=>Tasawuf dan Sufisme dalam Pandangan Islam<= Kebahagiaan yang sempurna adalah kebahagiaan yang meliputi dua dimensi, yakni dimensi dunia dan dimensi akhirat. Kebahagiaan di dunia dapat dinikmati dengan jiwa yang tentram. Kebahagiaan darul baka adalah kebahagiaan berjumpa dan berkomunikasi dengan Allah. Proses komunikasi yang dilaksanakan antara jiwa suci dengan jiwa Yang Maha Suci. Suatu kebahagiaan yang hebat dan anugrah yang tiada tara.
Mengikat bulat rohani dengan Allah merupakan tujuan simpulan kehidupan manusia. Kehidupan yang berlandaskan rohani dan fitrah yang diciptakan Allah disebut dengan kehidupan yang hakiki. Sedangkan kehidupan yang hanya bersandarkan kepada bahan saja ialah kehidupan yang semu. Oleh alasannya adalah itu insan intinya yakni suci, maka kegiatan yang dikerjakan oleh sebagian manusia untuk mensucikan diri ialah naluri insan. Usaha yang mengarah terhadap pensucian jiwa terdapat di dalam kehidupan tasawuf.
Tasawuf merupakan suatu pemikiran untuk mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Allah bahkan bila bisa menyatu dengan Allah lewat jalan dan cara, yakni maqâmât dan ahwâl. Dalam perkembangannya tasawuf mendapatkan aneka macam hambatan, ada pertimbangan yang menyampaikan bahwa tasawuf bukan berasal dari Islam itu sendiri namun ialah pengaruh dari fatwa-ajarn agama lain yang diadopsi ke dalam Islam. Terlepas dari kontrofersinya, tasawuf ialah salah satu khasanah penting dalam Islam yang menjadi bidang kajian khusus hingga ketika ini.
Untuk lebih jelasnya, dalam goresan pena ini, kami akan mencoba untuk memaparkan beberapa persoalan yang berafiliasi dengan asal undangan tasawuf, pengertian tasawuf dan maqâmât dan ahwâl yang harus dijalankan oleh seorang untuk menjadi seorang sufi.
Pengertian Tasawuf
Dari sisi etimologi terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubungkan dengan taşawūf, diantaranya:
1). Şaff : artinya barisan dalam berjamaah. Maksudnya seorang şūfi memiliki akidah yang besar lengan berkuasa, jiwa yang higienis dan selalu memilih saf terdepan dalam shalat berjamaah. Di samping alasan itu mereka juga memandang bahwa seorang şūfi akan berada di baris pertama di hadapan Allah swt.
2). Şaufanah: yakni sejenis buah-buahan kecil berbulu yang banyak berkembang di gurun pasir Arab Saudi. Pengambilan kata ini menyaksikan orang-orang şūfi banyak memakai pakaian berbulu dan mereka hidup dalam kegersangan fisik, namun subur hatinya.
3). Şafa’: artinya suci bersih tujuannya orang yang ingin erat dengan Allah swt, aktifitasnya banyak diarahkan pada pensucian. Dan memang kalau dilihat dari segi niat dan tujuan dari setiap tindakan dan ibadah kaum şūfi maka jelaslah bahwa semua itu dikerjakan dngan niat suci, membersihkan jiwa dalam mengabdi terhadap Allah swt.
4). Şhuffah yang artinya pelana yang dipergunakan oleh para sahabat Nabi saw yang miskin untuk bantal tidur di atas dingklik disamping masjid Nabawi di Madinah. Versi lain menyampaikan bahwa shuffah artinya sebuah kamar disamping mesjid Nabawi yang disediakan untuk para sahabat Nabi saw dari kalangan muhajirin yang miskin. Penghuni shuffah ini disebut ahl shuffah. Mereka memiliki sifat teguh dalam pendirian taqwa, wara’, zuhud dan tekun beribadah.
5). Şūf artinya wol atau kain berbulu bergairah. Disebut demikian karena orang-orang sufi banyak yang suka menggunakan busana yang yang dibuat dari bulu binatang sebagai lambang kemiskinan dan kesederhanaan, bertentangan dengan pakaian sutra yang biasa digunakan oleh orang-orang kebanyakan.
6). Berasal dari bahasa Yunani yakni Theosophi (Theo: Tuhan; Sophos: hikmat) yang mempunyai arti hikmat ketuhanan. Mereka merujuk pada bahasa Yunani alasannya aliran tasawuf banyak membahas problem ketuhanan.
Dari pemahaman tersebut mampu diketahui bahwa tasawuf ialah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana. Sikap jiwa yang demikian itu pada hakikatnya yaitu etika yang mulia.
Adapun pengertian taşawūf secara terminologi yakni sebagai berikut:
1). Ibrahim hilal merumuskan defenisi Tasawuf sebagai berikut: yaitu Memilih jalan hidup secara zuhud, menjauhkan diri dari perhiasan hidup dalam segala bentuknya. Ia juga menyebutkan bahwa taşawūf ialah bermacam ibadah, wirid, lapar berjaga di waktu malam dengan memperbanyak shalat dan wirid, sehingga lemahnya bagian jasmani dalam diri seseorang dan makin kuatlah komponen rohaniyahnya. Taşawūf dengan kata lain menundukkan jasmani dan rohani dengan jalan yang disebutkan di atas selaku usaha meraih hakekat kesempurnaan rohani dan mengenal zat Tuhan dengan segala kesempurnaannya.
2). Menurut Zakaria al-Anshari, taşawūf ialah cara mensucikan jiwa, perihal cara pelatihan kemakmuran lahir dan batin untuk mencapai kebahagiaan yang infinit.
3). Abu Qasim abdul Karim al-Qusyairi, taşawūf yaitu menjabarkan aliran al-Quran dan Sunnah, berjuang mengatur nafsu, menjauhi perbuatan bid’ah, mengontrol syahwat, dan menyingkir dari perilaku meringan-ringankan.
4). Menurut Ahmad Amin, taşawūf ialah bertekun dalam beribadah bekerjasama langsung dengan Allah swt, menjauhkan diri dari kemewahan duniawi, berlaku zuhud terhadap yang diburu oleh orang banyak dan menghindarkan diri makhluk dalam berkhalwat untuk beribadah .
Dari beberapa pemahaman termonologi di atas mampu dimengerti bahwa tasawuf ialah cara atau jalan yang memberi isyarat untuk mendekatkan diri terhadap Allah swt sehingga disadari bahwa seseorang berada disisi Tuhannya.
Asal Usul Tasawuf
Perkembangan tasawuf tidak jarang menerima kritikan dan kecaman yang tajam, problem yang muncul yakni apakah tasawuf betul-betul berasal dari pemikiran Islam atau merupakan tradisi agama lain yang diadobsi ke dalam Islam?
Tasawuf oleh kaum orientalis disebut dengan sufisme. Sufisme digunakan untuk mistisisme Islam dan tidak dipakai untuk mistisisme agama-agama lain. Orang yang pertama kali memakai kata sufi yaitu Abu Hasyim al-kufi di Irak (150 H).
Menurut Harun Nasution ada beberapa pendapat yang menyatakan asal permintaan pemikiran tasawuf, di antaranya berasal dari fatwa Buda dengan paham nirvananya, bahwa untuk meraih nirvana seseorang terlebih dahulu mesti meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Paham fanâ yang terdapat dalam sufisme nyaris sama dengan paham nirwana. Pendapat lain yang menyampaikan bahwa itu berasal dari anutan Hindu, yang juga mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dan Brahman.
Menurut M. Horten tasawuf berasal dari alam fikiran India. Horten melaksanakan observasi yang lama untuk menguatkan pendapatnya itu. Akan namun usulan tersebut lalu direvisi setelah ia melaksanakan anlisis terhadap tasawuf al-Hallaj, al-Bustami dan al-Junaid dengan mengatakan bahwa tasawuf kurun ke tiga hijrahlah yang sangat dipengaruhi alam fikiran India, utamanya pemikiran al-Hallaj. Penelitian fisiologis yang dilakukannya kepada aneka macam terminologi para sufi Persia kesannya menjadikannya berkesimpulan bahwa tasawuf berasal dari aliran Vedanta di india
Ignaz Goldziher orientalis dari Austria, Asin Palacios orientalis dari Spanyol, Alfred Von Kremer dari Jerman dan R.A. Nicholson orientalis dari Inggris memandang bahwa tasawuf Islam berasal dari asketisme Nasrani, karena kependetaan Katolik cukup dikenal oleh orang-orang Arab di sepanjang gurun Suriah dan Sinai. Para pendeta Kristen yang berdiam di gurun-gurun itu sedikit banyaknya telah menunjukkan wangsit kepada sejumlah zahid muslim generasi pertama. Di samping itu hobi kaum sufi dalam menghayati kehidupan kesunyian menampakkan adanya efek mistisisme Kristen.
Pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari luar Islam-dari Persia, Hindu, Nasrani dan lain-lain- hanya mendasarkan pendapatnya kepada kesamaan tipologi saja. Untuk mampu membenarkan adanya interaksi historis antara sumber-sumber di atas dengan tasawuf, harus mampu dibuktikan secara konkret. Jelasnya, akar historis dari tasawuf dan sumber tasawuf itu sendiri adalah berasal dari respon umat Islam terhadap situasi dan keadaan serta anutan Islam itu sendiri.
Tasawuf digali dari al-Qur`an dan hadis yang dikembangkan menurut kehidupan Nabi dan para sahabat. Walaupun dalam perkembangannya terdapat bagian-komponen tertentu yang ada kemiripannya dengan karakteristik mistisisme kebanyakan, tetapi kemiripan itu terjadi karena berakar dari universalitas hakekat manusia. Sementara Brown mengomentari kesamaan itu hanyalah pada kulit sedangkan pada isi tetap berlawanan.
Pada hakikatnya timbulnya tasawuf dalam Islam berbarengan dengan kelahiran Islam itu sendiri, yakni sejak Muhammad diutus menjadi Rasul. Fakta sejarah menunjukan bahwa Nabi Muhammad saw. sebelum diangkat menjadi Rasul beberapa kali melakukan tahanuts dan khalwat di Gua Hira`. Di samping untuk ber-uzlah dari masyarakat yang memperturutkan hawa nafsu keduniaan, juga berupaya mencari jalan untuk membersihkan hati dan mensucikan jiwa dari noda-noda yang ada pada penduduk saat itu.
Tahanuts yang dijalankan oleh Nabi tersebut bertujuan untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh liku-liku kehidupan dan menempuh untuk menerima hidayah dari Pencipta alam semesta. Dengan mengkonsentrasikan asumsi dan perasaan dalam merenungkan alam yang terhampar luas, lebih menggugah hati Rasul untuk mencicipi kebesaran dan keagungan Allah.
Rifai Sirehgar menyampaikan bahwa tradisi tasawuf sesunggunhnya diinspirasi oleh teks-teks fatwa Agama Islam itu sendiri yang menyangkut aspek moralitas dan asketis, sebagai salah satu fatwa prinsip dalam tasawuf. Karena manusia mempunyai kesempatansifat baik dan jahat, sebagaimana firman Allah “…maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya…”, maka harus dilakukan pengikisan terhadap potensi kejahatan dan pengembangan sifat-sifat yang baik. Kemudian pada ayat selanjutny Allah mengapresiasi mereka yang senantiasa mensucikan jiwanya “…bantu-membantu beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu…”, maka dalam tasawuf dikonsepkanlah tazkiyatun-nafs atau penyucian jiwa. Kemudian di surat lainnya Allah berfirman “…(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengenang Allah. Ingatlah, cuma dengan mengingati Allah-lah hati menjadi nyaman…” dan Firman Allah “…Hai jiwa yang damai. Kembalilah terhadap Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya, Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku…”. Demikian Allah menganjurakan hambanya semoga senantiasa mensucikan jiwa sekaligus menjanjikan akibat syurga bagi mereka yang mempunyai jiwa yang suci dan tentram yang diperolehnya dengan mendekatkan diri terhadap Allah swt.
Maqamat dan Ahwal dalam Kajian Tasawwuf
1). Maqamat
Untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan şūfi memberikan sebuah sistem atau jalan. Jalan itu berisi stasiun yang disebut dengan maqâmat. Maqâmat berasal dari bahasa Arab yang artinya daerah orang berdiri atau pangkal mulia. Selanjutnya perumpamaan tersebut meningkat lebih jauh dengan arti tingkatan, atau tahapan, atau jalan panjang yang harus dilewati oleh şūfi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah swt. Menurut al-Sarraj, maqâmat adalah tingkatan-tingkatan seorang hamba di hadapan Tuhan dalam hal ibadah, mujahadah, dan riyadah (memerangi dan menguasai hawa nafsu). Sikap hidup yang demikian nampak pada akhlak seseorang atau pada perbuatannya. Maqâm ialah hasil dari kesungguhan dan usaha yang terus menerus.
Tentang jumlah maqâmat yang mesti ditempuh oleh seorang şūfi menuju Tuhan, dikalangan para şūfi ada perbedaan pendapat. Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’aruf li Madzhab ahl al-Tasawuf, sebagaimana dikutip oleh Harun Nasution misalnya menyampaikan bahwa maqâmat itu jumlahnya ada sepuluh ialah: al-Taubah, al-zuhud, al-shabr, al-Faqr, al-Tawadhu’, al-Taqwa, al-Tawakkal, al-Ridha, al-Mahabbah dan al-Ma’rifah.
Sementara itu Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitabnya al-Luma menyebutkan jumlah maqâmat hanya tujuh yaitu : al-Taubah, al-Shabr, al-Wara’, al-zuhud, al-Faqr, al-Tawakkal, al-Ridha. Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulum al-Din mengatakan bahwa maqâmat itu ada delapan adalah: al-Taubah, al-zuhud, al-shabr, al-Tawakkal, al-Mahabbah, al-ma’rifah dan al-Ridha,
Baca Juga=>Hadis Zuhud dan Pemahaman Imam AL-Ghozali dalam Kitab Ihya Ulumuddin
Uraian tersebut memberikan kondisi variasi penyebutan maqâmat yang berlainan-beda, namun ada maqamat yang mereka sepakati, yakni: al-Taubah, al-zuhud, al-Wara’, al-shabr, al-Faqr, al-Tawakkal, al-Ridha. Untuk lebih jelasnya maka diuraikan sebagai berikut:
1) Taubat menurut Imam Haramain al-Juwaini yakni meninggalkan impian untuk kembali melakukan kejahatan seperti yang telah pernah dilakukannya, alasannya membesarkan Allah swt, dan menjauhkan diri dari kemurkaannya.
Dalam mengartikan taubat, para şūfi berlawanan usulan, namun secara garis besarnya dapat dibedakan kapada tiga kategori adalah: petama, taubat dalam pengertian meninggalkan segala kemaksiatan dan melakukan kebajikan secara terus menerus. Kedua, yakni keluar dari kajahatan dan memasuki kebaikan alasannya adalah takut pada marah Allah. Ketiga, taubat yakni terus menerus walaupun sudah tidak pernah lagi melakukan perbuatan dosa, yang disebut taubat ’aladdawam atau taubat baka. Menurut al-Mishri taubat itu ada dua macam ialah taubat orang awam, adalah taubat dari salah dan dosa dan taubat khawas adalah taubat dari kelalaian dan kealpaan. Tobat dalam persepsi sufi ialah taubat yang sebenar-benarnya ialah lupa dengan segala hal kecuali Allah swt dan selalu mengadakan kontemplasi ihwal Allah swt.
2) Zuhud diartikan keadaan meninggalkan dunia dan menjauhkan diri dari hidup kebendaan. Namun al-Ghazali mengartikan zuhud dengan meminimalkan harapan pada dunia dan menjauhkan dirinya dengan sarat kesadaran. Menurut pandangan şūfi, dunia dan segala kehidupan materialnya, yaitu sumber kemaksiatan dan penyebab atau pendorong terjadinya tindakan-tindakan kejahatan yang menjadikan kerusakan dan dosa. Oleh sebab itu calon şūfi mesti apalagi dahulu zahid.
3) Al-Wara’ pengertian dasar dari wara yakni menghindari apa saja yang tidak baik. Namun şūfi mempunyai pendangan tersendiri, wara’ mempunyai arti meninggalkan sesuatu yang tidak jelas hukumnya, seperti Ibrahim bin Idham beropini bahwa wara’ adalah meninggalkan segala yang masih disangsikan dan meninggalkan kemewahan. Dari sisi jenisnya wara’ terbagi dua adalah wara’ lahiriyah yakni tidak memanfaatkan anggota tubuh untuk hal-hal yang tidak diridhai oleh Allah, dan wara’ bathiniyah ialah tidak mengisi hatinya kecuali Allah. Dengan wara’ maka seorang şūfi dapat menetralisir segala rintangan yang hendak menghalanginya bersahabat dengan Allah.
4) Al-Faqr secara harfiah umumnya diartikan selaku orang yang berhajat, butuh atau orang miskin. Sedangkan dalam persepsi şūfi adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada dirinya, tidak meminta rezeki kecuali cuma untuk dapat melakukan keharusan-keharusan, tidak meminta sungguhpun tak ada pada diri kita, bila diberi diterima, tidak meminta namun tidak menolak.
5) Sabar secara harfiah mempunyai arti menahan. Menurut al-Ghazali tabah yaitu salah satu kondisi mental dalam mengendalikan nafsu yang tumbuhnya yakni atas dorongan agama.
Sabar yang dimaksud oleh şūfi adalah konsekuwen dan konsisten dalam melakukan segala perintah Allah dan meninggalkan laranganNya dan tahan uji menghadapi kesusahan dan ujian yang ditimpahkan padanya. Untuk meraih maqâm ini tidak bisa terwujud tanpa melaksanakan latihan dan perjuangan dalam menghadapi tantangan lahiriyah maupun bathiniah.
6) Tawakkal yaitu bersandar atau mempercayakan diri kepada Allah swt. Tawakkal dalam kajian şūfi berisikan tiga tingkatan adalah: tawakkal artinya tentramnya hati terhadap apa yang telah dijanjikan Allah, menyerahkan problem terhadap Allah alasannya ia telah mengetahui keadaan dirinya, dan merasa ridha menerima kekuatan Allah.
7) Ridha secara harfiah yakni rela, suka senang. Ridha berdasarkan Harun Nasution yakni menerima qadha dan qadhar Tuhan, dengan bahagia hati, untuk itu semua perasaan benci di dalam hati mesti dibuang jauh-jauh hingga yang tersisa yaitu perasaan bahagia dan besar hati meskipun ditimpa malah petaka beliau tetap senang dan ridha mendapatkannya sebagaimana dikala beliau menerima rahmat dan lezat.
Ridha akan tumbuh dengan melalui perjuangan untuk mengikis perasaan benci di hati, dan kemudian ridha atau kerelaan itu nampak bagi seorang sufi dalam sikapnya yang ikhlas, tidak akan meminta apapun dari Allah atas amalan ibadahnya.
Perlu dipahami, bahwa untuk meraih tingkat tertinggi seorang sufi tidak harus mengamalkan secara maqamat tersebut, mampu saja seorang langsung pada tingkat tertinggi bergantung sejauh mana kesanggupan mereka masing-masing dalam menghayati aliran tasauf itu
b. Ahwâl
Ahwāl ialah jamak dari hāl yang artinya kondisi, ialah kondisi hati yang dialami oleh para şūfi dalam perjalanan spiritualnya menuju Tuhan. Ahwāl juga bisa diartikan selaku situasi kejiwaan yang diperoleh seorang şūfi sebagai karunia Allah swt, bukan dari hasil bisnisnya. Ahwāl merupakan kondisi mental seperti bahagia, murung, perasaan takut, dan sebagainya.
Diantara ahwāl yang diketahui dalam tasawuf yaitu sebagai berikut:
1) Al-Muraqabah ialah adanya perasaan bahwa beliau senantiasa berhadapan dengan Allah dan senantiasa diawasinya. Sehingga menumbuhkan sikap siap dan selalu waspada bahwa ia dalam kondisi senantiasa diawasi. Orang yang mendapatkan perilaku mental muraqabah ini ia akan senantiasa mempertahankan kesucian diri dan memperbaiki amalnya alasannya adalah ia senantiasa merasa dalam pengawaasan Allah.
2) Al-Khaūf artinya perasaan khawatir terhadap Allah alasannya merasa tidak tepat pengabdiannya. Khawatir jikalau Allah tidak senang kepadanya dan meninggalkannya atau takut kepada siksaan Allah. Oleh sebab itu sūfi selalu berupaya supaya perilakunya tidak menyimpang dari yang diharapkan Tuhan. Sikap mirip ini menawarkan motivasi untuk berbuat baik dan mendorong untuk menjauhi maksiat.
3) Raja memiliki arti sebuah sikap mental yang optimis dalam menemukan karunia dan lezat Ilahi yang disediakan hamba-hambnya yang shaleh. Allah yang maha pengampun, penyayang, maka seorang hamba yang taat merasa optimis akan memperoleh limpahan karunia Ilahi. Sikap raja ini akan memberi semangat dalam riyadhah dan mujahadah sehingga dengan sarat semangat harapan datangnya Rahmat Allah swt.
4) Uns secara harfiah adalah keakraban atau sifat merasa selalu berteman, tidak pernah merasa sepi. Uns adalah keadaan jiwa dan seluruh verbal terpaut penuh kepada suatu titik sentrum ialah Allah swt. Tidak ada yang dirasa, tidak yang dikenang dan tidak ada yang diharap kecuali Allah swt. Uns merupakan kondisi spiritual ketika hati dipenuhi cinta dan keindahan, kelembutan dan belas kasih, serta pengampunan Allah swt.
5) Syaūq yaitu kondisi kejiwaan yang menyertai mahabbah, ialah rasa rindu yang memancar dari kalbu alasannya adalah gelora cinta yang murni. Perasaan inilah yang menjadi pendorong bagi sūfi agar senantiasa berada sedekat mungkin dengan Allah yang menjadi segala sumber kenikmatan dan keindahan yang didambakan setiap sūfi.
Adapun perbedaan antara maqâmat dan ahwāl yaitu maqâm diperoleh atas perjuangan yang berat (ada bagian perjuangan), sementara ahwāl diperoleh sebagai suatu anugrah, rahmat, (bukan usaha dan usaha), keadaannya bersifat labil dan tidak tetap, mudah berubah (sebab kadang merasa duka, bahagia) dan kondisi mental yang dicicipi bersifat abstrak, cuma mampu diketahui dan dipahami dan dinikmati oleh orang yang mengalaminya.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan Tasawuf dan Sufisme dalam Pandangan Islam selaku berikut :
1. Taşawūf ialah cara atau jalan yang mengajarkan bagaimana seseorang dapat berada sedekat mungkin dengan sang kekasih tunggal yakni Allah swt.
2. Asal ajakan taşawūf ada yang menyampaikan dari luar Islam ada juga yang mengatakan dari dalam Islam dan didukung oleh argumentasi masing-masing. Namun penulis condong mengatakn bahwa taşawūf bersumber dari pemikiran Islam dimana fatwa-ajaran taşawūf seperti keimanan, sabar, lapang dada, tawakkal, dan sebagainya berlandaskan Al-quran dan Sunnah Nabi.
3. Untuk mencapai tingakatan tertinggi ma’rifah seorang sufi mesti lewat jenjang, yang disebut maqâmat mirip: al-Taubah, al-zuhud, al-Wara’, al-shabr, al-Faqr, al-Tawakkal, al-Ridha. Ahwal bantu-membantu manifestasi dari maqâmat yang dilalui seorang şūfi atau kondisi mental atau suasana kejiwaan yang diperoleh şūfi selaku karunia dari Allah swt.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Pemikiran dan Peradaban, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeven, tth.
Absul Khaliq, Abdurrahman dan Ihsan Ilahi Zahir, pemikiran sufisme di Bawah bayang-bayang Fatamorgana, Cet. II: jakarata: amzah, 2001.
Al-Gazali, Abu Hamid Muhammad, Ihya ‘Ulum al-Din, jil. IV; Beirut: Dar al-Fikr, 1997.
————-, Ihya Ulum al-Din, Jilid III ;Beirut: Dar al-Fikr, t.th..
Al-Munawwar, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir; Arab –Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.
Asmaran, As, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: Grafindo Persada, 1994.
Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Proyek Peningkatan Prasarana dan sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN Jakarta, Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jakarta: Anda Utama, 1993.
Departemen Agama, Ensiklopedia Islam, Jilid III; Jakarta: t.tp. 1993.
Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Hamka, Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Panjimas, 1993.
Hilal, Ibrahim, al-Tasawuf al Islami Baina al-Din wa al-Falsafah, kairo: Dar Nahdiah al-Arabiah, 1997.
Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawwuf, Cet. I; Wonosobo: amzah, 2005.
Kalsum, Ummu, Ilmu Tasawuf, Makassar: Yayasan Fatiya, 2003.
Mustofa, Akhlak Tasawuf, Cet. II; Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999.
Nasution, Harun, Falsafat Islam dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Nata, Abudin, Ilmu kalam, Filsafat dan Tasawuf (Dirasah Islamiyah), Jakarta:Rajawali Pres, 1993.
Siregar, H.A. Rivay, Tasawuf, Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Cet. II, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada , 2002.
Smith, H., Tasawwuf dan Perkembangannya dalam Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, t.th.
Supiana dan Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004.
Suyuti, Achmad, Percik-Percik Kesufian, Jakarta: Pustaka Amani, 1996.
Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, jakarta: Balai Pustaka, 1989.
Catatan Kaki
[1] Achmad Suyuti, Percik-Percik Kesufian, (Jakarta: Pustaka Amani, 1996), h.130
[2] H.A. Rivay Siregar, Tasawuf, Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme (Cet. II, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada , 2002), h. 46-47
[3] Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 73
[4] Ibid
[5] Abu al-Ala’ Afifi, Fii Tasawuf al-Islami Wa Tarikhukhu, (Kairo: Matba’ah lajnah at-Ta’lif wa al-Nasyr, 1388 H), h. 60
[6] Abdurrahman Absul Khaliq dan Ihsan Ilahi Zahir, pemikiran sufisme di Bawah bayang-bayang Fatamorgana (Cet. II: jakarata: amzah, 2001), h. 12
[7] Ibid
[8] Ibid
[10]Mustofa, Akhlak Tasawuf (Cet. II, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), h. 207
[11]Ensikloedi Islam, Op.cit., h. 24
[12]Ibid., h. 75
[13]Harun Nasution, Falsafat Islam dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 56
[14]Ibid.
[15] Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeven, tth), h.139. Lihat Juga H. Abdul Qadir Djaelani, Koreksi Terhadap Ajaran Tasawuf, (cet.I, Jakarta: Gema Insani Pres, 1996), h.17
[16]Hamka, Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Panjimas, 1993), h.46
[17]Rivai Siregar, Op.cit., h.48
[18]QS. asy-Syams [91]:8
[19]Ibid., asy-Syams [91]: 9
[20]Ibid., al-Ra’d[13]: 28
[21]Ibid., al-Fajr[89]: 27-30
[22] Supiana dan Karman, Materi Pendidikan Agama Islam (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), h. 225
[23]Harun Nasution, Op.Cit, h. 62
[24]Ibid
[25]Abu Hamid Muhammad al-Gazali, Ihya Ulum al-Din, Jilid III (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 162-178
[26]Ensiklopedi Islam, Op.Cit, h. 111
[27]Rivay Siregar, op.cit., h. 115
[28]Ensiklopedi, Op.Cit, h. 125
[29]Rivay siregar, Op.Cit, h. 118
[30]Harun nasution Op.Cit h. 68
[31]Ahmad Warson Al-Munawwar, Kamus al-Munawwir; Arab –Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 813
[32] Ensiklopedi Islam, Op.Cit, h. 184
[33] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawwuf, (Cet. I; Wonosobo: amzah, 2005), h. 267-268
[34]Abu Husain Ahmad Ibn Faris ibn zakaria, Mu’jam Maqais al-Lughah, Juz 2 (Beirut: Dar Fikr, 1970), h. 402
[35] Harun Nasution, Op.Cit, h. 68
[36] Totok Jumantoro dan Samsul Munir amin, Op,Cit, h. 7
[37] Rivay Siregar, op.cit., h. 133
[38] Ibid,
[39]Ibid, h. 134
[40] Ibid, h. 135
[41] Ibid, h. 134