Senja ini kuputuskan untuk menyelesaikan murung. Cukup sudah bermuram durja. Kan kuenyah kesedihan sejauh-jauhnya. Tapi ke mana gue harus membuangnya? Sedari tadi gue hanya berputar-putar kemudi tanpa arah niscaya. Sebelum senja berpulang, gue ingin tidur malam ini tanpa bayang kesedihan.
Kantor sudah penuh dgn target, tawaran klien, & tekanan. Empati kalah oleh aktivitas. Pergi ke bioskop sendirian jelas butuh cadangan mental. Aku tak berniat memperbesar beban jantung dgn masakan cepat saji. Aku akan mati tersedak kalau berlama-lama di klub malam. Bosan rasanya bepergian ke mal dgn segala bujuk kepingan harga & kesejukan bikinan. Aku pun enggan menumpahkan kesedihan pada satpam kantor karibku yg sudah dijejali dgn kesulitan ekonomi rumah tangganya. Iblis kesedihan tampaknya sudah memeluk sukma.
Akhirnya kulabuhkan kaki di sebuah taman. Rimbun pepohonan memayungi badan yg kering terpapar matahari. Udara terasa berbeda. Bunga-bunga bermekaran. Mahkota warnanya bisa menarik mata setiap pengunjung. Harum rerumputan menguar. Letaknya yg persis di tengah kota, serasa menguruk harta karun metropolitan yg tersembunyi dr gegap-gempita serta angkuh beton-beton raksasa. Debur anutan sungai menyiram dahaga. Bunyinya bersahutan memanggil rona keemasan senja. Tempat yg tepat untuk membuang kesedihan.
Seorang gadis kecil duduk di tengah rerumput hijau. Tangannya sesekali mencelupkan kuas dgn cat warna. Menggores bentuk di sebuah kanvas. Seorang perempuan muda—kemungkinan besar adalah ibunya—hanya mengamati dgn saksama. Seolah mengamati bagaimana seorang maestro lukis melahirkan mahakarya. Memindahkan taman ke dlm kanvas dgn sama cantiknya. Ia terlihat gembira.
“Lukisannya bagus. Boleh saya ikut menyaksikan?” kataku seraya duduk di kursi batu tepat tiga langkah dr keduanya.
“Terima kasih. Tentu saja boleh. Sovia bahagia menggambar. Kali ini ia ingin menggambar segurat taman.”
“Anaknya berbakat, Bu.”
“Beda jauh sama Mamanya,” ujar si ibu tersenyum.
Gadis kecil itu terlihat gembira. Senyumnya tak henti-henti mengembang.
Lepas setengah jam, sang ibu membereskan semua peralatan lukis & bawaannya menuju mobil di parkiran yg jaraknya tak begitu jauh. Gadis itu terlihat masih duduk di atas rerumputan. Tatkala sang ibu kembali, ia menggendong anaknya dgn hati-hati. Aku luput menyadari jikalau si gadis kecil telah kehilangan kedua kakinya sebab tertutupi terusan.
“Kami permisi dahulu, ya,” kata sang ibu.
Mendadak lidahku seperti mati rasa. Ada jeda yg menggema di hati.
‘Taman Kesedihan’.
Aku sendiri yg menamainya demikian. Mitos yg kudengar masih terngiang di kepala: mereka yg berjumpa kemudian jatuh cinta di taman ini, maka kisah cintanya tak akan rampung baka. Namun sebaliknya, kalau kekasihmu kau ajak pergi ke taman ini, ikatan rasa itu tak akan pernah mati.
Sejak sore itu ada kerinduan untuk kembali menghabiskan waktu di sana. Tapi hantu kesedihan masih menyambangiku dlm mimpi. Ia mengajakku berjalan di suatu tempat berdinding curam dgn kelok labirin sarat enigma. Suasana begitu gelap tertutupi kabut. Kami seperti sedang mencari ketidakpastian. Saling mencari satu sama lain. Saling berteriak tanpa bunyi. Pada final langkah berdiri menganga suatu lubang hitam yg besar di hadapanku. Cukup besar untuk dapat terjerembap masuk. Ia berdiri di dalamnya dgn raut yg bengis. Meliuk-liuk bak ular neraka. Tubuhnya membelah diri menjadi banyak, mengepal sepucuk senjata. Hendak menghisap semua ingatan, melebur luruh di samudera hampa.
“Jadi Mas pula sering kemari?” Seorang Bapak di sampingku membuka senja dgn hangat.
“Baru satu kali. Tapi taman ini mirip magnet. Kangen rasanya menikmati senja sebelum kembali ke dunia aktual. Bapak tahulah, kemacetan, polusi, kegiatan rutin…”
“Kesedihan.”
Aku terpana. Bangku panjang di bibir pagar pembatas sungai ini bisa terisi lima-enam orang jikalau duduk berjejer. Namun kini terasa menyempit. Matanya lekat memandang anutan air yg entah akan bermuara ke mana.
“Menurut cerita, orang-orang tiba untuk membuang kesedihannya di taman ini. Kesedihan sebetulnya berasal dr kota. Di luar sana. Lalu mereka menumpahkannya begitu saja. Di sungai ini. Di taman ini. Mungkin dianggapnya sungai ini toilet raksasa yg akan menenteng semua kesedihan menghanyut. Dianggapnya kesedihan yaitu humus yg diserap akar, menghidupi pepohonan,” sambungnya tertawa kecil sarat arti.
“Apakah Mas pula sedang mencampakkan kesedihan di sini? Tak apa-apa, jujur saja.”
Ingatanku kembali pada gadis kecil & ibunya. Apakah mereka pula dihantui kesedihan?
“Bagaimana caranya?!”
“Hahaha…ternyata benar.”
Aku merasa terbelakang. Mungkin terlalu banyak membaca buku bertema konspirasi.
“Sebetulnya gue tak hendak mencampakkan kesedihan. Aku cuma tak percaya lagi cinta,” kataku terdengar kian konyol.
Benar saja, ia terbahak-bahak. Tapi ada perasaan lega melihatnya tertawa lepas seperti itu.
“Kalau tak yakin lagi cinta, apa yg Mas yakin di zaman ini? Medsos?” Matanya kukuh mengarah ke riak sungai di hadapannya. Seolah memperoleh oase dr parade kemurungan yg sedang berkamuflase. Burung-burung liar beterbangan. Semilir angin meniup dedaunan kiara. Ia mengajakku bertakzim. Beginilah caranya membuang kesedihan, katanya.
Semampai gadis dengan-cara perlahan menghampiri dgn rambut terurai. Matanya bundar cemerlang.
“Sudah waktunya kita pulang, Papa,” ucapnya lembut dgn bibir yg merekah. Senyuman itu menciptakan benda di sekitarku bagai tak bergerak. Surealisme senja tercipta, sarat pesona. Menyentuh alam bawah sadarku yg jauh lewat rona parasnya. Pertemuan ini, jangan lekas berhenti.
Baru saja kehangatan meriap, suatu kenyataan kembali menampar. Lelaki renta itu ternyata tak bisa melihat. Si gadis memapahnya pulang, meninggalkan taman dgn sekian rasa yg berkecamuk di dada. Mengutuk kesedihanku yg terdampar sendirian.
Menuai semusim kemarau.
“Saat itu ananda terlihat misterius. Cantik, tapi misterius.”
Matanya yg bulat cuma tersenyum. Aku masih tak yakin perempuan yg kutemui setahun kemarin itu sekarang sudah duduk di hadapanku. Di hari ulang tahunnya.
“Spekulatif yaitu ciri khas kaum pria. Tapi gue tak keberatan.”
Sejak pertama kali jumpa gue rela menunggunya berkali-kali di taman. Saat nasib kembali mempertemukan, semua terasa begitu tanpa gangguan. Ayahnya mengizinkan. Kami kian dekat. Meski sibuk dgn pekerjaan masing-masing, selalu ada hari untuk menghabiskan waktu berdua. Banyak hal manis sejak konferensi demi konferensi yg dapat gue ceritakan. Sosoknya menafikan segala mimpi buruk kesedihan. Semakin berguna seseorang, kadang kita semakin takut untuk kehilangan. Mungkin sebab pengaruh mitos itu.
Maka hari ini ialah saat yg tepat untuk melamarnya.
Waktu melesat bagai anak panah.
Betapa kota telah banyak berganti, tiap gedung berlomba-lomba paling jauh menjulang. Teknologi memberi banyak kemudahan, sekaligus kekosongan. Tapi tak ada yg berganti dgn taman ini. Tetap menawan. Kini gue duduk di suatu kursi di pinggiran sungai menatap senja bersama Sovia, anak gadisku yg sudah beranjak cukup umur.
“Bagaimana Papa berjumpa Mama?” tanya Sovia.
“Ceritanya panjang.”
“Ayolah. Pasti romantis.”
“Awalnya ketidakpuasan. Papa ingin mencampakkan kesedihan di kawasan ini. Takdir lalu mempertemukan Papa dgn Mamamu.”
“Mengapa Papa bersedih?”
“Cuma sentimentil masalah anak muda.”
“Pasti Mama terlihat anggun hingga Papa bisa terpincut.”
“Pertama bertemu, kulihat Mamamu yg berkacamata tebal, duduk manis di dingklik taman seorang diri serius membaca The Alchemis’ sambil memegang sekotak susu cokelat.”
“Mama?!”
“Awalnya Papa sedang patah hati. Papa ditolak oleh seorang perempuan yg ternyata tak menyayangi Papa dgn nrimo. Ia hanya ingin menghibur ayahnya yg sakit-sakitan. Setahun berafiliasi ternyata ia sudah mendustai Papa & perasaannya sendiri. Ia masih menyayangi kekasih lamanya. Mamamu meledek Papa, ‘Anda niscaya hendak mencampakkan kesedihan’, katanya. Kami sedikit berdebat, kemudian berjumpa lagi di daerah yg sama, membicarakan banyak hal. Begitulah, sampai kemudian menikah, melahirkan kamu.”
“Mama bukan sekadar pelarian ‘kan?”
“Tentu saja tidak. Kisah cinta punya jalannya masing-masing, Sovia. Semakin menyelami, Papa makin menyaksikan keayuan Mamamu yg bahwasanya.”
“Mengapa dinamai ‘Taman Kesedihan’?
“Seperti halnya ‘Rumah Sakit’. Taman ini akan memulihkan jiwamu.”
Taman & senja beradu rupa, laiknya permufakatan kekal bagi jiwa-jiwa penuh romansa. Ia akan meredup seiring lembayung langit yg hendak bertukar warna. Sisa keemasan jatuh di antara celah dahan. Memulangkan jiwa-jiwa sibuk, jiwa yg jengah merajuk.
Begitu manis senyuman itu tergurat. Seperti Mamanya.
Tidak semua hal perlu diceritakan. Semua hal wacana kesedihan, biarlah jadi beban yg terkubur oleh waktu. Oleh empati yg kau sesap sepenuh hati, Sayangku. Hanya ananda yg tahu setiap mimpi burukku. Mimpi dr masa lalu yg gelap. Segelap peristiwa malam itu kala Abah mesti mati di tangan orang-orang bersenjata. Ditembus peluru di pedalaman Sumatera. Membuat gue & Mamak harus menghilang dr dusun, pergi ke ibu kota dgn bekal seadanya. Akhirnya Mamak pun wafat dgn segala sisa perjuangannya membesarkanku seorang diri. Takdir memilihku untuk tetap bertahan di tengah himpitan hidup & trauma.
Ah! Hanya ananda seorang yg mengerti & meniadakan segala kesedihan. Kini ananda lewati warisan yg paling berharga. Sovia. Akan kujaga ia mirip dahulu Mamak menjagaku sampai selesai hayatnya.
Mimpi indah & hening-tenanglah di sana, Sayang.