Malam itu tampak lebih kelam, suram, & padam tak seperti biasa. Bukan karena gelap & acuh taacuh malam, tetapi karena parasnya tertunduk lesu, pucat pasi dgn tangan terikat & lolongan anjing-anjing yg begitu memaki selalu meneriaki.
Laki-laki paruh baya itu mengunjungi gedung itu. Tentu tak sendiri, beserta para penjaga yg memborgol kedua tangannya. Mendatangi gedung itu bermakna mengunjungi suatu masa depan yg lebih buruk. Masa depan di jeruji besi. Bisa dikatakan begitu.
Kemudian para wartawan berdatangan di bawah sinar bulan mencari kepastian gosip. Mencari busuk-amis busuk yg bisa mereka tulis & laporkan di koran-koran & televisi mereka. Dengan cahaya yg sedikit temaram mereka menghampiri gedung itu. Mencoba untuk masuk. Kata-kata memaksa membuat satpam penjaga itu mengizinkan. Di lobi saja katanya…
Gila, gue memang bersalah Tuhan. Ampuni aku. Aku akan mencoba untuk melawan. Tidak mau gue diperlakukan seperti ini. Aku yaitu seorang yg paling mulia. Mereka menyebutku Yang Mulia. Tidak mungkin gue diperlakukan terhina seperti ini. Aku akan melawan demi membela kesombonganku.
Suara mikrofon itu terdengar. Kamera-kamera sudah siap menatap dgn tajam sosok yg akan mengatakan di meja itu. Seorang juru bicara yg setiap dikala menjadi penyambung pengecap keingintahuan akan keadilan. ”…malam ini telah ketahuan seorang pejabat negara…diduga karena mendapatkan suap untuk meloloskan somasi Pilkada…”
Esok kemudian mereka membacanya di koran kota, di halaman pertama. Mereka pula menonton di televisi-televisi mereka. Menjadi gosip utama & terus berulang-ulang disaksikan. Ada seorang yg sudah rela menggadaikan masa depannya. Menggadaikan bangsanya. Menggadaikan keluarganya, anak-anaknya, & mendustai sumpah jabatannya. Akan namun, ia tak menangis entah mengapa. Ia pula masih merasa tak bersalah entah mengapa. Dan ia pula tak meminta maaf entah kenapa terhadap semua hal yg dikhianatinya.
Semakin lama semakin ramai mereka membicarakannya. Seakan-akan masih tak percaya dgn apa yg sudah terjadi. Memang, duit, kekuasaan & kekuatan akan terasa panas di tangan jikalau tak berada di tangan orang-orang yg benar. Begitu gue sering mendengar.
Rumah kediamannya dihampiri oleh para pencari isu, mereka menjajal mencari tahu & menerka-nerka berapa bekerjsama harta kekayaannya. Dari kota hingga desa. Dari yg biasa disinggahi sampai rumah-rumah di kampung halaman. Tidak ketinggalan pula semua usaha-bisnisnya diliput, dicari tahu sumber dananya & berapa penghasilan sebenarnya. Dan dr semua itu cuma ada satu kalimat. Sangat tak wajar dgn penghasilan yg didapat.
Berita pun semakin memanas alasannya didapatkan pula dua buah linting narkoba jenis gres yg sungguh jarang beredar berada di ruang kerjanya. Punya siapakah itu? Semua orang jelas ingin tahu. Jangan-jangan Yang Mulia Yang Terhormat ini sedang teler tatkala memimpin sidang.
Saya dijebak Tuan Penyidik. Uang itu bukan milik saya. Ada orang yg membawakannya. Sungguh saya tak bersalah. Saya dijebak. Saya dijebak. Saya dijebak. Ada yg ingin menghancurkan nama baik saya. Ini ialah sebuah konspirasi besar. Saya akan mengambarkan bahwa saya tak bersalah.
Hari itu. Kita berangkat bersama. Melalui pesawat yg sama. Singapura tujuan kita. Bukan alasannya kebetulan kita berada di pesawat yg sama. Bukan pula alasannya kebetulan kita berada di hotel yg sama. Bertemu ananda hari itu. Hari digadaikan martabat sebuah pengadilan dgn sekarung akad & duit. Tentu bukan untuk hari yg pertama kali. Lewat mitra usang, semua perundingan menjadi mudah. Hati kecil ini menolak dgn tegas. Akan namun perlahan dgn pasti kesepakatan manis mengalahkan seluruhnya. Uang memang bisa membeli segala-galanya.
Istriku, gue sudah selesai berobat di Singapura. Sopirku yg menemaniku di sana. ia memang sungguh setia kepadaku. Selalu menemaniku. Tentu saja sebagai orang kepercayaanku ia yg kujadikan orang pertama untuk mendapatkan duit-uang itu. Sedangkan saya, hanya duduk diam & bagus saja menikmati semua yg kudapat dgn cara kotor itu. Istriku. Andai kau tahu ini. Mungkin saja kamu akan pergi meninggalkanku. Maafkan gue istriku.
Hari ini sudah kukabulkan permohonan kalian. Persidangan sudah gue tutup. Sekarang nikmati kemenangan kalian. Tapi camkan, kemenangan kalian berkat jasaku. Jangan lupakan itu. Camkan. Aku tunggu semua yg kalian janjikan. Dan ingat cuma kita & Tuhan yg mengenali semua ini.
Satu per satu keluarganya datang. Istri, anak & kerabat-saudara yg lain. Mereka menjenguk ke dlm teralis besi itu. Raut-raut wajah kecewa menyelimuti mereka. Ingin memaki namun ayah sendiri. Ingin memaki tetapi suami sendiri. Ingin memaki namun keluarga sendiri. Tetapi mereka tidak mau menghujat seorang yg sudah tepat berada di depan mereka. Karena mereka sadar, bukan makian yg ia butuhkan. Hanya sedikit rasa iba, belas kasihan & sedikit iman untuk menemaninya di jeruji besi itu. Selain itu, karena mereka sadar bahwa sosok yg selama ini menjadi pujian mereka sudah setiap hari dicaci & dimaki akhir peristiwa memalukan & memilukan ini.
Istriku, ingin rasanya kuseka air matamu. Kuhapuskan kepedihanmu. Anakku. Ingin rasanya kukatakan bahwa gue tetap ayahmu. Dan buat kamu besar hati mempunyai ayah seperti aku. Tapi gue malu melakukannya. Aku malu mengatakannya. Diriku sudah menjadi aib bagi kalian. Tak pantas gue rasanya meminta maaf alasannya kesalahanku yg begitu besar.
Mereka cuma bengong. Tanpa kata. Hati mereka menangis. Tatapan mereka kosong. Ada kata yg tak terucap, ada sedih yg tak terungkap, ada benci & amarah yg tak mungkin terluap. Seakan-akan terjebak dlm sebuah lubang yg dalam. Mereka berusaha keluar dr situasi ini tetapi mereka tak bisa memulai dr mana untuk mencairkan situasi.
Sebuah kamera menatapnya dgn tajam, wartawan itu mengajukan pertanyaan-tanya dgn nada yg tegas dgn tujuan menemukan suatu jawaban. Tetapi laki-laki paruh baya itu tak menjawab. Malah ia murka. Mukanya memerah. Marah alasannya tak mau menjawab, sungguh terganggu dgn pertanyaan wartawan atau marah alasannya malu terhadap dirinya sendiri. Lalu, laki-laki itu mendorong kamera itu. Merusak kameranya & menampar wartawan itu. Lagi-lagi ada cerita baru yg akan dibahas di koran & televisi perihal Yang Mulia Terhormat ini.
Lalu, pengacara pria paruh baya itu menjadi perantara. Sering muncul di televisi-televisi & informasi di koran-koran kota. Berusaha meluruskan dongeng. Berusaha menjadi mediator laki-laki Yang Mulia Terhormat ini. Pengacara itu berkata seperti hari-hari sebelumnya. Kliennya tak bersalah. Ia pula berkata bahwa kliennya dijebak. Tak luput ia pula meminta maaf pada wartawan yg ditampar oleh kliennya. Semua pembicaraannya & bantahannya menolak dgn tegas semua tuduhan yg dituduhkan pada kliennya.
Sekarang, laki-laki paruh baya itu sudah mengundurkan diri. Mengundurkan diri sebelum ia diberhentikan dgn tak hormat. Berusaha berbuat bijak untuk meminimalkan rasa malu. Padahal semestinya berbuat bijaklah ia untuk tak menerima sesuatu bentuk apapun dr orang-orang yg terlibat atau berperkara dengannya di meja persidangan.
Satu-per satu yg terlibat dgn peristiwa ini diperiksa oleh penyidik. Beberapa menjadi saksi, & beberapa pula ada yg ikut ditangkap pula untuk menemani di jeruji besi. Satu-per satu pula kroni-kroni & antek-antek cecunguk peradilan ini yg berusaha menghalalkan segala cara untuk menguasai & memenangi segala bentuk sengketa pemilu timbul di media massa. Terliput kendaraan beroda empat-kendaraan beroda empat glamor mereka. Entah hadirnya dr mana. Mungkin dr korupsi di daerah yg sudah mereka kuasai. Bukan mungkin akan namun niscaya dr sana. Karena korupsi mereka kaya & semakin kaya.
Hari ini mahkamah itu rusuh, sekelompok orang sudah tak percaya dgn pengadilan yg dinamakan gerbang terakhir konstitusi atau penjaga terakhir konstitusi. Peristiwa ini, gres pertama kali terjadi. Entah mereka sengaja, bersiklus atau tidak. Mereka merusak meja-meja itu, mereka teriak-teriak meminta keadilan di gedung itu. Merusak berbagai properti di ruangan itu. Pengeras suara dibanting, dihancurkan & polisi-polisi hanya menyaksikan gundah harus berbuat apa.
Ada amarah di mata mereka, amarah yg mungkin saja tertuju pada seorang yg sudah membunuh keadilan di penjaga konstitusi. Hak-hak mereka merasa dicabut, kemenangan mereka serasa dirampas. Rasa keadilan sudah tak mereka rasakan di negeri ini.
Di balik itu semua, ada segerombolan anak kecil di sudut-sudut kota, mereka tidur tanpa alas, mereka tidur tanpa memiliki atap, mereka meminta-minta di jalan-jalan kota. Mereka sedang tak memahami dgn yg terjadi di negeri ini. Mereka pula tak perduli. Mereka hanya memikirkan rasa lapar yg terus berlomba-lomba di dlm perut mereka. Silih berganti.
Di sudut kota yg lain, ada pedagang-penjualyg mencari rezeki dgn halal alasannya sudah tak adanya lapangan pekerjaan untuk mereka. Mereka berusaha sendiri, dgn modal dr dengkul & lutut mereka. Berjualan pun mereka harus berlari-lari diburu-buru oleh para petugas pamong praja. Para petugas itu membawa pentungan, & berteriak dgn keras. Sangat keras. Seperti menghadapi pencuri yg sedang mencuri nasi. Akan tetapi tak terlihat teriakan petugas pamong praja itu ketika menghadapi terpidana korupsi yg masih bisa menyunggingkan senyum-senyum mereka & melambaikan tangan-tangan mereka pada para wartawan & kamera yg sedang berada di depannya.
Di sudut gemerlap remang-remang kota, ada banci yg menjajakan dirinya. Entah terpaksa atau tak sebab himpitan ekonomi atau sebab kebutuhan seksual mereka. Dan kini di desa, ada pak tani yg terlilit rentenir untuk menghidupi keluarganya dgn kesempatan bisa dibayar ketika panen. Hidup mereka berputar di situ-situ saja. Tanpa keinginan & khayalan-khayalan yg terlalu muluk. Pak tani cuma ingin membahagiakan keluarganya.
Laki-laki itu lupa atau akal-akalan lupa. Laki-laki itu tuli atau pura-pura tuli laki-laki paruh baya Yang Mulia Terhormat. Apakah ia tak menyaksikan di sekitarnya. Tidak menyaksikan di sekelilingnya. Tidak bisa mencicipi kesusahan & perjuangan yg dirasakan oleh masyarakat yg kurang beruntung di negeri ini. Masih banyak kegalauan-kegundahan lain di negeri ini di bangsa ini.
Tabik, gue lelah menceritakan ihwal seorang yg membunuh keadilan di gerbang konstitusi. Ingatlah cerita ini bukan perihal seseorang, melainkan seorang. Semoga kalian tahu perbedaannya. Tuhan berikanlah cahaya-Mu di negeri ini.