close

Taman di Depan Rumah | Cerpen Rizqi Turama

Taman itu tak lagi terlihat rapi. Rumput-rumput berkembang seenaknya. Mawar-mawar mengering. Pohon-pohon bonsai terlihat mirip orang sarat dosa yg sakratul maut-nya begitu sukar. Kupu-kupu yg dahulu sering hilir mudik di sana tak pernah muncul lagi. Semuanya berubah begitu rupa semenjak lima bulan lalu.

Dulu, saban hari, semenjak jam sembilan sampai jam sepuluh pagi ada sepasang orang renta merawat taman di depan rumahnya itu dgn telaten. Setiap daun mengembang hijau seolah dilap & dibersihkan satu demi satu. Atau mungkin memang begitu.

Setelah ‘berkebun’, keduanya duduk di beranda. Memandangi taman mereka yg bergotong-royong tak begitu luas, namun memang hijau & menyejukkan. Ditemani oleh biskuit kelapa & teh panas tanpa gula. Saat itu, mereka akan berbicara ihwal anak tunggal yg di rantau, atau hal-hal remeh yang lain. Tiga atau empat kupu-kupu akan hinggap di tanaman pengecap mertua yg ada di pot kecil di tengah meja. Seperti ingin nimbrung dlm perbincangan keduanya.

Semua itu jadi panorama sehari-hari sampai karenanya di suatu pagi sang suami tak lagi merepons usapan tangan istrinya untuk membangunkannya sebagaimana biasa. Anak tunggalnya yg merantau terpaksa pulang lebih singkat dr agenda. Rumah beserta tamannya dipenuhi oleh orang yg memperlihatkan rasa berbela sungkawa.

*****

Seminggu setelahnya, taman kecil itu tetap tak tersentuh. Sang anak yg tahu bagaimana kegiatan rutin kedua orang tuanya, tak berkomentar. Lagi pula tak mungkin membiarkan orang renta bertaman di masa berkabung. Namun, ternyata hingga peringatan lewat seratus hari, sang ibu tetap tak menghiraukan tamannya.

Rumpun hijau di depan rumah sudah seperti semak belukar. Sang anak, yg semenjak kematian ayahnya lebih sering berkunjung, terpaksa merapikan taman. Namun tangannya tak setelaten sang orang renta. Ia tak suka bertaman. Semua dilakukannya hanya biar taman itu tak terlalu jelek dilihat tetangga. Ibunya, yg lebih banyak membisu, tak bersuara melihat anaknya seperti itu. Tidak melarang, tak membantu. Tatapannya lurus saja, menembus semua benda.

  Sebelum Pesawat itu Jatuh | Cerpen Sam Edy Yuswanto

Mungkin karena tak mampu memperoleh cara lain, sang anak justru mempergiat kegiatan berkebunnya. Ia bahkan rela mengajukan pindah peran supaya bisa tinggal di kota yg sama dgn sang ibu. Frekuensi kunjungan ke tempat tinggal orang tuanya ditambah. Harapannya cuma satu, supaya sang ibu kembali bersemangat. Dengan melihatnya yg sering berkebun, ibunya akan kembali punya daya hidup, pikirnya. Ia tahu cita-cita itu bukanlah keinginan kosong saat tiga bulan kemudian, ibunya tak lagi menatap kosong menembus semua benda. Meski demikian, ibunya masih belum bergerak. Hanya memandang dr beranda.

Hanya pandangan, namun itu sudah lebih dr cukup untuk menumbuhkan cita-cita. Sang anak memperbesar lagi agenda berkunjung & berkebun di rumah orang tuanya. Dari seminggu dua kali, jadi seminggu tiga kali, lalu sepekan empat kali, hingga akibatnya ia sungguh-sungguh berkebun di sana setiap hari. Sepulang kerja, tatkala senja sedang ranum-ranumnya, ia akan ada di taman itu, lengkap dgn mata ibunya yg kembali bercahaya. Meskipun belum ada lagi kupu-kupu yg hinggap di bunga manapun.

Pada senja yg keseratus tujuh puluh tiga, ketika ia hendak pamit pada ibunya sesudah usai berkebun, tanpa ia duga sang ibu tersenyum. Senyum pertama yg dikembangkan oleh perempuan itu semenjak akhir hayat suaminya. Anak tunggalnya bergetar. Terlebih lagi, sang ibu memeluknya. Sebuah pelukan yg sudah beberapa tahun tak pernah ia rasakan lagi.

*****

Sejak itu, sang anak kian serius merawat kebun. Dibelinya beberapa perlengkapan berkekebun. Gerakannya masih kaku, tentu saja. Tapi itu tak masalah. Beberapa petak kebun terlihat kembali hidup & berseri. Dan yg terpenting, ia disambut & dilepas oleh ibunya dgn senyuman. Sesuatu yg tak bisa ditukar dgn apapun. Ia percaya, waktunya makin erat. Ibunya akan kembali bertaman & ‘hidup’ lagi.

  Kepergian Bapak | Cerpen Anggi Nugraha

Kerja kerasnya terbayar ketika empat minggu kemudian, sang ibu tak hanya menyambutnya dgn senyum, namun pula dgn peralatan taman di tangan. “Ibu akan membantumu bertaman hari ini,” suara ibunya gemetar. Ia tersenyum. Menahan air yg hampir tumpah dr mata. Beberapa menit berikutnya, kedua anak-beranak itu sudah sibuk dgn alat di tangannya.

Saat itulah sang anak mencuri-curi pandang ke arah ibunya. Ayunan tangan sang ibu tetap lincah seperti dulu. Si anak sempat tersenyum senang menyaksikan ibunya kembali bersemangat. Namun senyum itu berganti khawatir tatkala sang ibu menitikkan air mata. Sang anak tahu pasti, ibunya terkenang ketika-ketika bertaman dgn sang ayah.

Setengah jam kemudian, keduanya rehat. Duduk di beranda. Menikmati biskuit kelapa & teh panas tanpa gula. Berbincang perihal hal-hal remeh. Sambil memandangi taman yg kembali hijau permai, meskipun kupu-kupu tetap belum ada yg hadir. Di tengah perbincangan, air mata ibu kembali meleleh.

Kenangan, deritanya memang tiada selesai.

*****

Sendirian ia duduk di beranda rumah. Menatap ke arah taman. Orang-orang baru saja pulang dr mengungkapkan bela sungkawa. Setelah sore yg begitu indah, ibunya harus menyusul sang ayah. Ia masih terpukau dgn nasib yg bisa begitu gampang menunjukkan kuasa.

Matanya menatap nanar. Terlalu menderita untuk menyaksikan taman itu kalau tak terurus kembali, tetapi kembali merawat tumbuhan-tanaman di sana sama saja dgn menguruk dirinya dlm penderitaan. Ia tak pernah menyangka bisa begitu terikat dgn taman. Dua tahun yg kemudian, ia sendiri tak akan mau berkotor-kotor dgn tanah demi suatu taman. Tapi setelah semua ini, ia sendiri bingung menentukan perasaannya terhadap taman itu. Hanya saja, di tengah kebingungan itu, ia sudah menetapkan untuk memasarkan rumah. Ia mesti hidup di jalannya sendiri, membentuk nasibnya sendiri yg mungkin masih panjang.

  Kuda Emas | Cerpen Tawakal M. Iqbal

Apabila hari itu, pukul sembilan pagi, ia duduk di teras sambil menikmati semua yg biasa dicicipi kedua orang tuanya, maka itulah yg dianggapnya selaku ‘pesta perpisahan’. Ditariknya napas dalam-dalam & dikatupkannya kedua mata. Tatkala ia membuka mata lagi, pandangannya tertumbuk pada lidah mertua di dlm pot di atas meja. Ia gres sadar bahwa ia sudah abai pada tanaman kecil itu. Dicobanya untuk mengenang-ingat & barulah ia mahfum, dulu sebelum ia menetapkan untuk bertaman, flora itulah yg tetap tampakterawat sementara yg lain sekarat. Satu-satunya flora yg dlm keterpurukan taman, setiap daunnya tetap mengembang hijau seolah-olah setiap helai sudah dilap sedemikian rupa.

Ia mencoba menggali ingatan yg berhubungan dgn tanaman itu. Samar-samar, ia teringat suatu hari, kedua orang bau tanah itu memberikan hadiah ulang tahun & doa yg tak ia harapkan: suatu tanaman dlm pot kecil & doa agar ia kelak bisa menyaksikan segi indah setiap tanaman sepatutnya kedua orang tuanya.

Sang anak saat itu juga merasa dadanya penuh sesak. Mencoba menahan laju buliran air di sudut matanya. Namun, ia tak bisa. Dan entah datang dr mana, sepasang kupu-kupu hinggap di ujung daun tumbuhan dihadapannya. (*)