close

Telur Ayam Sebelum Fajar | Cerpen Edy Hermawan

Kepercayaan lahir dr rahim panik. Takut kehilangan, takut berpisah, takut menderita. Terlebih saat ananda sedang disekap takut mati. Kamu pun percaya & melakukan apa saja supaya terhindar dr cemas itu.

Kamu tentu pula pernah mendengar akhir hayat adalah kepastian, sehingga panik menjadi tak memiliki arti. Benar, sebagian orang, mungkin pula kamu, tetap takut & ngeri, meski sekadar mendengar kabar perihal akhir hayat.

Coba ananda bayangkan, tatkala takut kehilangan & perpisahan bersarang dlm dirimu. Kamu takut kehilangan kekasihmu yg baru ananda lamar satu bulan lalu; ananda takut pada perpisahan kalau kekasihmu meninggalkanmu.

Saat seperti itu, ananda akan percaya saja pada apa pun yg mampu membuatmu terbebas dr ketakutan. Takut kehilangan atau takut pada perpisahan dr kekasihmu.

Seperti itu pula kondisi yg menyeruak membauiku dr seorang laki-laki yg duduk di sudut kamar itu. Memang gres dua hari ini lelaki itu duduk memeluk lutut yg tertekuk. Sarung bau tanah bermotif kotak-kotak menyelimuti tubuhnya. Bibirnya gemetar dgn mata gelap tertutup keputusasaan.

“Ada apa dengannya?” tanyaku pada wanita itu, istrinya.

“Dia cemas,” jawabnya pendek.

Aku yakin ananda pula pernah berjumpa orang mirip lelaki itu. Paling tak orang-orang yg ibarat laki-laki itu. Ada panik yg mengeram dlm jiwanya.

Saat duduk di taman, ananda akan menyaksikan seorang lelaki memanjakan perempuannya. Lelaki itu takut kehilangan perempuan itu. Saat ananda ke pasar, ananda akan menyaksikan para pedagang menjajakan barang barang jualan. Mereka takut barang dagangan itu tak laku.

Saat duduk di depan televisi menonton sepak bola, ananda menyaksikan tim kompak mengadang bola, menyerang, menahan, atau mengumpan. Mereka takut gawang dibobol musuh.

Kamu mau protes & mendebatku alasannya adalah itu tak sejalan dgn pikiranmu, silakan saja. Tapi itu tak perlu. Aku sudah tahu. Kamu niscaya akan menyampaikan apa yg ananda lihat tak sama dgn lelaki yg gue ceritakan. Mereka yg ananda lihat cuma cemas, tetapi tak dicekik keputusasaan.

Kalau memang begitu, ananda benar. Lelaki yg gue ceritakan tak cuma memelihara ketakutan, namun pula keputusasaan. Tapi perlu ananda tahu, bukan soal cemas atau keputusasaan itu, melainkan bagaimana cemas & keputusasaan itu bersarang & mengerami jiwanya. Kemudian ia percaya apa pun begitu saja, padahal itu hanya bualan orang-orang yg sedang menghibur diri.

*****

Semula lelaki itu hanya berkomentar pendek ihwal kabar wabah yg menyerang Negeri Merah. Istrinya pun tak terlalu menggubris. Di samping tak memahami alasannya tak sempat mengikuti berita, ia pula sibuk mengasuh & mengopeni dua anaknya.

  Negeri Penidur | Cerpen Toni Lesmana

“Negeri ini pula mesti siap-siap,” kata laki-laki itu pada istrinya saat sedang menyuapi anak bungsunya.

Kamu tentu pula tahu apa yg terjadi di Negeri Merah tak hanya akan menjadi dilema nasional mereka, tetapi akan menjadi duduk perkara dunia. Setiap negara, provinsi, kabupaten, kecamatan, desa, keluarga, sampai individu terancam oleh serangan wabah.

“Apa ia terserang wabah?” tanyaku pada istrinya.

“Tidak. Setidaknya belum terbukti sampai dikala ini. Tapi ia tak bisa menyingkir dari serangan benda kotak bergambar di ruang tamu itu & gawai di genggamannya,” jawabnya.

Aku tak menyangkal. Jangankan istrinya, gue pun menyadari itu. Setiap kali bertemu denganku, laki-laki itu selalu membicarakan hal baru. Bahkan gue banyak tahu ihwal banyak hal dr beliau, termasuk apa yg terjadi di Negeri Merah, sebelum wabah itu bertandang ke negeri ini.

Menurut penuturan istrinya, keceriaannya menghilang sejak banyak orang, termasuk petinggi tanah negeri ini, merespons apa yg terjadi di Negeri Merah dgn kelakar. ia lebih banyak diam. Duduk di ruang tamu menghadap kotak bergambar itu. Sering pula ia telentang dgn gawai di tangan hingga pagi hari tanpa lelap semenit pun.

“Apa lagi yg pernah ia katakan padamu?” tanyaku pada istrinya.

“Wabah itu sudah menyerang penduduk tanah ini. Korban terus berjatuhan. Setiap hari terus bertambah, baik yg tergigit maupun yg meninggal. Tapi penduduk cuma dicekoki kata-kata penenang & perdebatan,” tuturnya.

Kemudian ia menunduk sebelum melihat ke pintu kamar yg tertutup itu. Wajahnya menyiratkan kesenduan. Tatapannya berkabut kesedihan penuh ketidakmengertian, menembus pintu kamar di sisi kanan, kawasan suaminya didekap ketakutan.

Aku membisu menduga-nerka kalimatnya sembari menyeruput kopi yg disajikan setengah jam lalu. Nikmat. Berbalik dgn keadaan rumah megah ini; sarat kekhawatiran.

“Kami punya perjuangan skala kecil, membuka toko kelontong di sebuah kota. Kami punya tiga toko yg dijaga tetangga-tetangga kami. Sekarang mereka minta pulang. Tidak ada yg mau mempertahankan. Toko terpaksa akan kami tutup,” dongeng istri lelaki itu.

  Bujang Jauh | Cerpen Benny Arnas

Menurutmu apa yg mesti gue katakan kepadanya, istri laki-laki itu? Aku & ananda tentu sudah paham. Meski hidup di kampung seperti kita ini, tetap sangat merasakan dampak ekonomi wabah itu.

Kamu tahu harga barang-barang di toko kelontong di samping rumahku sudah naik berkali-kali. Katanya, barang sudah langka. Sulit didapat. Apalagi di kota. Kamu sudah lihat warta terakhir, rupiah semakin menunduk tak bertenaga.

“Apa kita akan krisis mirip 98?” tanya istri laki-laki itu tiba-tiba.

“Yang terang ekonomi & kesehatan kita kritis, apalagi psikis kita. Mungkin itu yg terjadi pada suamimu,” jawabku.

“Apa suamimu masih mau makan?”

“Masih. Tapi kadang kala,” jawabnya.

“Jauhkan dulu ia dr kotak bergambar di ruang tamu ini & gawainya. Mungkin ia akan jadi lebih baik,” saranku.

“Akan kucoba saranmu,” jawabnya.

“Masih ada yg suamimu katakan?” tanyaku.

“Banyak. ia sudah tahu apa yg dilakukan para petinggi. Menyiapkan tenaga medis untuk melayani korban. Menurunkan keamanan untuk mengondisikan penduduk. Silang-sengkarut antara beberapa ilmuwan & agamawan. Tapi ia pula tahu beberapa korban ditolak di beberapa rumah sakit sampai meninggal. Bahkan mayatnya pula ditolak warga untuk dikubur di lingkungan mereka,” tutur istri laki-laki itu.

“Hem.” Aku mendehem mendengarkannya. Pikiranku berkeliaran ke sana-kemari. Lelaki itu menampung semua kabar.

“Suamimu tak mampu berbuat apa-apa,” kataku pelan.

“Bukan hanya itu. ia pernah berkata, ‘Mereka lamban & langkah mereka tak sempurna.’ Apa ananda memahami tujuannya?” tanyanya, membuatku terkesima.

Tiba-tiba pintu di kamar itu terbuka. Lelaki itu keluar. Menatapku sebentar, kemudian berlalu ke kamar mandi di dekat dapur. Aku membisu saja, tak menegur. Begitu pula dia.

Selang beberapa menit, lelaki itu tiba kembali tanpa menghiraukan kami yg duduk di ruang tamu. Aku pikir lelaki itu akan mandi, namun ternyata tidak. Kata istrinya, sudah dua hari ini ia tak mandi. Pantas rambutnya awut-awutan & auranya aur-auran.

Sebenarnya gue sungguh penasaran dgn apa yg bergelantungan di pikirannya & mengeram di jiwanya. Tapi sayang, kata istrinya, ketika ini ia tidak ingin bicara pada siapa saja. ia cuma ingin sendiri ditemani gawai yg disandingnya.

  Senja diatas Kereta | Cerpen Astuti Parengkuh

Apa gue mampu menerangkan perihal lelaki itu pada istrinya yg pula kawanku ini? Apa gue mampu menolong ia keluar dr cengkeraman cemas? Aku cuma tahu, jiwa lelaki itu sedang kritis karena keadaan yg semakin tak keruan. Sementara laki-laki itu terlihat merasa tak berdaya.

Kalau ananda berada dlm keadaan mirip laki-laki itu, apa yg akan ananda kerjakan? Simpan saja jawabanmu. Aku akan tuturkan beberapa kemungkinan. Kamu akan kembali pada Tuhan sebagai kepastian atau akan percaya pada apa saja yg datang kepadamu. Ya, cuma ada dua kemungkinan itu alasannya adalah ananda tak mungkin tak menentukan salah satu, atau sangat mungkin ananda akan melaksanakan keduanya.

“Apa ananda hendak mengatakan Tuhan lahir dr rahim panik?” tanya seorang kawan kepadaku suatu waktu.

Kalau ananda mempunyai pertanyaan seperti kawanku itu, gue katakan itu terlalu berlebihan. Kalau ananda takut pada wabah, ananda akan menyingkir dari wabah itu. Kalau ananda takut pada Tuhan, ananda akan mendekati-Nya & percaya diri menghadapi wabah yg ananda takuti itu. Tapi yg terpenting, ananda harus tahu bagaimana harus memercayai Tuhanmu sekaligus bagaimana menghadapi wabah angker itu.

*****

Sebelum fajar terbit, istri laki-laki itu meneleponku. Dalam kondisi masih sungguh mengantuk, gue mendengarkan suaranya dr seberang sana. “Aku dibangunkan suamiku. ia menyuruhkan merebus telur ayam sejumlah anggota keluarga, kemudian memakannya di depan tungku menghadap selatan. Aku katakan di rumah tak ada tungku. Katanya tak duduk perkara, ganti kompor saja. Dan, harus kami makan sebelum subuh atau menjelang fajar. Katanya, ini untuk menghalangi wabah menakutkan itu,” tuturnya dgn bunyi berkesan terburu-buru.

Aku tak mengerti apa yg ia katakan. Aku melanjutkan perjalananku di alam mimpi. Aku gres sadar sehabis keesokan hari, seluruh penduduk kampung membincangkan wacana telur ayam sebelum fajar sebagai penangkal wabah. Telur ayam menjadi info terkenal, bukan cuma tingkat kampung, tapi pula nasional. Hingga kita tahu, itu bualan orang yg sedang menghibur diri, padahal banyak penduduk telanjur percaya & melakukannya. (*)