close

Teori Multidimensional Approach Dalam Penulisan Sejarah

Multidimensional Approach Dalam Penulisan Sejarah

Seperti yang dikatakan oleh Huizinga, bahwa sejarah adalah pertanggungjawaban periode silam. Oleh sebab itu manusialah yang memilih arti periode silam itu. Sejarah dalam pemahaman sebagai rekonstruksi abad lampau, dalam perkembangannya senantiasa dihadapkan dengan banyak sekali permasalahan dan perdebatan perihal bagaimana seharusnya menggunakan cara-cara untuk merekonstruksi kala lampau itu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan “kebenarannya”. Sejak zaman Herodutus hingga sekarang ini penulisan sejarah kritis selalu di “rethinking” untuk menyempurnakan perlengkapan metodologis dan analitisnya. Perkembangan simpulan-akhir ini telah muncul sebuah gagasan pemikiran dalam penulisan sejarah yang menggunakan pendekatan multidimensional, yakni sebuah pendekatan dengan menggunakan pinjaman rancangan-konsep dan teori-teori dari berbagai cabang ilmu sosial untuk menganalisis insiden periode lampau. Di Indonesia, multidimensional approach ini dipelopori oleh Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, yang telah mewujudkan gagasan ini dalam disertasinya yang berjudul The Peasant Revolt of Banten in 1888.

Memang diakui, bahwa selama ini banyak tulisan sejarah yang bersifat deskriptif naratif utamanya yang dihasilkan oleh penulis yang bukan andal sejarah. Jenis sejarah ini ditulis tanpa memakai teori dan metodologi. Padahal, problem teori dan metodologi sebagai bagian pokok ilmu sejarah mulai diketengahkan apabila penulisan sejarah tidak semata-mata bertujuan untuk menceritakan kejadian, namun berencana menunjukan kejadian itu dengan mengkaji sebab-sebabnya, keadaan lingkungannya, kontkes sosial-kulturalnya, pendeknya secara mendalam hendak diadakan analisis ihwal faktor-faktor kausal, kondisional, kontekstual ihwal bagian-komponen yang ialah komponen dan eksponen dari proses sejarah yang dikaji. (Sartono Kartodirdjo, 1988: 2)

Itulah sebabnya dalam melaksanakan pengkajian dan analisis diharapkan peralatan analitis yang dapat dioperasionalkan fungsinya, sehingga berkaitan dengan permasalahan yang sedang dianalisis. Langkah penting dalam menciptakan analisis sejarah yaitu dengan menawarkan suatu kerangka ajaran atau kerangka acuan yang meliputi aneka macam rancangan dan teori yang mau dipakai dalam menciptakan analisis itu.

Sementara itu, dalam penulisan sejarah dengan pendekatan multidimensional, disiplin sejarah merupakan disiplin pokok. Meskipun demikian, tidaklah menghalangi dipergunakannya rancangan-desain dan sistem-metode ilmu-ilmu bantu guna memperkaya dan memperdalam kisah sejarah. Ibarat seorang pemahat, jika beliau menciptakan patung besar memanfaatkan pahatan besar, namun jika patung itu kecil dan rumit, maka ia membutuhkan pahatan-pahatan yang kecil dan renik pula. (Kartodirdjo, 1982: vii) Makara, alat haruslah sesuai dengan produk yang akan dihasilkan.

Pendekatan dalam memahami suatu insiden sejarah, dapat dijalankan melalui aneka macam jalur metodologis atau perspektif teoritis dan yang terpenting yaitu jalan atau perspektif irit, sosiologis, politikologis, dan kultural-antropologis. Untuk tujuan-tujuan analitis sejumlah aspek dari fenomena-fenomena yang kompleks itu dapat diisolasikan, akan tetapi hal itu harus dikerjakan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan distorsi pada konteks yang bersangkutan. Kita mampu mengandaikan bahwa konferensi beberapa aspek sudah menimbulkan terjadinya peristiwa sejarah. Sebelum mencapai titik konferensi itu, aspek-aspek itu masing-masing mengalami perkembangannya sendiri. Berdasarkan usulanteoritis ini, kita mampu membicarakan secara terpisah faktor-aspek itu selaku aspek-aspek kondisional dari peristiwa sejarah. (Kartodirdjo, 1984: 24)

Dengan demikian jelaslah bahwa ada relasi yang akrab antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial yang lain, khususnya terwujud pada perubahan metodologi. Pembaharuan metodologi tahap pertama akan terjadi alasannya imbas ilmu diplomatik sejak Mabillon, sedang yang dibahas ini yakni merupakan tahap kedua, yang terjadi alasannya pengaruh ilmu sosial. Perubahan metodologi itu menyangkut rapproachment. Implikasinya yaitu, bahwa setiap riset design membutuhkan kerangka rujukan yang bundar, adalah menampung alat-alat analitis yang mau meningkatkan kesanggupan untuk menggarap data.

Rapproachment antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial utamanya menyangkut penggunaan konsep-konsep dan teori-teorinya. Mengapa demikian? Oleh karena sejarah bersifat empiris, maka sungguh primer pentingnya untuk berpangkal pada fakta-fakta tersaring dari sumber sejarah, sedangkan teori dan rancangan cuma merupakan alat untuk memudahkan analisis dan sintesis. Di samping itu dalam menggarap analisis sejarah, hipotesis dan teori sangat membantu cara kerja kita semoga tidak berserakan. Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa fakta-fakta sejarah tidak boleh untuk mendukung sebuah teori namun sebaliknya, teori yang tidak mampu menunjukan fakta-fakta perlu ditinggalkan. Dengan demikian, seperti apa yang dikatakan oleh Crane Brinton sangat mendukung gagasan ini, adalah “the conviction that historians should try to interpret or understand history so as to make written history ‘at least a commulative body of knowledge useful as a guide in solving our present problems of human relations. (Brinton, 1946: 342)

Memang mesti diakui bahwa kemajuan ilmu-ilmu sosial pada masa ke-19 dan awal kala ke-20 sangat luar biasa dan sudah memberikan horison-horison gres, sehingga bagi ilmu sejarah terbuka kemungkinan-kemungkinan untuk menyelenggarakan penyesuaian kepada kedudukannya, terutama pada posisi metodologisnya, dengan mengarahkan diri kepada ilmu-ilmu sosial. Kemudian, apa yang melatarbelakangi penyesuaian ilmu sejarah kepada ilmu-ilmu sosial itu? Paling tidak ada tiga argumentasi yang mendasarinya, ialah: 1) Perluasan masalah areas serta tema-tema baru menuntut semoga sejarah lebih bersifat analitis dan tidak naratif semata-mata; 2) Dengan adanya kemungkinan meminjam alat-alat analitis atau kerangka konseptual dari ilmu-ilmu sosial ada peluanglebih besar bagi sejarah untuk mengungkapkan pelbagai dimensi tanda-tanda-gejala sejarah; 3) Sebagai umpan balik dari perkembangan itu terciptalah jenis-jenis sejarah baru yang lebih banyak memakai pendekatan social-scientific, yaitu suatu jenis sejarah yang berbeda secara fundamental dari sejarah naratif. (Kartodirdjo, 1990: 255) Di sinilah ilmu sejarah telah mengalami revolusi kedua untuk meningkatkan relevansinya dalam menggarap objek penelitiannya.

Perbincangan perihal gagasan metodologi sejarah secara social scientific ini akan lebih terarah manakala kita mampu mengupas beberapa hal yang berkaitan dengan pengertian masalah metodologis dalam sejarah. Dengan demikian, ada beberapa hal yang perlu diterangkan, antara lain: 1) Bagaimanakah korelasi antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial yang lain?; 2) Apa pentingnya pendekatan ilmu-ilmu sosial bagi ilmu sejarah?; 3) Apa keterkaitannya bagi ilmu sejarah yang memakai pendekatan ilmu-ilmu sosial?; 4) Bagaimana penggunaan konsep-konsep dan teori-teori dari ilmu-ilmu sosial itu dalam metodologi sejarah?; 5) Bagaimana pula kemajuan dan tanggapan terhadap multidimensional approach ini? Itulah perbincangan di sekeliling statement dari Prof. Sartono Kartodirdjo, yang perlu diulas dalam paper ini.

A. Hubungan Antara Sejarah dengan Ilmu-ilmu Sosial

Untuk mengerti persoalan sejarah dalam keterkaitannya dengan ilmu-ilmu sosial, perlu kiranya lebih dulu dikemukakan perihal apa yang dimaksud dengan ilmu-ilmu sosial itu, dan apa yang menjadi sasarannya, tujuan, serta keterkaitannya antara satu dengan yang lain. Yang dimaksud dengan ilmu-ilmu sosial di sini adalah semua ilmu wawasan atau disiplin-disiplin akademis yang mempunyai target studinya pada insan dalam kekerabatan sosialnya. (Kenzie, 1966: 7-8) Karena duduk perkara manusia dalam kehidupan penduduk meliputi pemahaman yang luas maka untuk mampu mempelajari dan mengerti secara mendalam dibutuhkan suatu pembagian lapangan perhatian yang secara khusus memusatkan pada salah satu sisi dari tingkah laku insan dalam pergaulannya yang dilola dalam kesatuan-kesatuan lapangan studi. (Suryo, 1980: 1) Nama-nama lapangan studi kemudian diberikan menurut jenis tingkah laris dari segi-segi kehidupan masyarakat yang menjadi pusat pengamatannya. Adapun nama-nama disiplin yang tergolong dalam kalangan ilmu sosial yakni ilmuekonomi, sosiologi, anthropologi sosial, ilmu politik, psikologi sosial, dan sejarah. Tiap-tiap disiplin ini memiliki sejarahnya sendiri, wengku observasi, masalah, sumber-sumber materi dan sering juga memiliki teknik / tata cara observasi sendiri-sendiri. (Suryo, Ibid)

Bahwasanya ilmu sejarah termasuk dalam lingkungan ilmu sosial, memerlukan sedikit klarifikasi. Pertama perlu dikenali bahwa sejarah dikualifikasikan sebagai “ilmu” baru pada masa era ke-19. Bila pada abad ke-18 sejarah dianggap arts, maka pada abad ke-19 sejarah dianggap lebih bersifat sebagai sebuah tata cara. Dalam bentuknya selaku arts sejarah hanyalah ialah bentuk ajaran manusia yang disampaikan dalam bentuk narration yang secara literer melukiskan persitiwa periode lampau, dan bersifat mempersoalkan problem; apa, kapan, di mana, dan bagaimana suatu peristiwa itu terjadi. Tekanan lebih banyak diarahkan pada sisi-sisi literernya, hal-hal yang unik, dan tidak memakai analisis. Maka dari itu dalam studi sejarah yang konvensional ini tidak menerima duduk perkara kausalitas selaku sentra penggarapannya, oleh alasannya adalah itu tidak terdapat pertanyaan “mengapa”. Selain tidak mempersoalkan problem “mengapa”, sejarah konvensional tidak memiliki kerangka konseptual dalam menggarap sasarannya.

Dalam keadaan yang sedemikian itu sejarah kurang mempunyai arti alasannya tidak mampu memberikan klarifikasi perihal masalah yang terjadi dalam kehidupan insan. Berbeda dengan sejarah yang bersifat literer, maka sejarah sebagai sistem, menghendaki adanya sistematisasi dalam penggarapan target studinya. Dalam hal ini sejarah mempunyai kerangka kerja konseptual yang jelas dan memiliki perlengkapan metodologis dalam menganalisis sasaran yang dipelajarinya. Dengan menggunakan mekanisme kerja metodologis mirip ini maka sejarah bisa mengungkapkan kausalitas secara tajam sehingga dapat menemukan citra yang terperinci dari sebuah insiden.

Dilihat dari sasaran objeknya, maka studi sejarah dengan studi ilmu sosial yang lain tidaklah banyak berlainan. Mengenai duduk perkara deskripsi dan analisis, bagi sejarah ataupun sosiologi dan juga ilmu-ilmu lain, dikotomi itu ialah menolong. Analisis menghendaki suatu deskripsi, demikian pula deskripsi yang memadai adalah deskripsi yang rumit, yang tergantung pada cukupnya alasannya-alasannya adalah yang ada di dalamnya. (Kartodirdjo, 1970: 61-68) Dalam kecenderuangannya kini anatar keduanya dalam mencari alasannya adalah-sebab sama-sama punya arti. Sejarah mempelajari yang unik, sedangkan sosiologi mempelajari yang biasa. Tanpa perhubungan antara keduanya, maka tidak akan diperoleh eksplanasi. Perlu dicatat, bahwa sekalipun sosiologi lebih mementingkan generalisasi, namun dalam penggarapannya memerlukan pula sisi-sisi keunikan secara historis. Sebaliknya dalam sejarah, sekalipun sasarannya lebih diarahkan pada keunikan, tetapi juga tidak memiliki arti mengabaikan sifat-sifat yang biasa. Sebagai contoh dalam sejarah dibutuhkan juga desain-rancangan lazim untuk mengkonseptualisasikan gejala sejarah, mirip tercermin dalam penggunaan desain feodalisme, borjuasi, kapitalisme, dan lain-lain. (Suryo, Ibid: 5)

Kemudian, bagaimana hubungan timbal balik antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial lainnya? Hal ini dapat dijelaskan selaku berikut:

1. Hubungan antara sejarah dengan sosiologi, tercermin dalam perumpamaan yang berbunyi “sejarah yaitu sosiologi dengan pekerjaan berat. Sosiologi yakni sejarah tanpa pekerjaan berat”. Dalam kemajuan kedua disiplin saling berhubungan bersahabat, sehingga muncul jenis-jenis pendekatan interdisipliner antara keduanya. Sebagai teladan dapat ditunjukkan perihal karya-karya yang sifatnya sosiologis dalam konsep-konsepnya dan historis dalam penggarapannya. Misalnya: Penulis yang memakai pendekatan sosiologis materi-materi sejarah (sociological history) antara lain: Caulanges, Giots, Pirenne, Maunier, Maitland, Stephenson, Marc Bloch. Tema yang diambil oleh penulis ini antara lain memusatkan pada lahir dan berkembangnya penduduk tertentu, utamanya yang berafiliasi dengan persoalan demografi, ekonomi, dan perpindahan penduduk. Kesemuanya memusatkan sejarah Eropa pada abad klasik atau pertengahan. Ada pula yang memusatkan pada problem case-study perihal kawasan kebudayaan. Contohnya: Howard Beeker, Jacob Burchard, Max Weber, Toynbee, dan lain-lain.

2. Hubungan antara sejarah dengan ilmu politik. Secara konvensional sejarah politik dalam hal ini banyak memperlihatkan segi politik secara menonjol. Dalam relevansinya dengan kedua disiplin ini melahirkan apa yang disebut pendekatan ilmu politik, dan pendekatan institusional, pendekatan legalistis, pendekatan kekuasaan, pendekatan nilai dan imbas, pendekatan kelompok, dan sebagainya.

3. Hubungan antara sejarah dan anthropologi juga bersahabat khususnya bagi sejarah alasannya adalah menerima manfaat dengan pendekatan kulturalnya. Anthropologi lazim mengkaji sebuah komunitas dengan pendekatan sinkronis, yaitu mirip membuat sebuah pemotretan pada momentum tertentu perihal pelbagai bidang atas aspek kehidupan komunitas, sebagai bab dari satu kesatuan atau metode serta relasi satu sama lain sebagai subsistem dalam suatu metode. Rasanya gambaran sinkronis ini tidak menunjukkan kemajuan atau pergeseran. Justru dalam studi anthropologi diperlukan pula penjelasan perihal struktur-struktur sosial yang berupa forum-lembaga, pranata, tata cara-tata cara, kesemuanya akan mampu dijelaskan secara lebih terperinci jika diungkapkan pula bahwa struktur itu yaitu produk dari pertumbuhan di kurun lampau. Hal ini akan mampu diterangkan eksistensinya dengan melacak kemajuan sejarahnya. (Kartodirdjo, 1988: 165)

4. Hubungan antara sejarah dengan ekonomi. Sepanjang sejarah modern sudah timbul kekuatan-kekuatan ekonomi pasar internasional maupun nasional. Dengan demikan, juga menyangkut soal metodologis untuk mengetahui pertumbuhan itu. Hubungan antara keduanya memungkinkan sejarah mendapatkan hipotesa-hipotesa dan model-versi yang berhubungan dengan langkah-langkah sosial dalam relevansinya dengan alokasi sumber kehidupan dan penyeleksian alternatifnya. (Suryo, Ibid: 7)

B. Pentingnya Pendekatan Ilmu-ilmu Sosial bagi Ilmu Sejarah

Dalam pertumbuhan studi sejarah kritis semenjak akhir Perang Dunia II memberikan kecenderungan yang besar lengan berkuasa untuk memakai pendekatan ilmu sosial. Rapproachment atau proses saling mendekati antara ilmu sejarah dan ilmu-ilmu sosial disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: (Kartodirdjo, 1988: 130)

1. Sejarah deskriptif-naratif sudah tidak membuat puas lagi untuk menjelaskan pelbagai dilema atau gejala yang serba kompleks. Oleh karena objek yang demikian memuat pelbagai aspek atau dimensi persoalan, maka konsekuensi logis ialah pendekatan yang bisa mengungkapkannya.

2. Pendekatan multidimensional atau social-scientific yaitu yang paling tepat untuk digunakan sebagai cara menggarap permasalahan atau tanda-tanda tersebut di atas.

3. Ilmu-ilmu sosial sudah mengalami kemajuan pesat, maka menawarkan banyak sekali teori dan desain yang merupakan alat analitis yang berkaitan sekali untuk kebutuhan analisis historis.

4. Lagi pula studi sejarah tidak terbatas pada pengkajian hal-hal informatif wacana apa, siapa, kapan, di mana, dan bagaimana saja, tetapi juga ingin melacak pelbagai struktur penduduk , contoh kelakuan, kecenderungan proses dalam berbagai bidang, dan lain-lain. Kesemuanya itu memerlukan dan menuntut adanya alat analitis yang tajam dan mampu mengekstrapolasikan fakta, komponen, contoh, dan sebagainya.

Perlu diakui bahwa dalam masa tersebut di atas ilmu sejarah mendapatkan pengaruh besar dari kemajuan pesat ilmu sosial, antara lain perspektivisme yang menonjol, sehingga terasa perlu menyelenggarakan pergantian metodologis yang lebih canggih serta lebih produktif.

Peminjaman alat-alat analitis dari ilmu-ilmu sosial ialah masuk akal, oleh karena sejarah konvensional miskin akan hal itu, antara lain disebabkan oleh tidak adanya kebutuhan membuat teori dan ungkapan-ungkapan khusus serta menggunakan bahasa kehidupan sehari-hari dan common sense.

Rapproachment antara ilmu sejarah dengan ilmu-ilmu sosial telah barang pasti akan mengarah pada integrasi antara pengkajian sejarah dengan ilmu-ilmu sosial, sekaligus juga mendorong terjadinya pengkajian sejarah yang interdisipliner. Apabila point-point di atas membicarakan sebab-alasannya perlunya melakukan rapproachment, maka perlu pula dilihat keterkaitannya secara teoritis. (F.R. Ankersmit, 1987: 246-247)

1. Dengan bantuan teori-teori ilmu sosial yang memperlihatkan kekerabatan antara banyak sekali aspek (contohnya inflasi, pemasukan nasional, pengangguran, dan sebagainya), pernyataan-pernyataan perihal kala silam mampu dirinci, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

2. Suatu teori sosial ilmiah, mengadakan relasi antara aneka macam variabel. Ini dapat mendorong seorang sejarawan meneliti sebuah aspek dari kala silam yang serasi dengan variabel tertentu. Dengan demikian, dan dengan derma teori dari ilmu sosial lain, seorang sejarawan lalu dapat melacak relasi antara faktor tadi dengan faktor-aspek lainnya. Misalnya, sebuah teori mengenai korelasi antara pengurangan dengan investasi, mampu mendorong sejarawan untuk meneliti pengurangan di Inggris pada abad ke-18, dan dengan demikian mampu memperbesar dimensi baru terhadap diskusi mengenai latar belakang Revolusi Industri di Inggris. Pengkajian sejarah yang dilaksanakan secara interdisipliner, merangsang observasi sejarah sendiri dan membuka jalan untuk memberi balasan baru kepada pertanyaan-pertanyaan lama.

3. Akibat yang mampu diharapkan yakni kaitan yang diadakan oleh sebuah teori sosial, serta permasalahan yang ditimbulkan oleh teori itu, juga akan memberi tempat gres kepada urusan tersebut dalam tinjauan sejarah. Teori-teori sosial dapat menolong seorang sejarawan, supaya mampu menyusun pengetahuannya mengenai kurun silam dalam struktur yang paling memadai.

4. Teori-teori dalam ilmu sosial, umumnya berkaitan dengan struktur lazim dan supraindividual di dalam realita sosio-historis. Oleh alasannya adalah itu, teori-teori tersebut mampu menganalisis pergeseran-perubahan yang mempunyai jangkauan luas. Suatu pendekatan sosio-historis mampu menolong kita, jikalau kita ingin mengetahui pergantian-pergeseran yang terjadi dalam kehidupan ribuan orang yang tak berjulukan. Dalam pengkajian sejarah, memang kelihatan sebuah perhatian untuk suka duka orang-orang kecil pada masa silam. Hal ini sesuai dengan apa yang ingin ditampilkan oleh Prof. Sartono Kartodirdjo, bahwa perspektif historis dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial akan memberi tempat bagi rakyat kecil yang selama ini dianggap tidak memainkan peran dalam sejarah. Dengan kata lain rakyat kecil menjadi objek atau dramatis personae.

5. Bila teori-teori yang dipakai dalam ilmu-ilmu sosial memang dapat diandalkan dan dipercaya, maka dengan mempergunakan teori-teori itu, pengkajian sejarah mampu melepaskan diri dari cap subjektivitas yang sering dituduhkan kepada sejarawan. Penelitian sejarah yang ditopang oleh teori-teori yang dapat diandalkan, ternyata lebih mampu dipertanggungjawabkan objetivitas keilmuan sejarah itu sendiri.

Orientasi pengkajian sejarah kepada ilmu-ilmu sosial selama dua atau tiga dasawarsa terakhir ini, disokong oleh para sejarawan dan filsuf sejarah. Demikian D. Landes dan Ch. Tilly menandaskan, bahwa banyak masalah sejarah, gres dapat dipecahkan dengan tunjangan sosiologi dan demografi. Cara kerja tradisional seorang peneliti sejarah tidak mencukupi, oleh karena itu harus minta derma dari teori-teori ilmu sosial yang membuka jalan untuk mengambarkan dan melukiskan abad silam dengan cara yang lebih teliti. Selain itu, sejarawan mampu menawarkan bahan, guna memerinci dan memperbaiki teori-teori itu. Namun demikian, seorang sejarawan utamanya harus bertindak dengan lebih sistematis, kuantifikasi mesti menggantikan intuisi yang kurang jelas. Tidak cukup menyampaikan, bahwa pada tahun 1789, rakyat Perancis lebih makmur dibandingkan dengan seputar tahun 1750. Dengan sempurna harus ditetapkan, berapa jumlah penghasilan nasionalnya atau pendapatan per kapitanya, baik pada tahun 1789 maupun tahun 1750. Pada tahun 1972, seorang sejarawan Amerika L. Benson, mengungkapkan peluangnya, bahwa pada tahun 1984, semua sejarawan menjadi percaya, bahwa periode silam mampu diteliti dengan sarat arti, jikalau diminta santunan dari ilmu-ilmu sosial.

Konsep-rancangan dan teori-teori ilmu-ilmu sosial itu diakui sungguh perlu. Meskipun demikian, tidak satu pun di antaranya menawarkan jalan keluar yang siap pakai begitu saja diambil tanpa pengujian yang hati-hati, pengadaan eksperimen, dan penyesuaian. Para sejarawan sendiri mesti mencari data dan sistem ilmu sosial yang mampu memperluas lingkup dan makna observasi mereka. Mereka mesti menentukan sendiri apa yang harus diubahsesuaikan, dan apa yang mesti dipadukan dalam kombinasi-kombinasi baru secara bebas, untuk mampu memenuhi syarat-syarat yang diperlukan oleh mereka sendiri. (Ibrahim Alfian, 1985: 14)

C. Relevansi Metodologi Sejarah dengan Pendekatan Ilmu-ilmu Sosial

Masalah ini ialah persoalan pokok dalam pembahasan pentingnya relasi antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial dalam duduk perkara pendekatan dan kerangka konseptual. Untuk menerangkan relevansi metodologi sejarah dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial, kita perlu bertolak dari rancangan sejarah selaku metode. Hal ini dapat diterangkan selaku berikut: (Kartodirdjo, 1988: 131)

1. Sejarah sebagai sebuah metode

Suatu metode terdiri atas unsur-bagian atau aspek-faktor yang ialah sebuah kesatuan. Bahwasannya suatu metode itu melakukan pekerjaan dengan cara yang bagaimana, maka perlu dianalisis dengan ilmu-ilmu sosial. Dalam sebuah metode yang besar terdapat empat komponen yakni kultur, biologi, ekologi, dan personality (langsung) yang dengan fungsinya tolong-menolong mendukung fungsi umum dari tata cara yang besar itu. Di sini diharapkan pendekatan interdisipliner untuk menganalisis terjalinya fungsi banyak sekali unsur itu (ilmu kemanusiaan, Biologi, Ekologi, dan Psikologi). Biologi dan Ekologi sendiri membutuhkan pembagian lebih lanjut atau pelbagai disiplin.

Pada subsistem kultur, terdapat tiga komponen yang mendukungnya, yakni ekonomi, sosial, dan politik, yang kesemuanya merangkum dalam satu subsistem ialah kultur itu sendiri.

Ekonomi selaku metode jaringan atau distribusi komoditi sungguh ditentukan oleh tata cara sosial, seperti stratifikasi sosialnya. Society sebagai sistem jaringan atau distribusi relasi sosial yang sebagai tata cara sungguh diputuskan oleh polity, yakni tata cara distribusi kekuasaan. Dengan demikian jelaslah terdapat korelasi yang saling efek mensugesti antara ketiga komponen tersebut. Ketiga komponen itu pada hakekatnya sungguh ditentukan oleh nilai-nilai yang berlaku dalam penduduk , maka ketiganya mampu dicakup dalam kultur sebagai metode. Jika kita menghadapi proses politik selaku tanda-tanda sejarah maka untuk mengetahui proses itu, bagaimana pekerjaannya, perlu dilacak struktur kekuasaan yang ada di “belakangnya” sedangkan struktur politik dengan sendirinya kembali pada polity, yang mirip dijelaskan di atas memiliki dimensi sosial, ekonomi, dan kultural. Tidak dapat diingkari bahwa tanpa bantuan kerangka konseptual dari ilmu-ilmu sosial, gejala politik tersebut di atas sukar dianalisis dan dimengerti jalannya prosesnya. Di sini kita tidak langsung memiliki masalah dengan kausalitas namun lebih banyak dengan kondisi-keadaan dalam pelbagai dimensinya.

Selanjutnya gejala irit dan sosial perlu ditelaah juga dari faktor politik dan kulturalnya. Kombinasi antara pelbagai perspektif akan mampu mengekstrapolasikan interdependency antara banyak sekali aspek atau komponen. Dengan demikian gambaran gejala akan memperoleh lebih banyak relief. Di sini terdapat laba pendekatan ilmu sosial, ialah menyinari secara multi perspektivitas atau multidimensionalitas. Sebaliknya bentuk naratif hanya bisa memberi gambaran “datar” sehingga mudah terjebak dalam determinisme.

Dengan demikian, ilmu-ilmu sosial lain bersama dengan tata cara-metodenya dapat dikerahkan untuk menunjang terwujudnya keterangan sejarah, biar relief kenyataan sejarah lebih sarat menampakkan diri. Namun demikian, ilmu-ilmu tadi perlu dibatasi pada jabatannya sebagai pendukung ilmu sejarah dalam usahanya menerangkan periode lampau tersebut. (Poespoprodjo, 1987: 62) Sebagai teladan misalnya Sartono Kartodirdjo dalam Pemberontakan Petani Banten Tahun 1888, menyatakan: “Dalam menganalisis pertentangan-pertentangan sosial dalam penduduk Banten, kita mesti memperhatikan sistem-sistem nilai tradisional dan keagamaan, selaku suatu kekuatan konservatif yang menentang westernisasi … Usaha untuk mengadakan kekerabatan antara kecenderungan-kecenderungan sosial dan insiden-insiden politik di satu pihak dan teladan-acuan kultural di pihak lain melibatkan suatu pendekatan sosio-antropologis. (Kartodirdjo, 1984: 26) Sementara untuk memperoleh pemahaman yang lengkap tentang determinan-determinan gerakan sosial, kita perlu memperhitungkan proses politik selaku sebuah rancangan yang mengacu kepada interaksi antara pelbagai komponen sosial yang berkompetisi untuk mendapatkan alokasi otoritas. Analisis semacam ini perlu menggunakan konsep-rancangan ilmu politik.

2. Kecenderungan Penulisan Sejarah Struktural

Kecenderungan penulisan sejarah struktural tidak bisa dilepaskan dengan pengertian duduk perkara penduduk yang terikat pada struktur-struktur tertentu, sehingga perlu klarifikasi yang lebih komprehensif wacana struktur itu sendiri. Sudah barang tentu penjelasan wacana struktur juga tidak bisa dilepaskan dengan sejarah prosessual. Ini bermakna komponen struktur dan proses ialah pijakan perspektif historis bilamana kita akan membicarakan kejadian kala lampau secara kritis dan analitis.

Dengan peralatan metodologi gres, seperti penggunaan pendekatan ilmu sosial, studi sejarah kritis memperluas kawasan pengkajiannya, sehingga terbukalah kemungkinan melaksanakan penyerotan faktor atau dimensi gres dari pelbagai gejala sejarah. Kalau pada umumnya segi prosessual yang menjadi konsentrasi perhatian sejarawan dengan pendekatan ilmu sosial dapatlah digarap faktor strukturalnya. Selanjutnya dimengerti bahwa banyak aspek prosessual yang hanya dapat dikenali apabila dikaitkan dengan faktor strukturalnya, bahkan mampu dikatakan pula bahwa proses hanya mampu “berlangsung” dalam kerangka struktural. (Kartodirdjo, 1988: 134) Selanjutnya Sartono Kartodirdjo memperlihatkan contoh, bahwa tindakan insan dalam pergaulan senantiasa mengikuti kebiasaan, akhlak atau contoh kehidupan yang berlaku dalam masyarakat itu. Pola atau kebiasaan yang mantap menjadikan suatu kelembagaan, mirip adab-istiadat, etika, etiket, upacara, dan sebagainya. Dengan demikian kelakuan insan dalam masyarakat senantiasa distrukturasikan sesuai dengan tradisi atau konvensi. Di sini struktur kelakuan yang mantap melatarbelakangi langkah-langkah atau kelakuan tertentu seseorang. Apabila tidak ada struktur yang melandasinya, maka langkah-langkah itu sukar “diramalkan” atau “ditafsirkan” oleh sesamanya, jadi timbul kegundahan sosial, suatu kondisi yang tidak mungkin kehidupan bersama secara terencana dan beradab. Meskipun demikian, bagaimanapun menariknya sejarah struktural, akan tetapi sejarah bukanlah sejarah bila tidak menampung cerita tentang bagaimana terjadinya. Oleh alasannya adalah itu seyogyanya adonan antara sejarah prosessual dan struktural yang paling memadai. Committee SSRC menerangkan, “The fundamental masalah of historical study is the analysis of change over time. Some social science have found it possible, in general, to push the problem of time into the background. (SSRC, 1954: 24) Sejarah struktural dapat diibaratkan kerangka tanpa daging, jadi tanpa kehidupan. Sebaliknya sejarah prosessual tanpa struktur tidak memiliki bentuk. Kehidupan hanya mampu dimasukkan dalam konstruk bila ada naratif yang memiliki rethorik yang menumbuhkan hasrat.

Suatu analisis struktural dari riset sosiologi sangat penting untuk dipakai dalam mengkaji struktur masyarakat periode lampau. Contoh terkenal wacana hal ini ialah studi Floyd Hunter perihal struktur kekuasaan penduduk Atlanta, Georgia. Tesis dasar yang dicoba untuk didokumentasikan yakni bahwa sebagian besar kekuasaan yang efektif dalam masyarakat itu terpusat pada individu yang jumlahnya sungguh kecil. Secara lebih khusus ia menciptakan hipotesis bahwa di belakang pemerintah yang terpilih secara resmi di Atlanta, bangkit pula beberapa elit tidak resmi yang sangat berkuasa yang merupakan orang-orang yang bahu-membahu “menenteng” masyarakatnya. Dengan menguasai sumber-sumber vital, bisnis, dan industri besar, kemudahan komunikasi, perbankan dan aktivitas keuangan yang lain, serta mengatur partai-partai politik, dan diduga mampu mendominasi semua keputusan dan program utama. Sebagai balasan yang wajar dari tesis ini bahwa tidak seorang pun di luar struktur kekuasaan yang sangat terpusat, betul-betul mempunyai kontrol kepada kepentingan masyarakat. (Olsen, 1968: 212) Konsep sosiologi ini sangat penting dalam analisis sejarah yang ingin mengetahui struktur kekuasaan dalam perkembangannya di negara Atlanta.

Dalam persoalan struktur ini, sejarawan yang ingin menciptakan bab analisis ilmu pengetahuan bagi kepentingan pemikirannya, tidak hanya dipakai untuk kepentingan sejarah saja, namun juga untuk kepentingan analisis studi yang lain. Namun demikian, sejarah sangat penting untuk menggunakan desain dari ilmu wawasan ini. SSCR, contohnya mengatakan bahwa “There are two other ways of viewing and interpreting the subject matter of history. One is terms of the structure of the situation in which events take place …”. (SSCR, 95).

Demikian halnya dengan masalah proses, James Thomson dan William Mc.Ewen mengajukan alasan bahwa tujuan organisasi tidaklah statis, tetapi agak berganti-ubah oleh adanya interaksi di dalam organisasi itu sendiri, dan antara organisasi dengan lingkungannya. Menurut mereka penempatan organisasi mesti dilihat sebagai sebuah proses yang terus menerus yang senantiasa sensitif menerima tekanan-tekanan sosial. (Olsen, 1968: 217) Dari teladan ini maka mampu disimpulkan bahwa peranan proses tidak bisa diabaikan dalam menyaksikan sebuah perkembangan. Sementara sejarah itu sendiri memiliki titik tekan analisis pada kemajuan atau proses.

Apabila kita bertolak dari pendapat bahwa setiap proses sejarah yaitu saat-saat-momentum dari perubahan sosial. Di satu pihak kejadian sejarah atau peristiwa merupakan proses, dan di pihak lain dapat dipandang sebagai aktualisasi dari sebuah struktur. Dengan perkataan lain setiap struktur ialah aspek statis dari suatu proses, dan sebaliknya setiap proses ialah faktor dinamis dari suatu struktur. Hal itu mampu diterangkan selaku berikut: Tindakan atau kelakuan insan pada dikala tertentu selalu mengikuti acuan tertentu sesuai dengan nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam masyarakatnya., dengan perkataan lain menurut pranata sosialnya. Ini berarti bahwa kelakuan atau aksi itu telah dibentuk atau distrukturasikan. Pada biasanya struktur sendiri berubah alasannya adalah adanya pengaruh dari lingkungan, mirip dicontohkan misalnya adanya disorganisasi dan disintegrasi acuan peranan. Namun demikian sebuah destrukturasi akan disertai oleh restrukturasi. Justru di sini dapat diobservasi proses-proses yang mulai membentuk dan memantapkan acuan kelakuan baru sehingga kesudahannya timbul struktur gres. (Kartodirdjo, 1988: 124).

Antropolog Radcliffe Brown dalam bukunya Structure and Function in Primitive Society menerangkan ihwal fenomena sosial yang ditekankan pada kekerabatan antara kalangan dan individu selaku organisme, yang disebut dengan perumpamaan “struktur sosial”. Menurut Brown, inilah yang ialah studinya selaku seorang antropolog sosial. Di sinilah letak antropologi sosial selaku ilmu alam, yang menentukan ciri-ciri lazim struktur sosial masyarakat sebagai kesatuan unsur. Dimensi struktur sosial menurut Brown adalah: 1) Hubungan diadik, yakni relasi sosial dari individu pada individu lainnya; 2) korelasi deferensial, yakni hubungan sosial mereka dengan individu atau kalangan yang berlainan-beda. Dengan demikian, realitas konkret dalam struktur sosial adalah rangkaian hubungan yang betul-betul ada, yang terjadi pada suatu waktu. Dengan kata lain, bahwa kekerabatan nyata individu-individu dan golongan-kalangan individu berganti dari tahun ke tahun atau dari hari ke hari. Adapun bentuk sosialnya juga mengalami pergeseran namun bertahap. Struktur sosial itu ada dan mampu dipahami dengan pendekatan pada masyarakat sederhana (individu) maupun masyarakat yang kompleks atau insan dalam tata cara struktur. (Brown, 1965: 188 et.seq.) Dengan demikian teranglah bahwa peranan ilmu sosial sungguh penting untuk memahami penduduk secara mendalam dan ini sangat berguna bagi sejarah.

Oleh alasannya itu pendekatan struktural merupakan implikasi metodologis dari ilmu sejarah karena mau tidak mau sejarah akan memakai pendekatan analitis dan multidimensional, bila melaksanakan rapproachment kepada ilmu-ilmu sosial yang lain.

D. Penggunaan Konsep-desain dan Teori-teori dalam Analisis Historis

Bila pada bab di atas menerangkan beberapa alasan dan latar belakang serta relevansi ilmu-ilmu sosial bagi kepentingan analisis sejarah, kini bagaimana hal itu dilaksanakan, atau dengan kata lain bagaimana praktek penerapannya.

Di atas telah disinggung, bahwa dilema metodologi sungguh berkaitan dengan masalah teori. Teori sebagaimana dikemukakan oleh Percy S. Cohen, dibagi dalam empat kelompok besar, yaitu: 1) Teori-teori analitis, seperti akal dan matematika; 2) teori-teori normatif, mirip adab dan estetika; 3)Teori-teori saintifik; dan 4) Teori-teori metafisis. Selanjutnya Cohen menyampaikan bahwa teori saintifik disebut universal sebab teori itu menyatakan sesuatu mengenai kondisi-keadaan yang yang melahirkan beberapa peristiwa atau jenis kejadian. Sementara itu, konsep mampu didefinisikan selaku kata benda umum manapun juga. Kekuasaan, kewibawaan, pertumbuhan, pergantian misalnya adalah konsep-konsep yang umum dalam ilmu politik. (Ibrahim Alfian, 1992: 365-366)

Fungsi teori dalam disiplin sejarah seperti dikemukakan oleh Social Science Research Council di New York dalam suatu laporan Panitia Historiografi, sungguh sama dengan yang terdapat dalam disiplin-disiplin lain, ialah untuk mengidentifikasi persoalan yang akan diteliti, menyusun klasifikasi-klasifikasi untuk mengorganisasikan hipotesis-hipotesis yang melaluinya aneka macam-bagai macam interpretasi data mampu diuji, dan memperlihatkan ukuran-ukuran atau kriteria-persyaratan yang dijadikan dasar untuk mengambarkan sesuatu. Teori tidak dapat memberikan “balasan” terhadap peneliti, akan tetapi membekali peneliti dengan pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan kepada fenomena yang mau ditelitinya. (Ibrahim Alfian, Supplement buku Dari Babad dan Hikayat hingga Sejarah Kritis: 5)

Prof Dr. Ibrahim Alfian menerangkan ihwal hal ini dengan memperlihatkan beberapa acuan misalnya, karya Sartono Kartodirdjo, Protest Movements in Rural Java (1973) telah memanfaatkan kerangka analitis yang pernah dikemukakan oleh Henry A. Landsberger dalam The Role of Peasant Movement (1968) untuk memahami asal-undangan, pertumbuhan, dan balasan-akhir pergerakan yang bersifat protes sosial. Dalam semua perkara multiplisitas aspek-aspek harus dikaji dan fenomena keresahan sosial cuma dapat diterangkan melalui kombinasi alasannya-karena yang terpisah. Aspek-faktor analitis yang menjadi kerangka observasi beliau yakni: 1) Struktur politik ekonomi pedesaan Jawa di kala XIX dan era XX; 2) basis massa pergerakan sosial; 3) kepemimpinan pergerakan-pergerakan sosial; 4) ideologi-ideologi pergerakan, dan 5) dimensi kultural yang bersifat mendorong pergerakan sosial. (Ibid., p. 6)

Dalam mengkaji duduk perkara nasionalisme, Sartono Kartodirdjo memakai rancangan dari psikologi sosial. Dikatakannya, bahwa nasionalisme mampu dilihat sebagai fakta sosio-psikologis, utamanya pada tingkat pembentukannya, seperti yang terjadi di zaman Pergerakan Nasional. Kesadaran kalangan, sentimen dan kehendak kelompok yang dinyatakan pada banyak sekali organisasi nasional, merupakan wujud dan institusionalisasi langkah-langkah kalangan. Dengan sudut pandang seperti ini, maka konseptualisasi metodologis nasionalisme mungkin mampu diraih melalui sudut pandangan nasionalisme selaku fakta sosio-psikologis itu. Sebagai tindakan kelompok nasionalisme memiliki tiga faktor yang dapat dibedakan, ialah: a) faktor kognitif; b) aspek orientasi nilai / tujuan; dan c) faktor afektif. (Kartodirdjo, 1992: 245)

Sebuah pendekatan lain ialah pendekatan yang dilakukan oleh Prof. Ibrahim Alfian dalam disertasinya berjudul Perang di Jalan Allah (1987) dengan memakai pendekatan eklektik dengan memanfaatkan teori dari pakar sosiologi Amerika, Neil J. Smelser, yang dikemukakan dalam bukunya Theory of Collective Behavior (1962). Menurut Smelser, unsur pokok agresi sosial ialah: nilai-nilai, norma-norma, mobilisasi motivasi perseorangan untuk agresi yang teratur dalam tugas-peran kolektivitas, dan kemudahan situasional atau info, ketrampilan, alat-alat dan rintangan dalam mencapai tujuan-tujuan yang konkrit. Setiap gejolak sosial, diarahkan pada bagian-unsur tertentu aksi sosial itu, yakni ditujukan semoga mampu merubah nilai-nilai, norma-norma, peranan-peranan, dan kemudahan-fasilitas. (Ibrahim Alfian, 1985: 18) Selanjutnya berdasarkan Smelser gejolak sosial mampu terjadi kalau terdapat sejumlah determinan atau necessary conditions yang berturut-turut terdiri atas hal-hal selaku berikut:

a. Kekondusifan struktural (structural condusiveness), adalah aman atau tidaknya struktur sosial budaya masyarakat kepada gejolak sosial;

b. Ketegangan struktural (structural strain) yang muncul, misalnya berupa ancaman dan deprivasi ekonomi;

c. Penyebaran keyakinan yang dianut (the spread of generalized belief). Dalam hal ini situasi mesti dibuat memiliki arti bagi para pelaku yang memiliki potensi, sumber ketegangan dan cara-cara menghadapinya mesti diidentifikasi;

d. Faktor pencetus ilham (the precipatating factor) berbentuksesuatu yang dramatik;

e. Mobilisasi untuk mengadakan agresi (mobilization into action). Dalam kondisi ini peranan pemimpin sangat penting. Situasi dapat dimulai dengan adanya kepanikan, timbulnya permusuhan, dan diteruskan dengan agitasi untuk reform atau revolusi;

f. Pengoperasian kendali sosial (the operation of social control). (Ibid. Lihat juga: Neil J. Smelser, 1962: 15-17)

Teori inilah yang dipakai oleh Prof. Ibrahim Alfian dalam menggarap disertasinya.

Inilah yang merupakan teladan penerapan suatu teori dari ilmu sosial dalam mengkaji kejadian kala lalu yang dilakukan oleh dua pakar sejarah Indonesia.

E. Pandangan dan Tanggapan Terhadap Multidimensional Approach

Perlu kiranya dibahas di sini perihal pandangan maupun penilaian dan kemajuan ide metodologi sejarah dalam kaitannya dengan penggunaan dan peminjaman desain-rancangan dan teori-teori dari ilmu-ilmu sosial lain.

F.R. Ankersmit, sudah menginventarisasi keberatan-keberatan yang diajukan oleh pihak yang kontra kepada pengkajian sejarah yang berorientasi pada ilmu-ilmu sosial, antara lain: (F.R. Ankersmit, 1987: 247-250)

1. Dua keberatan yang sifatnya mudah, adalah bahan yang kita dapatkan dari sumber-sumber sejarah sering tidak lengkap, sehingga kurang memberi pegangan untuk menerapkan teori-teori dari ilmu sosial. Pengkajian secara kuantitatif dengan memanfaatkan teori-teori dari ilmu sosial bagi kala waktu sebelum tahun 1800 simpel tidak mungkin.

2. Sering juga pendekatan sosio-historis dipersalahkan memotong-motong kekayaan historis, alasannya beliau hanya menaruh minat kepada sisi-segi abad silam yang diteliti dengan derma ilmu-ilmu sosial. Akan tetapi keberatan itu kurang meyakinkan. Tak ada seorang sejarawan pun yang mampu memaparkan seluruh kekayaan periode silam. Seorang sejarawan tradisional juga menyelenggarakan seleksi, sekalipun lain ketimbang sejarawan yang bersandar pada ilmu-ilmu sosial.

3. Pengkajian tradisional lebih bisa menampilkan sebuah pemandangan luas tentang kurun silam, daripada suatu pendekatan sosio-hemat yang cuma membeberkan statistik-statistik hasil pertanian dan angka-angka ekspor impor.

4. Pendekatan terhadap era lampau yang memanfaatkan teori-teori dari ilmu sosial yang lain hanya dapat dipercaya sejauh teori itu dapat dipercaya. Kesahihan teori-teori sosial sering disangsikan, apalagi jikalau dibandingkan dengan bobot ilmiah yang terkandung dalam ilmu alam.

5. Suatu teori ilmu sosial tidak mampu digeneralisasikan secara universal, namun hanya berlaku terhadap sebuah bab dari era silam yang ingin diteliti. Makara, pekerjaan yang harus dilakukan seorang peneliti sejarah justru bertambah, tidak diperhemat. Mempergunakan teori-teori dari ilmu sosial cuma mempunyai fungsi heuristis, artinya memberi inspirasi terhadap seorang sejarawan untuk meneliti ini dan itu.

6. Keberatan terakhir tidak merupakan kepada penggunaan teori-teori ilmu sosial, melainkan lebih merupakan sebuah peringatan, apa yang dapat dan apa yang tidak mampu dibutuhkan dari ilmu-ilmu sosial, bagi pengkajian sejarah. Bila seorang sejarawan melukiskan sebagian dari abad silam, maka dalam buku atau karangan yang membahas bagian dari abad silam, dia memperlihatkan suatu gambaran tentang bab periode silam itu. Tentunya supaya gambaran itu berbeda daripada citra-citra yang pernah dilukiskan oleh sejarawan-sejarawan terdahulu. Ilmu-ilmu sosial cuma berguna untuk memerinci rincian-rincian dalam sebuah uraian historis. Bila seorang sejarawan kita tafsirkan selaku seorang guru gambar tentang bagian-bab dalam kurun silam, maka ilmu-ilmu bantu, artinya menolong seorang sejarawan mengadakan seleksi apa yang merupakan persoalan parsial saja, jikalau dipandang dari perspektif uraian historis seluruhnya.

Apabila dilihat kemajuan dari gagasan metodologi multidimensional ini, utamanya di Indonesia, maka sangat menarik apa yang diungkapkan oleh Taufik Abdullah, bahwa pertama multidimensional approach, dikatakannya masih merupakan sebuah keinginan, karena dari sudut metodologis tidak banyak terjadi pergeseran yang memiliki arti. Kedua, ada dimensi yang dilupakan bila tidak dibilang hilang, oelh sejarawan profesional Indonesia pasca multidimensional approach, ialah dimensi “makna” dari hasil penulisan mereka. Benarkah demikian?

Pembahasan terhadap dilema ini haruslah bertolak dari ciri ilmu sejarah itu sendiri, ialah bahwa mengatakan wacana sejarah ialah mengatakan tentang sesuatu yang tidak pernah tuntas. Mengapa demikian? Ya, alasannya adalah setiap hasil penulisan sejarah adalah rethinking kembali kepada kajian kala lampau yang pernah ditulis oleh penulis abad lalu. Hal ini masuk akal karena sesuai dengan kata Cicero, bahwa sejarah ialah anak zaman. Setiap generasi akan menuliskan sejarahnya. Sudah barang pasti, setiap ditemukannya bukti-bukti yang baru dan interpretasi ataupun penggarapan dengan metodologi yang lebih “mutakhir” akan menimbulkan suatu hasil gres, yang bahu-membahu justru akan melengkapi kajian yang pernah atau telah dikerjakan sebelumnya.

Bila kita lihat kemajuan penulisan sejarah di Indonesia semenjak diadakannya Seminar Sejarah I di Yogyakarta, maka impian untuk mengungkapkan sejarah dari “dalam” dan bersifat nasionalistis, dengan mengadakan sebuah sintesis ke arah kesatuan geopolitik (integrasi) dengan memakai pendekatan multidimensional approach, maka dapatlah kita pahami, bahwa sejak semula multidimensional approach dimaksudkan untuk menawarkan bobot ilmiah, kekritisan, dan Indonesia View dari suatu rekonstruksi sejarah Indonesia. Oleh alasannya itu, perlu disadari bahwa kekritisan yang dibutuhkan dengan penggunaan rancangan-desain dan teori-teori dari banyak sekali ilmu sosial bersifat persoalan oriented, sehingga sungguh berkonsekuensi kepada sikap “academical actions”. Dengan demikian, sudah barang tentu, multidimensional approach ialah salah satu upaya “pengilmiahan” dengan ciri “kekhawatiran” mencari dan kesediaan untuk menguji perkiraan yang dipaparkannya. (Indriyanto, 1992: 3)

Memang, mirip apa yang disinyalir oleh Taufik Abdullah, bahwa multidimensional approach secara metodologis tidak banyak menghasilkan pergantian dalam penulisan sejarah di Indonesia. Beberapa implikasi baik secara teoritis maupun mudah dikemukakan oleh Taufik antara lain: 1)Secara implisit menolak determinisme sejarah; 2) Masalah objektivitas sejarah “dipindahkan” dari lapangan filsafat ke dilema-dilema metodologis; 3) Makin intimnya sejarawan dengan desain ilmu-ilmu sosial sehingga berakibat pada perjuangan pemberitaan historis; 4) Sejarah setempat dan agraria kian menjadi “primadona” dalam historiografi Indonesia; 5) Lebih menekankan pada insiden struktural dibandingkan dengan event; mode of explanation yang bercorak argumentatif teoritis, sehingga menjadikan rekonstruksi mesti senantiasa diuji dan diperdebatkan.

Dari beberapa hal di atas, masih harus ditambah lagi dengan kenyataan bahwa dalam “peredaran” karya sejarah dalam masyarakat luas terkesan masih didominasi oleh sejarawan konvensional. Apa yang dihasilkan oleh multidimensional approach lebih ialah pemikiran teoritis. Hal itu dibuktikan dengan beberapa disertasi yang masih terikat dengan pertanyaan konvensional dan adanya “perdebatan terselubung” dari disertasi-disertasi produk setelah multidimensional approach dipopulerkan. Taufik mencontohkan disertasi Djoko Suryo yangmemperkenalkan quanto-history, Ibrahim Alfian yang menjajal melaksanakan pendekatan dari dalam yang bertolak dari cluster of events, sebuah hal yang menimbulkan dia bergumul dengan interpretasi teks. Kedua studi ini ialah acuan yang cukup ekstrim kalau ditarik pada konsekuensi logisnya karena memperdebatkan perkiraan teoritis yang berbeda. Di samping itu, Sutjipto yang lebih melakukan pementingan sumber yang exhaustive, Kuntowijoyo dan Onghokham yang menekankan pada persoalan tematis dengan ketelitian konseptualisasi, Hamid Abdullah yang menggunakan oral tradisi, dan berbagai makalah seminar dengan rancangan yang segar dan manantang yang tertuju pada tema-tema kecil. Semua itu memberikan pada suatu kecenderungan ilmiah lain dari multidimensional approach. Karya-karya mereka masih menawarkan pada kemajemukan desain dan trends yang sedang “in”.

Fenomena seperti ini bekerjsama bukanlah ialah sesuatu yang merisaukan, bahkan justru mengasyikkan. Mengapa demikian? Ya, alasannya sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan ilmu wawasan itu sendiri, maka metodologi merupakan sesuatu yang berdinamika dan terus meningkat . Bukankah salah satu kebutuhan yang urgen pada dikala ini yaitu visi baru pada sejarah terbaru, mirip yang dibilang oleh Alfred Weber? (Mayerhoff, 1959: 29) Yang jelas, mereka sudah berjasa dengan berbagai konsep metodologisnya sendiri-sendiri. Adalah sesuatu yang nonsense bila pertumbuhan penulisan sejarah hanya didasarkan pada satu view of approach saja.