Teman Satu Sel | Cerpen Pangerang P Muda

 

Dinding-dinding sel yg menerungkunya sudah beluwek. Bukan cuma warna catnya, tapi plesterannya pun di beberapa belahan sudah terkelupas. Dinding itu tak mampu meredam bunyi debur ombak di luar, membuatnya kerap tersadar dr lelapnya & menyangka dirinya sedang tidur diatas perahunya.

Ia ada di situ sehabis mencencang seekor ikan besar yg gendut. Didepan hakim yg mengadilinya, ia berargumentasi itu dilakukannya sebab ikan besar itu telah mengkonsumsi ikan-ikan kecil miliknya, menciptakan istri & anak-anaknya terancam kelaparan. Hakim menggeleng, & mengingatkan yg ia cencang itu yakni seorang tauke hasil maritim di kampungnya. Ia memandang gelengan hakim dgn rupa tak paham. Tetap saja ia menganggap yg diiris-irisnya itu yakni ikan besar yg sangat lahap mengkonsumsi ikan-ikan kecil penyanggah hidup keluarganya.

Bukan cuma status terhukum yg divoniskan padanya, tapi pula predikat mampu membahayakan keamanan orang lain, yg akhirnya membuatnya dibawa ke dlm sel yg terpisah dgn tahanan lain. Sejak itu pula kulitnya yg sekelam tembaga tak lagi tersentuh terik matahari pantai; & ia mulai rindu bercakap-cakap dgn seseorang.

Ia menentukan dibalik tembok ini ada maritim. Bila telapak tangannya yg menjamah tembok terasa kering, tentu air maritim sedang surut. Dan bila pasang, air bahari di balik tembok mungkin sampai merendam dasar tembok, & ia memastikan itu tatkala telapak tangannya yg menyentuh tembok terasa basah. Dua lubang angin di bawah plafon cuma bisa mengirim cahaya siang & gelap malam sebagai penanda waktu baginya.

Telah berpuluh-puluh kali cahaya siang & gelap malam silih berubah menunjukkan diri melalui lubang angin itu. Suara debur ombak & bacin air laut menciptakan indra pendengar & pengendusnya tetap bekerja dgn baik, tetapi mulutnya terasa akan kebas alasannya adalah sudah terlalu usang membisu. Dan ia kian ingin bercakap-cakap dgn seseorang.

Ia mulai berpikir, akan lebih anggun bila ada temannya didalam sel. Ia dapat mengobrol ihwal ketamakan ikan besar itu, yg sungguh rakus menyantap semua hasil bahari dr nelayan kecil, menghargainya dgn sangat murah sesudah menjebaknya dgn beragam barang atau uang untuk diutang. Ia ingin pula bercerita pada sahabat satu selnya, bahwa perbuatan mencencang tubuh itu dgn parang pembelah ikan tuna, ialah upaya membebaskan keluarga & warga kampungnya supaya terlepas dr cengkeraman si ikan besar–atau si tauke, berdasarkan hakim yg memalu vonisnya.

  Kaki Sewarna Tanah | Cerpen Eka Dianta BR Perangin-Angin

Ia semakin kerap terjaga. Kelopak matanya kian susah diajak terlelap. Merasa tak tahan lagi, akhirnya ia mulai suka menghantam-mukul pintu selnya.

*****


Telah empat kali sipir itu menanyainya, “Ada apa?” Dan ia senantiasa menjawab, “Saya mau teman satu sel.”

Awalnya sipir yg berdiri di luar pintu sel itu tertawa. “Kau pikir ini hotel, dgn sesukamu minta wanita untuk kau temani tidur?”

“Saya tak butuh sobat tidur,” balasnya. “Saya mau teman mengobrol.”

Sipir itu menggeleng. “Kau lupa, kalau kau itu sungguh berbahaya? Bila ada sahabat satu selmu, suatu hari kau bisa saja menganggapnya ikan besar, kemudian kau memotongnya.”

Ia mengguncang pintu sel. “Heh!” pekiknya. “Kau pikir di sini ada parang? Bahkan pisau pemotong kuku pun tak ada!”

“Mungkin kau akan menggigitnya,” sipir itu menghina. “Mungkin setelah kau mencekiknya terlebih dahulu.”

Ia murka. Makin sering pintu ia guncang, seraya berteriak, “Saya ingin teman satu sel. Saya ingin berbicang-bincang. Terus menerus membisu akan membuat mulut saya tak mampu lagi berfungsi. Saya mampu jadi bisu di sini!”

Para sipir mulai merasa terusik. Di larut malam kadang ia berteriak, melolong, kemudian bila lelah ia akan bercakap-cakap dgn dirinya.

*****

Suatu hari, keinginannya terwujud. Pintu selnya terbuka. Beberapa orang sipir dgn tatap siaga melangkah masuk.

“Mulai hari ini, keinginanmu kami kabulkan,” kata salah seorang sipir. “Lama kami menunggu ada tahanan gres masuk, yg kami anggap cocok untuk menemanimu. Paling tidak, usulankami, yg tak mungkin membahayakan jiwanya. Sekarang kau tak akan sendiri lagi. Seorang tahanan gres kami antar untuk menjadi teman satu selmu. Agar kami pula tak lagi kau ganggu dgn teriakan-teriakanmu.”

  Cintaku Jauh di Komodo | Cerpen Seno Gumira Ajidarma

Sipir yg lain tertawa. “Kami tempatkan tahanan baru ini di sini, karena kami percaya kau tak mungkin membahayakan dirinya. Kau tak mungkin hingga hati melukainya, atau malah membunuhnya, seperti yg kau lakukan pada tauke ikan itu.”

Seorang sipir masuk menenteng kotak kayu sebesar kotak obat. Sipir itu menaruh kotak itu di sudut kamar. Setelah pintu sel berdebam menutup, ia masih terheran-heran. Teman satu selnya cuma dibaringkan dlm kotak sekecil itu? ia teringat kotak serupa tergantung di ruang kerja si ikan besar, dgn tanda + berwarna merah terang di penutupnya.

Ia menjajal berpikir. Tubuh sekecil apa pun, tak mungkin mampu termuat di dlm kotak itu. Atau di dlm kotak itu hanya ada seorang bayi? Kejahatan apa pula yg dapat dikerjakan seorang bayi, kecuali menggigit puting susu ibunya? Ia tertawa dgn pikiran di kepalanya.

Ia mendekati kotak itu. Pikirannya mulai meliar: isi kotak ini niscaya bom. Atau benda apa saja, yg niscaya ditujukan untuk membahayakan dirinya. Mungkin ini cara sipir-sipir itu membungkam teriakannya.

*****

Seharian ia terus menduga-duga apa isi kotak itu. Malamnya, ia merasa khawatir isi kotak itu akan keluar & membahayakan dirinya. Di dlm selnya, tak ada benda yg mampu ia pakai untuk membela diri, bila isi kotak itu tiba-tiba menyerangnya. Ia merasa sungguh gusar. Akhirnya ia meneriaki sipir tatkala dilihatnya melintas di depan pintu selnya. “Hei, kenapa kotak itu disimpan di dlm sel saya?”

Sipir itu menoleh, menjawab tak hirau, “Bukankah kau sendiri yg meminta sobat satu sel?”

“Saya tak minta ditemani suatu kotak,” ungkapnya. “Atau … eh, jangan-jangan itu kiriman tauke bedebah itu, untuk mencelakakan saya?”

“Tauke itu sudah mati.”

“Bisa saja dikirim keluarganya.”

Sipir lain tiba mendekat mendengar keributan itu. Setelah temannya memberi penjelasan, sipir itu menatapnya.

“Di dlm kotak itu, ada tahanan. Statusnya pula terhukum seperti dirimu,” terang sipir yg baru datang itu. “Dia bisa menemanimu berbincang-bincang. Bukankah itu permintaanmu?”

  Keranda | Cerpen D. Inu Rahman Abadi

Ia menoleh memandang kotak kayu bercat putih higienis itu. Mendadak ia berpikir, tahanan di dalamnya tentu sangat hebat melipat badan, sehingga mampu muat di kotak sekecil itu.

“Apa yg telah ia lakukan?” katanya pada sipir, dgn mimik heran.

“Dia sudah menciptakan kota ini terbakar. Ke mana-mana ia menyebar fitnah, memprovokasi orang-orang, kalangan-golongan, agar murka & saling menghujat. Orang-orang dibentuk saling tidak senang, saling meragukan, kemudian saling mengintimidasi. Di mana-mana kemudian terjadi pertengkaran, terjadi tawuran, & terjadi perusakan. ia sungguh berbahaya,” terang sipir itu.

Sipir yg lain menambahkan, “Namun, percayalah, ia tak akan membahayakan dirimu bila menjadi teman satu selmu. Kami pun yakin, kau tak akan membahayakan dirinya. Makanya kami menempatkannya satu sel denganmu.”

“Kalian akan menjadi sahabat satu sel yg seimbang,” sipir itu menyertakan, seraya tersenyum masam. “Parang & kata-kata, sama-sama telah mengkonsumsi korban.”

Ia menoleh lagi ke kotak itu. Ia belum sepenuhnya paham. Mungkin lebih baik bila ia mengajak tahanan teman satu selnya itu mengobrol. Saling mengembangkan pengalaman, bagaimana bendo & kata-kata mampu melukai.

Digesernya kotak itu ke tengah kamar sel. Ia membuka penutupnya, kemudian melongokkan kepala. Ia terkesima. Isi kotak itu menggeliat, sudut-sudutnya tertarik ke atas mirip menyungging senyum.

Ia tak ragu lagi. Isi kotak itu ia keluarkan, kemudian ditaruh di atas telapak tangannya. Telapak tangannya terasa geli. Benda itu terus bergerak & menggeliat, seakan meregang alasannya adalah usang terkurung. Bahkan kemudian menyapanya, “Hai.”

Sejak dikala itu, para sipir yg mondar-mandir di luar kamar selnya, mulai sering mendengarnya mengobrol. Ia mengobrol serius dgn sahabat satu selnya, yg cuma suatu ekspresi. ***

Pangerang P Muda ialah guru SMK di Parepare. Cerpennya, Tanah Orang-Orang Hilang, menjadi nomine & ikut dibukukan pada antologi cerpen pemenang Tamanfiksi.com (2016) & Runduk Bahu Bapak dibukukan dlm antologi Komunitas Parepare Menulis (2017).