Teringat di suatu subuh yg kelabu di hari Selasa. Saat itu hujan gerimis menemani setiap detik para calon penumpang bus di sebuah halte kecil. Untuk melindungi dr hujan gerimis subuh itu, orang-orang membuka payung yg dibawanya, atau cuma mengandalkan mantel yg dipakainya, ada pula yg ikut merapat bersama para calon penumpang bus di bawah naungan halte.
Di belakang halte tersebut, ada seorang ibu yg menjajakan dagangannya untuk sekadar memberikan kehangatan pada para calon penumpang bus. Kopi, susu, teh, gorengan, & aneka minuman & kuliner lainnya siap dihidangkan dlm kondisi masih hangat. Para kenek transportasi antarkota berteriak-teriak memperlihatkan maksudnya pada para penghuni halte menambah hingar bingar subuh kala itu.
Ketika bus tiba, gue pun bareng dgn para kandidat penumpang cepat-cepat merapat ke depan pintu bus yg telah dibuka. Ada yg berharap masih ada dingklik kosong yg tersisa untuk diduduki. Ada pula yg sudah tahu bahwa bus di waktu subuh pastilah sarat , jangan harap mampu dingklik untuk diduduki sambil menuntaskan rasa kantuk yg melanda sisa malam tadi, alasannya adalah halte ini adalah halte pemberhentian ketiga rute bus ini.
Desing bunyi pintu bus ditutup pun terdengar. Tak ada penumpang lain lagi yg akan masuk. Bus pun berlangsung dgn kecepatan umummeninggalkan hiruk pikuk di halte ketiga. Aku pun menyaksikan-lihat seluruh bangku, tetapi tak kudapati satu pun yg kosong. Aku pun menjangkau pegangan yg menggantung di cuilan atas bus ini. Mencoba mempertahankan keseimbangan.
Kuperhatikan langit di luar. Semburat cahaya matahari mulai memperjelas pemandangan di segi-segi jalan. Orang-orang mulai membuka tokonya. Buruh-buruh mulai berdatangan menuju pabrik. Para pekerja berjalan cepat-cepat ke arah kantornya. Anak-anak sekolah dikirim para orangtua.
Temanku bilang, semua orang dgn kegiatan yg berlainan itu sedang menuju tujuan yg sama. ia mencoba bermain tebak-tebakan denganku kala itu.
“Coba jawab, Na!” ujarnya setelah melontarkan pertanyaannya.
“Apa ya?” tanggapku sambil berpikir.
“Bahagia?” jawabku ragu. Ia hanya tersenyum menatapku.
Desing bunyi pintu bus yg terbuka kembali terdengar. Seorang ibu menjinjing bayi kecil di gendongannya pun masuk mendahului seorang pemuda berkemeja biru langit lengan panjang yg ia lipat sesiku. Halte keempat ini cuma menaikkan dua penumpang. Ibu tersebut mendapatkan kursi sehabis seorang lelaki dewasa dgn tas kerjanya menyampaikan daerah duduknya.
“Makasih.” Ucap ibu itu dgn senyum sopan. Kemudian ia duduk & menyampaikan sebotol susu formula untuk anaknya yg terbangun hampir menangis alasannya kedinginan memasuki bus AC di pagi hari yg masbodoh.
Untuk meraih halte terakhir, rute bus ini melewati jalan yg terlintas di tengahnya rel kereta api sehingga acap kali pada jam-jam sibuk mirip ini kemacetan tak mampu dikesampingkan. Bila kereta api melalui, palang pintu kereta api akan diturunkan dengan-cara otomatis. Palang pintu kereta api yg diturunkan ini lah yg menciptakan hentinya jalur lalu lintas sementara untuk mendahulukan kereta api yg melalui.
Sekejap angin berembus berangasan di luar bus, menambah hawa hambar pagi itu. Suara khas gemuruh kereta datang pun terdengar selama beberapa menit kemudian hilang. Kulihat palang pintu kereta api otomatis itu telah dinaikkan kembali. Lalu lintas pun berjalan kembali. Satu per satu kendaraan maju melewati rel kereta api. Tepat tatkala bus melewati rel kereta api sebelah kanan, seseorang menepuk pundak sebelah kiriku. Kutolehkan kepalaku kearahnya.
“Duduk, Mbak,” seorang ibu mempersilakanku menempati kursinya.
“Saya mau turun di depan,” lanjutnya.
“Oh. Terima kasih Bu,” jawabku sembari tersenyum.
Ketika gue hendak melangkahkan kaki menuju bangku itu, kulihat seorang petugas kereta api keluar terburu-buru mirip meneriakkan sesuatu sambil melambai-lambaikan tangan dr pos jaganya. Saat itulah, semua tak mampu dikondisikan lagi. Bus tiba-tiba berhenti, terjebak di tengah-tengah rel kereta api, sang sopir mengumpat murka. Semua penumpang cemas bertanya-tanya apa yg terjadi. Bayi yg tertidur lelap terbangun mendengar kegaduhan. Tubuhku pun mematung, tampakdr kejauhan kereta api berjalan ke arah bus yg kutumpangi dgn kecepatan penuh sulit untuk diberhentikan.
“Buka pintunya!!!!” gue berteriak sekencang mungkin, sambil berupaya menggerakkan kakiku yg gemetaran. Semua orang pun bengong menatapku nanar. Aku pun mengarahkan jari telunjukku ke luar jendela untuk memberi mereka klarifikasi.
“Cepat buka pintunya, Pak Sopir!!!” teriakku sekali lagi. Suasana di dlm bus pun berkembang menjadi semrawut. Semua orang berteriak menginterupsi fokus sang supir bus. Supir bus itu masih berusaha menjalankan busnya dgn cemas.
“Tak akan ada gunanya, ndeso!” Seorang bapak-bapak menghardiknya tak sabaran.
“Cepat buka saja pintunya!” Kali ini seorang perempuan paruh baya meneriakinya dgn suara parau.
“Hanya dgn ini kita akan selamat seluruhnya!” balas sang supir keras kepala.
“Sungguh kau tak tahu?!! Kalau sudah seperti ini, sekuat apapun kamu menginjak pedal gasnya bus ini tetap tak akan berlangsung!!!!” ujar seorang cowok berambut cepak dgn teriakannya.
Sang sopir bus pun menghela napasnya bergairah, mengumpat kembali sambil terus menginjak pedal gasnya berpengaruh-besar lengan berkuasa. Jalan pikirannya tak dapat dikendalikan, serangan ketakutan menjadikannya tak dapat berpikir dgn jernih.
“Yang benar saja??!!!” Seorang perempuan berteriak tak tahu lagi mesti melakukan apa sesudah menyaksikan sang sopir masih keras kepala melaksanakan hal yg tak memiliki kegunaan.
Aku pun mengedarkan pandanganku kesekeliling bus, hingga kudapati di segi cuilan belakang bus sebuah benda merah alat pemecah kaca. Dengan terburu-buru gue berlangsung untuk mengambilnya. Dengan sulit payah gue melepaskan benda itu dr tempatnya sampai karenanya dapat ter-lepas. Cepat-cepat kupukulkan benda itu pada pintu beling bus yg berada di belahan tengah bus sebelah kanan.
Prangg!! Terdengar bunyi kaca pecah yg membuat perhatian semua orang ter-arah padaku. Kemudian seorang perjaka berkemeja lengan panjang yg tadi naik di halte keempat membantuku dgn menendangkan kakinya ke arah beling yg sudah mulai retak.
Mulailah kaca-kaca tersebut berjatuhan sampai kiranya mampu mengeluarkan satu per satu orang dr bus itu.
“Saya akan mengeluarkan para perempuan & belum dewasa terlebih dahulu. Kamu bantu saya memecahkan kaca di sebelah sana,” ucapku pada cowok itu sambil menunjuk pintu beling yg sebelah kiri. Lelaki itu pun menganggukkan kepalanya.
“Pak sopir tolong cepat bukakan pintunya. Kereta api itu makin mendekat akan menabrak kita,” seorang anak pria berkata dgn air mata yg berderai-derai sembari memegangi tangan ibunya kuat-kuat. Orang-orang di luar sudah meneriaki mereka tak sabaran, ketakutan bila mesti terjadi sesuatu yg tak dibutuhkan semua orang.
“Tombol pembuka otomatisnya pun tak mampu berjalan,” ujar sang sopir dgn kepala menunduk pasrah.
Para penumpang pun menghembuskan napas paniknya. Berteriak-teriak tak terang. Kemudian mendekat ke arahku, berebut hendak cepat-cepat keluar.
“Ayo, Bu. Ibu duluan,” ujarku pada ibu dgn bayi yg menangis dipelukannya.
Tiba-tiba seorang bapak-bapak menyerobot tubuhku berupaya untuk keluar lewat beling yg gue & perjaka itu pecahkan.
“Pak!!” sentakku sembari menariknya sekuat tenaga untuk menyingkir.
“Tolong kerja samanya! Ini bukan waktunya untuk mendahulukan ego kita! Kau mau seluruhnya berantakan cuma karena kamu terjebak dlm emosimu?!!” seruku kesal. Namun, bapak itu tidak mau mendengar, sampai pemuda yg membantuku tadi menariknya dgn sekuat tenaga & menahannya.
“Lepaskan!!” Bapak itu mencoba melepaskan diri.
“Ayo, Bu. Cepat!” seruku terburu-buru.
Tepat tatkala ibu & anak bayinya itu melompat keluar, kereta itu mendekat. Hanya tinggal berjarak satu meter dr bus. Decitan roda kereta api dgn relnya berdesing tak tertahankan hingga mengeluarkan percikan-percikan api.
Namun, apa mau dikata, kita tak kuasa melawan waktu yg terus berjalan. Semua menjelma gelap seketika. Usaha sekeras apapun tak mampu merubah takdir agung yg telah ditetapkan-Nya.
“Kok senyum?” tanyaku padanya.
“Benar tak jawabannya?” tanyaku kembali. Tatapannya beralih ke arah depan, seperti membayangkan sesuatu.
“Bagaimana Aluna? Sudahkah kamu senang?” tanyanya kembali.
“Kurasa, ya,” jawabku menatapnya yakin.
Suatu kesunyian pun menyergap suasana pagi itu. Seakan waktu berhenti, menyisihkan asap pekat menutupi persepsi. (*)