“Lalu yg terjadi, kalian tahu? Semua rig yang mengangguk-angguk itu, yg mereka sebut pipa angguk, yg selama ini memompa minyak dr dlm perut bumi & mengalirkannya ke pipa-pipa yg panjangnya beratus kilometer menuju penampungan di tepi maritim, tiba-tiba berbau bau. Sangat tajam menusuk hidung. Semua pekerja terkejut. Mereka tak bisa menahan basi amis yg menyengat tajam itu. Bahkan usang-usang menjelma kedaluwarsa busuk. Mereka banyak yg muntah meski telah menutup hidung & mulut dgn sapu tangan atau dgn segala apa yg ada yg bisa digunakan untuk menutup mukanya…”
“Apa yg terjadi, Tuan?” tanya salah satu anak.
Tuan Tukang Koba itu menghela napas dalam-dalam. Beberapa dikala ia melongo, pandangannya tajam, tetapi kosong tanpa arah. Seperti menyimpan sesuatu.
“Semua rig itu mengeluarkan bengkak & dialirkan ke semua pipa yg bermuara ke penampungan di tepi bahari itu…”
“Minyak tanah?” tanya seorang anak yang lain.
“Kan tambang minyak memang mengeluarkan minyak tanah, Tuan?” kata anak yg lain lagi.
Tuan Tukang Koba kembali menghela napas dalam-dalam. Selain pandangannya tetap kosong ke arah entah, kali ini giginya pula bergemerutuk. “Nanah!”
“Nanah???” hampir serempak anak-anak di sanggar dongeng itu berucap.
“Kok bisa, Tuan? Bukankah dlm buku pelajaran sekolah kami tambang minyak tanah semestinya mengeluarkan minyak tanah, tambang watu bara mengeluarkan kerikil bara, tambang timah mengeluarkan timah…”
“Dengarkan saya!” terdengar suara Tuan Tukang Koba yg seperti gelegar petir di indera pendengaran anak-anak itu. Seketika mereka termangu. Ketakutan. Menyadari itu, Tuan Tukang Koba berusaha tersenyum. Berusaha senyumnya dimanis-maniskan…
“Begini…” ia menghela napas dalam-dalam. “Sebentar lagi saya ceritakan. Tapi kalian tak usah cemas, ya. Ayo semuanya senyum…”
Ini cerita ihwal si Mahdi, sekian puluh tahun yg lalu.
Mahdi bukan anak seorang dukun, cenayang, atau semua kata yg sejenis dgn itu. ia anak Mahruz, yg tinggal tak jauh dr ceruk sungai, tempat hampir 40-an kepala keluarga berdomisili di sana. Hampir semuanya bertani atau berkebun. Pohon-pohon getah berejejer tak teratur, yg menjadi sumber mata pencaharian mereka. Setiap pagi hingga sore, mereka menakik getah. Setelah itu, getah yg sudah membeku—mereka menyebutnya ojol—dan terkumpul dibeli oleh seorang tauke yang membawanya ke kota melalui sungai.
Selain itu, ada yg menanami tanah mereka dgn sayur-sayuran. Jika akhirnya banyak, ada penjualkolektordr dusun lain yg datang & membelinya untuk dijual ke kota, pula dgn bahtera lewat sungai.
Tidak cuma bertani & berkebun, ada pula yg saban hari memilih mencari ikan di sungai. Mereka memancing ikan-ikan besar yg kemudian pula dibawa ke kota oleh penjualpengumpul kalau jumlah yg didapat banyak. Biasanya, pedagang pengumpul itu datang pagi-pagi saat para pemancing pulang. Hasil pancingan itu dimasukkan dlm suatu kotak besar di suatu bahtera. Setelah itu, di atasnya diberi balok-balok es yg memang sudah dipersiapkan oleh si penjualpengumpul. Ikan lomek, tapah, baung, selais, toman, & banyak jenisnya lagi berguna mahal di kota, mirip Duri atau Pekanbaru.
Abah Mahdi, Mahruz, punya kebun getah yang, meskipun tak luas, cukup untuk menghidupi Mahdi & ibunya, Siti Muftah. Kadang-kadang Mahruz pergi mencari ikan di malam hari. Jika besoknya hari libur sekolah, Mahdi sering diajak. Senang sekali hati Mahdi. Meski tak mampu banyak, ia bisa ikut memancing & yg sering memakan umpannya ialah ikan-ikan sarat duri, mirip ikan juaro.
“Mata pancingmu harus yg kecil supaya ikan kecil pula yg memakannya. Kalau pakai mata pancing besar, mike nanti tak bisa menahan ikan besar. Bisa-bisa mike tercebur dlm sungai,” kata abahnya, suatu kali.
Mahdi mengiyakan & senang sekali bisa selalu ikut abahnya memancing meski cuma seminggu sekali. Bahagia sekali anak kelas 4 SD ini. Kadang beberapa sahabat sebayanya pula diajak abah masing-masing untuk naik bahtera & ikut memancing di malam hari.
Mahdi ingat tatkala itu, semuanya sangat menggembirakan bagi kehidupan ia & keluarganya, pula hampir seluruh warga di ceruk sungai itu. Namun, entah kapan mulainya, kebahagiaan itu terenggut darinya.
Awalnya, di sebuah siang yg terik, tiba rombongan orang kota ke kampung mereka. Katanya mereka insinyur, entah ahli geologi atau hebat perminyakan. Mereka menyelenggarakan observasi di kampung itu. Setelah beberapa hari mereka kembali ke kota. Namun, beberapa pekan sesudah itu, rombongan yg lebih besar, tergolong camat, tiba lagi. Ada beberapa tentara berbaju loreng. Kelihatan ada senjata yg menempel di pinggang mereka.
Mereka menyampaikan kampung di ceruk sungai itu mengandung energi yg dibutuhkan untuk kemakmuran penduduk banyak. Ada minyak di perut kampung itu.
“Sebagai warga negara yg taat pada pemerintah, maka kita mesti maklum. Masyarakat harus pindah alasannya tempat ini akan dikuasai negara untuk kepentingan bareng . Akan dibangun kilang minyak di sini. Nanti pemerintah akan mencarikan tempat baru untuk seluruh warga. Percayalah, pemerintah tak akan menyengsarakan rakyatnya. Pembangunan kilang ini pula dlm rangka memakmurkan rakyat…” begitu kata Pak Camat, yg diamini oleh seluruh rombongan dr kota itu.
Tak ada yg berani melawan. Penduduk kampung yg dikumpulkan di balai dusun itu cuma membisu. Tak ada yg berani bicara. Sekali-kali mereka melihat pinggang beberapa prajurit yg tiba, & menyaksikan ada yg menyembul di sana.
“Lalu, ke mana si Mahdi & penduduk kampung itu setelah tanah mereka dijadikan kilang minyak, Tuan?” tanya salah seorang anak.
Sejenak, Tuan Tukang Kobaitu menghela napas lagi.
MAHDI tak tahu penyebab kenapa kemudian ayahnya mirip orang linglung. Sudah setahun lebih mereka tinggal di seberang sungai, berseberangan dgn kampungnya yg kini sudah mulai tampakpipa-pipa angguk & ratusan pekerja tambang yg hilir-pulang kampung. Mahdi & keluarganya, pula penduduk kampung lainnya, mesti membuka lahan gres, hutan gres, menjadi perkampungan. Mereka diberi uang ganti rugi oleh pemerintah atau perusahaan minyak itu untuk jadi modal hingga mereka mampu berdiri diatas kaki sendiri lagi.
Awalnya, mereka memang bisa hidup tidak mengecewakan lezat tatkala uangnya masih ada. Namun itu hanya dlm hitungan beberapa bulan. Setelah itu, mereka gundah sebab tak memiliki kebun karet. Hasil menanam sayur-sayuran cukup untuk dimakan sendiri. Mereka memang masih mencari ikan di sungai, namun kesannya pula tak seberapa. Lama-lama, banyak penduduk di kampung gres itu yg menghilang. Katanya mereka banyak yg keluar, pergi entah ke mana.
Mahruz & keluarganya tetap bertahan di kampung itu bareng sekitar lima atau enam kepala keluarga yang lain. Namun, suatu hari, Mahdi tak menyaksikan emaknya berada di rumah. ia tanyakan ke abahnya. Hanya gelengan kepala yg didapatkannya. Besoknya, ia mengajukan pertanyaan lagi, kali ini gelengan kepala berkali-kali yg didapatkannya dr abahnya. Beberapa hari kemudian, tatkala ia tanya lagi, abahnya sudah mirip orang linglung. Tak menggeleng, tatapannya kosong ke arah yg tak terperinci dgn kepala teleng. ia tanya ke tetangganya, ada apa dgn abahnya. Mereka menjawab kalau abahnya sudah hilang ingatan.
“Emakmu kepincut dgn pegawai tambang di seberang sana. Emakmu tak tahan hidup sukar seperti kita ini…” kata tetangganya.
Mahdi menangis meraung-raung mendengar itu. ia kemudian berlari ke arah dermaga kecil, melepas bahtera kecil dr tambatannya, & mengayuh bahtera itu ke seberang. Sesampai di seberang, ia berlari lagi ke arah para pekerja tambang yg nyaris semuanya belepotan minyak & oli berwarna hitam yg menempel di baju kerja mereka yg berwarna jingga.
“Mana emakku? Mana emakku? Di mana kalian sembunyikan emakku?”
Suara lengkingan Mahdi menciptakan para pekerja tambang itu berhenti sejenak, namun mereka tetap melanjutkan pekerjaannya sebab mata bor sedang menghujam ke perut bumi & tak bisa ditinggalkan hanya untuk mengorganisir anak kecil yg sedang mencari emaknya.
“Di mana kalian sembunyikan emakku? Di mana emakku? Kalian apakan emakku?”
Mahdi kemudian meneriakkan hal yg sama ke para pekerja yang lain di kalangan yg lain. Namun tak ada yg menggubrisnya. Lama-usang ia lelah & terduduk sambil menangis tersedu-sedu menyebut emaknya. Tapi, tetap tak ada yg menggubrisnya.
Dalam tangisnya yg mulai pelan alasannya adalah sedu-sedan, terdengar lirih ucapannya… “Kalau kalian tak kembalikan emakku, minyak kalian akan berganti jadi darah & nanah. Kalian sudah menambang darah & abses kami…”
PETIR menyambar-nyambar, langit menjadi hitam, & hujan turun sungguh deras tatkala Mahdi beringsut dr tempatnya terduduk sambil bersedu-sedan tadi. ia berlangsung menembus hujan deras yg disertai petir & angin itu, ke arah sungai. ia buka tali penambat perahu. ia kayuh perahunya perlahan ke arah timur, mengikuti aliran air. Para pekerja tambang cuma sejenak menjeling ke arah anak umur sepuluh tahunan itu. Hanya sejenak, kemudian mereka sibuk lagi dgn pekerjaan yg tak bisa ditinggalkannya meski hujan deras mengguyur mereka.
Dalam diamnya, Mahdi tetap mengayuh pelan perahunya yg dibawa arus air yg tak deras itu. ia tak tahu mau ke mana, tetapi ia tahu maksudnya. ia ingin menuju ke titik kegelapan…
WAKTU sirene itu terdengar di telinga mereka, beberapa lelaki yg sedang istirahat di bedeng-bedeng darurat itu langsung berlarian ke arah rig. “Ada yg bocor,” kata salah satu dr mereka.
“Iya, ada pipa yg bocor,” kata yg lain.
“Tetapi, kenapa baunya seperti ini? Bukan kedaluwarsa minyak?” kata seorang yg bertubuhagak tinggi & gempal.
“Iya, mirip kedaluwarsa bisul atau darah yg membusuk,” ujar seorang yg baru sampai.
Kemudian, enam laki-laki berpakaian lapangan warna jingga itu menilik pipa, mulai dr beberapa sekrup hingga gerakan pipa angguk yg melambat. Terlihat ada lelehan yg merembes dr sekrup yg mengendur. Terlihat berwarna kuning. Mereka kira itu vaselin pelumas gres yg memang umumnya berwarna kuning. Salah seorang dr mereka mencoleknya & didekatkan ke hidung. Spontan ia meringis.
“Nanah! Ini abses!”
“Nanah???” teriak yg yang lain berbarengan.
“Iya, ini bisul.”
“Rig ini mempesona abses dr perut bumi?”
“Entahlah. Tapi ini jerawat, bukan minyak atau oli…”
Salah seorang dr mereka kemudian berlari ke pipa angguk yg jaraknya sekitar lima puluh meter dr rig sebelumnya. ia kemudian berteriak. “Di sini pula terlihat rembesan bisul!”
Di semua rig itu, para pekerja berteriak sama bahwa yg dipompa keluar oleh pompa angguk itu bukan minyak, tapi jerawat yg sangat bau baunya & menciptakan seluruh isi perut mereka nyaris keluar. Namun, lama-usang, meski telah menutup mulut & hidungnya dgn sapu tangan atau alat epilog yang lain, mereka tetap tak bisa menahan bau bau infeksi yg luar biasa itu masuk ke dlm hidungnya. Hampir semua pekerja tambang itu muntah-muntah…
“DARI mana asal bengkak itu, Tuan? Bukankah seharusnya minyak yg keluar dr pipa angguk itu?”
Tuan Tukang Koba itu menyaksikan wajah bawah umur yg masih polos itu. Kemudian ia tersenyum. “Entahlah, saya pula tak tahu…”
“Lalu, ke mana Mahdi pergi dgn perahunya itu Tuan? Dan ia kini di mana? Bagaimana nasibnya?”
Sejenak, Tuan Tukang Koba itu melamun. Kemudian, “Mahdi pergi berkelana sesuka hatinya hingga kini. Dendamnya menjadikannya berhubungan dgn segala kegelapan. Lidahnya jadi pahit. Apa yg ia katakan jadi kenyataan. ia kini pergi dr satu tempat ke tempat lainnya. ia masuk ke pelosok kampung & kota-kota, & di setiap kerumunan orang, ia berhenti & membuatkan kisah. ia jadi tukang cerita… jadi tukang koba…”
“Seperti Tuan?”tanya salah seorang anak.
Sejenak, laki-laki itu, Tuan Tukang Koba itu, termenung. Kemudian, “Iya…” katanya dgn bunyi berat. “Seperti saya, jadi tukang koba…”. (*)