BERTINO VULKAN PENYAIR DARI TANJUNG MORAWA
Sebuah sajak bernada murung ditulis Bertino Vulkan pada tahun 1977. Puisi murung itu menggambarkan suasana trend panas pada saat magrib datang. Keadaan sunyi dan seperti mati. Angin pun tak ada karena itu mungkin dedaunan pun tak bergerak, ‘dedaunan tak satu menari’. Pada bait berikutnya, penyair menggambarkan situasi yang lengang. Pemandangan luas tetapi kosong, hanya ada ilalang seluas-luasnya mata menatap.
Kata penyair:
“Maghrib Musim Panas”
Magrib demam isu panas
sunyi dan mati
daunan tak satu menari
sejauh mata memandang
kosong merata
padang ilalang lengang
sungai Blumei tak beriak
sumur mati
tanah kering tak berseri
di kaki bukit
di bawah pohon bau tanah
daunan kering merata
mentari turun ke beting senja
dengung kumbang pulang ke sarang
dan jengkrik yang mengerik
pilu mengisahkan
isu terkini panas yang panjang
Puisi yang dimulai dengan kalimat: Maghrib animo panas ini diberi judul Maghrib Musim Panas
Apa yang dapat ditangkap pembaca pada bait pertama yaitu suasana duka pada saat maghrib tiba. Suasana sunyi dan bahkan mati. Untuk memperkuat sunyi dan mati itu, ditambah dengan baris daunan tak satu menari.
Rasa duka dan sepi tak hanya digambarkan pada dedaunan yang tak bergerak, tetapi juga pada sungai yang lazimnya mengalir riang. Namun di mata hati Bertino, sungai Blumei tak riang beriak / sumur mati / tanah kering tak berseri.
Penyair Bertino Vulkan mempunyai nama orisinil Suparno, lalu menciptakan nama samaran Bertino Vulkan. Penyair Bertino lahir di Tanjung Morawa, Deli Serdang, 8 Juni 1933. Pendidikan yang ditempuhnya cuma sampai Sekolah Menengah Pertama.
Kemudian, dia berkecimpung dalam dunia kewartawanan. Ketika menggeluti ke dunia pers itulah, Bertino berbagi bakatnya dalam penulisan inovatif. Ia menulis, puisi, cerita pendek, dan juga naskah drama.
Karya-karyanya berupa puisi dan prosa itu pernah dimuat di majalah Mimbar Indonesia, Konfrontasi, Indonesia, Budaya, dan Horison. Karya–karyanya juga sudah tentu diangkut di ruang budaya koran-koran yang terbit di Medan, Sumatra Utara.
Dalam puisi Maghrib Musim Panas, selain situasi murung, bahu-membahu juga kita mampu menangkap rasa religius yang kental pada penyair menciptakan situasi murung dapat tergambar dalam puisi itu.
Puisi yang lain yang bersuasana religius yang lahir dari tangan Bertino berjudul Dzikir.
Berikut ini kutipannya:
“Dzikir”
Hening malam hening diriku
Merasuklah engkau
Menyatu dalam dzikir
Dalam nada-nada terakhir
Engkau Alif keesaan
Hilang semuanya
Diriku tiada
Hening malam damai diriku
Menyatu dalam cipta
Rasa
Dan ruh yang senang
Dalam nur
Apakah yang didambakan oleh seorang insan yang taat menyembah Allah ? Mungkin salah satu ialah: menyatu dalam dzikir. Hilang segalanya, diriku tiada. Yang ada cuma Engkau. Adalah rasa bahagia yang tinggi telah dicapai bila ruh bahagia berada dalam nur.
Sebagai penyair, Bertino sudah memperlihatkan diri dalam sosok puisi. Puisi-puisinya selain dimuat di koran dan majalah, juga dapat ditemukan dalam sejumlah antologi. Misalnya: Terminal Puisi 77 dan Seribu Sajak.
Sebuah sajaknya yang bercerita perihal ladang, dikutip petikannya di bawah ini:
“LADANG HIJAU”
Dari bukit ke bukit turun
hijau menghampar
derai deru daun bambu
sebelah timur batas ladangku
kacang kuning jua berbulu
tanah hitam yang longgar subur
dan gatal daun jagung
ukiran-goresan pedih merangkum
harapan hasil tahun ke tahun
mengambang merangsang
hari depan dalam ciptaan
Akhir-final ini, penyair dari Tanjung Morawa ini banyak meletakkan perhatian pada kisah bawah umur. Ia telah menulis sejumlah kisah belum dewasa, tetapi belum sempat diterbitkan. Konon, sang penyair sedang menanti penerbit yang bersedia menerbitkan karya cerita anak-anaknya.