan yang turun di atas bumi. Suburlah akhirnya tumbuh-tanaman yang dikonsumsi oleh insan dan hewan. Hingga saat bumi sudah memakai embel-embel dan keindahannya, dan para penanamnya, yang impian dan persepsi mereka hanya sebatas dunia, pun terkagum-takjub hasilnya. Datanglah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang risikonya flora itu layu, menguning, kering dan hancur. Bumi kembali terhadap keadaannya semula, seakan-akan belum pernah ada tetumbuhan yang hijau di atasnya. Demikianlah dunia. Tatkala pemiliknya bermegah-megahan dengannya, apa saja yang beliau harapkan dari tuntutan dunia dapat dia peroleh. Apa saja masalah dunia yang ia tuju, ia peroleh pintu-pintunya terbuka. Namun tiba-tiba ketetapan takdir menimpanya berbentukhilangnya dunianya dari tangannya. Hilangnya kekuasaannya… Jadilah ia meninggalkan dunia dengan tangan kosong, tidak ada bekal yang dibawanya kecuali kain kafan….” (Taisir Al-Karimirir Rahman, hal. 841)
Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma berkisah, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui pasar sementara orang-orang ada di sekitar ia. Beliau melintasi bangkai seekor anak kambing yang kecil atau terputus telinganya (cacat). Beliau memegang pendengaran bangkai tersebut seraya berkata:
أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنَّ هَذَا لَهُ بِدِرْهَمٍ؟ فَقَالُوا: مَا نُحِبُّ أَنَّهُ لَنَا بِشَيْءٍ وَمَا نَصْنَعُ بِهِ؟ قَالَ: أَتُحِبُّوْنَ أَنَّهُ لَكُمْ؟ قَالُوا: وَاللهِ، لَوْ كَانَ حَيًّا كَانَ عَيْبًا فِيْهِ لِأَنَّهُ أَسَكُّ فَكَيْفَ وَهُوَ مَيِّتٌ؟ فَقَالَ: فَوَاللهِ لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ هَذَا عَلَيْكُمْ
“Siapa di antara kalian yang suka memiliki anak kambing ini dengan mengeluarkan uang seharga satu dirham?” Mereka menjawab, “Kami tidak ingin memilikinya dengan harga semurah apapun. Apa yang mampu kami perbuat dengan bangkai ini?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Apakah kalian suka bangkai anak kambing ini menjadi milik kalian?” “Demi Allah, seandainya pun anak kambing ini masih hidup, tetaplah ada cacat, kecil/terputus telinganya. Apatah lagi dia telah menjadi seonggok bangkai,” jawab mereka. Beliau pun bersabda setelahnya, “Demi Allah, sangat dunia ini lebih rendah dan hina bagi Allah ketimbang hinanya bangkai ini bagi kalian.” (HR. Muslim no.7344)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah bersabda:
لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوْضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ
“Seandainya dunia punya nilai di segi Allah walau hanya menyamai nilai sebelah sayap nyamuk, pasti Allah tidak akan memberi minum terhadap orang kafir seteguk airpun.” (HR. At-Tirmidzi no. 2320, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 686)
Tatkala orang-orang yang utama, mulia lagi pintar mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghinakan dunia, mereka pun enggan untuk karam dalam kesenangannya. Apatah lagi mereka mengenali bahwa Nabi mereka Shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup di dunia penuh kezuhudan dan memperingatkan para shahabatnya dari fitnah dunia. Mereka pun mengambil dunia sekedarnya dan mengeluarkannya di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebanyak-banyaknya. Mereka ambil sekedar yang mencukupi dan mereka tinggalkan yang melupakan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berpesan kepada Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, sambil memegang bahu iparnya ini:
كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ
“Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau bahkan mirip orang yang sekedar melalui (musafir).” (HR. Al-Bukhari no. 6416)
Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma pun memegang teguh wasiat Nabinya baik dalam ucapan maupun tindakan. Dalam ucapannya ia berkata setelah memberikan hadits Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, “Bila engkau berada di sore hati maka janganlah engkau menanti datangnya pagi. Sebaliknya jika engkau berada di pagi hari, janganlah menunggu sore. Gunakanlah waktu sehatmu (untuk bersedekah ketaatan) sebelum tiba sakitmu. Dan gunakan hidupmu (untuk berinfak shalih) sebelum akhir hayat menjemputmu.”
Adapun dalam perbuatan, beliau radhiyallahu ‘anhuma ialah shahabat yang populer dengan kezuhudan dan sifat qana’ahnya (merasa cukup walau dengan yang sedikit) terhadap dunia. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Pemuda Quraisy yang paling mampu menahan dirinya dari dunia adalah Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma.” (Siyar A’lamin Nubala`, hal. 3/211)
Ibnu Baththal rahimahullahu menerangkan berkenaan dengan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma di atas, “Dalam hadits ini terdapat arahan untuk mengutamakan sifat zuhud dalam kehidupan dunia dan mengambil perbekalan secukupnya. Sebagaimana musafir tidak membutuhkan bekal lebih dari apa yang dapat mengantarkannya sampai ke tujuan, demikian pula seorang mukmin di dunia ini, beliau tidak butuh lebih dari apa yang dapat menyampaikannya ke tempat alhasil.” (Fathul Bari, 11/282)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata memberikan penjelasan kepada hadits ini, “Janganlah engkau cenderung terhadap dunia. Jangan engkau jadikan dunia sebagai tanah air (daerah menetap), dan jangan pula pernah terbetik di jiwamu untuk hidup baka di dalamnya. Jangan engkau terpaut kepada dunia kecuali sekadar terkaitnya seorang gila pada selain tanah airnya, di mana dia ingin secepatnya meninggalkan negeri aneh tersebut guna kembali terhadap keluarganya.” (Syarhu Al-Arba’in An-Nawawiyyah fil Ahadits Ash-Shahihah An-Nabawiyyah, hal. 105)
Suatu saat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menyaksikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur di atas selembar tikar. Ketika bangkit dari tidurnya tikar tersebut meninggalkan bekas pada tubuh beliau. Berkatalah para shahabat yang menyaksikan hal itu, “Wahai Rasulullah, seandainya boleh kami siapkan untukmu kasur yang empuk!” Beliau menjawab:
مَا لِي وَمَا لِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
“Ada kecintaan apa aku dengan dunia? Aku di dunia ini tidak lain kecuali mirip seorang pengendara yang mencari teteduhan di bawah pohon, lalu beristirahat, kemudian meninggalkannya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2377, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi)
Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah menangis melihat kesahajaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai dia cuma tidur di atas selembar tikar tanpa dialasi apapun. Umar radhiyallahu ‘anhu berkata:
فَرَأَيْتُ أَثَرَ الْحَصِيْرِ فِي جَنْبِهِ فَبَكَيْتُ. فَقَالَ: مَا يُبْكِيْكَ؟ فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ كِسْرَى وَقَيْصَرَ فِيْمَا هُمَا فِيْهِ وَأَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ. فَقَالَ: أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُوْنَ لَهُمُ الدُّنْيَا وَلَنَا اْلآخِرَةُ؟
Aku melihat bekas tikar di lambung/rusuk beliau, maka saya pun menangis, hingga memanggil tanya dia, “Apa yang membuatmu menangis?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, sangat Kisra (raja Persia, -pent.) dan Kaisar (raja Romawi -pent.) berada dalam kemegahannya, sementara engkau yaitu utusan Allah.” Beliau menjawab, “Tidakkah engkau ridha mereka menerima dunia sedangkan kita menerima darul baka?” (HR. Al-Bukhari no. 4913 dan Muslim no. 3676)‎
Dalam kesempatan yang sama, Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata terhadap Nabinya:
ادْعُ اللهَ فَلْيُوَسِّعْ عَلَى أُمَّتِكَ فَإِنَّ فَارِسَ وَالرُّوْمَ وُسِّعَ عَلَيْهِمْ وَأُعْطُوا الدُّنْيَا وَهُمْ لاَ يَعْبُدُوْنَ اللهَ. وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ: أَوَفِي شَكٍّ أَنْتَ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، أُولَئِكَ قَوْمٌ عُجِّلَتْ لَهُمْ طَيِّبَاتُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
“Mohon engkau wahai Rasulullah berdoa terhadap Allah supaya Allah menawarkan kelapangan hidup bagi umatmu. Sungguh Allah sudah melapangkan (memberi kemegahan) kepada Persia dan Romawi, padahal mereka tidak beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” Rasulullah meluruskan duduknya, lalu berkata, “Apakah engkau dalam keraguan, wahai putra Al-Khaththab? Mereka itu yakni orang-orang yang disegerakan kesenangan (kenikmatan hidup/rezeki yang bagus-baik) mereka di dalam kehidupan dunia?” (HR. Al-Bukhari no. 5191 dan Muslim no. 3679)
Demikianlah nilai dunia, wahai saudariku. Dan tergambar bagimu bagaimana orang-orang yang bertakwa lagi cendikia itu mengarungi dunia mereka. Mereka enggan untuk karam di dalamnya, sebab dunia hanyalah tempat penyeberangan… Di ujung sana menanti negeri keabadian yang keutamaannya tiada terbandingi dengan dunia.
Al-Mustaurid bin Syaddad radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا الدُّنْيَا فِي اْلآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ
“Tidaklah dunia jikalau ketimbang alam baka kecuali hanya semisal salah seorang dari kalian memasukkan sebuah jarinya ke dalam lautan. Maka hendaklah ia melihat apa yang dibawa oleh jari tersebut saat diangkat?” (HR. Muslim no. 7126)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu pertanda, “Makna hadits di atas yakni pendeknya periode dunia dan fananya kelezatannya jika dibandingkan dengan kelanggengan alam baka berikut kelezatan dan kenikmatannya, tidak lain kecuali seperti air yang menempel di jari jika daripada air yang masih tersisa di lautan.” (Al-Minhaj, 17/190)
Lihatlah demikian kecilnya perbendaharaan dunia bila daripada akhirat. Maka siapa lagi yang tertipu oleh dunia selain orang yang pandir, karena dunia takkan mampu mendustai orang yang pintar dan bakir. (Bahjatun Nazhirin, 1/531)
Wallohul Waliyyuttaufiq Ila Aqwamith Thoriq‎