Teori Pemidanaan

Jika kita menatap hukum sebagai kaidah, maka tidak boleh tidak, kita mesti mengakui hukuman sebagai salah satu bagian esensialnya. Hampir semua juris yang berpandangan dogmatik menatap aturan sebagai kaidah bersanksi yang didukung oleh otoritas tertinggi di dalam masyarakatnya. Menurut Achmad Ali  (Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Chandra Pratama, Jakarta, hlm.  62-63) sanksi mengandung bagian-bagian sebagai berikut:
  1. Sanksi merupakan reaksi, akibat atau konsekuensi terhadap pelanggaran atau penyimpangan kaidah sosial (baik kaidah hukum maupun kaidah sosial lain yang non aturan).
  2. Sanksi merupakan kekuasaan atau alat kekuasaan untuk memaksakan ditaatinya kaidah sosial tertentu.
  3. Sanksi hukum pada garis besarnya mampu dibedakan atas hukuman privat dan sanksi publik. 

1.       Syarat-Syarat Pemidanaan

Ada pendapat, mirip yang dikemukakan oleh Achmad Ali “… dengan adanya hukuman atau bahaya pidana, ketaatan warga penduduk terhadap aturan dipertahankan“. Berhubung pidana itu ialah sesuatu yang dicicipi tidak yummy bagi terpidana. Oleh karena itu ditentukan syarat-syarat atau ukuran-ukuran pemidanaan, baik yang menyangkut sisi perbuatan maupun yang menyangkut segi orang atau si pelaku.
Pada segi tindakan digunakan asas legalitas dan pada sisi orang dipakai asas kesalahan. Asal legalitas mengharapkan tidak hanya adanya ketentuan-ketentuan yang pasti ihwal perbuatan yang bagaimana dapat dipidana, namun juga mengendaki ketentuan atau batas yang pasti wacana pidana yang mampu dijatuhkan. Asas kesalahan menghendaki agar hanya orang-orang yang benar bersalah sajalah yang mampu dipidana, tiada pidana tanpa kesalahan.
Menurut Leo Polak (Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa ini), pemidanaan mesti memenuhi tiga syarat, yaitu :
  1. Perbuatan yang dijalankan dapat dicela selaku sebuah perbutan yang bertentangan dengan budpekerti, ialah berlawanan dengan kesusilaan dan tata aturan objektif;
  2. Pidana hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Pidana dihentikan mengamati apa yang mungkin akan atau mampu terjadi. Kaprikornus, pidana dihentikan dijatuhkan oleh suatu maksud prevensi. Bila ini terjadi, maka kemungkinan besar penjahat diberikan sebuah penderitaan yang beratnya lebih daripada maksimum yang berdasarkan ukuran-ukuran objektif boleh diberi terhadap penjahat. Menurut ukuran objektif berarti sesuai dengan beratnya delik yang dilakukan penjahat; 
  3. Sudah pasti beratnya pidana mesti sepadan dengan beratnya delik. Beratnya pidana tidak boleh melebihi beratnya delik. Hal ini perlu supaya penjahat tidak dipidana secara tidak adil.
Untuk menjatuhkan pidana kepada sebuah perbuatan yaitu perbuatan tersebut mesti menyanggupi rumusan delik dalam undang-undang. Disamping itu, juga mesti ada iman hakim bahwa tindakan tersebut betul-betul dilakukan oleh orang yang bersalah.
2.  Tujuan Pemidanaan
Sanksi pidana tidak memiliki tujuan tersendiri oleh Jan Remmelink (Hukum Pidana;Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari kitab undang-undang hukum pidana Belanda dan Pidanannya dalam KUHP Indonesia) dilukiskan sebagai berikut:
Sanksi pidana tidak mempunyai tujuan tersendiri yang harus ditemukan dalam dirinya sendiri. Sanksi tersebut dimaksudkan untuk memberikan bantuan terhadap norma. Selama norma belum dilanggar, sanksi pidana cuma bersifat preventif. Seketika terjadi pelanggaran, daya kerjanya seketika berganti dan sekaligus menjadi represif.
Berbicara mengenai tujuan pemidanaan, tentunya kita harus melihat teori-teori pemidanaan yang ada. Teori-teori pemidanaan dapat dibagi kedalam tiga golongan besar yaitu, teori pembalasan (teori sewenang-wenang/distributif), teori tujuan (teori relatif), dan teori gabungan.
Teori Pembalasan (Absolut)
Ajaran pidana otoriter mampu dikatakan sama tuanya dengan permulaan pedoman tentang pidana, namun demikian pedoman ini belum ketinggalan zaman. Dasar pijakan dari teori ini yakni pembalasan. Inilah dasar pembenar dari penjatuhan penderitaan berupa pidana pada penjahat. Negara berhak menjatuhkan pidana, alasannya adalah penjahat tersebut sudah melaksanakan penyerangan dan perkosaan pada hak dan kepentingan aturan (eksklusif, masyarakat atau negara) yang telah dilindungi. Maka oleh alasannya itu beliau mesti diberikan pidana yang setimpal dengan tindakan yang dilakukannya. Meskipun kecenderungan untuk membalas ini pada prinsipnya ialah suatu tanda-tanda yang normal, akan tetapi pembalasan tersebut harus dilihat sebagai sebuah reaksi keras yang bersifat emosional dan karena itu irasional.
Karl O.Christiansen (M. Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana; Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya) mengidentifikasi lima ciri pokok dari teori otoriter, yakni:
  1. Tujuan pidana hanyalah sebagai pembalasan;
  2. Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain mirip kemakmuran masyarakat;
  3. Kesalahan budpekerti selaku satu-satunya syarat untuk pemidanaan;
  4. Pidana harus diadaptasi dengan kesalahan si pelaku;
  5. Pidana menyaksikan ke belakang, ia selaku pencelaan yang murni dan bertujuan tidak untuk memperbaiki, mendidik dan meresosialisasi pelaku.
Ada beberapa macam dasar, pandangan atau argumentasi perimbangan wacana adanya kewajiban untuk diadakannya pembalasan itu, ialah :
a.       Pertimbangan dari Sudut Ketuhanan
Pandangan dari sudut keagamaan, bahwa aturan yakni sebuah hukum yang bersumber pada hukum Tuhan yang diturunkan lewat pemerintah negara selaku abdi atau wakil Tuhan di dunia ini, alasannya itu negara wajib memelihara dan melaksanakan hukum dengan cara setiap pelanggaran kepada aturan wajib dibalas setimpal dengan pidana terhadap pelanggarannya. Keadilan ketuhanan yang dicantumkan dalam undang-undang duniawi mesti dihormati secara mutlak, dan barang siapa yang melangar mesti dipidana oleh wakil Tuhan di dunia ini, adalah pemerintahan negara. Pemerintahan negara harus menjatuhkan dan mengerjakan pidana sekeras-kerasnya bagi pelanggaran atas keadilan ketuhanan itu. Pidana yakni merupakan suatu penjelmaan duniawi dari keadilan Tuhan tersebut. Pandangan menurut sudut ke-Tuhanan ini dianut oleh Thomas van Aquino, Sthal dan Rambonet.
b.      Pandangan dari Sudut Etika
Pandangan ini berasal dari Immanuel Kant. Dalam persepsi Kant bahwa menurut ratio tiap kejahatan itu haruslah disertai oleh pidana. Menjatuhkan pidana yakni sesuatu yang dituntut oleh keadilan etis yang ialah syarat budpekerti. Pemerintah negara memiliki hak untuk menjatuhkan dan melakukan pidana dalam rangka memenuhi kewajiban yang dituntut oleh budpekerti tersebut. Pembalasan melalui pidana ini harus dikerjakan pada setiap pelanggar aturan, walaupun tidak ada faedah bagi masyarakat maupun yang bersangkutan. Karena pembalasan dari pidana ini didasarkan pada adat, maka teori Kant ini disebut dengan de ethische vergeldings theorie.
Leo Polak tidak dapat mendapatkan teori Kant, alasannya adalah teori itu menggambarkan pidana selaku sebuah paksaan belaka, bukankah bagi semua orang yang bertujuan mempertahankan kehendaknya sudah cukup melaksanakan paksaan saja ? Etika dan sebagainya tidak perlu diperhatikan. Akan tetapi, pidana itu harus bersifat suatu penderitaan yang mampu dipertanggungjawabkan terhadap adat. Pidana itu bukan penderitaan, alasannya adalah pidana hendak memaksa. Sebaliknya, pidana itu bersifat memaksa biar pidana itu dapat dinikmati selaku sebuah penderitaan.
c.    Pandangan Alam Pikiran Dialektika
Pandangan ini berasal dari Hegel dengan teori dialektikanya dalam segala gejala yang ada di dunia ini. Atas dasar pikiran yang demikian, maka pidana mutlak harus ada sebagai reaksi dari setiap kejahatan. Hukum atau keadilan ialah merupakan sebuah kenyataan (selaku these). Jika seorang melaksanakan kejahatan atau penyerangan kepada keadilan, memiliki arti beliau mengingkari kenyataan adanya hukum (anti these), oleh alasannya adalah itulah harus disertai oleh sebuah pidana berupa ketidakadilan terhadap pelakunya (synthese) untuk mengembalikan menjadi suatu keadilan atau kembali tegaknya aturan (these). Karena pandangan Hegel ini didsarkan pada alam pikiran dialektika, maka teorinya disebut dengan de dialektische vergeldings theorie.
d.    Pandangan Aesthetica dari Herbart
Pandangan yang berasal dari Herbart ini berpokok pangkal pada pikiran bahwa jika kejahatan tidak dibalas maka akan menjadikan rasa ketidakpuasan pada masyarakat. Agar kepuasan penduduk mampu diraih atau dipulihkan, maka dari sudut aesthetica mesti dibalas dengan penjatuhan pidana yang setimpal pada penjahat pelakunya. Setimpal artinya harus dirasakan selaku penderitaan yang serupa berat atau besarnya dengan penderitaan korban/penduduk yang diakibatkan oleh kejahatan itu. Karena persepsi Herbart ini didasarkan pada aesthica, maka disebut dengan de aesthica theorie.
e.    Pandangan dari Heymans
Pandangan dalam hal pidana yang berbentukpembalasan berdasarkan Heymans didasarkan pada niat pelaku. Setiap niat yang tidak bertentangan dengan kesusilaan, dapat dan patut diberikan kepuasan. Tidak diberi kepuasan ini ialah berbentukpenderitaan yang adil. Segala sesuatu yang berlawanan dengan kesusilaan tidak boleh diraih orang, dan atas dasar inilah Heymans mengambarkan komponen pembalasan di dalam pidana dengan memberi penderitaan kepada penjahat.
Menurut Leo Polak, pandangan Heymans ini yakni tidak bersifat membalas pada apa yang telah terjadi, tetapi penderitaan itu lebih bersifat pencegahan. Teori ini bukan suatu teori pembalasan sepenuhnya.
f.     Pandangan dai Kranenburg
Teori ini didasarkan pada asas keseimbangan. Dikemukakannya perihal pembagian syarat-syarat untuk menerima laba dan kerugian, maka terhadap aturan tiap-tiap anggota penduduk memiliki kedudukan yang serupa dan sederajat. Tetapi mereka yang mampu menyelenggarakan syarat istimewa juga akan mendapatkan keuntungan dan kerugian itu.
Berdasarkan pemikiran semacam inilah, maka kalau seseorang berbuat kejahatan yang bermakna dia menciptakan suatu penderitaan istimewa bagi orang lain, maka sudah seimbanglah bahwa penjahat itu diberi penderitaan istimewa yang besarnya sama dengan besarnya penderitaan yang sudah dijalankan terhadap orang lain.
Teori Tujuan (Relatif)
Ajaran diktatorial mengajarkan bahwa pidana diniscayakan oleh kejahatan yang terjadi dan alasannya adalah itu negara dengan satu dan lain cara mendapat pembenaran untuk menjatuhkan pidana. Pandangan berlainan kita dapatkan dalam ajaran relatif. Pidana dalam konteks pemikiran ini dipandang selaku upaya atau fasilitas pembelaan diri. Berbeda dengan ajaran sewenang-wenang, di dalam ajaran relatif, relasi antara ketidakadilan dan pidana bukanlah hubungan yang ditegaskan secara a-priori. Hubungan antara keduanya dikaitkan dengan tujuan yang akan diraih pidana adalah sumbangan kebendaan aturan dan penangkal ketidakadilan atau tertib di dalam masyarakat.
Menurut Karl O. Christensen ada berapa ciri pokok dari teori relatif ini, yakni:
  1. Tujuan pidana ialah pencegahan;
  2. Pencegahan bukan tujuan tamat namun sebagai fasilitas untuk meraih tujuan yang lebih tinggi yaitu kesehjetaraan penduduk ;
  3. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang mampu dipersalahkan kepada si pelaku saja, misalnya kesengajaan atau kelalaian yang menyanggupi syarat untuk adanya pidana;
  4. Pidana mesti ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat pencegahan kejahatan;
  5. Pidana menyaksikan ke depan atau bersifat prospektif, dia mengandung unsur pencelaan maupun bagian pembalasan tidak mampu diterima jikalau tak menolong pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesehjeteraan masyarakat.
Untuk meraih tujuan ketertiban penduduk tadi, maka pidana itu mempunyai tiga macam sifat, yaitu; Bersifat menakut-nakuti, bersifat memperbaiki dan bersifat membinasakan.
Sedangkan sifat pencegahannya dari teori ini ada dua macam, yaitu pencegahan biasa dan pencegahan khusus.
1. Pencegahan Umum
     Penganut teori ini ialah Seneca yang berpandangan bahwa supaya khalayak ramai dapat menjadi takut untuk melaksanakan kejahatan, maka perlu dibentuk pidana yang ganas dengan eksekusinya yang sangat kejam dengan dilaksanakan di tampang umum, supaya setiap orang akan mengatahuinya. Tujuan mengancam atau menciptakan takut (dalam rangka pencegahan) tersebut dikembangkan oleh Paul Johann Anselm von Feuerbach (1755-1833) sekalipun dalam konteks yang berbeda. Teori Feuerbach ihwal paksaan psikologis, yang menjadi dasar penamaan teorinya tersebut, mengendaki penjeraan tidak lewat pengenaan pidana (yang ialah akhir dari tujuan pidana), tetapi melalui ancaman pidana di dalam perundang-ajakan yang alasannya adalah itu pula mesti mencantumkan secara tegas kejahatan dan pidana (yang diancamkan terhadapnya).
     Sedangkan menurut Nico Muller, pencegahan kejahatan bukan terletak pada eksekusi yang kejam maupun pada bahaya pidana akan tetapi pada penjatuhan pidana incongerito oleh hakim. Dengan tujuan memberi rasa takut kepada penjahat tertentu, maka hakim diperkenankan menjatuhkan pidana yang beratnya melebihi beratnya ancaman pidananya. Maksudnya agar penjahat serupa lainnya menjadi shock, terkejut kemudian menjadi sadar bahwa tindakan seperti itu mampu diajatuhi pidana yang berat dan beliau menjadi takut untuk melaksanakan perbuatan yang serupa.
2. Pencegahan Khusus
     Menurut teori ini, tujuan pidana yaitu menghalangi pelaku kejahatan yang sudah dipidana semoga ia tidak mengulangi lagi melaksanakan kejahatan, dan menangkal supaya orang yang sudah bermaksud jelek untuk tidak merealisasikan niatnya itu kedalam bentuk tindakan konkret. Tujuan ini mampu dicapai dengan jalan menjatuhkan pidana yang bersifat menakut-nakuti, memperbaiki dan menjadikannya menjadi tidak berdaya. Penganut teori ini yaitu, van Hammel yang berpandangan bahwa pencegahan biasa dan pembalasan dihentikan dijadikan tujuan dan alasan dari penjatuhan pidana.
Teori Gabungan
Teori adonan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Teori campuran ini mampu dibedakan menjadi tiga golongan, adalah:
  1. Teori adonan yang memprioritaskan pembalasan, tetapi  pembalasan itu dihentikan melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk mampu dipertahankannya tata tertib masyarakat.
  2. Teori campuran yang memprioritaskan derma tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana dihentikan lebih berat dibandingkan dengan tindakan yang dikerjakan terpidana.
  3. Teori memadukan yang menanggap kedua asas tersebut harus dititik beratkan sama.
  Politik Aturan Periode Reformasi